Melindungi Konsep Sustainable Developmen Indonesia

Melindungi Konsep Sustainable Development dan Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat Demi Ketahanan Pangan Nasional1
Rido Pradana*
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Email : ridopradana@gmail.com
Nomor Handphone: 085766226971

Indonesia adalah negara agraris yang terdiri atas beribu-beribu pulau yang
berada dalam ring of fire. Mata pencarian penduduk Indonesia sebagian besar
adalah petani. Namun dengan jumlah penduduk mencapai angka 250 juta jiwa
dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,6 persen, Indonesia setidaknya harus
memiliki lahan sawah seluas 10 juta hektar. Tahun 2014 areal lahan persawahan
baku yang ada di Indonesia mencapai 8,1 juta hektar dengan tingkat alih fungsi
lahan mencapai 100 ribu hektar per tahunnya.2 Sejalan dengan penurunan tersebut,
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia yang merangkap sebagai
dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria juga
menyatakan ada setidaknya 50.000 hingga 100.000 hektar lahan sawah yang hilang
setiap tahunnya, baik karena beralih fungsi maupun yang tidak lagi tergarap oleh
petani karena regenerasi petani yang hampir mandek.3 Sehingga berdasarkan hasil
sensus pertanian pada tahun 2013 menunjukkan tren penurunan jumlah petani, yaitu

dari 31,7 juta rumah tangga (RT) petani turun pada 2003, menjadi 26,13 juta RT
(2013), atau penurunan sekitar 5,04 juta RT (1,75%).4
Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan yang tidak sebanding
dengan perluasan penggantian lahan pertanian menyebabkan banyak petani yang
beralih profesi. Padahal mayoritas petani adalah bagian dari anggota masyarakat

1

Esai ini ditulis untuk Kompetisi Esai Nasional ISRS 2016.
Latief,
“Luas
Lahan
Pertanian
Naik
700
Ribu
Hektar,”
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/21/172902726/Luas.Lahan.Pertanian.Naik.700.Ribu.Hektar
, diakses 8 Oktober 2016.
3 Kismi Dwi Astuti, “100.000 Hektare Lahan Pertanian Menyusut Setiap Tahun”,

http://www.pikiranrakyat.com/jawa-barat/2016/06/13/100000-hektare-lahan-pertanian-menyusut-setiap-tahun-371703, diakses
8 Oktober 2016.
4
Reynold
Sumayku,
“Kurangnya
Petani
Indonesia
Masa
Depan,”
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/kurangnya-petani-indonesia-masa-depan, diakses 8 Oktober
2016.
2

hukum adat yang mayoritas bermata pencaharian di sektor agraris. Beralih fungsi
dan berkurangnya lahan pertanian pun tidak terlepas dari tumpang tindihnya
kedudukan masyarakat hukum adat di Indonesia. Dengan justifikasi pembangunan
untuk kepentingan umum, hak-hak masyarakat hukum adat atas lahan pertanian
yang mereka miliki pun dialihfungsikan untuk pembangunan yang tidak semua
tepat sasaran dan berhasil.

Lemahnya kedudukan mereka, membuat lahan yang mereka miliki dengan
mudah dilepaskan. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, konsep pengelolaan pertanian
oleh masyarakat hukum adat sangat sesuai dengan konsep sustainable development5
yang dapat menjaga ketahanan pangan Indonesia untuk masa depan yang mulai
diperkenalkan dalam Rio Janeiro Declaration 1992.
Konsep Sustainable Development Masyarakat Hukum Adat
Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut
masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat
merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup
dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu,
memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok
(keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.6
Keterkaitan masyarakat hukum adat dalam konsep pembangunan
berkelanjutan ini karena memiliki ciri khusus dalam tata kelola sumber daya alam
mereka, baik tata kelola atas tanah, hutan, pesisir dan laut maupun keragaman tata
produksi dan konsumsi mereka. Pengetahuan dan kearifan lokal tentang tata kelola
hutan dan sumber daya alam di sekitarnya diwariskan secara turun-temurun, baik
dalam tradisi dan praktik budaya maupun dalam bentuk tulis, terus mengalami

5


Dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup merumuskan Pembangunan berkelanjutan adalah “upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.”
6 Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi
Aceh,” (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 36.

adaptasi, inovasi, dan dinamika selaras dengan perubahan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya serta lingkungannya.7
Namun demikian, prinsip-prinsip nilai dan norma adat yang dimiliki
sebagian besar masih memiliki fungsi-fungsi yang selaras dengan prinsip
keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistem. Dalam beberapa kasus di
komunitas masyarakat hukum adat model tata kelola sumber daya alam yang telah
dipraktikkan secara turun temurun oleh masyarakat hukum adat bahkan dianggap
dan terbukti lebih baik dari bentuk-bentuk konservasi dan pelestarian lingkungan
yang dibuat oleh negara, swasta atau para penganjur konservasi dan pelestarian
lingkungan lainnya.8
Misalnya Masyarakat Hukum Adat Dayak Bentian di Kalimantan Timur

dikenal akan keahliannya membudidayakan rotan. Rotan yang ditanam, pada lahan
pertaniannya merupakan bagian dari usaha pertanian gilir balik. Usaha ini dikenal
dalam bidang agroforestry sebagai usaha mempercepat waktu beras dengan
introduksi tumbuhan pionir bermanfaat menuju bentuk agroforest (improve fallow
management). Pola-pola ini banyak dikenal masyarakat adat di Asia yang
melakukan pertanian gilir balik. Pola ini telah dilakukan oleh Masyarakat Hukum
Adat Dayak Bentian keturunan Jato Rampangan di wilayah adatnya sejak tahun
1813 yang dipimpin oleh Kepala Adatnya.9
Melindungi Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Demi Ketahanan Pangan
Nasional
Salah satu permasalahan berkurangnya petani karena alih fungsi lahan untuk
pembangunan. Dialihfungsikan lahan tersebut ternyata telah merampas hak-hak
masyarakat hukum adat. Tidak terkontrolnya pembangunan yang pada dasarnya
untuk kepentingan ekonomi telah membuat pemanfaatan lahan tidak sesuai lagi
dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang sewaktu-waktu dapat diubah
demi kepentingan ekonomi. Geogre sessions menyatakan bahwa sebelum teknologi

7

Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Mansia. Cetakan Pertama,

(Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2016), hlm. 24.
8 Ibid., hlm. 27.
9 Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, “Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mengelola
Sumber Daya Alam,” Seri Kebijakan 1 (Maret, 2001), hlm. 20.

dan bisnis besar mengambil alih, yang disusul kemudian kualitas pertanian barat
menjadi merosot dalam minimum melebihi pertambangan dari tanah agrikultur,
petani-petani (baik di wilayah barat maupun di wilayah timur), telah memiliki
empati yang sama atas tanah-tanah mereka. Tanah dan semua yang tumbuh di
atasnya tidak lepas dari bentuk-bentuk penghormatan. Kemudian mereka
memperbaiki tanah-tanah lewat pemahaman dari dunia dan ilmu pengetahuan
alamiah. Mereka berpikir bahwa berinteraksi dengan alam bukanlah harus
berlawanan kepentingan, tetapi aktivitas yang saling mengisi.10
Padahal dalam Pasal 28I ayat (3) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia menyatakan bahwa identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Sejalan dengan itu negara-negara di dunia pun telah
merumuskan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation
Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.
Salah satu definisi tentang masyarakat hukum adat dalam undang-undang

tertuang dalam Pasal 1 butir 31 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa
masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidupnya, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.11
Dalam hal tanah-tanah yang dijadikan lahan pertanian adalah hak-hak ulayat
masyarakat hukum adat yang secara konstitusional diakui dan dilindungi. Di dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Hukum Agraria disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa
itu dari masyarakat masyarakat hukum adat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa

10

Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, Edisi 1, Cetakan ke-3, (Jakarta : Rajawali Pers,2012), hlm.
157.
11 Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, op. cit., hlm.24.

serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.

Menurut Maria Sumardjono (2007:55), secara teknis yuridis, hak ulayat
merupakan hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum
adat, berupa wewenang/kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya,
dengan daya laku ke dalam dan ke luar masyarakat hukum adat itu. Sifat yang khas
tersebut, seperti tidak dapat dipindahtangankan atau bersifat kembang kempis,
menjadikan hak ulayat sebagai hak yang istimewa.12
Jikapun lahan mereka digunakan untuk kepentingan umum, seharusnya
harus ada penggantian atas pengalihan lahan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pengaturan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.13Jika pengalihan
fungsi lahan tersebut untuk kepentingan umum14, maka harus ada penyediaan lahan
pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan
tersebut sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa merosotnya luas lahan pertanian di Indonesia
tidak terlepas dari melemahnya perlindungan masyarakat hukum adat. Terutama
terhadap hak-hak mereka dalam mempertahankan hak ulayat atas tanah mereka.
Sehingga tanah yang mereka jadikan sebagai lahan pertanian begitu mudah untuk
dialihfungsikan dengan alasan kepentingan umum. Padahal konsep pengelolaan
pertanian mereka sangat


sesuai dengan sustainable development yang dapat

mewujudkan ketahanan pangan Indonesia.

12 Adrianus Jerabu, “Pengakuan dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat

atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat Dalam Rangka Otonomi Daerah di Desa Colol Kecamatan Pocoranaka Timur Kabupaten Manggarao
Timur,” (Tesis Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 42.
13 Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan bahwa Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah “wilayah budi daya pertanian
terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau
hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama
untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional”.
14 Berdasarkan Penjelasan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah “kepentingan
sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan,
irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar
udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan
jaringan listrik”.


Seharusnya pemerintahan dapat membuat suatu undang-undang khusus
yang menjadi lex specialis dari perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.
Selama ini cukup banyak masyarakat hukum adat dicantumkan di beberapa
peraturan perundang-undangan. Namun belum ada lex specialis yang secara nyata
dapat

melindungi

hak-hak

masyarakat

hukum

adat

terutama

dalam


mempertahankan lahan-lahan pertanian yang diperoleh secara turun-terumun.
Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka lahan pertanian pun bisa
dipertahankan dan tentunya ketahanan pangan akan dapat diwujudkan di Indonesia.
Adapun konten penting yang harus dimasukkan dalam lex specialis undangundang masyarakat hukum adat diantaranya:
Pertama, merumuskan secara definitif masyarakat hukum adat yang selama
ini tidak harmoni dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya rumusan
yang definitif, kedudukan masyarakat hukum adat akan kuat.
Kedua, menjadikan lahan pertanian sebagai hak ulayat masyarakat hukum
adat yang tidak dapat dialihfungsikan. Hal ini bertujuan agar lahan pertanian tetap
ada dan masyarakat hukum adat pun tidak beralih profesi sebagai petani. Jikapun
dialihfungsikan demi kepentingan umum, pemerintah pun harus merumuskan
tipologi kepentingan umum yang dalam beberapa peraturan perundang-undangan
juga memiliki perbedaan. Akibatnya lahan pertanian begitu mudah untuk
dialihfungsikan.
Ketiga,

membebankan

tanggungjawab

kepada

pemerintah

atas

keberlangsungan dan keberadaan masyarakat hukum adat supaya tetap ada. Selama
ini masyarakat hukum adat hanya diakui saja keberadaannya, namun tidak ada
rumusan yang mana pemerintah secara nyata berkewajiban untuk menjaga dan
melestarikan keberadaan masyarakat hukum adat. Hal ini bertujuan agar ketahanan
pangan Indonesia tetap terjaga karena mayoritas anggota masyarakat hukum adat
mata pencahariannya di sektor agraris.

Daftar Pustaka
Buku
Dwi Susilo,Rachmad. Sosiologi Lingkungan. Edisi 1. Cetakan ke-3. Jakarta :
Rajawali Pers,2012.
Soemadiningrat, H.R Otje Salman. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.
Jakarta : Alumni, 2002.
Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM. Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi
Mansia. Cetakan Pertama. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, 2016.

Skripsi, tesis, dan disertasi
Jerabu, Adrianus. “Pengakuan dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat Dalam Rangka Otonomi Daerah di Desa
Colol Kecamatan Pocoranaka Timur Kabupaten Manggarao Timur”. Tesis
Universitas Atma Jaya. Jakarta, 2014.
Taqwaddin. “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum
Adat (Mukim) di Provinsi Aceh”. Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara. Medan, 2010.

Majalah
Sirait, Martua Chip Fay dan A. Kusworo. “Bagaimana Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam”. Seri Kebijakan 1
(Maret, 2001). Hlm. 1-35.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia
________. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Hukum Agraria, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043.
________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059.
________. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan bahwa Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5068.

Internet
Dwi Astuti, Kismi. “100.000 Hektare Lahan Pertanian Menyusut Setiap Tahun.”
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/06/13/100000-hektarelahan-pertanian-menyusut-setiap-tahun-371703. Diakses 8 Oktober 2016.
Latief.

“Luas

Lahan

Pertanian

Naik

700

Ribu

Hektar.”

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/21/172902726/Luas.Lahan
.Pertanian.Naik.700.Ribu.Hektar. Diakses 8 Oktober 2016.
Sumayku,Reynold.

“Kurangnya

Petani

Indonesia

Masa

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/kurangnya-petaniindonesia-masa-depan. Diakses 8 Oktober 2016.

Depan,”