TUGAS PERUMAHAN KOTA MAKALAH MENGENAI SA

TUGAS PERUMAHAN KOTA
MAKALAH MENGENAI SALAH SATU
ASPEK DARI TEORI BOURNE

DISUSUN OLEH :
ASLAM SHIDDIQI ARIADJI
2015420070 / C2

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

PENDAHULUAN
Bila ditinjau dari segi kebutuhan, papan merupakan salah satu kebutuhan primer
manusia. Perumahan dan permukiman selain merupakan salah satu kebutuhan
manusia yang mendasar, juga mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam
perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan
kualitas generasi yang akan datang,.
Fenomena struktur fisik permukiman yang kini sedang terjadi di Indonesia
menjadi sesuatu yang dapat dijadikan perhatian dimana terdapat berbaai
permasalahan yang masih belum dapat terpecahkan. Persoalan perumahan dan
permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola
perumahan dan permukiman.
Disini saya memilih aspek ke 4 dalam teori bourne yaitu lokasi. Ketika kita
melihat pada kondisi perumahan dan permukiman di Indonesia, dapat terlihat
kontras antara lokasi permukiman yang tertata dengan kawasan permukiman yang
tidak tertata. Hal itulah yang menjadi masalah dimana terlihat sekali kesenjangan
sosial yang dapat menimbulkan beberapa masalah di kemudian hari.

PEMBAHASAN
Teori mengenai rumah
Turner (1976, 212-213), juga mengidentifikasikan tiga fungsi utama rumah
sebagai tempat bermukim, yaitu :
1.

Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada
kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of
shelter provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar
penghuni dapat memiliki tempat berlindung/berteduh agar terlindung dari iklim
setempat.


2.

Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk
berkembang dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi
pengaman keluarga. Fungsi ini diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu
didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan
kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber
penghasilan.

3.

Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan
keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas
lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan berupa kepemilikan
rumah dan lahan (the form of tenure).

Fungsi ketiganya berbeda sesuai dengan tingkat penghasilan, bagi golongan
berpenghasilan tinggi atau menengah keatas faktor identity menjadi tuntutan
utama, sedangkan pada masyarakat golongan menengah faktor security yang
diprioritaskan, pada golongan berpenghasilan rendah atau menengah kebawah

faktor opportunity merupakan yang terpenting.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia, sesudah
pangan dan sandang. (Budihardjo, 1994:57) menguraikan tingkat intensitas dan

arti penting dari kebutuhan manusia terhadap rumah berdasarkan hirarki
kebutuhan dari Maslow, dimulai dari yang terbawah sebagai berikut :



Rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang,
berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.



Rumah harus bisa menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan
kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi.



Rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi

yang akrab dengan lingkungan sekitar : teman, tetangga, keluarga.



Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri, yang disebut
Pedro Arrupe sebagai : “Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang
tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.



Rumah sebagai aktualisasi diri yang “diejawantahkan” dalam bentuk
pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan yang pribadi.

Menurut Undang-Undang RI No. 4 tahun 1992, tentang perumahan dan
permukiman, arti rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Perkembangan kota juga dapat ditinjau dari peningkatan aktivitas kegiatan sosial
ekonomi dan pergerakan arus mobilitas penduduk kota yang pada gilirannya
menuntut kebutuhan ruang bagi permukiman, karena dalam lingkungan perkotaan,
perumahan menempati presentasi penggunaan lahan terbesar dibandingkan

dengan penggunaan lainnya, sehingga merupakan komponen utama dalam
pembentukan struktur suatu kota.
Menurut Horton dan Reynold dalam Bourne (1982:159), perkembangan kota
selain dilihat dari perkembangan geografis, dapat juga dilihat dari sisi “Behavior
approach” artinya melihat dari sisi pengambil keputusan, yang dimaksud dalam
permasalahan ini adalah pengembang. Dalam hal memilih lokasi untuk

perumahannya pengembang lebih menekankan pada unsur mencari keuntungan,
tanpa memikirkan akibat yang terjadi di kemudian, sehingga perkembangan kota
dapat saja mengikuti kemauan pengembang.
Teori Lokasi Kawasan Perumahan
Faktor lingkungan yang juga menjadi pertimbangan di dalam memilih lokasi
perumahan menurut (Bourne,1975:205) adalah:

1. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah dan tempat rekreasi.
2. Karakteristik fisik dan lingkungan permukiman: kondisi jalan, pedestrian,
pola jalan dan ketenangan.
3. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi dan pemadam
kebakaran.
4. Lingkungan sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi,

etnis dan demografi.
5. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan
biaya pemeliharaan.
Kelima hal tersebut merupakan hal mendasar manusia dalam memilih lokasi
perumaha. Namun setiap aspek memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung
kepada penggunanya. Dalam hal inilah yang menjadi permasalahan untuk para
pengguna dan pengembang agar dapat bekerja sama demi menciptakan sutau
lokasi lingkungan perumahan yang berkelanjutan.
Luhst (1997) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan,
keamanan dari suatu rumah tinggal sangat ditentukan oleh lokasinya, dalam arti
daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu lingkungan dan
aksesibilitas.
Lingkungan oleh Luhst didefenisikan sebagai suatu wilayah yang secara geografis
dibatasi dengan batas nyata, dan biasanya dihuni oleh kelompok penduduk.

Lingkungan mengandung unsur-unsur fisik dan sosial yang menimbulkan
kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur tersebut berupa
gedung-gedung sekolah, bangunan pertokoan, pasar, daerah terbuka untuk
rekreasi, jalan mobil dan sebagainya.
Aksesibilitas merupakan daya tarik suatu lokasi dikarenakan akan memperoleh

kemudahan dalam pencapaiannya dari berbagai pusat kegiatan seperti pusat
perdagangan, pusat pendidikan, daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat
rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa profesional dan bahkan merupakan
perpaduan antara semua kegiatan tersebut. Penilaian dari aksesibilitas bisa berupa
jarak dari Central Business Distrik atau CBD, kemudahan mendapat pelayanan
dari transportasi umum yang menuju lokasi bersangkutan atau bisa juga dilihat
dari lebar jalan yaitu semakin sempit lebar jalan suatu lahan, maka berarti
aksesibilitas dari tempat yang bersangkutan kurang baik.
Pertimbangan lain yang sangat menentukan pemilihan lokasi perumahan adalah
nilai tanah, seperti diungkapkan oleh Richard M Hurds dalam Haikal Ali (1996)
dengan teori Bid-rent yang menyatakan bahwa nilai lahan sangat tergantung pada
kemauan dan kemampuan untuk membayar karena faktor ekonomi dan keinginan
tinggal di lokasi dan kedekatan.
Teori ini muncul karena semakin mahalnya harga lahan di perkotaan, untuk
mendapatkan harga lahan yang murah maka penduduk bergerak kearah pinggiran
kota. Dengan kata lain seamakin jauh lokasinya dari pusat kota, semakin
menurun permintaan akan tanah. Dan apabila tanah banyak, maka sewa yang
ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter bujur sangkarnya menurun
mengikuti jaraknya dari pusat kota. Dengan demikian tanah dipinggiran luar kota,
persaingannya berkurang dan harga yang ditawarkan untuk tanah perumahan lebih

tinggi harganya dibandingkan tanah tersebut ditawarkan untuk pendirian toko,
karena tanah dipinggiran kota lebih banyak diperuntukan bagi perumahan.

Berry dan Harton dalam Nasucha (1995) menjelaskan hubungan antara harga
tanah dengan pencapaian atau aksesibilitas yang diukur dengan jarak dari pusat
kota. Pencapaian atau akses akan semakin menurun secara bertahap kesemua arah
dari pusat kota, sehingga harga tanah akan semakin berkurang seiring dengan
makin jauhnya lokasi tersebut terhadap pusat kota. Tanah yang berada di
sepanjang jalan utama harga sewanya akan lebih tinggi dibandingkan dengan
harga sewa tanah yang tidak berada di jalan utama.
Goodall (1972) menyebutkan bahwa beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh
suatu keluarga dalam memilih sebuah rumah yaitu :
1. Suasana kehidupan di lingkungan
2. lokasi perumahan
3. Keadaan fisik rumah
4. Kelengkapan fasilitas rumah
5. Nilai prestisius
6. Harga rumah
7. Pendapatan keluarga


Suharsono (Wonosuprojo dkk, 1995) mengemukakan yang perlu diperhatikan
dalam menentukan lokasi permukiman dari sudut geomorfologi adalah :
a)

relief, meliputi kemiringan dan besar sudut lereng,

b)

tanah, meliputi daya dukung tanah dan tekstur,

c)

proses geomorfologi, meliputi tingkat erosi, kenampakan gerakan masa
kedalam saluran dan kerapatan aliran.

d)

batuan, meliputi tingkat kelapukan batuan dan kekuatan batuan,

e)


hidrologi, meliputi kedalaman air tanah pada sumur gali,

f)

klimatologi, meliputi curah hujan, suhu udara, kelembaban udara relatif,
kecepatan dan arah mata angin,

g)

penggunaan lahan,

h)

jaringanan jalan dan jembatan, saluran pembuangan limbah, dan drainase,

i)

kependudukan dan sosial ekonomi.


Prayogo Mirhard (Wonosuprojo dkk, 1993) membahas tentang pengadaan
perumahan bagi berbagai tingkat pendapatan dan penentuan lokasi
permukiman yang baik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a)

Aspek Teknis Pelaksanaan

1. Mudah mengerjakannya dalam arti tidak banyak pekerjaan gali dan urug,
pembongkaran tonggak kayu, dan sebagainya.
2. Bukan daerah banjir, gempa, angin ribut, perayapan
3. Mudah dicapai tanpa hambatan yang berarti
4. Kondisi tanah baik, sehingga konstruksi bangunan direncanakan semurah
mungkin
5. Mudah mendapat air bersih, listrik, pembuangan air limbah/ kotoran/ hujan
6. Mudah mendapat bahan bangunan
7. Mudah mendapat tenaga kerja

b)

Aspek Tata Guna Tanah

1. Tanah secara ekonomis lebih sukar dikembangkan secara produktif
2. Tidak merusak lingkungan yang telah ada, bahkan kalau dapat
memperbaikinya
3. Sejauh mungkin mempertahankan fungsi sebagai reservoir air tanah,dan
penampung air hujan.

c)

Aspek Kesehatan

1. Lokasi sebaiknya jauh dari lokasi pabrik yang dapat mendatangkan polusi
2. Lokasi sebaiknya tidak terlalu terganggu kebisingan
3. Lokasi sebaiknya dipilih yang mudah untuk mendapatkan air minum,
listrik, sekolah, puskesmas dan lainnya untuk kepentingan keluarga

4. Lokasi sebaiknya mudah dicapai dari tempat kerja penghuni

d)

Aspek Politik Ekonomis

1. Menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitarnya
2. Dapat merupakan suatu contoh bagi masyarakat disekitarnya untuk
membangun rumah dan lingkungan yang sehat
3. Mudah menjualnya karena lokasinya disukai oleh calon pembeli dan
mendapat keuntungan yang wajar.

Persepsi perumahan lebih banyak dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan lokasi
perumahan menurut masyarakat. Menurut teori struktur internal perkotaan dari
Burgess, dijelaskan bahwa faktor lokasi sangat penting bagi tingkat penghasilan.
Pilihan lokasi akan hunian umumnya akan berusaha mendekati lokasi
aktivitasnya, namun dalam perkembangan penggunaan lahan di perkotan lebih
dititik beratkan pada segi ekonomis lahan.
Karena semakin dekat dengan pusat aktivitas maka semakin tinggi tingkat
aksesibilitas lokasi, guna lahan yang berkembang diatasnya juga akan semakin
intensif, yang akibatnya sangat mempengaruhi peruntukan lahan bagi perumahan.
Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang tertentu, seseorang yang ingin
memiliki lahan yang baik dan kondisi lingkungan yang baik serta dekat dengan
tempat yang lain untuk kepentingan tertentu, sangat bergantung kepada harga
lahan, harga lahan menentukan permintaan atas lahan serta mempengaruhi
intensitas persaingan untuk mendapatkan lahan.

Aktor Pembangunan Perumahan

Selama ini yang dianggap sebagai pemeran utaama pembangunan perumahan
adalah tiga besar, yaitu pemerintah swasta dan masyarakat. Menurut Menurut
Budihardjo (1998:45), pembangunan perumahan dilaksanakan oleh dua sektor
yaitu sektor formal dalam hal ini pemerintah, swasta dan hibrida, dan sektor
informal yaitu masyarakat dan hibrida, sedangkan aktor-aktor yang terkait dalam
pembangunan perumahan adalah seperti tabel dibawah ini

Dari tabel diatas terlihat bahwa sektor swasta kurang banyak terlibat dalam
pembangunan perumaahan untuk kelompok berpenghasilan rendah dan sangat
rendah, namun pembangunan perumahan telah dilakukan dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan perumahan seluruh lapisan masyarakat dari kelas atas
sampai kelas paling rendah.
Sampai saat ini belum jelas apa kriteria dan persyaratan pembangunan perumahan
oleh real estate, dalam praktek begitu banyak kejanggalan seolah-olah real estate
hanya memberi prioritas bagi warga yang berduit, memberi keuntungan berlipat
ganda bagi para spekulan tanah secara langsung dan tidak langsung “menggusur
rakyat kecil dari permukiman semula (Marbun, 1990:80), sedangkan menurut
Gallion (1992-153) bahwa dalam prakteknya, real estate menganggap tanah
sebagai suatu komoditi untuk dibeli dengan harga rendah dan dijual dengan harga
tinggi.

Menurut Budihardjo (1997:24), bila lahan dibiarkan sebagai komoditi ekonomi
yang ditarungkan secara bebas, maka mayoritas masyarakat berpenghasilan
rendah di perkotaan akan semakin terpuruk dan semakin tidak mampu
menjangkau atau memiliki rumah yang layak, yang dibangun oleh pihak swasta,
dan jika hal tersebut dibiarkan maka pembangunan perumahan dan permukiman
dalam skala besar di perkotaan selalu dihadapkan pada masalah tanah yang makin
mahal dan langka serta perlu dikendalikan. (Lukita, 1992)
Dalam pemilihan tempat untuk lokasi perumahan, developer/pengembang akan
mencari lokasi bangunan yang sesuai dengan cara menyeleksi beberapa tempat.
Dari banyak kriteria yang mempengaruhi pemilihan tempat, menurut Catanese
(1996:296) yang paling utama adalah :
1. Hukum dan lingkungan, akankah hukum yang berlaku mengijinkan
didirikannya gedung dengan ukuran tertentu, persyaratan tempat parkir,
tinggi maksimum gedung, batasan-batasan kemunduran dan berbagai
kendala lain yang berkaitan.
2. Sarana, suatu proyek membutuhkan pemasangan air, gas, listrik, telepon,
tanda bahaya (alaram), jaringan drainase.
3. Faktor teknis, artinya bagaimana keadaan tanah, topografi dan drainase
yang mempengaruhi desain tempat atau desain bangunan.
4. Lokasi, yang dipertimbangkan adalah pemasarannya, aksesibilitas,
dilewati kendaraan umum dan dilewati banyak pejalan kaki.
5. Estetika, yang dipertimbangkan adalah view yang menarik.
6. Masyarakat, yang dipertimbangkan adalah dampak pembangunan real
estate tersebut terhadap masyarakat sekitar, kemacetan lalu lintas dan
kebisingan..
7. Fasilitas pelayanan, yang dipertimbangkan adalah aparat kepolisian,
pemadam kebakaran, pembuangan sampah, dan sekolah.
8. Biaya, yang dimaksud dengan biaya adalah harga tanah yang murah.

Dengan banyaknya dan beragam kriteria yang ada, maka terjadilah persaingan
antara pengembang dalam memilih lokasi untuk membangun perumahannya, hal
ini menunjukan bahwa menentukan lokasi untuk perumahan bukan hal yang
mudah. Inilah yang menjadi salah satu tugas untuk pemerintah, masyarakat, dan
swasta ( sebagai elemen pengembang) agar dapat menciptakan suatu kawasan
perumahan yang terintegrasi dengan fungsi dan aspek lainnya agar dapat
menciptakan suatu lokasi perumahan yang berkelanjutan.

KESIMPULAN
Sudut pandang, kalangan bawah memandang rumah sebagai peluang,
kalangan menengah memandang rumah sebagai tempat yang aman, sedangkan
kalangan atas memandang rumah itu sebagai jati diri dan identitas. Dapat kita
sadari bahwa sudut pandang dalam hal ini memiliki perbedaan yang sangat
mecolok.
Dalam segi pengembanan perumahan, pemilihan lahan yan menjadi pilihan
pun dipilih berdasarkan minat dan aktivitas yang terjadi pada kawasan
disekitarnya. Tentu semakin dekat dengan pusat semakin banyak aktivitas yan
terjadi semakin banyak minat pula. Terjadinya suatu perumahan tergantung pada
pengembang yang menciptakannya. Namun pada hal ini pengembang biasanya
memiliki orientasi pada peruntungan dimana menciptakan suatu kawasan
perumahan yang dekat dengan pusat namun tidak memikirkan hal yang akan
berdampak kedepannya, seperti semakin kurangnya sumber resapan air, semakin
padatnya akses lalu lintas, dan semakin terjadi cemburu sosial akan manusia yang
hidup di pinggiran.
Akesesibilitas merupakan poin penting dalam lokasi perumahan. Dimana
semakin mudah pencapaiannya semakin tinggi minatnya. Namun semakin dekat
dengan pusat aktivitas perkotaan semakin tinggi nilai harganya. Maka dari itu
perumahan yang ingin memiliki nilai harga yang tidak terlalu tinggi memilih
lokasi di pinggiran kota. Di pinggiran kota pun lahan memang diperuntukkan
untuk perumahan. Namun semakin banyaknya lokasi perumahan yan berbedabeda semakin membeda-bedakan penggunanya dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam merncang suatu perumahan
kota, seperti aspek geomorfologi, aspek teknis pelaksanaan, aspek tata guna lahan,
aspek kesehatan, serta aspek politik dan ekonomis. Namun pada dasarnya yang
mempengaruhi penentuan lokasi adalah aspek ekonomis. Dimana pemilik nilai
lebih dari aspek ekonomis ini dapat dengan mudah menentukan dimana ia akan
bermukim. Namun hal inipun tidak luput dari segi aktivitas. Pengguna pun akan
memilih lokasi berdasarkan aktivitas yang terjadi ppada lingkungan sekitarnya,
seperti dimana ia bekerja, akses yang mudah, dan lainnya. Dimana semakin dekat
dengan pusat maka semakin banyak aktivitas yang terjadi dan semakin banyak
minat yang muncul.
Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak
terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun
kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman. Lokasi
suatu perumahan dapat tercipta oleh beberapa pengembang, diantaranya
pemerintah, swasta, hibrida (yayasan, instansi, dll), dan masyarakat. Namun yang
menjadi masalah adalah kurangnya pengaturan dan penanganan mengenai
perumahan yang terintegrasi baik pemerintah, swasta, masyarakat, dan instansi.
Sehingga untuk itu perlu disusun suatu kebijakan dan strategi baru yang
cakupannya dapat meliputi bidang perumahan dan permukiman sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.

DAFTAR PUSTAKA
Bourne, L.S., Internal Structure of the City - Readings on Urban Growth and
Policy, Oxford University Press. Inc., Oxford, 1982
Budihardjo, Eko, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 1998
Catanese, Anthony J., and James C. Snyder, Perencanaan Kota, Erlangga, Jakarta,
1996
Gallion, Arthur, B. & Simon Eisher, Pengantar Perancangan Kota, Erlangga,
Jakarta, 1992
Luhst,K.M.,(1997). Real Estate Valuation. Principles Aplication, USA.
Turner, John F., Housing By People – Towards Autonomy In Building
Environments, Marion Boyars Publishers Ltd, London, 1976
Worosuprojo, S. Risyanto, B R., Budi, S., (1993). “Kesesuaian Lahan Untuk
Pemukiman di
Kecamatan Galur dan Kecamatan Lendah di Dati II Kulon Progo Propinsi DIY”.
Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta.