Televisi Jam Wajib Belajar

SINERGI
REFERENSI TEBING TINGGI DELI

Televisi Dan Jam
Wajib Belajar

ISSN 1978 - 8080 NOMOR 133 TAHUN 2014 TAHUN XII 2014

Ketika Televisi
Menjadi Orang
Tua Ketiga
Self Sensor Versus
Kolonialisasi Media

Televisi & Jam
Wajib Belajar
MEDIA PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI
w w w. t eb i n g t i n gg i ko t a . go. i d

ESA HILANG
DUA TERBILANG


DA R I R E A DA K S I

SINERGI
REFERENSI

TEBING

TINGGI

TERBIT SEJAK 16 Juli 2002
SK WALIKOTA TEBING TINGGI
NO.480.05/286 TAHUN 2002

KETUA PENGARAH
Ir.Umar Zunaidi Hasibuan, MM
( WaliKota Tebing Tinggi )

WAKIL KETUA PENGARAH
H. Irham Taufik, SH, M.AP

(Wakil WaliKota Tebing Tinggi )
Pembaca budiman…
Coba perhatikan, dalam penerbitan ini ada yang berbeda dibanding penerbitan
sebelumnya. Satu di antara perbedaan itu, adalah adanya perubahan jajarn redaksi
SINERGI mulai edisi Januari 2014 ini. Ya, Pemred yang lama Ahdi Sucipto, SH yang
telah mengendalikan majalah kesayangan kita ini selama dua tahun lebih, telah
digantikan oleh Drs. Bambang Sudaryono.
Sebelumnya Pemred kita yang baru ini merupakan Camat Kec. Padang Hulu dan
telah lama menduduki jabatan itu. Kini beliau dipercaya Wali Kota Tebingtinggi
Ir.H.Umar Zunaidi Hasibuan, MM sebagai Kabag Humas PP Pemko Tebingtinggi. Sedangkan Kabag Humas PP lama juga Pemred SINERGI Ahdi Sucipto, SH menduduki
pos barunya di Dinas Perhubungan sebagai Kabid Sarana Prasarana.
Pergantian jabatan dalam birokrasi pemerintahan, sudah dipandang sebagai hal
lazim oleh PNS yang bertugas dimanapun juga. Demikian pula dengan keduanya,
akan memandang penempatan pos masing-masing merupakan proses tour and duty
bagi mereka untuk lebih meningkatkan kinerja dimasa mendatang. Hal sama harus
dirasakan jajaran SINERGI yang mengeloa majalan kesayangan kita ini. Jangan
sampai gerak perubahan di tubuh Humas PP berdampak besar bagi kinerja SINERGI.
Sebagai nakhoda baru di majalah SINERGI, saya berpesan agar kinerja majalah
ini ditingkatkan secara lenih baik. Prestasi yang telah diraih selama ini harus terus
dipertahankan, bahkan bila mampu harus ditingkatkan. Sebagai Pemred, saya akan

memberikan dukungan penuh terhadap apa pun kebutuhan personalia SINERGI.
Pembaca sekalian …
Edisi pertama ini, adalah bentuk komitmen jajaran SINERGI di bawah Pemred baru
ini. Laporan utama kita akan mencoba untuk menelisik persoalan tayangan televisi
dihubungkan dengan jam wajib belajar yang jadi program Pemko Tebingtinggi. Laput
ini akan dilengkapi dengan beberapa laporan lain, misalnya soal bahaya bagi anak
dan remaja jika kelamaan nonton TV. Juga dipersoalkan seberapa besar pengaruh
TV bagi keluarga, serta perlunya self sensor (sensor pribadi) terhadap tayangan TV
yang hadir selama 24 jam di rumah kita.
Kami juga akan melaporkan sejumlah kegiatan Wali Kota Ir.H.Umar Zunaidi Hasibuan, MM dan jajaran Pemko Tebingtinggi yang ada hubungannya dengan kinerja
SKPD dari berbagai instansi yang ada. Bahkan, satu hal yang penting, edisi ini
akan kami isi dengan parade tulisan dari 10 penulis ternama dari berbagai daerah,
khususnya Sumut. Mereka telah menyumbangkan sejumlah karya tulis, baik dalam
bentu k laporan sastra, Cerpen maupun puisi ke redaksi SINERGI. Sebagai respon
positif, kami pun memuat semua sumbangan tulisan itu, pada edisi kali ini.
Sedangkan pada rubric lain, misalnya Sosial, redaktur kami mneyambar fenomena
yang berkembang belakangan ini pra Pemilu. Judulnya juga terkesan provokatif
“Mereka Yang Menunggu Amplop,’ Inilah laporan kami yang mungkin disodorkan
secara terang-terangan tentang tidak terelakkannya politik uang alias money politic
dalam kancah perpolitikan tanah air.

Satu lagi laporan yang tidak bisa pembaca abaikan, adalah laporan ragam/pluralis
yang bisanya banyak diminati. Kali ini, SINERGI membuat laporan tentang sejarah
secangkir the di Keraton Ngayogyakarta. The, meski pun jenis minuman yang sudah
dikenal, ternyata selama ini punya sejarah menarik, khususnya di kerajaan-kerajaan
yang ada di negeri ini.
Kami berharap suguhan kami ini meski pun terlambat, karena harus menunggu dana
cetak dari pencairan APBD 2014, tidak mengurangi minat pembaca untuk tetap
setiap membaca SINERGI. Biarlah pepatah tua yang mnegatakan biar lambat asal
selama kita pakai untuk penerbitan SINERGI yang tidak teratur ini. Semoga maklum…Salam kami dari meja redaksi.

2

PENGENDALI
H. Johan Samose Harahap, SH, MSP
(Sekdako Tebing Tinggi Deli )

PENANGGUNG JAWAB
Ir. H. Zainul Halim
(Asisten Administrasi Umum )


PIMPINAN REDAKSI
Drs. Bambang Sudaryono
(Kabag Adm. Humas PP)

WAKIL PIMPINAN REDAKSI
Maslina Dalimunthe.SE
(Kasubag Adm. Humas PP)

BENDAHARA :
Jafet Candra Saragih

KOORDINATOR LIPUTAN
Drs Abdul Khalik, MAP

SEKRETARIS REDAKSI
Dian Astuti
REDAKSI
Rizal Syam, Khairul Hakim, Juanda,
Ulfa Andriani,S.Sos


LAYOUT DESAIN GRAFIS
Aswin Nasution, ST

FOTOGRAFER :
Sulaiman Tejo, Tomy Erlangga, Agung Purnomo

KOORDINATOR DISTRIBUSI
Edi Suardi, S.Sos
RIDUAN

LIPUTAN DAN REPORTER
Wartawan Unit Pemko Tebing Tinggi
Redaksi menerima tulis,photo juga surat berisi saran
penyempurnaan dari pembaca dengan melampirkan
tanda pengenal (KTP, SIM, Paspor) dan Redaksi berhak
mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan
maknanya.
Bagian Administrasi Humasy Pimpinan dan Protokol
Sekreariat Daerah Kota Tebing Tinggi
Jl,Dr Sutomo No : 14 Kota Tebing Tinggi Deli Deli

Eimail : sinergi@tebingtinggikota.go.id
Facebook : majalah_sinergi@tebingtinggikota.go.id

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

D
AFTAR ISI
SINERGI EDISI 133 JANUARI 2014
2. SALAM REDAKSI
4. MOMENTUM
6. SINERGITAS
Dampak Televisi

7. UTAMA
Televisi Dan Jam Wajib Belajar
Self Sensor Versus Kolonialisasi Media
Ketika Televisi Menjadi Orang Tua Ketiga

14. PENDIDIKAN
Kita Perlu Hari Bahasa Indonesia


16. EKONOMI
Tinjau Pasar Tradisional

17. KESEHATAN
Jamyankes Akan Dinikmati 48 % Warga Miskin
Kota Tebing Tinggi

18. HUKUM
Deskripsi Karakter Pasca Reformasi

20. LENSA PEMKO
28. PEMKO KITA
30. PARLEMENTARIA
32. AGAMA
33. OLAH RAGA
34. CERPEN
55. INFONASIONAL
56. OPINI
57. SOSIAL

58. TEPIAN
59. IKLAN OVOP GRATIS

Televisi Dan Jam Wajib Belajar

UTAMA

TELEVISI adalah wilayah bebas nilai. Di
tangan penontonnya kotak cinema itu
bisa menjadi..............

7

PEMKO KITA

Umar Zunaidi Hasibuan Serahkan
Bantuan ke Pengungsi

Bencana Erupsi Gunung
Sinabung..........


Pimpinan Redaksi
Drs.BAMBANG SUDARYONO

Redaksi
RIZAL SYAM

Wakil Pimpinan Redaksi
MASLINA DALIMUNTHE,SE

Redaksi
ULFA ANDRIANI,S.Sos

JAJARAN REDAKSI
TA H U N 2 0 1 4

28

Koordinator Liputan
Drs.ABDUL KHALIK,MAP


Layout Desain Grafis
ASWIN NAST,ST

Sekretaris Redaksi
DIAN ASTUTI

Koordinator Distributor
EDI SUARDI

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

Distributor
RIDWAN

Bendahara
JAFET CHANDRA SARAGIH

Foto Grafer Sinergi
AGUNG PURNOMO

Redaksi
JUANDA

Foto Grafer Sinergi
SULAIMAN

Redaksi
KHARUL HAKIM

Foto Grafer Sinergi
TOMY ERLANGGA

3

MOMENTUM

44

MOMENTUM

555

SINERGITAS

Da m p a k Te l e v i s i
Sejenak seusai menonton film yang mengandung adegan kekerasan, Benny bertengkar
dengan adiknya, berkelahi dengan anak tetangga, dan merusak meja makan. Orang tuanya
mengambil kesimpulan, Benny menjadi agresif karena menonton film. Bila ditanya apa
alasannya, mereka mungkin menemukan beberapa jawaban. Pertama, sudah diketahui
banyak orang bahwa menonton film akan berpengaruh pada perilaku; film kekerasan akan
melahirkan perilaku kekerasan pula. Kedua, mereka merujuk kepada pada tulisan dalam
majalah yang mengungkapakan bahwa film memang merusak perilaku remaja.
Kendati demikian, pada kali lain
terlihat satu hal yang menakjubkan. Seorang anak telah lama menabung menyerahkan celengannya. Tabungan yang dimulai sejak
berbulan-bulan lalu, diserahkannya
kepada korban tsunami di Aceh
setelah ia melihat musibah itu di
televisi. Padahal tabungan tersebut tadinya akan digunakan untuk
membeli sesuatu yang telah lama
diinginkannya.
Setiap orang pasti membutuhkan hiburan, salah satu hiburan
tersebut adalah dengan menonton
televisi. Seorang anak khususnya
dapat menghabiskan waktu lebih
lama untuk menonton televisi daripada untuk belajar. Hal ini menunjukkan bahwa anak lebih banyak
mengetahui apa yang dilihatnya
melalui televisi dan besar kemungkinan untuk ditirunya. Baik itu
tontonan berupa kartun, sinetron,
iklan, film, dan berbagai jenis lainnya.
Televisi merupakan media
massa elektronik yang mampu menyebarkan berita secara cepat dan
memiliki kemampuan mengakses
informasi dan mencapai khalayak
yang tak terhingga dalam waktu
yang bersamaan. Tidak dipungkiri
jika televisi juga banyak memberikan manfaat seperti memperoleh
informasi terbaru yang terjadi di
Indonesia bahkan di dunia. Akan
tetapi, acara televisi akhir-akhir
ini lebih banyak membawa pengaruh negatif terhadap kepribadian
anak. Misalnya, seperti adegan

6

kekerasan dalam sinetron yang
sering dilihat anak dapat menyebabkan anak tersebut menirukan dalam kesehariannya.
Secara kekinian, ketika terjadi perubahan dramatis dalam teknologi
komunikasi, maka satu hal yang
tak terelakkan akan berdampak
pada kemajuan media massa.
Pesatnya kemajuan media massa
-terutama televisi- akan pula
memberikan dampak signifikan
terhadap perubahan pola hidup
dan prilaku umat manusia. Persoalannya hanya terletak pada: bahwa
komunikasi dengan menggunakan
media massa ini berlaku dalam
satu arah (one way communication), dengan mengenyampingkan
umpan balik. Meskipun begitu,
dalam tahap-tahap tertentu komunikan masih bisa melakukan
feedback atas pesan-pesan yang
disampaikan oleh media massa,
walau tidak serta merta.
Setiap media massa memang memiliki karakter khas
dengan kelebihan dan kekurangan yang ada padanya. Diantara
berbagai bentuk media massa
yang mungkin paling kontroversial adalah televisi. Televisi, lewat
acara-acara yang telah diplotnya,
tidak saja teramat mudah memasuki wilayah publik tetapi juga gampang sekali menyerbu ruang-ruang
pribadi kita. Televisi telah duduk
rapi di sudut-sudut kantor, kamarkamar keluarga bahkan menginap
di kamar tidur berjam-jam setiap
harinya.

Dengan tidak bermaksud
mengabaikan efek positif yang
dimanifestasikan televisi, tidak
sedikit ahli mengkhawatirkan
dampak negatif media ini terhadap perilaku audiens. Masih
lekat dalam ingatan tentang kisah
korban acara televisi yang terjadi
pada tahun 2006. Kala itu salah
satu stasiun televisi menampilkan
acara smackdown yang mengakibatkan korban meninggal
dan luka-luka. Data yang berhasil dikumpulkan adalah sebagai
berikut: Reza Ikhsan Fadillah (9),
Bandung (meninggal 16 November 2006). I Made Adi S. Putra (8),
Bali, meninggal. Angga Rakasiwi
(11), luka-luka. Fayza Raviansyah
(4), Bandung, luka dan muntah
darah. Ahmad Firdaus (9), Bandung, pingsan dan Nabila Amal (6),
Bandung, mengalami patah tulang.
Mar Yunani (9), Yogyakarta, gegar
otak. Yudhit Bedha Ganang (10),
Jakarta Selatan, luka pada kepala
dan kemaluan. Angga Riawan (12),
Sukabumi,luka-luka. Fuad Ayadi
(9), Madura, luka-luka. M. Arif (11),
Jambi, luka-luka. M.Hardianto (11),
Kendari, luka-luka. Fikro Haq (7).
Mulai sekarang senantiasa awasi
anak-anak saat menonton televisi.
Beri pengertian serius saat menonton setiap program acara, apalagi
program tersebut belum untuk
ditontonnya.
(khairul hakim)

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

U TA M A

Televisi Dan Jam Wajib Belajar

TELEVISI adalah wilayah

bebas nilai. Di tangan penontonnya
kotak cinema itu bisa menjadi benda mematikan, tapi juga bisa
jadi benda yang memberikan manfaat besar. Semua nilai yang dimilik
televisi tergantung pada remote
(alat pengendali) media siar itu. Jika
ingin bermanfaat tergantung pada
pemirsa, tapi jika pun merusak itu
semua tergantung di tangan pemirsa.
Begitulah nilai filosofis yang ditanamkan ke benak publik oleh para pemilik
media elektronik ini.
Para pemodal televisi, mulai dari pemilik hingga pemeran televisi, seolah
berkeinginan agar penonton televisi
adalah orang-orang yang cerdas
dan bisa menikmati produksi televisi
dengan sikap dan nilai yang mereka
miliki. Artinya, secara langsung para
pemilik media siar itu, yakin betul

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

apapun yang mereka buat tidak akan
memberi pengaruh negatif, sepanjang penontonnya adalah orangorang yang memiliki kadar kecerdasan dan pendidikan yang baik.
Dalam posisi inilah kemudian, tayangan dan program siar yang mereka
siarkan, motifnya adalah memberikan
kesenangan kepada penonton tanpa
peduli pada nilai-nlai yang terkandung didalam program siar itu. Substansi penayangan berbagai program
televisi, adalah bagaimana program
itu mampu dilihat sebanyak-banyaknya mata pemirsa dan bertahan lama.
Jika hal itu bisa dilakukan, maka implikasi kedua adalah membanjirnya
pengajuan iklan dan pariwara yang
akan mendatangkan laba bagi usaha
broadcast itu.
Dengan tujuan demikian, rating yang
dibuat lembaga-lembaga survey
menjadi takarannya. Semakin tinggi

rating, semakin tinggi pula pemasukan iklan, dan itu artinya keuntungan
dari program itu semakin melimpah.
Jangan heran, jika kemudian banyak tayangan hiburan semacam
sinetron bisa berlangsung bertahuntahun dengan ratusan episode yang
kisahnya bak benang kusut yang
tak jelas lagi mana ujung dan pangkalnya.
Demikian pula dengan acara-acara
hiburan yang berlangsung bertahuntahun tanpa henti. Prinsipnya, sepanjang program itu masih ada penontonnya, dipastikan akan terus tayang
walau sudah kehilangan makna
luhurnya. Program Yuk Keep Smile
(YKS) di TransTV, adalah contoh
hiburan yang berlangsung terus menerus setiap malam, hingga kemudian acara itu booming dan mampu
menciptakan kultur baru yang disebut
dengan ‘joget Caesar.’

7

U TA M A

Ada pula acara hiburan di RCTI
yang dikenal dengan ‘Indonesian
Idol.’ Acara yang ditonton puluhan juta pasang mata itu, mampu
melahirkan bintang idola baru di
ranah public hanya dalam tempo
tayangan selama satu bulan lebih.
Produk tayangan yang mengidola
itu adalah Fatin Shidqia Lubis,
seorang remaja yang masih duduk
di kelas II SMA dengan anugerah
suara yang katanya luar biasa.
Sulap televisi telah menjadikan
remaja yang seharusnya nebeng
jajan dengan orang tua itu, menjadi
kaya raya.
Banyak acara semacam itu di
berbagai tayangan televisi, selanjutnya menyihir jutaan remaja
dan anak muda dari berbagai
pelosok membanjiri ibu kota dan
kota provinsi untuk merenda asa.
Mereka mengikuti audisi agar bisa
senasib dengan idola mereka.
Padahal, peluang itu hanya satu
dari ribuan orang. Celakanya, tak
sedikit di antara mereka yang kemudian putus asa.
Buruknya, kultur pop yang terbangun oleh kedua acara itu merasuk
hingga ke jantung peradaban
generasi muda negeri ini., Di
mana mereka lebih suka berkhayal
menjadi kaya dengan cara-cara instan, ketimbang melalui cara-cara
menempuh pendidikan, memeras
keringat dan berpikir berat agar
bisa sukses. Padahal, kerja keras
memeras keringat serta berpikir
berat melalui jalan berliku dunia
pendidikan, merupakan sunnatullah yang harus ditempuh jika ingin
sukses.
Kisah tentang sosok-sosok tertentu yang jadi kaya secara instan,
hanya sebagian kecil dari peran
dan pengaruh media elektronik
terhadap publik. Yakni, publik yang
secara implisit memiliki karakter
genuine dan kemudian menghadapi gempuran kultur media massa

8

khususnya elektronik, hingga memiliki kesadaran semu yang bukan
kesadaran aslinya.
Tapi, ada pula cerita yang mengenaskan bagaimana media televisi
mampu menciptakan monster
dalam diri publik, khususnya terhadap anak-anak dibawah umur,
bahkan tak jarang juga mempengaruhi remaja. Tidak hanya mempengaruhi, televise juga mampu
membius anak dan remaja hingga
memilik kekuatan untuk meniru
apa yang ditontonnya di televisi.
Terdapat sejumlah contoh tragis,
bagaimana program televisi bisa
merubah perilaku anak. Pada 16
November 2006 misalnya, Reza
Ikhsan Fadillah, 9, meninggal dunia karena meniru program tayangan smack down di televisi. Begitu
pula dengan Angga Rakasiwi, 7,
yang mengalami lima kali jahitan
di kepala, karena meniru adegan
yang sama.
Di luar negeri, kasusnya jauh lebih
sadis dan brutal. Pada 20 April
1999 di Amerika Serikat, dua siswa
Dylan Klebold, 18, dan Eric Harris, 17, melakukan penembakan
secara brutal dengan senapan
mesin pada jam belajar di Columbine High School di Littleton,
Colorado. Dengan bergaya koboy
yang disaksikannya di televisi,
kedua remaja itu memuntahkan
peluru di kantin sekolah, ruang
sekolah, koridor sekolah dan teras
depan sekolah. Akibatnya fatal,
12 siswa dan seorang guru tewas
bersimbah darah. Sedangkan 20
orang lainnya harus dirawat di
rumah sakit, karena terserempet
peluru nyasar. Lebih mengiris perasaan, kedua remaja itu kemudian
menembak dirinya sendiri hingga
tewas. Ternyata, fakta belakangan
terungkap mereka penggemar filmfilm bergenre kekerasan. (Riyanto
Rasyid, 2013)
Pesona televisi yang membius

itulah kemudian menggerakkan
sejumlah kalangan untuk melakukan berbagai langkah antisipasi terhadap efek negatif yang
dilahirkan oleh tayangan televisi.
Antisipasi itu dimulai dari penguatan perangkat hukum, pengawasan kegiatan televisi hingga
pemberdayaan pemirsa melalui
self devense (pertahanan diri)
serta pengaturan jadwal tayangan
dengan berbagai kode dan peringkat. Semua itu ditujukan untuk
meminimalisir dampak negatif
televisi. Negara melakukan fungsi
itu dengan membentuk sejumlah
undang-undang membatasi kegiatan media massa. Demikian pula
ditindak lanjuti dengan pembentukan sejumlah komisi, misalnya
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPI dikehendaki Negara harus ada
di hingga ke dearah, bahkan diharapkan peran serta masyarakat
untuk melakukan pengawasan
internal terhadap siaran televise di
rumah masing-masing.
Namun, patut disayangkan ditengah gempuran tayangan televisi
itu, ada kesan masyarakat dibiarkan berjuang sendirian. Perjuangan masyarakat itu pun hanya
sebatas, menguasai remote control
yang ada di tangan mereka. Padahal, menguasai remote control saja
tak sepenuhnya mampu mengendalikan televisi dari cengkraman
rasa ingin tahun generasi muda
yang cetek pengetahuan dan
pemahaman.
Kepala SD Inti Nusantara kota
Tebingtinggi Elvi Mailani, SPd,
MSi, dalam satu perbincangan,
mengaku masih banyak acara-acara televisi yang tak sesuai ditonton
khususnya seusia SD dan SMP.
Meski acara itu tak cocok untuk SD
dan SMP, tapi televisi justru menyiarkannya saat anak-anak dan
remaja berada dalam waktu yang
seharusnya untuk kegiatan belajar.

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

U TA M A

Lebih menyedihkan, ungkap sosok
yang pernah menjadi guru teladan
nasional itu, anak-anak dan remaja yang menonton televisi lebih
menyontoh yang negatifnya ketimbang yang positif dari apa yang dilihat di tayangan itu. Banyak kasus
terjadi yang menunjukkan kuatnya
pengaruh media terhadap remaja
dan anak-anak. Elvi Meilani, menambahkan jalan satu-satunya untuk mengurangi pengaruh negatif
televisi, melalui cara mendampingi
anak-anak menonton acara-acara
yang ada.
Namun, cara itu sendiri kurang
efektif mengingat waktu anakanak dan remaja dengan orang
tua sepanjang hari selalu berbeda.
Ketika anak-anak dan remaja
pulang sekolah, saat itu terbuka
peluang anak menonton teve
tanpa pengawasan. Saat malam
hari semua keluarga menonton
teve dan hampir tak ada kontrol di
sana. Lalu, bagaimana pula dengan trend setiap kamar di rumah
tersedia teve khusus, atau laptop
yang dijadikan teve atau melalui
teve streaming yang kini banyak
diakses remaja.
Cara lain, selain mengontrol
remote yang ada di tangan, Elivi
Meilani menyetujui agar pemerintah daerah/kota menerbitkan
peraturan daerah (Perda) yang
bisa menggerakkan orang tua memerintahkan anak-anaknya beralih
dari menonton teve. “Saya sangat
setuju jika Pemko Tebingtinggi menerbitkan Perda wajib belajar ba’da
maghrib,” tegas dosen Unimed itu.
Alasannya, jika Perda itu memang
ada, otomatis anak-anak akan
mengalami proses wajb melakukan
kegiatan belajar di awal malam,
disaat televisi menayangkan
acara di waktu prime time. “Saya
kira memang harusnya itu yang
dilakukan, agar masyarakat terbantu dalam mengurangi kegiatan
menonton anak-anak dan remaja,”

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

ujar Elvi Meilani.
Pemko Tebingtinggi, dikabarkan
dalam beberapa tahun belakangan gencar menerima saran masyarakat agar membuat
peraturan daerah yang bernuansa
pembangunan dan pengembangan nila-nilai moralitas di tengah
masyarakat. Beberapa saran dan
usul yang kerap muncul, misalnya
Perda Anti Maksiat, Perda Gemmar (Gerakan Mengaji Ba’da
Mahgrib) dan yang terakhir Perda
Jam Wajib Belajar. Namun, hingga
ketiga usulan masyarakat belum
menunjukkan tanda-tanda akan
direspon Pemko Tebingtinggi.
Kabar terakhir yang berhasil diperoleh, rencana Perda Jam Wajib
Belajar hanya direspon dengan
penerbitan peraturan wali kota soal
itu. Sementara usulan yang lain
belum terdengar tindak lanjutnya.
Dalam seminar yang digelar Badan
Sensor Film (BSF) beberapa
waktu lalu, ada usulan agar Pemko
Tebingtinggi membuat Perda Jam
Wajib Belajar. Perda itu, usul
pembicara, mewajibkan pelajar
agar belajar wajib belajar pada
jam tertentu, misalnya mulai dari
jam 19.00 hingga 21.00 atau ba’da
(sesudah) mahgrib hingga qabla
(sebelum) Isya.
Dikatakan, pembuatan Perda itu
paling tidak akan membatasi anakanak dan remaja menonton televisi
di waktu-waktu prime time. Di saat
mana, berbagai stasiun televise
berusaha menjaring sebanyakbanyaknya pemirsa untuk menyaksikan tayangan mereka. Kala itu,
merupakan waktu tepat dimana
semua sosok berkumpul bersama
di hadapan teve, karena itu waktuwkatu itu menjadi momen berharga
untuk keluarga berkumpul.
Pengajar Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sumut Dr. Faisar
Ananda Arfa, MA, saat diminta
pandangannya soal strategi
mengurangi kedekatan anak dan

generasi muda dengan teve,
mengatakan starategi penguatan
hukum dan kelembagaan bisa
dijadikan sebagai salah satu cara
mengurangi keasikan anak terhadap tontonan teve. “Tapi selain itu,
yang terpenting bagaimana ada
gerakan kultural untuk mengurangi
kecenderungan menonton,” ujar
alumni University Of California Los
Angeles (UCLA) AS itu.
Faisar menegaskan, bahwa teve di
negeri ini, sepertinya tanpa ideologi. Seharusnya para pengelola
stasiun teve harus mengacu pada
nilai-nilai Pancasila. Sayangnya,
ideologi kapitalisme sadar atau
tidak diadopsi para pemilik media
teve. Bahkan, mereka terjebak
dalam kapitalisme itu sendiri dengan semata-mata menjadikan stasiun teve sebagai sumber mencari
keuntungan pribadi dan kelompok.
Padahal, sejatinya keberadaan
stasiun teve untuk pemberdayaan
bangsa.
“Ini yang saya kira membedakan antara pemilik teve di negeri
ini dengan yang di luar negeri.
Dampaknya memang luar biasa,
sebab media teve di era postmodernisme ini memiliki peran sebagai
pengganti di semua lini kehidupan,” tegas dia. Seharusnya, ada
kesadaran para pemilik teve untuk
membawa bangsa ini bisa setara
dengan masyarakat internasional
dan bukan menjadi alat pemilik
media vis a vis masyarakat sendiri.
Pengajar program pasca sarjana
dan doktor IAIN SU itu, menambahkan akibat dari ideologi kapitalisme itu, dampak terbesar yang
dialami anak negeri adalah krisis
moral dan identitas kebangsaan.
“Karakter building bangsa ini menjadi tidak jalan , karena dirusak
oleh program televisi yang banyak
meniru budaya luar. Pemilik teve
harus menyeleksi rumah produksi
dan mereka menawarkan acara
yang bermutu,” tegas dia.

9

U TA M A

Mantan aktivis IPM di masa mudanya itu, menegaskan, media
teve kita harusnya mengikuti model media Barat, di mana mereka
yang membentuk selara pasar
dan bukan sebaliknya. Hal seperti
ini hanya bisa dilaksanakan bila
diberengi dengan tanggung jawab
moral. Harusnya, pengelola teve
sadar bahwa genera muda negeri
ini lemah dan harus diperkuat jika
tak ingin kalah dari bangsa lain.
Kesadaran nasionalisme ini lah
yang kurang dimilik pemilik stasiun teve. Bahkan, Faisar Ananda,
membenarkan jika pemiliki stasiun

teve negeri ini bisa disamakan
dengan agen spinonase negara
asing untuk penjajahan model
baru di era global.
Dia, merekomendasikan, jika
ingin melihat media teve yang
sarat dengan pesan kebaikan
tanpa harus terjebak dengan
iklan keuntungan, maka silahkan
belajar dari DAAI TV yang dikelola
oleh Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia. Belakangan Ormas
Islam terbesar negeri ini Muhammadiyah, juga telah membangun
jaringan televisi. Mudah-mudahan,
keberadaan TVMu akan jadi salah

satu media elektronik alternatif
yang sehat.
Pada akhirnya, media massa baik
cetak dan elektronik serta suara,
akan mampu menjadi pahlawan
bagi bangsa ini, jika dikelola dengan meletakkan dasar moralitas
yang baik dalam pengelolaannya.
Jika tidak, teve dan media massa
lainnya akan menjadi sumber
daya merusak bagi kebangkrutan
dan kehancuran sebuah bangsa.
Wallahu a’alam bi as shawab.
Abdu Khalik

Self Sensor Versus Kolonialisasi Media

Masih ingat dengan per-

mainan patok lele? Atau permainan congklak, alip cendong
dan engklek atau meriam bambu?
Ada banyak permainan lain yang
dulunya pernah dimainkan anakanak Jadul alias jaman dulu.di
era 1980 an ke bawah. Semua
jenis permainan anak-anak itu,
dilakukan secara individual, tapi
umumnya dilakukan secara kelompok. Biasanya, dilakukan saat libur
sekolah, atau di saat malam bulan
purnama menerangi mayapada,
ketika listrik masih mahal dan
terbatas. Saat ini kita menyebut
permainan itu sebagai permainan
tradisional.
Ketika listrik melimpah dengan
perencah alat-alat komunikasi
dan informasi bernama televisi,
internet dan handphone serta jenis
teknologi informasi lainnya sudah menjadi bagian hidup, anakanak kita pun tak lagi memainkan
permainan kelompok itu. Alat-alat
modern itu bisa dimainkan sendiri,
tak perlu teman, karena alat-alat
komunikasi itu telah menggantikan
manusia lain sebagai teman.

10

Sayangnya, televisi, internet dan
handphone tak selamanya menjadi teman baik yang membentuk
lingkungan baik, sehingga anak
terbentuk jadi manusia baik pula.
Perangkat teknologi informasi
itu, meski hanya mesin elektronik, sejatinya merupakan alat
yang dikendalikan oleh orang
atau lembaga tertentu nun jauh
di sana. Orang dan lembaga itu,
dalam kerjanya menyisipkan pula
pesan-pesan tertentu kepada anak
secara terus menerus. Pesan itu
pula selanjutnya membentuk image atau wawasan dan opini anak
terhadap dunia sekitarnya.
Semakin membuat prihatin, ketika
pesan yang membentuk image
massif itu diukur berdasarkan
standar rating penonton. Jika
penonton sebuah acara banyak,
maka itulah acara atau tayangan
yang baik. Kebaikan tayangan
televisi dan internet yang diukur
berdasarkan akses terbesar itulah,
selanjutnya menimbulkan anomali
besar-besaran dalam bentuk yang
halus dan kadang sukar dirasakan, membentuk perilaku, kesa-

daran dan kultur individu maupun
komunitas. Terlihat ada terkatakan
tidak, begitulah kira-kira.
Para filosof era postmodernism
menyebutkan cara-cara ini sebagai bentuk hegemoni. Berupa
kuasa kata-kata yang merasuki
pikiran dan perasaan massa melalui simbol-simbol berupa kata dan
kalimat serta gambar. Melalui kuasa hegemoni ini pula, massa atau
publik bisa dikendalikan sesuai
keinginan si pencipta simbol tanpa
ada perasaan dipaksa, tapi justru atas dasar ‘kesadaran’. Para
kritikus postmodernism kemudian
menyebutkan kuasa hegemoni
sebagai kolonialisme bentuk
baru, dengan pemeran utamanya
adalah media massa, khsususnya
televisi, internet dan handphone.
Kuasa hegemoni ini, menjadi
salah satu kekuatan penting dalam
peradaban global. Sebabnya, hanya dalam hitungan detik sebuah
peristiwa di belahan terjauh dunia
ini, bisa diakses public secara
terbuka di belahan dunia terjauh
lainnya. Misalnya, peristiwa ‘Arab
Spring’ berupa revolusi

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

U TA M A

terhadap kekuasaan politik di
jazirah Arab, mulai dari Tunisia,
Mesir hingga Libya, dengan mudah
diketahui oleh publik di Indonesia,
Jepang, bahkan Brazil dan Argentina di seberang lautan Pasifik
sana. Tapi siapa bisa mengira,
betapa informasi yang disampaikan
itu, substansinya ,memiliki muatan
ideologi tertentu. Ideologi itu sesuai
dengan ideologi si pemilik media.
Artinya, media massa itu tak lepas
dari pemihakan pada ideologi.
Jika yang melaporkan sebuah
peristiwa, adalah media semacam
Reuter, Asociated Press (AP) atau
BBC, maka oreintasinya adalah
kapitalisme liberal. Sebaliknya,
jika yang melaporkan peristiwa itu
adalah kantor berita resmi RRC
Xinhua, bisa dipahami akan berorientasi sosialis kerakyatan. Saat
ini, karena media massa umumnya
dikendalikan oleh media-media
Barat dan AS, maka warna kapitalisme liberal melanda sebagian
besar kalau tak seluruh muka bumi
ini. Ringkasnya, dunia kini menjadi
Barat atau kebarat-baratan.
Lalu, jika kita tak ingin terombang
ambing antara kuasa hegemoni
media massa yang saling berseberangan itu, harus dikembangkan sebuah metode penyaringan
terhadap isi media massa, sesuai
kepentingan kita sebagai konsumen media. Self sensor (atau
penyaringan pribadi)
terhadap tayangan media, saat ini

dikembangkan berbagai kalangan.
Upaya ini dilakukan, agar diri tidak
terkontaminasi dengan berbagai
tayangan yang sarat dengan pesan
ideologi. Padahal, banyak substansi tayangan media tidak sesuai
dengan way of live individu, komunitas maupun bangsa/negara.
‘Kendalikan remote control yang
ada di tangan kita’. Inilah pesan
terpenting yang harus dijabarkan
secara sadar dalam kehidupan keluarga, komunitas maupun bangsa
dan negara. Ketika media massa
semakin bebas tak terkendali, hasil
dari sebuah tekanan ideologi yang
kuat atas yang lemah.
Hal lain dari self sensor ini, adalah
kemampuan individu untuk melakukan komparasi (perbandingan) atas
setiap informasi yang datang. Komparasi itu bisa dilakukan antar satu
media dengan media lainnya, yang
corak ideologinya berbeda. Contoh
sederhana, membandingkan antara laporan Waspada dengan Sinar
Indonesia Baru (SIB) dan Analisa.
Ketiga media ini memiliki ideologi
dan paham berbeda dan mereka
akan melaporkan informasinya
juga sesuai ideologinya, terhadap
suatu peristiwa. Dengan metode
komparasi, kita tidak akan mudah
terjustifikasi kemudian memvonis
sebuah peristiwa berdasarkan apa
yang kita baca. Singkat kata, agar
tak mudah percaya begitu saja,
maka lakukanlah perbandingan
terhadap sebuah peristiwa dari ber-

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

bagai media massa. Lalu lakukan
analisis isi, baru berikan kesimpulan atas sebuah peristiwa. Itulah
cara relatif adil ditengah ‘perang’
ideologi yang berkecamuk di berbagai media massa.
Sedangkan buat anak-anak dan
remaja yang mulai ‘gila’ dengan
media televisi, internet dan handphone, maka tak ada cara lebih
efektif menjaga mereka dari serbuan media, terkecuali meluangkan waktu mendampingi mereka
saar menonton perangkat informasi
itu. Jangan biarkan mereka menila
sendiri tayangan-tayangan yang
ditonton dengan ukuran mereka,
karena itu akan sangat berbahaya.
Pada akhirnya, khalayak harus
sadar bahwa era global ini merupakan era lanjutan ‘perang dingin’
antara blok Barat dan Timur pasca
PD II beberapa puluhan tahun lalu.
Kini tak ada darah yang tertumpah
dalam perang itu, karena yang
mereka perebutkan adalah pikiran,
perasaan dan wawasan atau cara
pandang kita terhadap sesuatu.
Dalam artian, kita hanya disuguhkan dua pilihan menerima atau
menolak apa yang mereka sampaikan. Tak lebih dari itu. Sampai titik
ketika kesadaran manusiawi kita
mereka rebut, maka akan sangat
mudah merebut sumber daya alam
kita. Begitulah kira-kira.
Abdul Khalik

11

U TA M A

Ketika Televisi Menjadi
Orang Tua Ketiga
Ada du a fakta te lev is i yang tidak dipe r debatk an la gi. Pe r tama , te lev is i me r upak an faktor pe r us ak dan
pe nghancur di s eba gian be s ar pr ogr am a car anya . Ke du a , te lev is i me r upak an faktor pe mbangun di bebe r apa
pr ogr am, namun ini s angat minim. I tu lah opini par a ibu di bebe r apa ne gar a yang me nj aw ab angket pe ndukung
pe nu lis an buku ini. Saya me ne muk an 8 5 % par a ibu be r pe ndapat bahw a te lev is i me r upak an faktor ne gatif

yang memengaruhi pendidikan anak.
Mereka mengatakan bahwa televisi
sangat berbahaya, bahayanya melebihi
menfaatnya, perusak perilaku anak,
dan penyebab munculnya problematika
anak. Sementara itu, para ibu yang
lainnya berpendapat bahwa televisi
merupakan suatu kebutuhan, namun
penggunaannya harus dengan beberapa persyaratan tertentu. Disini, kita
membahas bahaya televisi karena kita
sedang membahas televisi sebagai
pengaruh negatif dalam pendidikan
anak.
Bahaya Televisi terhadap Anak
Selama menelaah buku-buku yang berbicara seputar pengrah televisi terhadap
anak, saya menemukan banyak penelitian yang menjelaskan bahaya televisi
yang diklasifikasikan dalam beberapa
bagian, diantaranya: bahaya dari sisi
keberagaman anak, bahaya dari sisi
perilaku anak, bahaya dari sisi kesehatan, dan bahaya dari sisi kemasyarakatan. Berikut ini beberapa bahaya yang
paling tampak.
Televisi dan Agama
Tidak sedikit program televisi yang
menyuguhkan acara anak yang merupakan hasil impor dari negara-negara
Barat, yang dapat merusak fitrah keimanan anak kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Terlebih lagi, ada program
acara anak yang menceritakan adanya
tuhan dengan nama tertentu, seperti
bernama “Tuhan” Zella (Godzila) sang

12

penyelamat manusia dari kejahatan.
Ada cerita tentang peperangan di luar
angkasa; menggambarkan adanya musuh manusia di planet lain yang dapat
menghancurkan bumi. Acara tersebut
menggambarkan alam semesta dan kehidupan seakan-akan sebuah dongeng,
jauh dari gambaran islami tentang alam
semesta, kehidupan, dan manusia. Kebanyakan program acara tersebut menceritakan tentang alam semesta yang
besar tanpa ada kendali dari kekuasaan
Allah subhanahu wa ta’ala.
Acara ini justru menceritakan bahwa
alam semesta ini dikendalikan oleh dua
kekuatan: kekuatan jahat dan kekuatan
bagi yang saling berebut kekuasaan,
padahal sebenarnya hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang kuasa mengatur
dan mengendalikan segala sesuatu di
alam semesta ini. Contoh (buruk yang
bertentangan dengan prinsip keimanan
ini adalah) film yang menggambarkan
akal di sentral alam semesta ini dan
akal itulah sumber peraturan alam
semesta ini
Bila kita perhatikan program acara
tersebut, kita dapat menemukan bahwa
sebagian besar acara anak itu tidak
sesuai dengan ajaran agama kita. Contohnya, acara anak “Hai Simsim, bukalah!” Acara ini merupakan terjemahan
dari film Amerika. Meskipun program
acara ini lebih sedikit efek negatifnya
bagi anak, tetapi memiliki beberapa
unsur negatif. Akibat pengaruh negatif
program acara anak ini, salah seorang
anak yang menonton acara tersebut
bersujud kepada boneka agar mengab-

ulkan semua permintaannya!
Televisi dan Perilaku Anak
Secara umum, televisi dapat membuat
anak –dengan menyempatkan diri
untuk menontonnya- berkepribadian
negatif, menyebabkan anak menjadi
bodoh, kurang peduli, kurang peka, dan
dapat menyebabkan anak melakukan
tindak anarkis, jauh dari sifat kasih saying.
Anak menjadi korban iklan perdagangan yang acapkali mengandung normanorma negatif bagi para pemirsanya,
seperti sifat tamak, mubadzir, saling
membanggakan diri, tidak peduli suka
menguasai, bertindak anarkis, dan
berusaha untuk menarik perhatian
lawan jenis. Banyak iklan yang menayangkan orang telanjang, padahal
iklan seperti ini mendapatkan kritik
di negara-negara Barat sendiri![4]
Terlebih lagi iklan-iklan seperti itu
menarik simpati anak untuk membeli
produk yang terkadang berbahaya
bagi kesehatan anak!.
Penayangan informasi internasional
maupun nasional tentang para artis
dan atlet sebagai bintang dan pahlawan, hal ini dapat mendorong anak
untuk mengagumi dan mengidolakan
mereka dan tidak mengetahui para
bintang dan pahlawan sebenarnya,
orang-orang yang terkemuka dalam
sejarah, ilmu pengetahuan, dan
perjuangan, khususnya di negerinya
sendiri, juga dalam sejarah Islam.

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

U TA M A

Para dokter ahli menilai bahwa
televisi merupakan sumber bahaya
bagi perilaku anak yang memiliki
kecenderungan seksual. Televisi juga
berperan sebagai pembangkit diri
naluri seksual pada anak.
Televisi dapat mencetuskan sifat
anarkis (kekerasan) pada jiwa anak
atau menambah kenakalan anak.
Ada penelitian yang menjelaskan
bahwa 70% orang tua mencela
tindakan anarkis anak yang disebabkan oleh cerita-cerita dan tayangan
kriminal secara brutal di televisi atau
disiarkan di radio. Tayangan tentang
tindakan kriminal dan brutal tersebut
mendorong anak yang tidak memiliki kecenderungan bersikap anarkis
untuk mencoba dan menirunya, juga
dapat menambah kenakalan pada
anak yang memiliki kecenderungan
sikap anarkis.Anak yang sering
menonton acara televisi yang mengandung unsur tindakan anarkis,
kecenderngannya untuk bertingkah
nakal menjadi lebih tinggi daripada
anak yang tidak menontonnya.
Televisi dan Bahaya Kesehatan
Anak
Duduk dalam waktu lama di depan
televisi dapat menyebabkan bahaya
di punggung, sama seperti bahayanya membawa barang berat.
Berlebihan dalam mengisi muatan
informasi pada susunan saraf anak
dengan kondisi cahaya yang menyilaukan akan menyebabkan anak
mengidap penyakit yang dikenal
dengan sebutan epilepsi televisi.
Penyakit itu akan menjadi bertambah
parah bila anak masih sangat kecil!
Televisi dapat mempersempit waktu
anak untuk bermain, khususnya
permainan yang melatih kemampuan
daya kreativitas, dan mempersingkat
waktu tidur anak.[13] Juga berdampak negatif bagi indera penden-

garan dan penglihatan anak.[14]
Menurut kesehatan, anak kecil di
bawah usia dua tahun sangat berbahay menonton televisi.
Bahaya Televisi terhadap Daya
Berpikir Anak
Sebagian besar acara televisi untuk anak-termasuk acara program
pendidikan-tidak mampu mengembangkan potensi kecerdasan anak
karena mayoritas acara tersebut
menyuguhkan jawabab/solusi praktis.
Hal ini melemahkan potensi anak
untuk berpikir.
Televisi dan Keluarga
Televisi dapat menjauhkan hubungan
di antara individu keluarga. Sebagian
keluarga ada yang tidak berkumpul
bersama kecuali ketika menonton sinetron dan film. Kebersamaan seperti
ini tidak mengandung unsur interaksi
antarindividunya, juga membuat
anak tidak leluasa dalam berbuat
dan bersikap dengan kedua oran tua
tercinta.
Prinsip-prinsip yang Ditawarkan
untuk Menjauhkan Anak dari Bahaya Televisi
Jauhkan mengizinkan anak menonton televisi lebih dari satu jam per
hari. Adapun anak yan masih menyusui ASI (anak di bawah usia dua
tahun), dokter menyarankan agar
ketika menyusui, ibu tidak memposisikan anak berhadapan dengan
televisi karena pertumbuhan fungsi
otak anak masih belum sempurna.[
Jadikanlah apa yang ditonton anak
sebagai kesempatan bagi orang tua
untuk menajarkannya; perbuatan
mana yang benar dan yang salah.
Berikanlah kepada anak kegiatan sosial di dalam atau di luar rumah dan
berikanlah hiburan pengganti.

Penting sekali bagi orang tua untuk
memberikan contoh kepada anak supaya tidak menonton program acara
televisi yang tidak bermanfaat dan
bertentangan dengan agama.
Janganlah menggunakan televisi sebagai alat untuk menenangkan anak,
atau untuk memberikan ganjaran
atau hukuman. Menurut persaksian
para ibu-yang turut menjawab angket
yang disebarkan- ada di antara
mereka yang menjadika tontonan televisi sebagai cara untuk memberikan
ganjaran atau hukuman bagi anak!
Tanamkanlah pada diri anak untuk
menghargai waktu melalui ucapan
dan praktik agar anak tidak menghabiskan waktu di depan televisi.
Pastikanlah anak meminta izin
terlebih dahulu sebelum menghidupkan televisi, tentunya setelah
orang tua membatasi program acara
televisi apa saja yang boleh ditonton
anak dan menentukan waktu untuk
menonton; selama tidak lebih dari
satu jam. Yang terpenting lagi, biasakanlah anak menonton televisi sambil
duduk.
Berikanlah hadiah per minggu bagi
anggota keluarga yang paling jarang
menonton televisi dalam seminggu.
Hendaknya memperhatikan syaratsyarat kesehatan dalam menonton
televisi, seperti minimal jarak antara
televisi dan penonton sejauh enam
kaki (l.k. dua meter), layar TV sejajar
dengan pandangan mata atau di
bawahnya, dan ruang tempat menonton haru terang untuk menetralisasi
cahaya yang memancar dari layar
televisi.
Oleh : Hidayatullah binti Ahmad,
www.eramuslim.com
(Disadur oleh Abdul Khalik)

13

PENDIDIKAN

Kita Perlu Hari Bahasa Indonesia
Oleh : Mihar Harahap
Hari Puisi Indonesia ( HPI ) pada 15 November 2012 di Pekan Baru
sudah didek-larasikan Sutadji Calzoum Bachri dan kawan-kawan dari berbagai
daerah. Acara itu dihadiri Gubernur Riau, Rusli Zainal.Tak lama, pada 24 Maret
2013 di Bukit Tinggi dimaklu- matkan pula Hari Sastra Indonesia ( HSI ) atas
prakarsa Taufiq Ismail dan kawan-kawan, diantaranya turut menghadiri HPI.
Acara ini disahkan Wamendibud, Wiendu Nuryanti. Sementara itu, Wowok Hesti
Prabowo, juga mendeklarasikan HSI di Solo.
Mungkin seniman tari, musik,
teater, lukis, ukir dan multi media
tak mau tinggal. Mereka bergabung untuk mendeklarasikan Hari
Kesenian Indonesia (HKI). Belum
lagi budayawan di daerah-daerah, pun mendeklarasikan Hari Kebudayaan Indonesia (HAKI) agar
bisa menampung semua cabang
kesenian, termasuk sastra. Lalu,
kita mengusulkan pendeklarasian
Hari Bahasa Indonesia ( HBI )
yang pasti diperlukan negara dan
bangsa Indonesia, apalagi para
sastrawan, seniman atau budayawan tersebut.
Terus terang, banyak
hal prinsip perlu diperdebatkan
terkait deklarasi-deklarasian ini.
Pertama, mengapa HPI dan
HSI dideklarasikan di kota kecil,
tidak di Jakarta, Suraba- ya atau
Medan sebagai kota terbesar di
Indonesia? Sebab, persoalan
tempat menjadi sig-nifikan bila
ingin mendeklarasikan sesuatu
atas nama Indonesia dalam era
reformasi ini. Kita merasa kota

14

kecil bukanlah lokasi ideal. Meski
Bukit Tinggi memiliki nilai sejarah,
tetapi tidaklah serta-merta dapat
dijadikan alasan pembenaran
pemilihan tempat.
Kedua, apakah peserta sudah
mewakili daerahnya? Apakah
korum peserta sudah mewakili
Indonesia? Kalau belum, berarti
deklarasi dianggap gagal,ditunda.
Terbukti, pe- serta tidak mewakili
seluruh provinsi, kabupaten, kota
di Indonesia. Malah lebih banyak Jakarta dan orang setempat,
sedangkan beberapa provinsi/
kabupaten/kota lainnya hanya
seorang-seorang saja. Anehnya,
tanpa perhitungan, kabarnya
maklumat itu telah disahkan Wamendikbud. Akibatnya, muncullah
berbagai tanggapan daerah yang
menolak.
Ketiga, apa konsep dasar,
latar pemikiran, sehingga kelahiran Abdoel Moeis dite-tapkan
sebagai tanggal dan bulan HSI?
Kalau tak berhasil menemukan
tanggal terbit per-tama Balai

Pustaka ( BP ), lalu mengapa
berani-beraninya panitia kecil
menetapkan tang-gal dan bulan
kelahiran Abdoel Moeis. Bukankah hal ini berarti bahwa HSI
gagasan Tau-fiq yang sudah disahkan itu, telah gagal meletakkan
dasar pemikirannya. Jadi, bukan
BP, melainkan entah apa, terlalu
dipaksakan, padahal penelitiannya belum selesai.
Keempat, lain halnya
deklarasi HPI gagasan Sutardji.
Latarnya jelas, Sumpah Pe-muda
( SP ). Contoh bait 1 : “Indonesia
dilahirkan oleh puisi yang ditulis
secara bersama-sama oleh para
pemuda dari berbagai wilayah
tanah air. Puisi pendek itu adalah
Sumpah Pemuda. Ia memberi
dampak yang panjang dan luas
bagi imajinasi dan kesadaran
rakyat nusantara. Sejak itu pula
sastrawan dari berbagai daerah
menulis dalam bahasa Indonesia,
mengantarkan bangsa Indonesia
meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.”

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

PENDIDIKAN

Ada 3 hal yang dikemukakan bait
ini. Satu, SP adalah puisi yang ditulis bersama- sama. Dua, SP berdampak positif terhadap imajinasi
bangsa Indonesia. Tiga, SP merupa- kan momentum sastrawan
menulis dalam bahasa Indonesia.
Kesan kita, bahwa bahasa Indonesia adalah komitmen bangsa
dan tanah air yang telah menyejarah, memersatukan dan mestinya
kita konsisten. Cuma, pernyataan
SP itu puisi, menyentakkan kita,
sebab tak terpikirkan sebelumnya.
Barangkali Teks Proklamasi juga
puisi.
Jika demikian, lalu mengapa tidak tanggal 28 Oktober 1928
dijadikan sebagai HPI atau kelahiran Muhammad Yamin, sastrawan
yang justru banyak terlibat dalam
SP? Ter-masuk Amir Hamzah.
Mengapa mencatut nama Chairil
Anwar yang baru anak kemarin
dalam sejarah SP?. Bukankah Muhammad Yamin dan Amir Hamzah
banyak berjasa ter- hadap bahasa
Indonesia ketika itu. Adapun Chairil
Anwar adalah menjelang dideklarasi- kannya kemerdekaan negara
dan bangsa Indonesia pada 17
Agustus 1945.
Jadi, kalau SP dijadikan
landasan dasar ideal HPI bahkan
dinyatakan puisi karya bersama,
maka logikanya hari lahir SP,
mestinya dijadikan sebagai HPI.
Atau kelahiran Muhammad Yamin
ataupun Amir Hamzah. Itu baru
namanya konsisten kepada SP
seper- ti komitmen para pendahulu. Karena itu, kita setuju latarnya
SP, tetapi bukan HPI, juga H SI,
melainkan HBI. Sebab bahasa
Indonesia adalah bahasa negara,
bahasa bangsa, bahasa sastra/
seni/budaya, bahasa kebanggaan
dan bahasa identitas orang Indonsia.
Kelima, Sutardji Calzoum
Bachri deklarasikan HPI mengacu
kelahiran Chairil An war karena

Chairil konsisten pada SP. Taufiq
Ismail deklarasikan HSI mengacu
kelahiran Abdoel Moies karena Abdoel konsisten terhadap perjuangan bangsa, pahlawan nasional
dan karyanya sangat monumental.
Wowok Hesti Prabowo deklarasikan HSI mengacu ke- lahiran
Pramoedya Ananta Toer. Alasan,
karena Pramoedya nominator
pemenang hadiah nobel sastra
dan karyanya mengandung semangat kebangsaan. Siapa lagi?
Tampak, ketiga deklarasi
ini tak sama dalam memandang
para tokoh sastra untuk ditetapkan sebagai hari kelahiran puisi
atau sastra Indonesia. Belum
lagi daerah lain, me- munculkan
nama-nama semisal Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi, Merari Siregar
dan sebagainya. Atau memilih
salah satu nama tokoh diantara
ketiga deklarasi tersebut. Akan
tetapi, bagaimana pula dengan
seniman dan budayawan lain yang
juga akan mengajukan namanama tokoh, termasuk nama-nama
harinya. Karena itu, buatlah lebih
umum.
Yang umum, kita usulkan
HBI. Dasar pemikiran SP, satu
tanah air, satu
bangsa dan satu
bahasa yakni Indonesia yang bersifat
satu kesatuan.
Tanggal dan bulan
HBI, 1). 28 Oktober 1928 atau 2).
bila diambil dari
kelahiran tokoh SP
adalah Muhammad Yamin ataupun Amir Hamzah.
Kedua nama ini
tak diragukan lagi,
tokoh sastra, tokoh
organisasi pemuda dan pahlawan nasional.

Sayang,betapa tragis kematian
Amir. Ia dibunuh, dipeng- gal
batang lehernya oleh algojo, karena dendam masyarakat terhadap
Sultan Langkat.
Tempat deklarasi boleh
pilih antara Jakarta, Surabaya atau
Medan. Pelaksana seharusnya
pemerintah pusat (Mendikbud dan
jajaran terkait) dengan mengundang utusan tiap provinsi.Utusan itu, merupakan pilihan guburnur atas usul bupati atau walikota
yang terdiri dari bahasawan, sastrawan, seniman, budayawan, perguruan tinggi dan lembaga, baik
negeri maupun swasta.Deklarasi
termaktub dalam lembaran negara,
disosialisasikan, diperingati oleh
presiden dan dirayakan seluruh
masyarakat Indonesia. Semoga.
(Penulis adalah Kritikus Sastra Indonesia, Pembina
Omong-Omong Sastra Sumut,
Pemred Majalah/Pengawas
Yayasan/Dosen di lingkungan
UISU dan Reporter Tamu Ma-jalah
Sinergi Pemko Tebing Tinggi)

Gambar Ilustrasi

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

15

E KO N O M I

Keterangan gambar :
SIDAK “Walikota Tebingtinggi Ir H Umar Zunaidi Hasibuan didampingi Kadis Kouperindag HM Yunus Matondang terlihat
berkomunikasi dengan para pedagang Pasar Tradisional Gambir Kota Tebingtinggi. dia meminta agar pengelolaan pasar
dilakukan dengan baik”.

Tinjau Pasar Tradisional
Pasar Tradisional Harus Dikelola Dengan Baik
Walikota Tebingtinggi Ir H Umar
Zunaidi Hasibuan di dampingi
Sekdako Johan Samose Harahap,
Kadis Kouperindag HM Yunus
Matondang SE dan sejumlah
pimpinan SKPD terkait melakukan
peninjauan mendadak terhadap
pengelolaan pasar tradisional di
kota itu, Senin sore (6/1). Dia meminta agar pasar-pasar tradisional
yang rusak segera diperbaiki, parit
tersumbat sampah dibersihkan
dan penataan pedagang agar tidak
berjualanan di badan jalan.
Dalam sidak tersebut, Walikota
Umar Zunaidi Hasibuan sempat
menegur Kadis Pertamanan dan
Kebersihan Kota Tebingtinggi, Hj
Rusmiaty Harahap ketika meninjau

16

Pasar Gambir di Jalan Iskandar
Muda, sebab terlihat parit-parit
dibawah lapak pedagang banyak
tumpukan sampah didalamnya,
karena apabila hal ini dibiarkan
berlarut, maka akan gampang banjir jika hujan turun.
Bukan itu saja, Walikota juga memanggil Kadis Pendapatan Daerah
Kota Tebingtinggi yang membawai
pasar, Jeffry Sembiring dan Kadis
Pekerjaan Umum (PU) Kota
Tebingtinggi, Muhammad Nurdin
agar segera memperbaiki pasarpasar yang sudah rusak dan paritparit yang tidak berfungsi karena
banyaknya tumpukan sampah.
Sebelumnya Walikota Tebingtinggi
meninjau Pasar Inpres dan Pasar
Kain Bunga di Jalan Haryono MT

Kota Tebingtinggi untuk melihat
secara langsung aktivitas pasar
dan apa keluhan pedagang, terkait
perbaikan pasar nantinya, para
pedagang meminta agar perbaikan
tersebut tidak secara global melainkan perbaikan secara bertahap
mulai dari blok ke blok.
“Setelah memperbaiki bangunan
pasar tradisional, pengelola pasar
juga harus memperhatikan kebutuhan air dan listrik, agar tidak
terjadi korsleting sehingga bisa
menyebabkan kebakaran, maka
kondisi pasar harus tertata dengan
baik,” pinta Walikota Tebing Tinggi
Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan,
MM**.
Dian

S I N E R G I JA N UA R I 2 0 1 4

K E S E H ATA N

Mulai Januari 2014,

Jamyankes Akan Dinikmati 48 % Warga Miskin
Kota Tebing Tinggi
Terhitung mulai bulan Januari
2014, jaminan pelayanan kesehatan (Jamyankes) pada tahap
awal akan dinikmati sekitar 48
persen warga kepesertaan
Jamkesmas dan Jamkesda
untuk rakyat miskin yang ada di
Kota Tebingtinggi.

dirasakan secara nyata oleh seluruh
rakyat Indonesia. “Saya tidak ingin
mendengar ada pekerja yang tidak
terlindungi, dan saya juga tidak mau
mendengar ada laporan bahwa ada
masyarakat kurang mampu yang ditolak oleh rumah sakit dan tidak bisa
berobat karena lasan biaya”, tegas
Umar Zunaidi Hasibuan.

Hal itu disampaikan Walikota
Tebingtinggi Ir H Umar Zunaidi
Hasibuan MM pada Sosialisasi
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
Pekerja Harian Lepas (PHL) Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota
Tebingtinggi, Rabu (8/1) di halaman
kantor DKP Jalan Gunung Leuser
Kota Tebingtinggi.

Menyahuti kehadiran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang
diluncurkan pemerintah mulai Januari
2014 ini, Pemko Tebingtinggi melalui
Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Tebingtinggi tahun anggaran
2014 mengalokasikan anggaran untuk BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan dengan jumlah pekerja harian
lepas (PHL) sebanyak 270 ora