BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Stroke - Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Stroke

  2.1.1 Definisi Stroke merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu gangguan neurologis yang disebabkan terputusnya aliran darah ke sebagian otak (Black & Hawks, 2009). Smeltzer dan Bare (2008) mendefinisikan stroke/ Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/ Cerebro Vascular Disease (CVD),

  

Cerebro Vascular Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang

  diakibatkan oleh berhentinya suplai darah sebagian otak Sedangkan menurut Ginsberg (2007), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat.

  Istilah Cerebro Vascular Disease (CVD) menunjukkan setiap kelainan serebral yang disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral yang disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral seperti sumbatan pada lumen pembuluh darah otak oleh trombus atau embolus, pecahnya pembuluh darah serebri, lesi atau perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas atau perubahan lain pada kualitas darah yang menyebabkan pasokan oksigen dan nutrisi ke serebral terhambat (Mokhtar, 2009 dan Standford Stroke Center, 2009).

  Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga paling sering di Amerika Serikat, disamping kanker dan penyakit jantung. Lebih dari 275.000 orang meninggal karena stroke (Lewis, et al, 2011). Stroke merupakan penyebab utama ketidakmampuan/kecacatan pada orang dewasa dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Lebih dari 4 juta penderita stroke hidup dalam derajat ketidakmampuan di Amerika Serikat. Dari penderita stroke tersebut, 31% membutuhkan bantuan dalam perawatan diri, 20% membutuhkan bantuan dalam hal ambulasi, 71% mengalami beberapa kerusakan dalam kemampuan bicara bahkan sampai 7 tahun setelah terkena stroke, dan 16% membutuhkan perawatan institusional (Black & Hawks, 2009).

  2.1.2 Klasifikasi Stroke Price dan Wilson (2006) mengklasifikasikan stroke berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, yaitu:

1. Stroke Iskemia Iskemia serebrum ini menduduki 80-85% dari seluruh kasus stroke.

  Penyakit serbrovaskular iskemia ini dibagi menjadi dua kategori besar yaitu oklusi trombolitik dan oklusi embolitik. Penyebab pasti stroke iskemia masih belum dapat ditentukan dengan pasti. Lima belas persen stroke iskemia disebabkan oleh stroke lakunar. Iskemia serebrum disebabkan karena berkurangnya aliran darah ke otak yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit, dimana bila terjadi lebih dari beberapa menit akan terjadi infark pada jaringan otak Price dan Wilson (2006).

  Lewis et al (2011) menyatakan bahwa stroke iskemik dihasilkan dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak yang disebabkan adanya sumbatan sebagian atau total pembuluh darah arteri. Transient Ischemic Attack (TIA) biasanya prekursor terjadinya stroke iskemik. Berdasarkan penyebab dan patofisiologi terjadinya, stroke iskemik dapat dibagi menjadi: Transient Ischemic Attack (TIA), Thrombotic Stroke, A Lacunar Stroke, dan Embolic Stroke (Lewis et al, 2011).

2. Stroke Hemoragik

  Stroke hemoragik menduduki 15-20% dari semua kasus stroke. Pendarahan intrakranium ini dapat terjadi di jaringan otak itu sendiri (parenkim), ruang subarachnoid, subdural atau epidural. Stroke jenis ini disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadian berlangsung saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi 2 yaitu: a.

  Perdarahan Intraserebral Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisme) terutama karena hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebelum.

  b.

  Perdarahan Subarachnoid Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisme berry atau arterivenous

  

malvormation (AVM). Aneurisma yang pecah ini berasalh dari pembuluh darah

  sirkulasi willis dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono, 1993). Pecahnya arteri dan keluar ke ruang subarachnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyaeri dan vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia, dll). Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarachnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda- tanda rangsangan selaput otak lainnya.

  Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan

  subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid

  dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya pada hari kelima sampai kesembilan, dan dapat menghilang setelah minggu kedua sampai kelima. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan- bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serbrospinalos dengan pembuluh arteri di ruang subarachnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kerusakan dan kekurangan aliran darah otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.

  Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak (Price & Wilson, 2006).

  2.1.3 Faktor Risiko Stroke Lewis, et al (2011) membagi faktor resiko stroke menjadi dua bagian yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, riwayat keluarga, jenis kelamin, dan ras. Usia sangat berperan dalam resiko peningkatan penyakit stroke, yaitu pada usia 55 tahun ke atas. Prevalensi kejadian stroke pada pria dan wanita hampir sama, hanya saja wanita lebih banyak meninggal akibat stroke dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih rendah dalam bertahan hidup. Ras African American mempunyai insiden tertinggi dari stroke dan kejadian meninggal lebih tinggi dibandingkan berkulit putih.

  Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, kadar kolesterol dan lemak darah, diabetes mellitus, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, penggunaan kontrasepsi hormonal, dan obesitas. Faktor resiko yang dapat diubah ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, sehingga sangat diperlukan kerjasama keluarga dalam perubahan gaya hidup ke arah yang lebih sehat.

2.1.4 Manifestasi Klinis

  Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologis yang bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang terkena), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Beberapa defisit neurologis yang dapat ditimbulkan akibat stroke yaitu defisit motorik, defisit sensori, defisit perceptual, kerusakan bahasa dan komunikasi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, disfungsi aktifitas mental dan psikologik, dan gangguan eliminasi.

  Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan control volenteer terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh), dan hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh). Defisit motorik yang lainnya adalah disatria (kerusakan otot-otot bicara) dan disfagia (kerusakan otot-otot menelan) (Smeltzer & Bare 2002). Lewis et al (2011) menyebutkan bahwa defisit motorik pada stroke adalah efek yang paling sering ditemukan. Defisi motorik meliputi kerusakan (1) mobilitas, (2) fungsi respirasi, (3) menelan dan berbicara, (4) reflex gag, (5) ketidakmampuan self-care.

  Defisit sensori pada pasien stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan audiotorius (Smeltzer & Bare, 2008). Defisit visual umum terjadi karena jaras visual terpotong sebagian besar pada hemisfer serebri. Defisit visual ini terdiri dari hemianopsia homonimosa (kehilangan pandangan pada setengah bidang pandang pada sisi yang sama), diplopia (penglihatan ganda), serta penurunan ketajaman penglihatan. Defisit sensori yang lain yaitu hilangnya respon terhadap sensasi superfisial (sentuhan, nyeri, tekanan, panas dan dingin) dan tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap proprioresepsi (pengetahuan tentang posisi bagian tubuh).

  Defisit perseptual (gangguan dalam merasakan dengan tepat dan menginterpretasi diri dan/ atau lingkungan) juga dapat terjadi pada penderita stroke. Defisit perseptual ini terdiri dari gangguan skem/maksud tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap ektremitas yang mengalami paralisis; kelainan unilateral), disorientasi (waktu, tempat, orang), apraksia (kehilangan kemampuan untuk menggunakan objek dengan tepat) dan agnosia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi lingkungan melalui indera). Selain itu juga dapat terjadi kelainan dalam menemukan letak objek dalam ruang, memperkirakan ukurannya dan menilai jauhnya, kerusakan memori untuk mengingat letak spasial objek atau tempat, serta disorientasi kanan kiri (Smeltzer & Bare, 2008).

  Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Defisit bahasa dan kemunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut yaitu afasia ekspresif, berupa kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara yang dapat dipahami. Pada afasia ekspresif, pasien stroke dapat berbicara dengan menggunakan respons satu kata. Afasia reseptif yaitu kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan. Pada afasia jenis ini, pasien stroke mampu untuk berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar tentang kesalahan ini. Afasia global adalah kombinasi afasia ekspresif dan reseptif, dimana pasien stroke tidak mampu berkomunikasi pada setiap tingkat. Aleksia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk mengerti kata yang dituliskan. Sedangkan agrafasia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan (Smeltzer & Bare, 2002).

  Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik pada pasien stroke muncul bila terjadi kerusakan pada lobus frontal serebrum. Disfungsi dapat ditujukan dengan lapang perhatian yang terbatas, peningkatan distraksibilitas (mudah buyar), kesulitan dalam pemahaman, kehilangan memori (mudah lupa), ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara abstrak, ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi yang lain, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien mengalami rasa frustasi dalam program rehabilitasi yang dilakukan (Smeltzer & Bare, 2008).

  Disfungsi aktifitas mental dan psikologik yang umumnya terjadi pada pasien stroke, biasanya dimanifestasikan dengan labilitas emosional yang menunjukkan reaksi dengan mudah atau ridak tepat. Selain itu, biasanya pasien stroke menunjukkan kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial, penurunan toleransi terhadap stres, rasa ketakutan, pemusuhan, frustasi, dan mudah marah. Pada tahap lanjut dapat terjadi kekacauan mental, menarik diri, isolasi dan depresi (Smeltzer & Bare, 2008).

  Disfungsi kandung kemih biasanya dimanifestasikan dengan inkontinesia urinarius yang biasanya terjadi sementara. Hal ini terjadi karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Lesi unilateral karena stroke mengakibatkan sensasi dan kontrol parsial kandung kemih, sehingga klien sering mengalami dorongan/rasa ingin berkemih dan inkontinensia urine. Jika lesi ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan lateral yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih kehilangan semua kontrol miksinya. Sedangkan kerusakan fungsi usus biasanya diakibatkan karena penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi atau immobilisasi. Hal ini biasanya menimbulkan masalah konstipasi dan pengerasan feses pada pasien stroke. Inkontinensia urine dan alvi yang berkelanjutan menunjukkan kerusakan neurologi luas (Smeltzer & Bare, 2008).

  Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala yang digunakan yaitu Skala Kecacatan Stroke (The Modified Rankin Scale): 1.

  Kecacatan derajat 0 Tidak ada gangguan fungsi 2. Kecacatan derajat 1

  Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.

3. Kecacatan derajat 2 (Slight disability)

  Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

  4. Kecacatan derajat 3 (Moderate disability) Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.

  5. Kecacatan derajat 4 (Moderately severe disability) Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias diri, dan lain-lain.

  6. Kecacatan derajat 5 (Severe disability) Pasien tepaksa terbaring di tempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan dan perhatian.

  7. Derajat 6 (Kematian) Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa asumsi peneliti yang mengganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian individu tersebut.

2.1.5 Penatalaksanaan Stroke

  Lewis (2011) dan Harsono (2000) membedakan penatalaksanaan stroke ke dalam tahap akut dan paska tahap akut, yang meliputi:

1. Tahap Akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit)

  Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan neuron yang cedera agari tidak terjadi nekrosis, serta agar proses patologis lainnya yang menyertai tidak mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak adekuat dengan pemeliharaan beberapa fungsi diantaranya respirasi yang ahrus dijaga agar tetap bersih dan bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap dipertahankan pada tingkat yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada tahap akut, tidak diturunkan dengan drastis.

  Bila pasien telah masuk dalam kondisi kegawatan dan terjadi penurunan kesadaran, maka kesimbangan cairan, elektrolit dan asam basa darah harus dipantau dengan ketat. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah dan metabolisme otak diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol 10% dan kortikosteroid. Selain itu digunakan anti agregasi trombosit dan antikoagulansia. Untuk stroke hemoragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan untuk hemostasis (Lewis, 2011 & Harsono, 2000).

2. Tahap paska akut/ tahap rehabilitasi

  Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya stroke berulang. Rehabilitasi yang dilakukan berujuan untuk pemulihan keadaan dan mengurangi derajat ketidakmampuan. Ini dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan lama, untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus melatih keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan, memperoleh kembali hal-hal atau kapasitas yang telah hilang diluar kelumpuhan, serta mempengaruhi sikap penderita, keluarga, dan terapeutik tim (Lewis, 2011 & Harsono, 2000).

2.1.6 Dukungan Sosial bagi Pasien Stroke Paska Akut

  Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu, khususnya saat dibutuhkan oleh orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang tersebut. Dukungan sosial ini dapat bersumber dari keluarga, teman atau sahabat, dokter, perawat atau siapapun yang memiliki hubungan berarti bagi individu tersebut (Gonallen & Bloney, dalam As’ari, 2005).

  Keluarga sangat memegang peranan penting selama perawatan tahap paska akut pasien stroke di rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan perawatan sehari- hari dan rehabilitasi. Merawat pasien dengan stroke merupakan suatu hal yang serius. Keluarga, berapapun usia dan keadaan mereka, memerlukan informasi, edukasi dan dukungan sosial untuk dapat melaksanakan perawatan pasien dan dapat beradaptasi dengan peran baru mereka.

2.2. Konsep Caregiver

  2.2.1 Definisi Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut.

  Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto (2012) sebagai: .. seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental (instrumental daily living) seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.

  Menurut Mifflin (2007) menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan.

  

Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan sebagai individu yang

  memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Pfeiffer, dalam Tantono dkk, 2006).

  

Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada

  seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver (Tantono, 2006).

  2.2.2. Jenis Caregiver Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal.

  

Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau

  tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan

  

formal caregiver adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan,

baik di bayar maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).

  Timonen (2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal dan informal. Caregiver formal atau disebut juga penyedia layanan kesehatan adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma praktik, profesional, perawat atau relawan. Sementara informal caregiver bukanlah anggota organisasi, tidak memiliki pelatihan formal dan tidak bertanggung jawab terhadap standar praktik, dapat berupa anggota keluarga ataupun teman. Dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari informal caregiver.

  Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (2011) adalah

  pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga adalah anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab dalam merawat, memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional serta menyediakan waktunya untuk pasien yang menderita stroke hingga pulih atau bahkan hingga akhir hayatnya.

  2.2.3. Tugas dan Peran Caregiver Keluarga Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian

  (Tantono, 2006). Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien stroke sendiri adalah gangguan dimana faktor psikis yang berperan. Caregiver juga membantu pasien dalam mengambil keputusan atau pada stadium akhir penyakitnya, justru

  

caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya. Keluarga sebagai

caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan diperlukan oleh pasien

  (Tantono, 2006).

  Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Arksey, et al (2005) tentang tugas-tugas yang dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk: a.

  Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting.

  b.

  Bantuan dalam mobilitas seperti: berjalan, naik atau turun dari tempat tidur c. Melakukan tugas keperawata seperti: memberikan obat dan mengganti balutan luka.

  d.

  Memberikan dukungan emosional e. Menjadi pendamping f. Melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti: memasak, belanja, pekerjaan kebersihan rumah, dan g.

  Bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor.

  Milligan (2004) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai berikut: a.

  Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.

  b.

  Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah. c.

  Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.

  d.

  Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul.

  2.2.4. Beban pada Caregiver Beban keluarga merupakan suatu tolak ukur utama dalam menilai dampak terhadap anggota keluarga lain dari perawatan penderita gangguan jiwa

  (Djatmiko, 2004). Beban caregiver (caregiver burden) didefinisikan sebagai tekanan-tekanan mental atau beban yang muncul pada orang yang merawat lansia, penyakit kronis, anggota keluarga atau orang lain yang cacat. Beban caregiver merupakan stress multidimensi yang tampak pada diri seorang caregiver.

  Pengalaman caregiving berhubungan dengan respon yang multidimensi terhadap tekanan-tekanan fisik, psikologis, emosi, sosial dan financial (Tantono, 2006).

  Beban caregiver dibagi atas dua yaitu beban subjektif dan beban objektif. Beban subjektif caregiver adalah respon psikologis yang di alami caregiver sebagai akibat perannya dalam merawat pasien. Sedangkan beban objektif

  caregiver yaitu masalah praktis yang di alami oleh caregiver, seperti masalah

  keuangan, gangguan pada kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan, dan aktivitas sosial (Sukmarini, 2009).

  Ada 3 faktor beban caregiver yaitu efek dalam kehidupan pribadi dan sosial caregiver, beban psikologis dan perasaan bersalah. Caregiver harus memberikan sejumlah waktu energi dan uang. Tugas ini dirasakan tidak menyenangkan, menyebabkan stress psikologis dan melelahkan secara fisik. Beban psikologis yang dirasakan oleh caregiver antara lain rasa malu, marah, tegang, tertekan, lelah dan tidak pasti. Faktor terakhir berhubungan dengan perasaan bersalah seperti seharusnya dapat melakukan lebih banyak, tidak dapat merawat dengan baik dan sebagainya (Anneke, 2009).

  Perawatan yang dilakukan caregiver tergantung pada level ketidakmampuan pasien (progress penyakit). Lefley (1996, dalam Sales, 2003), menjabarkan beban caregiver dengan penyakit kronis secara rinci antara lain: (1) Ketergantungan ekonomi pasien, (2) Gangguan rutinitas harian, (3) Manajemen perilaku, (4) Permintaan waktu dan energi, (5) Interaksi yang membingungkan atau memalukan dengan penyedia layanan kesehatan, (6) Biaya pengobatan dan perawatan, (7) Penyimpangan kebutuhan anggota keluarga lain, (8) Gangguan bersosialisasi, (9) Ketidakmampuan menemukan setting perawatan yang memuaskan.

  Penelitian yang dilakukan Aoun (2004), menemukan dampak caregiving pada caregiver dengan pasien paliatif di Australia, yaitu: a.

  Pendapatan sering tidak cukup karena biaya yang dikeluarkan selama perawatan.

  b.

  Dampak kesehatan yang umum pada caregiver, akan tetapi caregiver sering mengabaikannya atau mengurangi pentingnya menjaga kesehatan.

  c.

  Gangguan tidur menyebabkan kelelahan caregiver.

  d.

  Berkurangnya kegiatan sosial dan aktivitas fisik caregiver sehingga mengakibatkan isolasi sosial. e.

  Perawatan pada pasien dengan paliative care secara emosional menuntut

  

caregiver sehingga mengalami rasa bersalah, kecemasan, kemarahan, frustasi,

takut, depresi, kehilangan kendali, dan perasaan tidak mampu.

  2.2.5. Dukungan dan Kebutuhan Caregiver Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver.

  Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik

  dan teknik penggunaan alat bantu perawatan., menemukan sumber home care, menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).

  Pasien dan caregiver mungkin memiliki kebutuhan akan pengajaran yang berbeda. Misalnya, prioritas utama untuk pasien lansia yang menderita diabetes dengan luka ynag luas di telapak kaki perlu pengajaran tentang bagaimana berpindah dari kursi dengan cara yang benar. Di lain pihak, caregiver harus lebih fokus mengetahui teknik mengganti balutan luka. Pemberian rencana pengajaran yang sukses disarankan untuk melihat dari kebutuhan pasien dan kebutuhan

  caregiver yang merawat pasien (Lewis, et al, 2011).

  Penelitian Yedidia dan Tiedemann, (2008) berdasarkan tugas caregiver, menyimpulkan kebutuhan caregiver yaitu: (1) Kebutuhan akan informasi tentang pelayanan yang tersedia, (2) Manajemen stress dan strategi koping, (3) Masalah keuangan dan asuransi, (4) Masalah komunikasi dengan profesional kesehatan, (5) Informasi tentang penyakit, (6) Menggunakan bantuan yang kompeten,

  (7) Bantuan tentang tugas-tugas perawatan, (8) Bantuan berkomunikasi dengan pasien, (9) Nasihat hukum, (10) Informasi tentang obat, (11) Bantuan mengatasi masalah akhir kehidupan, (12) Panduan memindahkan pasien ke fasilitas yang mendukung, (13) Bantuan berurusan dengan keluarga.

  Kebutuhan-kebutuhan caregiver tersebut hendaknya dapat dikaji oleh perawat agar beban yang dirasakan caregiver stroke dapat berkurang. WGBH (Western Great Blue Hill) Educational Foundation (2008) menyatakan bahwa dalam memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan caring, caregiver diharapkan memiliki keahlian dalam: a.

  Berkomunikasi Mengekspresikan kebutuhan dan perasaan serta mampu mendengar kebutuhan dan perasaan orang lain merupakan keterampilan penting dalam menangani pasien stroke. Saat perasaan pasien dan caregiver mampu diutarakan, hal tersebut dapat mendukung satu sama lain, dan mengurangi stres yang diikuti oleh kemarahan atau kesedihan. Dengan melepaskan masalah, perawatan pasien stroek dapat ditata sedemikian rupa sehingga pengobatan dapat lebih efektif.

  b.

  Menemukan informasi Kebutuhan akan informasi stroke sangat diperlukan untuk membuat keputusan, memecahkan masalah, dan mencari pertolongan. Dengan mencari informasi, caregiver akan lebih mampu memahami penyakit dan pengobatan, seperti halnya dengan menentukan sumber dan dukungan caring. c.

  Membuat keputusan Diagnosis stroke membutuhkan keputusan penting tentang pilihan pengobatan dan gaya hidup. Bagi pasien stroke ini membutuhkan bantuan

  caregiver dan pandangannya dalam memutuskan sesuatu.

  d.

  Memecahkan masalah Dalam menghadapi perubahan yang disebabkan oleh stroke dan beradaptasi akan kondisi tersebut, membutuhkan bantuan luar, seperti dari perawat, pekerja sosial, organisasi stroke, kelompok sosial lainnya, internet, teman dan keluarga.

  e.

  Bernegosiasi Dengan adanya persetujuan kerja bagi masing-masing orang, akan mengurangi ketegangan peran caregiver.

  f.

  Memberanikan diri Menghilangkan keraguan untuk mencari bantuan apa saja untuk caregiver sendiri dan pasien.

  Gbr. 2.1. Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver Keluarga

  Rawat jalan, Rawat inap,

  depresi, cemas, beban peran, beban ekonomi

  caregiver,

  Tujuan caregiver: Beban

  pasien: Pengalaman gejala pasien, ketergantungan pasien, peran ketergantungan

  caregiver &

  Permintaan

  home care

  Sistem perawatan formal:

  Sumber: (Mc Cockle, Grant, Frank-Stromborg, & Baird, 1996) Dari gambaran di atas, latar belakang keluarga berupa hubungan keluarga terdahulu, harmonis, penuh konflik atau tidak, perlu dikaji sehubungan dengan kualitas rawatan yang akan diberikan pada pasen stroke. Integrasi sosial mereka sebelumnya mempengaruhi keefektifan perawatan dan ketegangan yang dihasilkan. Tahap perkembangan keluarga caregiver juga perlu dikaji, oleh karena pada caregiver dewasa dan bekerja, ketegangan peran timbul dikarenakan ia harus mengurangi waktu untuk dirinya sendiri. Aktivitas sosial dan privasi bagi

  Sifat stroke & situasi rawatan: Area yang terkena, pengobatan & efek samping, Kebutuhan perawatan

  Usia, Jenis kelamin, Status pernikahan, Peran, Sumber

  Karakteristik Pasien:

  Usia, Jenis kelamin, Status pernikahan, Peran, Sumber

  Caregiver:

  Karakteristik

  Latar belakang keluarga: Hubungan keluarga terdahulu, Jaringan keluarga, Tahap perkembangan keluarga, status sosioeko, Pengaturan peran

  Sistem rawatan informal: Keluarga dan teman yang pensiun tidak menimbulkan masalah, namun bagi anak dewasa merupakan masalah penting.

  Karakteristik pasien berupa faktor usia menimbulkan pengaruh, seperti pada caregiver lansia dengan masalah penurunan kemampuan fisiknya, memerlukan bantuan untuk perawata fisik dan masalah administrasi yang mengarah kepada ketegangan dan stres caregiver. Dari segi pengaturan hidup, dengan adanya perpindahan pasien dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya misalnya, alam menimbulkan distres. Karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status finansial, status pernikahan, pengaturan hidup dan peran biasanya, ini perlu dipertimbangkan dalam kontribusinya terhadap beban

  caregiver.

  Semakin jauh hubungan kekerabatan dengan caregiver, semakin kurang pula perasaan caregiver untuk merawat pasien. Pada caregiver pasangan, memiliki beban tertentu oleh karena perawatan yang diberikannya mencakup aspek keseluruhan, berperan lebih lama, toleransi lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan yang bukan pasangannya, kewajiban dan harapannya dalam merawat kurang.

  Menurut Walker (2007), beban yang dirasakan caregiver, dapat dibagi atas 2 hal, yaitu: respon emosi caregiver dan kesehatan fisik caregiver.

  a.

  Respon emosi caregiver.

  Distres pada caregiver biasanya diperlihatkan sebagai depresi atau beban

  

caregiver. Depresi caregiver adalah gangguan mood yang dihasilkan dari stres penyedia layanan keperawatan, yang dimanifestasikan oleh perasaan kesendirian, isolasi, ketakutan dan merasa mudah diganggu.

  Hirst (2005) menemukan masalah kesehatan mental yang timbul secara langsung terhadap caregiver dalam proses perawatan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien/ keluarga lebih dari 20 jam atau lebih per minggu adalah dua kali lipat berisiko mengalami tekanan psikologis dan efek ini lebih besar pada caregiver wanita. Penelitian yang dilakukan Kalliath dan Kalliath (2000) di Selandia Baru pada

  

caregiver pasien stroke, menemukan terdapat kelelahan emosional dikaitkan

dengan gejala kelelahan, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi.

  Cameron et al (2006) menemukan sebesar 44% dari 94 orang caregiver berkebangsaan Canada pada pasien stroke beresiko terkena depresi klinis.

  b.

  Kesehatan fisik caregiver.

  Pengalaman caregiver akan kondisi yang menghasilkan stres kronik yang kemudian menimbulkan respon dengan melepas glukokortikoid dan katekolamin sebagai hasil progres penyakit dan pengobatan yang lama, dimana dapat berdampak negatif pada sistem imunitas caregiver dan mempengaruhi kesehatannya.

  Hasil survey yang dilakukan oleh Vitaliano, et al (2003, 2004) menemukan dampak kesehatan fisik bagi caregiver pada lansia dengan demensia.

  Pada penelitian tersebut, caregiver melaporkan mengalami gangguan kesehatan fisik dan membutuhkan pengobatan yang lebih sering dibandingkan bukan

  caregiver. Sebesar 23% terjadi peningkatan hormon stres pada caregiver. Hasil lain menunjukkan bahwa caregiver menghasilkan produksi antibodi yang rendah, tingginya gangguan tidur dan kurang adekuatnya diet.

  Sebagian besar caregiver adalah wanita. Menurut Montgomery, Rowse, dan Kosloski (2007), wanita diketahui memiliki waktu istirahat dan latihan yang kurang dibandingkan pria. Sehingga terjadi perubahan kardiovaskuler seperti tekanan darah meningkat. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri karena permintaan rawatan yang berkesinambungan dapat berdampak negatif pada kesehatan caregiver.

2.3. Landasan Teori Keperawatan ( Theory of Caregiving Dynamics)

  Theory of Caregiving Dynamics merupakan bagian dari pengembangan

middle range theory dalam keperawatan. Teori ini diciptakan oleh Loretta A.

  Williams pada tahun 2003 dengan konsep nama “ Informal Caregiving Dynamic”. Kata informal menimbulkan kesalahpahaman dalam mengartikannya, sehingga konsep nama teori tersebut diganti menjadi theory of caregiving dynamics. Proses

  

caregiving dalam hal ini mengacu terhadap perawatan yang dilakukan oleh

anggota keluarga, teman, dan tetangga (Williams, 2003).

  Theory of Caregiving Dynamics dipilih sebagai model konseptual dalam

  penelitian ini karena teori ini sangat cocok dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengeskplorasi pengalaman keluarga/ informal caregiving dalam merawat pasien stroke di rumah. Informal caregiving adalah seseorang yang memberikan bantuan tanpa bayaran kepada seseorang yang memiliki masalah kesehatan. Selanjutnya, yang dimaksud informal caregiving biasanya anggota keluarga, teman, atau tetangga (Schoenfelder, Swanson, Specht, Maas, & Johnson, 2000).

  Informal caregiving sering melakukan beberapa tugas yang melibatkan

  tuntutan secara fisik, emosional, sosial, atau finansial (Biegel, Sales, & Schulz, 1991) dan menyebabkan perubahan dalam status kesehatan caregiver. Sebuah tugas penting bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk membantu

  

informal caregiver untuk meningkatkan peran caregiver bagi dirinya sendiri dan

  keluarga yang dirawat. Untuk mewujudkan peran perawat tersebut, diperlukan pemahaman tentang konsep dynamics of caregiving.

  2.3.1. Konsep Teori Konsep mayor teori dinamika caregiving adalah komitmen, manajemen ekspektasi, dan negosiasi peran. Self care (perawatan diri), pengetahuan baru, dan dukungan adalah konsep yang saling terkait, masing-masing terhubung dengan konsep mayor. Dinamika caregiving adalah suatu proses interaksi dari komitmen, manajemen ekspektasi, dan negosiasi peran yang didukung oleh perawatan diri, pengetahuan baru, dan dukungan yang menggerakkan hubungan caregiving yang erat sepanjang perjalanan penyakit (Smith & Liehr, 2014).

  A.

  Komitmen Komitmen yaitu caregiver bertanggung jawab dalam menginspirasi perubahan hidup dan membuat pasien menjadi prioritas. Komitmen merupakan panggilan jiwa bagi seorang caregiver untuk selalu ada memberikan dukungan meskipun mereka tidak memiliki pengalaman yang sama, akan tetapi mempunyai hubungan kasih sayang dengan pasien. Komitmen menjadi seorang caregiver merupakan komitmen jangka panjang. Apalagi menjadi caregiver pasien dengan penyakit kronis, hal ini bukanlah komitmen jangka pendek. Menurut Williams

  (2007), terdapat empat dimensi komitmen, yaitu: (1) enduring responsibility / bertanggung jawab, (2) making the patient a priority / menjadikan pasien prioritas, (3) supportive presence/ selalu ada memberikan dukungan, dan (4) self- affirming loving connection / keyakinan adanya hubungan kasih sayang.

  Enduring responsibility adalah tekad caregiver untuk memberikan

  perawatan meskipun sulit dan dalam waktu yang lama. Enduring responsibility berdasarkan kewajiban, hubungan timabal balik, atau cinta yang telah dijalin jauh sebelum sakit dan terus berlanjut sampai sembuh (Williams, 2007). Making the

  

patient a priority adalah menempatkan kebutuhan merawat pasien diatas

  kebutuhan dan keinginan lainnya karena kesejahteraan pasien adalah tujuan yang paling penting (Williams, 2007). Supportive presence adalah memberikan pasien kenyamanan, dorongan, dan sikap yang positif ketika caregiver tidak melakukan hal lain selain untuk membantu pasien. Perasaan caregiver yang kuat dalam memahami secara penuh apa yang dirasakan pasien, kebutuhan emosional pasien, keinginan pasien secara akurat diidentifikasi dan dipenuhi (Williams, 2007). Self-

  

affirming loving connection adalah suatu perasaan yang saling terbuka antara

caregiver dan pasien sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasien adalah kepuasan

  tersendiri bagi caregiver (Williams, 2007). Self Care (perawatan diri) adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan komitmen.

  Self-Care (Perawatan Diri)

  Perawatan diri yaitu bertindak untuk menjaga kesehatan dengan mengembangkan kebiasaan hidup sehat sambil mengeluarkan perasaan dan frustrasi dalam proses caregiving serta menjauh dari caregiving demand ketika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari self-care, yaitu dukungan lingkungan fisik, menanamkan kebiasaan hidup sehat, mengungkapkan perasaan, dan menjauh darinya (Williams, 2007).

  Dukungan lingkungan fisik terdiri dari tempat tinggal, makanan, dan fasilitas lainnya yang memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi caregiver dan pasien. Menanamkan kebiasaan hidup sehat yaitu melakukan tindakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan selama proses pemberian perawatan. Caregiver dan pasien saling mendukung untuk meningkatkan kesehatan seperti makan teratur dan olahraga. Mengeluarkan perasaan yaitu menemukan suatu cara untuk mengungkapkan perasaan dan frustasi selama proses pemberian perawatan. Caregiver bisa komunikasi dengan intens dengan orang lain untuk mengungkapkan perasaannya atau dengan menulis dan metode lain untuk mengekspresikan perasaannya. Menjauh darinya diartikan bahwa caregiver ingin menjauh dari situasi tuntutan penyakit, pengobatan, dan proses pemberian perawatan. Akan tetapi, secara hati nurani, caregiver merasa bersalah untuk meninggalkan pasien (Williams, 2007).

  B.

  Expectation Mangement/ Manajemen Ekspektasi Mengatur ekspektasi pada pasien, merupakan suatu kondisi yang diharapkan dimasa mendatang untuk kembali kepada kondisi normal. Pandangan ke masa depan, akan dihadapkan pada ketakutan akan masa depan apakah bisa kembali kepada kondisi normal atau tidak. Kenyataan dan ekspektasi merupakan bagian yang perlu dibangun oleh caregiver untuk memperbaiki kualitas hubungan

  

caregiving antara pasien dengan caregiver. Ada 5 dimensi dari manajemen ekspektasi, yaitu: (1) envisioning tomorrow/ membayangkan besok, (2) getting

  

back to normal/ kembali ke keadaan normal, (3) taking one day at time/

  menyediakan satu hari pada suatu waktu, (4) gauging behaviour/ mengukur perilaku, dan (5) reconciling treatment twist and turns.

  Envisioning tomorrow yaitu berbaur dengan masa depan yang ambigu

  dengan harapan dan ketakutan. Gambaran masa depan berada pada rentang tertentu dan spesifik serta sangat samar dan umum. Membayangkan masa depan yang penuh harapan, memiliki caregiver dengan tujuan berjuang untuk bertahan dalam kesulitan bahkan membayangkan masa depan yang penuh ketakutan memungkinkan caregiver mengalami kerugian dan mempersiapkan diri kecewa di masa depan (Williams, 2007). Getting back to normal adalah melihat seberkas cahaya kecil harapan dan mengantisipasi kembalinya ke keadaan akibat tuntutan penyakit atau pengobatan (Williams, 2007). Taking one day at time yaitu berfokus pada saat ini sebagai sarana berurusan dengan masa depan yang tidak dapat dibayangkan. Sebagai perspektif dan prioritas berubah dengan orientasi saat ini, upaya dapat dilakukan untuk memperlambat dan membuat yang terbaik saat ini menuju masa depan yang pasti. Caregiver kadang-kadang menghindari masa depan karena mereka takut apa yang akan terjadi, tetapi di lain waktu mereka menikmati aspek-aspek positif pada saat ini (Williams, 2007). Gauging behaviour yaitu menjelaskan, memprediksi, atau bereaksi terhadap tindakan atau pernyataan pasien berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pasien. Ekspektasi yang dikembangkan dari gauging behaviour memungkinkan caregiver dapat bereaksi positif terhadap perilaku sulit pasien (Williams, 2007). Reconciling treatment

  

twist and turns yaitu perbandingan sebenarnya agar diantisipasi respon pasien

  untuk mengkonfirmasi, menjelaskan, dan bahkan menerima kenyataan respon pasien yang sebenarnya (Williams, 2007).

  Caregiver dan pasien secara natural membawa ekspektasi ke dalam situasi

  perawatan. Ekspekstasi adalah antisipasi atau menantikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ekspektasi mempertimbangkan kemungkinan terjadi, tertentu, wajar, beralasan, kebutuhan, atau terikat oleh tugas dan kewajiban (Merriam-Webster online, 2013). New Insight adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan manajemen ekspektasi.

  New Insight/ Pengetahuan atau Pandangan Baru New insight yaitu merubah kesadaran berdasarkan pengalaman

  pertumbuhan manusia, percaya bahwa ada kekuatan besar yang mengontrol situasi, dan mengakui respon yang positif. Ada tiga dimensi dari new insight yaitu pengalaman manusia bertumbuh, percaya dengan kekuasaan yang besar, dan mengakui respon yang positif. New insight secara khusus membantu dalam proses perjalanan penyakit terus maju dan caregiver berjuang agar manajemen ekspektasi berjalan sukses (Williams, 2007).

  C.

  Role Negotiation/ Negosiasi Peran Negosiasi peran akan terjadi saat kondisi pasien mulai pulih dan saat pasien menghadapi perawatan kompleks yang memerlukan pembagian tanggung jawab. Hal ini diperlukan caregiver untuk menentukan tindakan yang memerlukan perhatian pasien. Apabila peran diterima, maka akan terdapat kekuatan hubungan

  caregiving. Negosiasi peran terjadi sebagai tindakan yang ditentukan caregiver dengan memperhatikan pendapat pasien dan jembatan komunikasi antara pasien dengan pelayanan kesehatan. Ada lima dimensi negosiasi peran yaitu: (1)

  pushing/ dorongan, (2) getting a handle on it/ mendapatkan pegangan, (3) sharing responsibilities/ berbagi tanggung jawab, (4) attending to patient voice/ mengikuti

  keinginan pasien, dan (5) vigilant bridging/ kewaspadaan (Williams, 2007).