BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Stroke - Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Stroke

  2.1.1 Definisi stroke Stroke atau penyakit penurunan fungsi neurologikyang diebabkan oleh gangguan akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Black & Hawks, 2009).

  Stroke merupakan suatu sindroma klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap tanpa ada penyebab lain selain gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto, Watonah, & Suryati, 2007).

  2.1.2 Etiologi Stroke berikut (Black & Hawks, 2009) : a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher). Trombus dimulai bersamaan dengan kerusakan dinding pembuluh darah endotel.

  Aterosklerosis adalah pencetus utamanya. Trombus dapat terjadi di mana saja di sepanjang arteri karotis dan cabang-cabangnya. Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling utama, kurang lebih sekitar 60% dari kejadian stroke.

  b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian ogan tubuh yang lain). Mayoritas emboli berasal dari lapisan endokardium jantung, dimana plak keluar dari endokardium dan masuk ke sirkulasi. Embolisme serebral merupakan penyebab kedua stroke, kurang lebih sekitar 24% dari kejadian stroke.

  c. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Hipertensi adalah penyebab utama perdarahan intraserebral. Prognosis pasien dengan perdarahan intraserebral buruk, 50% kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Tingkat kematian akibat perdarahan intraserebral berkisar antara 40% - 80%.

  d. Penyebab lain contohnya spasme arteri serebral karena iritasi, mengurangi perfusi ke area otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami konstriksi tersebut; status hiperkoagulasi dapat mengakibatkan terjadinya trombosis dan stroke iskemik, kompresi pembuluh darah serebral yang diakibatkan dari tumor, bekuan darah yang besar ukurannya, atau abses otak,

  2.1.3 Klasifikasi Stroke Stroke dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu :

  a. Stroke Iskemik Sekitar 80 - 85 persen stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di salah satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.

  Berdasarkan penyebabnya menurut Hickey (1997) terdapat lima subtipe dasar pada stroke iskemik yaitu :

  1) Stroke Lakunar Infark lakunar terjadi karena penyakit arteri kecil hipertensi dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama dengan angka kejadiannya sekitar 25%. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi pasca oklusi aterotrombotik. Trombosis yang terjadi dalam pembuluh ini menyebabkan daerah infark yang kecil dan lunak yang disebut dengan lakuna. Perubahan yang terjadi pada pembuluh-pembuluh ini disebabkan oleh disfungsi endotel karena penyakit hipertensi persisten. 2) Trombosis arteri besar atau penyakit aterosklerotik

  Stroke jenis ini berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna dengan angka kejadiannya sekitar 20%. Trombosis pembuluh darah otak cenderung memiliki awitan yang bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari dan dikenal dengan istilah parsial mengakibatkan defisit perfusi dan menyebabkan reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik.

  3) Stroke Emboli Kardiogenik Stroke yang terjadi akibat embolus dapat menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit dengan angka kejadiannya sekitar 20%. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di pembuluh darah yang mengalami stenosis. Penyebab terseringnya adalah atrium fibrilasi.

  4) Stroke Kriptogenik Sebagian pasien mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas dengan angka kejadiannya sekitar 30%. Kelainan ini disebut stroke kriptogenik karena sumbernya tersembunyi. 5) Stroke Karena Penyebab Lain

  Beberapa penyebab lain stroke yang lebih jarang dengan angka kejadiannya sekitar 5% adalah displasia fibromuskular dan arteritis temporalis.

  Displasia fibromuskular terjadi di arteria servikalis. Pada pemeriksaan dopler, tampak banyak lesi seperti sosis di arteri, dengan penyempitan stenotik berselang- seling dengan bagian-bagian yang mengalami dilatasi. Arteritis temproralis terutama menyerang lanjut usia dimana arteri karotis eksterna dan terutama arteria temporalis mengalami peradangan granulomatosa dengan sel-sel raksasa.

  b. Stroke Hemoragik lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Tipe-tipe perdarahan yang mendasari stroke hemoragik adalah : 1) Perdarahan Intraserebral

  Perdarahan intraserebral paling sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri yang menembus ke dalam jaringan otak. Perdarahan menyebabkan elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar menekan neuron-neuron di daerah yang terkena dan sekitarnya.

  Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari

  60 cc maka risiko kematian sebesar 71% – 93%. Sedangkan bila volume perdarahan antara 30 cc – 60 cc, kemungkinan kematian sebesar 75% dan apabila perdarahan hanya 5 cc namun terletak di pons, maka akibatnya sangat fatal (Fayad & Awad, 1998 dalam Misbach, 1999).

  2) Perdarahan Subarakhnoid Perdarahan subarakhnoid relatif kecil jumlahnya kurang dari 0,01% dari populasi USA, sedangkan di ASEAN 4% hospital based dan di Indonesia 4,2% hospital based (Misbach, 1999). Gejala perdarahan yang timbul sangat khas disertai dengan keluhan nyeri kepala hebat pada saat onset penyakit. Stroke jenis ini dapat menyebabkan kematian pada 12,5% kasus (Kassel et al, 1990 dalam Misbach, 1999).

  2.1.4 Faktor Resiko Terjadi Stroke Penggolongan faktor risiko stroke didasarkan pada dapat atau tidaknya a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (AHA/ASA, 2010).

  1) Usia Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik, faktor ini menjadi 2 kali lipat pasca usia

  ≥ 55 tahun.

2) Jenis Kelamin Stroke diketahui lebih banyak diderita laki‐laki dibanding perempuan.

  Kecuali umur 35–44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat kontrasepsi oral dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding laki‐laki. Perempuan Indonesia mempunyai usia harapan hidup tiga sampai empat tahun lebih tinggi dari usia harapan hidup laki-laki.

  3) Ras Penduduk Afrika-Amerika dan Hispanic-Amerika berpotensi stroke lebih tinggi dibanding Eropa-Amerika. Pada penelitian penyakit arterosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan stroke 38% lebih tinggi dibanding kulit putih.

  4) Faktor Keturunan Adanya riwayat stroke pada orang tua, meningkatkan faktor risiko terjadinya stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain faktor genetik, faktor kultur atau lingkungan dan life style, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.

  b. Faktor risiko yang dapat diubah Stroke pada prinsipnya dapat dicegah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 50% kematian akibat stroke pada pasien yang berusia di bawah 70 tahun dapat dicegah dengan menerapkan pengetahuan yang ada (Black & Hawks, 2009).

  1) Hipertensi Makin tinggi tekanan darah, makin tinggi kemungkinan terjadinya stroke, baik perdarahan maupun iskemik. Faktor risiko stroke terbanyak adalah hipertensi dengan 71% dari 3723 kasus (Misbach, 1999). Pengendalian tekanan darah dapat mengurangi 38% insiden stroke (Black & Hawks, 2009).

  2) Merokok Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 4000 jenis bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempengaruhi sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya stroke, terutama dalam kombinasi dengan faktor risiko yang lain misalnya pada kombinasi merokok dan pemakaian obat kontrasepsi oral. Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan terjadinya trombus, karena terjadinya arterosklerosis. Merokok berkontribusi 12% - 14% kematian akibat stroke (America Heart Association /America Stroke Association (AHA/ASA), 2010). Menurut WHO dalam world health statistik dari 5,4 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta pada tahun 2015 dan 8,3 juta pada tahun 2030. 3) Diabetes Melitus (DM)

  DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Faktor risiko stroke akibat DM sebanyak 17,3% (Misbach, 1999). Pasien DM cenderung menderita arterosklerosis dan meningkatkan terjadinya hipertensi, kegemukan dan kenaikan kadar kolesterol. Kombinasi hipertensi dan diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke (AHA/ASA, 2010).

  4) Kelainan Jantung Kelainan jantung merupakan sumber emboli untuk terjadinya stroke. Yang tersering adalah atrium fibrilasi. Setiap tahun, 4% dari pasien atrium fibrilasi mengalami stroke (AHA/ASA, 2010). . 5) Dislipidemia

  Meningkatnya kadar kolesterol total dan Low Density Lipoprotein (LDL) berkaitan erat dengan terjadinya aterosklerosis. Kolesterol LDL yang tinggi merupakan risiko terjadinya stroke iskemik. Kejadian stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol total di atas 240 mg/dL. Setiap kenaikan kadar kolesterol total 38,7 mg/dl, meningkatkan risiko stroke sebanyak 25% (AHA/ASA, 2010).

  6) Latihan Fisik Pasien stroke direkomendasikan melakukan latihan fisik (olah raga) secara

  2010). Latihan fisik secara teratur membantu mengurangi timbulnya penyakit jantung dan stroke. Ketidakaktifan, kegemukan atau keduanya berisiko meningkatkan tekanan darah, kolesterol darah, diabetes, penyakit jantung dan stroke (AHA/ASA, 2010).

  7) Kegemukan Kegemukan biasanya berhubungan dengan pola makan, DM tipe 2 disebabkan peningkatan kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah.

  Penghitungan kegemukan berdasarkan BMI (Body Mass Index) yaitu underweight < 18,5, normal 18,5–24,9, overweight 25–29,9, obesitas I 30–4,5, obesitas II 35–

  39,9 dan extreme obesity > 40. Central obesitas/gemuk perut dihitung jika lingkar pinggang (waist circumference) pada laki-laki > 102 cm dan perempuan > 88 cm (NHLBI, 2007). 8) Pola Diit

  Aspek diit yang dihubungkan dengan risiko terjadinya stroke adalah intake sodium yang tinggi dan nutrisi tinggi lemak. Efek potensial sodium dan lemak terhadap kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah (AHA/ASA, 2010). .

  9) Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor utama terjadinya hipertensi dan penyakit yang berhubungan dengan hipertensi adalah stroke

  (AHA/ASA, 2010). Penelitian yang dilakukan di Cina pada 1991 dan dilakukan follow up tahun 1999 dan 2000 menunjukkan pemakaian alkohol yang berlebihan sebesar 22% dan risiko kematian 30% lebih tinggi dari non pemakai alkohol (Bazzano, 2000).

  10) Drug Abuse/Narkoba Pemakaian obat-obatan seperti cocain, amphetamine, heroin dan sebagainya meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tekanan darah secara tiba-tiba dan menyebabkan terjadinya emboli (AHA/ASA, 2010).

  11) Pemakaian Obat Kontrasepsi Oral Risiko stroke meningkat jika memakai obat kontrasepsi oral dengan dosis tinggi. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasi dengan adanya usia lebih dari 35 tahun, perokok, hipertensi dan diabetes (Hershey, 1999 dalam Black & Hawks, 2009).

  12) Gangguan Pola Tidur Gangguan pola tidur ini dikenal dengan istilah sleep disordered breathing (SDB). Penelitian membuktikan bahwa tidur mendengkur meningkatkan terjadinya stroke. Pola tidur mendengkur sering disertai apnea (henti nafas), tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak. SDB lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan perbandingan 2:1, dan terjadi mulai usia pertengahan (AHA/ASA, 2010). .

  Lipid protein kompleks yang meningkat merupakan risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke. Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan peningkatannya akan meningkatkan terjadinya trombosis dengan mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Dibanding dengan faktor risiko stroke yang lain (hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliserid, penyakit jantung, DM) (AHA/ASA, 2010).

  2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke Menurut Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher dan Camera (2011) stroke dapat menimbulkan efek pada berbagai fungsi tubuh, meliputi : aktivitas motorik, eliminasi bowel dan urin, fungsi intelektual, kerusakan persepsi sensori, kepribadian, afek, sensasi, menelan, dan komunikasi.

  Fungsi-fungsi tubuh yang mengalami gangguan tersebut secara langsung terkait dengan arteri yang tersumbat dan area otak yang tidak mendapatkan perfusi adekuat dari arteri tersebut. yaitu:

  a. Kehilangan Fungsi Motorik Defisit motorik merupakan efek stroke yang paling jelas terlihat.

  Defisit motorik meliputi kerusakan : mobilitas, fungsi respirasi, menelan dan berbicara, refleks gag, dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari (Smeltzer et al, 2010). Gejala-gejala yang muncul diakibatkan oleh adanya kerusakan motor neuron pada jalur piramidal (berkas saraf dari otak yang melewati spinal cord menuju sel-sel motorik). Stroke mengakibatkan lesi pada motor neuron atas upper motor neuron (UMN) dan mengakibatkan motorik meliputi akinesia, gangguan integrasi gerakan, kerusakan tonus otot, dan kerusakan refleks. Karena jalur piramidal menyeberang pada saat di medulla, kerusakan kontrol motorik volunter pada satu sisi tubuh merefleksikan adanya kerusakan motor neuron atas di sisi yang berlawanan pada otak (kontralateral).

  Disfungsi motorik yang paling sering terjadi adalah hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) (Lewis et al , 2011). Pada fase akut stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis flaksid dan hilang atau menurunnya refleks tendon, saat refleks tendon ini muncul kembali (biasanya

  48 jam), peningkatan tonus otot dapat dilihat bersamaan dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena. Luas dan tipe gangguan pada pasien stroke tergantung dari jumlah dan lokasi dari daerah otak yang terserang. Seseorang dapat mengalami stroke yang berat maupun ringan, dengan gangguan pada motorik, sensorik, kognitif maupun gangguan dalam hal komunikasi (Sarafino, 2006).

  Kejadian stroke dapat menimbulkan kecacatan bagi penderita yang mampu bertahan hidup. Kecacatan pada penderita stroke di akibatkan oleh gangguan organ atau gangguan fungsi organ seperti hemiparesis. Adapun kecacatan yang dialami oleh penderita stroke meliputi ketidakmampuan berjalan, ketidakmampuan berkomunikasi, serta ketidakmampuan perawatan diri (Wirawan, 2009) b. Kehilangan Fungsi Komunikasi Stroke adalah penyebab utama terjadinya afasia (Lewis et al, 2011).

  Disfungsi bahasa dan komunikasi akibat stroke adalah disartria (kesulitan berbicara), disfasia (kesulitan terkait penggunaan bahasa), apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang telah dipelajari), (Lewis et

  

al , 2011). Penelitian Townend, Brady dan MacLaughlan (2007, dalam

  Kontou, 2009) hampir setengah 46% partisipan teridentifikasi mengalami afasia. Sekitar 36,4% penderita afasia pasca stroke menunjukkan performa yang lebih baik setelah mpengikuti terapi wicara (Klebic, Salihovic, Softic, & Salihovic, 2011) c. Kerusakan Afek Pasien yang pernah mengalami stroke akan kesulitan mengontrol emosinya (Lewis et al, 2011). Respon emosinya tidak dapat ditebak. Perasaan depresi akibat perubahan gambaran tubuh dan hilangnya berbagai fungsi tubuh dapat membuat makin parah. Penelitian Silaen, Rambe, dan Nasution (2008) menemukan adanya hubungan perubahan kepribadian dan gangguan emosi pada pasien stroke. Bogousslavsky (2003) melalui studi kohort menemukan 300 pasien mengalami sadness (72%), disinhibition (56%), lack

  

of adaptation (44%), environmental withdrawal (40%), crying (27%),

passivity (24%) dan aggressiveness (11%).

  d. Kerusakan Fungsi Intelektualitas Baik itu memori maupun penilaian dapat terganggu sebagai akibat dari stroke (Black & Hawk, 2009). Pasien dengan stroke otak kiri sering kanan cenderung lebih impulsif dan bereaksi lebih cepat. Penelitian yang dilakukan (Suwantara, 2004) menyimpulkan bahwa sekitar 15 - 25% penderita stroke menunjukkan gangguaun kognitif yang nyata setelah mengalami serangan akut.

  e. Gangguan Persepsi dan Sensori Persepsi adalah kemampuan untuk menginterpretasikan sensasi.

  Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visuospasial, dan kehilangan sensori (Black & Hawks, 2009).

  Disfungsi persepsi visual diakibatkan oleh adanya gangguan jalur sensori primer antara mata dan korteks visual. Hilangnya sensori akibat stroke dapat berupa kerusakan yang ringan seperti sentuhan atau kerusakan yang lebih berat yaitu hilangnya propriosepsi (kemampuan untuk menilai posisi dan gerakan bagian-bagian tubuh) dan kesulitan menginterpretasi stimulus visual, taktil dan auditori. Penelitian Conell (2007) menemukan 7-53% pasien stroke mengalami kerusakan rangsang taktil dan 17% mengalami kerusakan persepsi terhadap suhu.

  f. Gangguan Eliminasi Kebanyakan masalah yang terkait dengan eliminasi urin dan bowel terjadi pada tahap akut dan bersifat sementara. Saat salah satu hemisfer otak terkena stroke, prognosis fungsi kandung kemih baik. Awalnya, pasien dapat mengalami urgensi dan inkontinensia. Walaupun kontrol motor bowel biasanya tidak terganggu, pasien sering mengalami konstipasi yang respon yang menurun terhadap refleks defekasi (Black & Hawk, 2009).

  Masalah eliminasi urin dan bowel dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan pasien mengekspresikan kebutuhan eliminasi. Penelitan yang dilakukan Britain dan Peet (2010) melaporkan bahwa sekitar 32% - 79% pasien stroke mengalami inkontinensi saat masuk rumah sakit dan penelitian ini mencatat bahwa 25% - 28% masih mengalami inkontinensia urin saat pasien keluar rumah sakit..

2.2 Kemampuan Fungsi Tubuh

  2.2.1 Pengertian Kemampuan Fungsi Tubuh Menurut Perry dan Potter (2005) kemampuan fungsi tubuh sebagai kapasitas fungsi tubuh dan penurunannya dapat dilihat dari kapasitas residual dengan defisit fungsi residual. Defisit fungsi residual adalah perbedaan fungsi original dan fungsi residual.

  Fungsi residual stroke terjadi pada fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi kognitif. Sistem saraf pusat yang terdiri dari otak dan medulla spinalis akan mengalami kerusakan bila suplai darah yang membawa oksigen dan nutrisi terhenti (Black & Hawks, 2009).

  Stroke sebagai salah satu penyakit gangguan peredaran darah ke otak yang menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke dapat berupa hemiparesis bilateral, demensia, dan parkinson (Santoso, Rassafiani (2013) menemukan sekitar 65,5% penderita stroke ketergantungan dan membutuhkan bantuan orang lain, sekitar 72,5% penderita stroke yang ketergantungan, ditemukan berada pada keadaan depresi sedang dan depresi berat (Haqhqoo, et al. , 2013). Ketergantungan dan kelemahan dianggap oleh penderita stroke sebagai beban bagi keluarga ataupun orang lain (Thomas & Lincoln, 2008).

  2.2.3 Kemampuan fungsi tubuh pada pasca stroke Keadaan pasien pasca stroke dalam perjalanannya sangat beragam.

  Setelah menjalani perawatan dirumah sakit, kemungkinan yang dialami oleh pasien stroke meninggal dunia, sembuh tanpa cacat dan sembuh dengan kecacatan

  (Lewis et al, 2011). Kematian akibat stroke ditemukan pada 10 - 30% pasien yang dirawat dan 70 - 90% penderita yang hidup pasca stroke (Pinzon & Asanti, 2010).

  Pasien pasca stroke pada awalnya digambarkan dengan adanya gangguan kesadaran, tidak sadar, bingung, sakit kepala, sulit konsentrasi dan disorientasi.

  Gangguan kesadaran dapat muncul dalam bentuk perasaan ingin tidur, sulit mengingat, penglihatan kabur, menurunnya kekuatan otot dan koordinasi, sulit membaca, kesulitan menyusun kata-kata, kesulitan mengintrol buang air besar dan kecil, kesulitan menelan dan bernapas, kaki menjadi kaku, terkulai dan hilang koordinasi gerakan (Black & Hawks, 2009)

  2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan fungsi tubuh

  a. Motorik Traktus kortikospinal merupakan elemen utama dari sistem piramidal dan merupakan satu satunya hubungan langsung antara korteks dan medulla spinalis. menegakkan postur. Fungsi ini dipengaruhi juga oleh formasio retikularis, nucleus vestibularis, dan beberapa otak tengah. Dua struktur otak lain yang penting untuk fungsi motor yaitu serebelum dan ganglia basalis. Aktifitas serebelum dan ganglia basalis ini memperhalus gerakan otot. Ganglia basalis mendapatkan input dari korteks motorik kemudian memberikan output ke korteks. Supaya dapat terjadi gerakan, pusat motor membutuhkan informasi yang konstan dari reseptor otot, sekitar sendi dan pada kulit, mengenai apakah gerakan sesuai dengan perencanaan (Black & Hawks, 2009) b. Fungsi luhur Proses kognitif atau proses mental luhur adalah proses berfikir bersama- sama dengan mekanisme persepsi, belajar, mengingat, memberikan informasi, membuat keputusan dan membentuk fungsi psikologis secara kolektif. Kerusakan hemisfer kiri akan menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa, membaca, menulis, menghitung, memori verbal dan gerakan motorik terampil. Penurunan kognitif berkaitan erat dengan penurunan penampilan aktivitas hidup daripada defisit motorik. Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat dan pemecahan masalah. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia lanjut. Stroke menyebabkan gangguan neurologis berdasarkan berat ringannya gangguan c. Keseimbangan

  Pasien dengan stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsi tubuh. Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien stroke berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga kesetimbangan tubuh menurun. Pasien dengan stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol postural, sehingga menghambat gerakan mereka. Pada pasien stroke, mereka berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka, kompensasi ini tidak selalu menjadi hasil yang optimal. Pasien dengan gangguan keseimbangan yang moderat hingga berat menggunakan banyak gerakan tambahan sebagai kompensasi dari defisit motoriknya, sedangkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan yang ringan, mereka memiliki kemampuan melakukan gerakan yang hampir sama dengan pola gerak normal (Black & Hawks, 2009)

  d. Kesadaran Penurunan kesadaran pada pasien stroke apabila yang diserang batang otak, akan mengalami gangguan pada fungsi kesadaran, pernafasan dan aliran darah ke otak menurun. Apabila yang mengalami gangguan pada fungsi kesadarannya maka akan terjadi penurunan tingkat kesadaran, hal tersebut dapat mengakibatkan apatis sampai dengan koma (Lewis et al, 2011).

  e. Fungsi Penglihatan Gangguan lapangan pandang pada stroke terjadi bila lesi terdapat pada

  Manifestasinya bisa kebutaan satu mata, hemianopia bitemporal, hemianopia binasal, hemianopia homonym dextra/sinistra. Gangguan ini bisa terjadi pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik akibat gangguan vascular otak anterior maupun posterior (Lewis et al, 2011).

  f. Saraf otak Pada batang otak dimana terdapat dua belas saraf kranial bila mengalami gangguan akan terjadi menurun kemampuan membau, mengecap, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah ( Lumbantobing, 2012).

  2.2.5 Pengukuran Kemampuan Fungsi tubuh

  National Instutes of Health Stroke Scale (NIHSS) mengukur tanda

  neurologis yang dilakukan dengan pemeriksaan. Skala ini terdiri dari penilaian kesadaran, respon terhadap pertanyaan, mengikuti perintah, gerakan mata konyugat horizontal, pemeriksaan lapangan pandang, unilateral negleg, paresis wajah, motorik lengan dan kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, dysatria dan (Lewis et al, 2009). Hasil penelitian Berger et al (1999) penggunaan NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien stroke dari fase akut hingga rehabilitasi dengan reliabilitas kappa NIHSS 0,80.

2.3 Dukungan Keluarga

  2.3.1 Pengertian Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit (Suprajitno, 2004). Menurut (Friedman ,2000), keluarga juga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional dan penilaian (Stolte, 2004).

  Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, jika terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh system, sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga (Keliat, 1996).

  Menurut Wills dan Fegan (1985 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dukungan keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya.

  Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan menangkal depresi pasca stroke (Salter, Foley, & Teasell, 2010). Mant, Carter, Wade, dan Winner (2000) menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan peningkatan aktivitas sosial dan kualitas hidup pasien stroke. Selain itu dukungan keluarga dapat membantu perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke, pendidikan pasien, keefektifan dan efisiensi penggunaan sumber daya perawatan kesehatan (Huang, Hsu, Cheng, Lin, & Chuang, 2010).

  Menurut Friedman (1998) jenis dukungan keluarga adala :

  a. Dukungan Informasional Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi.

  Untuk pasien stroke diberikan informasi oleh keluarganya tentang penyakit stroke serta pengelolaannya. Menurut Sarafino (2004) dukungan informasi itu berupa nasehat, saran dan feedback tentang apa yang telah dan sedang dilakukan seseorang misalnya pemberian informasi penyakit oleh dokter kepada pasien.

  b. Dukungan Emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan belajar serta membantu penguasaan terhadap emosi, diantaranya menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau didengarkan saat mengeluarkan perasaanya.

  c. Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam pekerjaan pada saat penderita mengalami stress.

  d. Dukungan Penghargaan Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) serta sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga, diantaranya adalah memberikan penghargaan dan perhatian saat pasien menjalani rehabilitasi. Dukungan keluarga terhadap pasien stroke baik fase akut maupun pasca stroke sangat dibutuhkan untuk mencapai proses penyembuhan/pemulihan.

  Dukungan keluarga memainkan peran penting dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya. Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarganya (Friedman, 1998).

  2.3.3 Sumber Dukungan Keluarga Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang di pandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diAKSes atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan social dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

  2.3.4 Manfaat Dukungan Keluarga Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

  Menurut Serason (1993 dalam Kuncoro, 2002) berpendapat bahwa dukungan keluarga mencakup jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima individu.

  Menurut Wills (1985 dalam Friedman, 1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek -efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.

  Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan social terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Friedman, 1998).

  Menurut Sutrisno (2007) yang menyatakan bahwa perawatan stroke merupakan perawatan yang sulit dan terlama. Keluarga memegang peranan penting dalam proses rehabilitasi pasien stroke, rehabilitasi merupakan masa yang sulit dan dapat berlangsung enam bulan atau lebih tergantung pada kemauan dan keterlibatan keluarga (Sutrisno, 2007). Dukungan keluarga adalah dukungan yang terdiri dari atas informasi atau nasihat verbal dan non verbal bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial dan didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihakpenerima (Gottieb, 1983 dalam Nursalam & Kurniawati, 2007)

  2.3.5 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa: a. Bentuk keluarga

  Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara anggota keluarga baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarganya (Friedman, 1998).

  Penelitian pada 64 kerabat pasien stroke memperlihatkan bahwa stroke berdampak pada gangguan fungsi sosial, fisik, dan mental bagi keluarga penyandang stroke (Pinzon et al , 2009).

  Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan dan tingkat pendidikan. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena besarnya biaya pengobatan paska stroke, juga yang menderita stroke adalah tulang punggung keluarga yang biasanya kurang melakukan gaya hidup sehat, akibat kesibukan yang padat (Pinzon et al , 2009).

  2.3.6 Pengukuran Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dapat diukur dengan menggunakan instrumen

  

Family Apgar . Instrumen ini dikembangkan oleh Smilkstein pada tahun

  1978. Fungsi instrumen ini untuk menilai dukungan keluarga berupa persepsi anggota keluarga terhadap fungsi keluarga dengan memeriksa kepuasan tentang hubungan keluarga. Kuesioner ini terdapat lima dimensi fungsi keluarga yaitu kemampuan beradaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan keputusan (Friedman, 1998). Penelitian yang dilakukan

  

Salter, Foley dan Teasell (2010) dengan instrument ini membuktikan

peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan menangkal depresi paska stroke.

2.4 Depresi

  2.4.1 Pengertian Depresi Depresi adalah perasaan murung atau sedih yang berlangsung dalam waktu singkat dan hilang dalam beberapa hari (National Institute of

  Mental Health )(NIMH, 2011).

  Depresi dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, perasaan tidak berharga, merasa kosong, putus harapan, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada kegiatan sehari- hari sampai ada ide bunuh diri (Yosep, 2009). Pada kasus patologi, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksii terhadap rangsang, disertai menurunya nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa (Maslim, 2001).

  2.2.2 Ciri-ciri Umum Depresi Menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2003) ciri-ciri umum dari depresi adalah : a. Perubahan pada kondisi emosional

  Perubahan pada kondisi mood (periode terus menerus dari perasaan terpuruk, depresi, sedih atau muram). Penuh dengan air mata atau menangis serta meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan atau kehilangan kesadaran.

  b. Perubahan dalam motivasi Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur.

  Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas yang menyenangkan. Menurunya minat pada seks serta gagal untuk berespon pada pujian.

  c. Perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik Gejala-gejala motorik yang dominan dan penting dalam depresi adalah retardasi motor yakni tingkah laku motorik yang berkurang atau lambat, bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan dari biasanya. Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk tidur kembali).

  Penderita depresi sering duduk dengan sikap yang terkulai dan tatapan yang kosong tanpa ekspresi, perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit), perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan), beraktivitas kurang efektif atau energik dari pada biasanya, d. Perubahan kognitif

  Penderita depresi kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih, berpikir negative mengenai diri sendiri dan masa depan, perasaan bersalah mengenai kesalahan dimasa lalu dan kurang self-esteem serta berpikir kematian atau bunuh diri.

  2.2.3. Faktor yang mempengaruhi depresi Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya depresi menurut

  Nevid et al (2003) faktor-faktor yang meningkatkan resiko seseorang

  a. Usia Depresi mampu menjadi kronis apabila depresi muncul untukpertama kalinya pada usia 60 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi pasien lanjut usia yang mengalami depresi diikuti selama 6 tahun kira-kira 80% tidak sembuh namun terus mangalami depresi atau mengalami depresi pasang surut. Farrell (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis pada pasien yang lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa muda. b. Status pernikahan Berlangsungnya pernikahan membawa manfaat yang baik bagi kesehatan mental laki-laki dan perempuan. Pernikahan tak hanya melegalkan hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan, karena ikatan suami-istri ini juga dipercaya dapat mengurangi risiko mengalami depresi dan kecemasan. Namun, bagi pasangan suami istri yang gagal membina hubungan pernikahan atau ditinggalkan pasangan karena meninggal, justru akan memicu terjadinya depresi. Bisa juga tergambar bagaimana kondisi kesehatan mental bagi seseorang yang tidak pernah kawin dibandingkan dengan mereka yang mengakhiri pernikahan. Scott mengatakan dalam studi itu diketahui bahwa kawin memberikan dampak lebih baik ketimbang tidak kawin bagi kesehatan jiwa untuk semua gender (Rachmanto, 2010)

  Menurut Schimeilpfering (2009) beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi. Hormon estrogen dan progesteron telah ditunjukkan untuk mempengaruhi neurotransmitter, neuroendokrin dan system sirkadian yang telah terlibat dalam gangguan suasana perasaan. Fakta bahwa perempuan sering mengalami gangguan suasana hati yang berhubungan dengan siklus menstruasi mereka, seperti gangguan pramenstruasi dysphoric, juga menunjukkan hubungan antara hormon seks wanita dan suasana perasaan. Selain itu,fluktuasi hormon yang berhubungan dengan kelahiran adalah pemicu umum bagi gangguan suasana perasaan, walapun menopause adalah saat ketika seorang wanita risiko depresi berkurang, periomenopausal periode adalah masa peningkatan resiko bagi orang-orang dengan riwayat depresi besar.

  Hormon lain faktor yang dapat menyebabkan risiko wanita untuk depresi adalah perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan hypothalmic- hipofisis-adrenal (HPA) axis dan untuk tiroid berfungsi.

  d. Pengaruh Genetik Bukti terbaik bahwa gen berhubungan dengan gangguan suasana perasaan adalah datang dari twin studies (studi orang kembar). Dalam studi ini menelaah frekuensi kembar identik (dengan gen identik) yang memiliki gangguan dibanding kembar fraternal yang hanya memiliki 50% gen identik (seperti anggota keluarga tingkat pertama lainya). Studi berat, maka 59% diantara pasangan kembar identik dan 30 % diantara diantara fraternal juga menunjukkan adanya gangguan suasana perasaan.

  e. Peristiwa Kehidupan Stres Stres dan trauma adalah dua diantara kontribusi unik yang paling menonjol didalam etiologi semua gangguan psikologis. Sebagian besar orang yang mengembangkan depresi melaporkan bahwa mereka kehilangan pekerjaan, bercerai, atau megalami stres berat yang lain.

  Penelitian lain yang dilakukan Dahlin et al (2006) menyatakan ada hubungan antara tingkat depresi dengan gangguan aktivitas sehari-hari.

  Hal ini diperkuat oleh penelitian Sit et al (2007) bahwa gangguan aktivitas sehari-hari mempunyai hubungan yang sedang dengan depresi, dimana pada 48 jam pasca masuk rumah sakit dan 6 bulan pascanya. bahkan ada korelasi juga antara persepsi klien terkait dengan dukungan keluarga (Li, 2003).

  f. Hubungan Pernikahan Hubungan pernikahan yang tidak memuaskan terkait erat dengan depresi. Karena berdasarkan studi Bruce dan kim (1992) dari 695 perempuan dan 530 laki-laki, selama kurun waktu sejumlah partisipan bercerai atau berpisah dengan pasanganya. Diperkirakan 21% perempuan yang bercerai menyatakan bahwa dirinya mengalami depresi, dan hampir 21% laki-laki yang bercerai mengalami depresi berat.

  g. Pendidikan seseorang yang berpendidikan rendah akan mengalami gejala depresi sebesar 1,5 kali dibanding dengan seseorang yang berpendidikan tinggi. Penelitian Fatoye (2009) terhadap 118 pasien stroke menyatakan bahwa pendidikan rendah mempengaruhi kejadian depresi pasca stroke.

  2.2.4 Depresi Pasca Stroke Menurut Schub dan Caple (2010) depresi pasca stroke adalah gangguan mood yang dapat terjadi setiap saat pasca stroke dan biasanya terjadi dalam bulan pertama. Menurut Bour et al (2009) depresi pasca stroke adalah gangguan emosional yang sering terjadi pasca suatu serangan stroke.

  Penyebab dari post stroke depression (PSD) melibatkan kombinasi dari mekanisme fisik dan psikologis (Schub & Caple, 2010).

  Spaletta et al (2001 dalam Taylor, 2006) mengatakan bahwa defisit neurologi selain berakibat pada fisiknya juga emosinya. Pasien dengan kerusakan otak sebelah kiri mengalami kecemasan maupun depresi, sedangkan Li, Wang, dan Lin (2003) mengungkapkan bahwa lokasi lesi, stroke frontal dan jalur kontrol katekolamin menyebabkan depresi pasca stroke. Hal ini diperkuat oleh penelitian Farrell (2004) menunjukkan bahwa penyebab depresi pasca stroke adalah karena faktor organik. Faktor risiko untuk depresi pasca stroke menurut Schub dan Caple (2010) diantaranya ada peningkatan keparahan stroke, penurunan intelektual, tinggal sendirian. Selain diatas Farrell (2004) juga menambahkan faktor risiko pada depresi yaitu penyakit kronis yang menyertai, insomnia, dan alkoholisme.

  Gejala depresi dapat berkembang setiap saat pasca stroke, tetapi periode risiko terbesar adalah dalam beberapa bulan pertama. Menurut

  Diagnostic and Statistik Manual of Mental Disorders (DSM-IV), gejala

  depresi utama termasuk mood depresi hampir sepanjang hari, tidak tertarik dalam beraktivitas, perubahan berat badan, nafsu makan menurun, tingkat energi menurun, gangguan pola tidur, gangguan fungsi psikomotorik, kesulitan berkonsentrasi, perasaan negatif tentang dirinya, lekas marah, menghindari kontak mata dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, 2010).

  Gejala depresi pasca stroke yang ditimbulkan sebagai akibat lesi (kerusakan) pada susunan saraf pusat otak dan bisa juga akibat dari gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif pasca stroke (Hawari, 2006). Menurut Hirota, Seligman, dan Weiss (2003 dalam Sarafino, 2004) mengemukakan bahwa perasaan tidak berdaya merupakan bentuk reaksi depresi dimana seseorang merasa tidak mampu menemukan jalan keluar atau penyelesaian masalah yang dihadapi terutama saat menghadapi stress, seseorang akan berhenti berusaha dan kemudian menyerah. Depresi pasca stroke mempunyai demensi perubahan pada mood, afektif, kognitif, behavioral, neurovegetatif dan

  Perubahan mood pada depresi berupa kesedihan dan kehilangan kemampuan untuk bergembira. Kelainan afektif dapat terlihat dari muka dan sikap yang sedih dan sering menangis. Sedangkan perubahan kognitif yang terjadi adalah kehilangan motivasi, inisiatif dan menjadi apatis.

  Penderita menjadi merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak dapat konsentrasi dan merasa tidak dapat menolong dirinya sendiri, bahkan terkadang disertai juga perasaan gangguan organik (hipokondriasis). Beberapa diantaranya ada yang menarik diri dari pergaulan atau kegiatan social disertai halusinasi dan delusi (Misbach, 1999).

  Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong pasien stroke untuk bunuh diri (Schulz et al, 2000). Perasaan takut jatuh, terjadinya serangan stroke ulangan dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh pandangan orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan penderita stroke membatasi diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke dalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya (Hill, Payne, & Ward, 2000).

  Ketidakmampuan fisik bersama-sama dengan gejala depresi dapat menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun pertama, namun dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik .menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri yang bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya (Suwantara, 2004).

  2.2.5 Pengukuran Depresi.

  Penilaian tentang tingkat depresi menggunakan CES-D (The

  

Center of epidemiological Studies Depression ). CES-D berisi 20 item

  pertanyaan yang dikembangkan oleh Radloff, dengan total skor 60 (NIMH), 2011). Instrument ini paling sesuai digunakan untuk mengukur depresi yang dihubungkan dengan penyakit kronik. Instrument ini mencangkup perasaan sedih, masalah tidur, tidak bertenaga, nafsu makan berkurang, merasa hidup tidak berharga, pesimis akan masa depan, tidak ada minat terhadap aktivitas, tidak dapat berkonsentrasi yang dialami hampir setiap hari selama 1 minggu atau lebih. (Sharp & Lipsky, 2002). Penelitian yang dilakukan Brawn et al (2012) tentang depresi pasca stroke di Swedia menggunakan kuesioner CES-D untuk mengukur depresi hasil penelitian ini 15%-19% mengalami depresi pasca stroke.

2.5 Teori Self Care Dorothea E Orem

   Self care merupakan prilaku yang dipelajari dan merupakan suatu tindakan sebagai respon atas suatu kebutuhan (Delaune & Ladner, 2002).

  Pada konsep self care, Orem menitik beratkan bahwa seseorang harus dapat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan self care untuk dirinya sendiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk kesehatannya (Alligood & Tomey, 2006). Kebutuhan seseorang untuk terlibat dalam

  

therapeutic self care demand (Delaune & Ladner, 2002). Self care dalam

  konteks penyakit kronis merupakan hal yang kompleks dan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan manajemen serta kontrol dari penyakit kronis terebut (Larsen & Lubkin, 2009).

  Teori self care defisit Orem (1971 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan diri terapeutik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri yang mana unsur pokok perkembangan kemampuan perawatan diri tidak berjalan atau tidak adekuat untuk mengetahui atau mempertemukan sebagian atau semua komponen yang ada atau membangun kebutuhan perawatan diri, dengan kata lain bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri (Orem, 1985 dalam Basford & Slevin, 2006).

  Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki seorang individu untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self care (Alligood & Tomey, 2006). Orem mengidentifikasi basic conditioning factor yang mempengaruhi self care

  agency yaitu gender, tahap perkembangan, tingkat kesehatan, pola hidup,

  sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga dan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006). Interaksi antara perawat dengan klien akan dapat terjadi jika klien mengalami self care deficit, disinilah muncul suatu

Dokumen yang terkait

Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke

3 93 113

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke - Dukungan Pasangan dalam Merawat Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional di Rumah

0 0 58

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga - Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Status Fungsional - Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.Konsep Dukungan Sosial Keluarga 1.1. Defenisi Dukungan Sosial - Hubungan Dukungan Sosial keluarga dengan Stres pada Pasien Stroke di Poliklinik RSUD. Dr. Pirngadi Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Dukungan Keluarga 2.1.1 Pengertian Dukungan Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

0 0 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Stroke - Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

0 0 36

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke 2.1.1. Definisi Stroke - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 35

Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke

0 0 10