BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga - Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  1. Konsep Keluarga

  1.1 Pengertian Keluarga Menurut Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan mempertahankan budaya umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari individu-individu di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama.

  Menurut Dion & Betan (2013) menyimpulkan bahwa keluarga adalah : 1. Terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki ikatan atau lebih yang memiliki ikatan atau persekutuan berupa perkawinan atau persekutuan yang dibentuk.

  2. Terdapat hubungan yang dibentuk melalui adanya hubungan darah, adopsi dan kesepakatan yang dibuat.

  3. Tinggal bersama di bawah satu atap atau antara satu anggota dengan yang lain memiliki tempat tinggal yang berbeda karena sesuatu urusan tertentu akan tetapi untuk sementara waktu.

  4. Memiliki peran masing-masing dan bertanggung jawab terhadap tugs yang diberikan.

  5. Ada ikatan emosional yang sulit untuk ditinggalkan oleh setiap anggota keluarga.

  7

  6. Antara anggota keluarga saling berinteraksi, interelasi dan interdependensi.

  1.2 Tipe Keluarga Menurut Setiadi (2008) membagi keluarga menjadi dua tipe, yaitu : 1. Secara Tradisional a.

  Keluarga Inti (Nuclear Family) adalah terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya.

  b.

  Keluarga Besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).

  2. Secara Modern a.

  Tradisional Nuclear yaitu keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.

  b.

  Reconstituted Nuclear adalah pembentukan baru dari kelurga inti melalui perkawinan kembali.

  c.

  Niddle Age / Aging Couple adalah suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau keduanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/ perkawinan/ meniti karir.

  d.

  Dyanic Nuclear adalah suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak yang keduanya atau salah satu bekerja di luar rumah.

  e.

  Single Parent adalah satu orangtua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah atau di luar rumah. f.

  Dual Carrier adalah suami istri atau keduanya orang karir dan tanpa anak.

  g.

  Commuter Married adalah suami istri atau keduannya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tertentu.

  h.

  Single Adult adalah wanita atau pria yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah. i.

  Three Generation yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah. j.

  Institusional yaitu anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam suatu panti. k.

  Comunal yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas. l.

  Group Marriage adalah satu perumahan terdiri dari orangtua dan keturunannya di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin dengan yang lain dan semua adalah orangtua dari anak-anak. m.

  Unmaried Parent and Child yaitu ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi. n.

  Cohibing Coiple yaitu dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin. o.

  Gay and Lesbian Family yaitu keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.

  1.3 Fungsi Pokok Keluarga Terdapat beberapa fungsi keluarga menurut Friedman (1998) ; Setiawati &

  Dermawan (2005 dalam Achjar, 2010) yaitu :

  1. Fungsi afektif, yaitu dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan kepribadian anggota keluarga. Merupakan respon keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap anggota keluarga baik senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang.

  2. Fungsi sosialisasi, yaitu melakukan pembinaan sosialisasi anak, membentuk nilai dan moral yang diyakini anak, memberikan batasan prilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak,meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

  3. Fungsi perawatan kesehatan, yaitu melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spiritual.

4. Fungsi ekonomi, yaitu memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga.

  5. Fungsi biologis, yaitu bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi selanjutnya.

  6. Fungsi psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.

  7. Fungsi pendidikan, yaitu memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

  1.4 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan Ada lima tugas keluarga yang dijabarkan oleh Friedman (1998 dalam

  Achjar, 2010) yang sampai saat ini masih dipakai dalam asuhan keperawatan keluarga. Tugas kesehatan keluarga tersebut yaitu :

  1. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis.

  2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga.

  3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.

  4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.

  5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga.

  Keluarga mempunyai peranan sangat penting dalam upaya peningkatan kesehatan dan pengurangan resiko penyakit dalam masyarakat karena keluarga merupakan unit terkeil dalam masyarakat. Bila terdapat masalah satu anggota keluarga akan menjadi satu unit keluarga karena ada hubungan kuat antara keluarga dengan status anggota keluarganya.

  Peran keluarga sangat penting dalam setiap aspek keperawatan kesehatan anggota keluaranya untuk itu keluarga lah yang berperan dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh keluarga. Status sehat dan sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi.

2. Konsep Komunikasi

  2.1 Pengertian Komunikasi Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan oranglain. Karena komunikasi dilakukan setiap hari, kebanyakan orang menganggap bahwa komunikasi adalah sesuatu yang mudah.

  Namun sebenarnya komunikasi adalah proses kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan nonverbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan. Kebisuan juga merupakan sebuah makna komunikasi ( Potter & Perry, 2005).

  Komunikasi sangat diperlukan dalam hubungan antar individu di kehidupan sehari-hari. Kerjasama dan koordinasi yang baik akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik dan hubungan yang harmonis akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik pula. Setiap komunikasi memiliki tujuan masing- masing, baik antara penyampaian informasi dan yang mencari informasi (Priyanto, 2009).

  2.2 Tingkatan Komunikasi Komunikasi terjadi pada tingkat : 1. Komunikasi intrapersonal, yaitu terjadi di dalam diri individu, merupakan model bicara seorang diri atau dialog internal yang terjadi secara konstan dan tanpa disadari.

  2. Komunikasi interpersonal, yaitu interaksi antara dua orang atau di dalam kelompok kecil. Komunikasi interpersonal yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan dan perkembangan pribadi.

3. Komunikasi publik atau umum, yaitu interaksi dengan sekumpulan orang dalam jumlah yang besar.

  2.3 Bentuk Komunikasi 1. Komunikasi verbal meliputi kata-kata yang diucapkan maupun yang ditulis.

  Kata-kata adalah media yang digunakan untuk mengekspresikan ide atau perasaan, menimbulkan respons emosional, atau menggambarkan objek, obsevasi, kenangan, atau kesimpulan. Agar terciptanya komunikasi yang efektif perlu diperhatikan : (1) Kejelasan dan ringkasan, (2) Kosakata, (3) Makna denotatif dan konotatif, (4) Kecepatan, (5) Waktu dan relevansi, (6) Humor

  2. Komunikasi non-verbal adalah transmisi pesan tanpa menggunakan kata-kata, dan merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pesan kepada oranglain. Gerakan tubuh memberi makna yang lebih jelas daripada kata-kata sehingga perlu yang diperhatikan yaitu : (1)

  Penampilan personal, (2) Intonasi, (3) Ekspresi wajah, (4) Postur dan gaya berjalan, (5) Gerakan tubuh, (6) Sentuhan

  2.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi komunikasi 1. Perkembangan

  Usia seseorang berpengaruh terhadap cara seseorang berkomunikasi baik dari segi bahasa maupun proses pikir orang tersebut. Sangat perlu mempelajari bahasa sesuai umur ketika berkomunikasi, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar (Priyanto, 2009).

  2. Nilai Nilai adalah keyakinan yang dianut seseorang. Jalan hidup seseorang dipengaruhi oleh keyakinan, pikiran dan tingkah lakunya. Nilai seseorang berbeda satu sama lainnya (Mundakir, 2006). Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

  3. Persepsi Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi sendiri dibentuk dari harapan atau pengalaman.

  Perbedaan persepsi dapat menghambat komunikasi (Priyanto, 2009). Persepsi akan sangat mempengaruhi jalannya komunikasi karena proses komunikasi harus ada persepsi dan pengertian yang sama tentang pesan yang disampaikan dan diterima oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006).

  4. Latar Belakang Bahasa dan gaya bahasa akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya.

  Budaya akan membatasi seseorang bertindak atau berkomunikasi (Priyanto, 2009). Faktor ini memang sedikit pengaruhnya namun peling tidak dapat dijadikan pegangan dalam bertutur kata, bersikap dan melangkah dalam berkomunikasi (Mundakir, 2006).

  5. Emosi Emosi adalah subjektif seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi disekelilingnya. Kekuatan emosi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana kemampuan atau kesanggupan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (Mundakir, 2006). Emosi seperti marah, sedih, dan senang akan dapat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Priyanto, 2009).

  6. Jenis Kelamin Setiap jenis kelamin baik wanita maupun pria mempunyai gaya komunikasi yang berbeda-beda. Disebutkan bahwa wanita dan laki-laki mempunyai perbedaan gaya dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

  7. Pengetahuan Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan.

  Seseorang yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Priyanto,2009).

  8. Peran dan Hubungan Peran seseorang mempengaruhi dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Komunikasi akan berlangsung terbuka, rileks dan nyaman bila dilakukan dengan kelompok yang mempunyai peran sama (Mundakir, 2006).

  9. Lingkungan Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif.

  Suasana yang bising dan tidak adanya privasi akan menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan (Priyanto, 2009). Banyak orang bersedia melayani komunikasi dalam lingkungan yang nyaman. Lingkungan yang kacau akan dapat merusak pesan yang dikirim oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006).

  10. Jarak Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat menimbulkan rasa aman. Seperti misalnya orang akan merasa terancam bila orang yang tidak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat dengan dirinya (Priyanto, 2009).

  2.5 Tujuan Komunikasi Dalam buku saku komunikasi keperawatan (2009) dijelaskan bahwa tujuan komunikasi adalah sebagai berikut :

  1. Supaya yang disampaikan dapat mengerti 2.

  Memahami orang lain, komunikator harus mengerti aspirasi orang lain, jangan memaksakan kehendak

  3. Supaya gagasan dapat diterima orang lain, melalui pendekatan persuasif bukan memaksakan kehendak

  4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu, kegiatan yang banyak mendorong dengan cara yang baik

  2.6 Proses Komunikasi Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat menciptakan suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif atau sesuai dengan tujuan komunikasi pada umumnya (Nurhasanah, 2010).

  Gambar 1.1 Proses Komunikasi

  Komunikasi terjadi bila ada sumber informasi yang merupakan bahan atau materi yang akan disampaikan oleh komunikator. Sebelum informasi disampaikan komunikator perlu melakukan penyandian (encoding) untuk mengubah ide dalam otak ke dalam suatu sandi yang cocok dengan transmitter. Contoh dari bentuk penyandian ini adalah kata-kata dalam komunikasi non verbal, anggukan kepala, sentuhan, kontak mata dan sebagainya. Setelah pesan disandikan kemudian komunikator menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komunikan) melalui saluran atau media. Ketepatan komunikan dalam menafsirkan pesan (decoding) dipengaruhi oleh banyak hal misalnya pengetahuan, pengalaman, fungsi alat indra yang digunakan dan sebagainya. Komunikasi berlangsung efektif bila terjadi feed

  back yang baik antara penerima pesan dengan pembawa pesan sebelum terjadinya

  perubahan atau efek sebagai dampak dari komunikasi (Mundakir, 2006)

  2.7 Hambatan Komunikasi Menurut Mundakir (2006) secara umum hambatan yang terjadi selama komunikasi yaitu:

  1. Kurangnya penggunaan sumber komunikasi yang tepat 2.

  Kurangnya perencanaan dalam berkomunikasi 3. Penampilan, sikap, dan kecakapan yang kurang tepat selama berkomunikasi 4. Kurangnya pengetahuan 5. Perbedaan persepsi 6. Perbedaan harapan 7. Kondisi fisik dan mental yang kurang baik 8. Pesan yang tidak jelas 9. Prasangka yang buruk 10.

  Transmisi/ media yang kurang baik 11. Perbedaan status, pengetahuan, dan bahasa 12. Distorsi (kesalahan informasi)

  Sedangkan menurut Nurhasanah (2010) membagikan hambatan komunikasi menjadi lima jenis sebagai berikut :

  1. Fisik, yaitu hal menyangkut ruang fisik, lingkungan

  2. Biologis, yaitu hambatan karena ketidaksempurnaan anggota tubuh 3.

  Intelektual, yaitu hambatan yang berhubungan dengan kemampuan pengetahuan

  4. Psikis, yaitu hambatan yang menyangkut faktor kejiwaan, emosional, tidak saling percaya, dan penilaian menghakimi.

  5. Kultural, yaitu hambatan yang berkaitan dengan nilai budaya dan bahasa

  2.8 Gangguan Komunikasi pada Pasien Stroke Komunikasi terdiri atas komponen dua arah, yaitu : 1. Menyatakan perasaan (kemampuan berbicara, gerak isyarat, ekspresi wajah, tulisan, hitungan, penanganan matematika)

  2. Menerima (dapat mengerti gerak isyarat orang lain, mengerti apa yang orang lain katakan kepada kita, dapat memahami bacaan pada saat membaca, dapat menerima konsep waktu sebuah jam)

  Kebayakan para penderita stroke yang dapat bertahan mengalami kesulitan-kesulitan pada satu atau lebih bagian dari keduanya, baik komunikasi yang menyatakan perasaan atau yang menerima. Penurunan kemampuan ini dapat beragam dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

  Penderita stroke banyak yang mengalami gangguan komunikasi mulai dari pemahaman bahasa, berbicara, membaca dan menulis, sampai menggunakan simbol dan isyarat dalam berkomunikasi. Menurut catatan, 90 persen masalah komunikasi terjadi pada penderita yang mengalami kerusakan otak kirinya, sementara 75 persen mengalami kerusakan pada hemisfer kanan (Djohan, 2006).

  Tiga jenis gangguan komunikasi yang umum dialami menurut Djohan (2006), yaitu : 1.

  Aphasia berupa lemahnya kemampuan menggunakan bahasa akibat kerusakan otak. Pada receptive aphasia terjadi ketidakmampuan untuk mengolah, dan menginterpretasikan simbol-simbol bahasa, sedangkan pada expressive aphasia klien tidak dapat memformulasikan pikirannya dalam kata-kata.

  2. Dysarthria berupa gangguan bicara karena rusaknya sistem saraf yang mengontrol mekanisme produksi bicara termasuk struktur bernafas, meneguk, menyuarakan, dan menggerakkan lidah, bibir, rahang, dan langit-langit mulut yang berguna untuk artikulasi dan resonansi. Penderita hanya berbicara secara monoton dan sengau karena kesulitan koordinasi nafas dan bicara.

  3. Apraxia adalah gangguan merencanakan dan memposisikan urutan kata secara tepat karena adanya gangguan pada otot bicara yang berkaitan dengan artikulasi kata-kata. Rangkaian suara bahasa yang disampaikan terganggu. Klien berusaha mengucapkan suatu rangkaian kata tetapi yang dihasilkan kacau.

  Kerusakan otak kiri dapat mempengaruhi pusat berbicara dan komunikasi, pasien akan mengalami afasia (ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal) dan jika otak kanan maka dapat mempengaruhi proses berfikir, memori, perhitungan tertulis dan kemampuan untuk menyatakan waktu (Hegner & Caldwell, 2003).

  Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010) secara umum afasia terbagi atas tiga, yaitu :

  1. Afasia motorik

  Ketidakmampuan pasien mengungkapkan atau mengekspresikan kata-kata, tetapi mampu memahami apa yang dikatakan orang lain kepadanya.

  2. Afasia sensorik

  Pasien tidak mampu memahami pembicaraan orang lain meskipun pendengarannya baik, tetapi pasien dapat mengeluarkan kata-kata. Akibatnya pasien afasia sensorik terlihat tidak nyambung kalau diajak berbicara, oleh karena otak tidak mampu menginterpretasikan pembicaraan oranglain meskipun fungsi pendengaran baik.

  3. Afasia global

  Pasien mengalami kerusakan otak luas dan menyerang pusat ekspresi dan pusat pengertian bicara di otak kiri sehingga pasien tidak mampu memahami pembicaraan orang lain dan tidak mampu menggungkapkan kata-kata secara verbal.

  Dengan demikian, afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Tidak ada dua orang penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu orang dengan yang lain. tingkat keparahan dan luasnya cakupan afaia tergantung dari lokasi dan kepaarahan cedera otak, kemampuan berbahsa sebelum afasia, dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan kepribadian seseorang.

  Menurut Kusumoputro & Sidiarto (2009), masalah lain yang mungkin dihadapi seorang pasien afasia adalah sebagai berikut :

  1. Kelumpuhan separuh tubuh, dapat setengah lumpuh atau lumpuh total dan biasanya sebelah kanan.

  2. Pasien tidak dapat mengucapkan kata-kata dengan baik karena ada gangguan gerakan otot bibir dan lidahnya. Ia tahu akan kesalahan yang diperbuatnya, akan tetapi tidak sanggup memperbaikinya.

  3. Bicaranya menjadi lambat dan sulit karena otot mulut, lidah dan tenggorokan kurang berfungsi dengan baik. Selain itu, keadaan ini sering menimbulkan kesukaran untuk mengunyah dan menelan.

  4. Beberapa pasien dapat mengalami penciutan lapangan pandang sehingga kurang dapat melihat satu sisi. Biasanya kalau ada kelumpuhan tubuh sisi kiri, maka lapangan pandang sisi kiri juga kurang dapt dilihatnya.

  5. Pasien afasia dapat menunjukkan gejala selalu mengucapkan kata atau kalimat yang sama. Ia tidak dapat melepas kata atau kalimat tersebut, seolah-olah melekat padanya.

  6. Dapat pula terjadi pasien tidak dapat membaca jam dan tidak mengetahui waktu.

  7. Pasien afasia sukar berkonsentrasi dan mudah teralih perhatiannya serta mengalami kesulitan dalam berhitung.

  8. Pasien afasia dapat pula cepat marah, mudah tersinggung dan murung, terutama pada awal penyakitnya.

  Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baaik, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lelar, tetapi apa yang diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Perlu iningat seseorang yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh (Association Internatianate Aphasie, 2011)

  2.9 Berkomunikasi dengan Pasien Stroke Hal yang harus dipahami keluarga adalah pasien stroke tetap membutuhkan kesempatan untuk mendengar pembicaraan orang lain secara normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami gangguan berkomunikasi, misalnya mendiamkan atau menganggap seolah-olah pasien tidak memahami pembicaraan, maka pasien akan merasa frustasi dan sakit hati.

  Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010) cara berkomunikasi dengan pasien afasia, yaitu :

1. Usahakan agar wajah kita menghadap lurus kearah pasien. Hal ini akan membantu pasien untuk melihat bibir dan ekspresi wajah kita.

  2. Usahakan menggunakan kalimat yang pendek dan berikan penekanan pada kata yang penting. Jika memungkinkan gunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama suara sehingga pasien dapat memahami perkataan kita. Bila pasien tidak mengerti perkataan kita, usahakan untuk mengucapkan dengan kalimat yang artinya sama.

  3. Anjurkan dan berikan kesempatan kepada pasien untuk berkomunikasi secara total, yaitu dengan mempergunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Jangan cemas bila pasien memberikan jawaban yang kurang jelas.

  4. Agar memahami pembicaraan pasien, sebaiknya kita mendengarkan secara cermat dan memperhatikan kata-kata kunci, selanjutnya mengira-ngira apa yang ingin pasien katakan. Jangan gusar bila tebakan kita salah, minta maaf dan anjurkan pasien untuk mengulang kata-katannya.

5. Untuk membantu pasien memahami pembicaraan orang lain, usahakan berbicara perlahan, tenang, intonasi suara normal dan jangan berteriak.

  Gunakan bahasa orang dewasa, kalimat pendek dan berikan rangsangan visual jika memungkinkan.

  Seringkali pasien stroke dengan afasia, khususnya afasia motorik merasa frustasi karena tidak mampu mengungkapkan apa yang diinginkannya, sehingga pasien marah atau bahkan mengamuk. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan papan komunikasi yang berisi gambar atau simbol aktifitas kegiatan harian pasien. Papan komunikasi bukan digunakan untuk melatih tetapi sebagai media komunikasi untuk mengantisipasi keinginan pasien yang sulit dimengerti sehingga pasien tidak frustasi. Untuk mempercepat pemulihan, pasien stroke dengan afasia dianjurkan untuk berlatih dengan terapis wicara secara teratur minimal 2 kali seminggu (Mulyatsih, 2008).

  Dreher (1981 dalam Bastable, 2002) memberikan saran-saran untuk meningkatkan komunikasi dengan penderita disartria sebagai berikut:

  1. Pastikan bahwa lingkungan sekitar tenang karena harus mendengarkan orang yang otot bicaranya lemah dan tidak terkoordinasi. Pendengar yang cermat akan memilah jika ada pola kesalahan bunyi yang konsisten.

  2. Minta pembicara untuk mengulang bagian pesan yang tidak jelas. Konsentrasi dan niat hati akan meningkatkan kejelasan.

  3. Jangan sederhanakan pesan. Disartria tidak mempengaruhi pemahaman.

  4. Ajukan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban pendek, agar penderita tidak lelah karena berusaha keras menghasilkan bunyi.

  5. Dorong penderita agar mau lebih banyak menggunakan gerakan oral untuk menghasilkan setiap suku kata, memperlambat cara bicaranya, dan berbicara lebih keras.

  6. Minta pasien yang sangat sulit berkomunikasi untuk menggunakan bahasa tubuh, menulis, atau menuding pesan pada papan komunikasi.

  Anggota keluarga akan sangat membantu bila mereka bisa mengidentifikasi cara terbaik memotivasi pasien. Mereka juga dapat mengadopsi bagaimana cara berkomunikasi dengan isyarat. Komunikasi yang intens dan dekat, meski dengan isyarat, bisa mempercepat kesembuhan. Keluarga bisa memulainya dengan mengetahui masalah emosi, fisik, dan medis yang dialami pasien.

  3. Riset Fenomenologi

  Fenomenologi adalah suatu pendekatan dalam mempelajari makna dari pengalaman manusia menjalani suatu fase dalam kehidupannya. Tujan penelitian fenomenologi adalah memahami makna dari pengalaman kehidupan yang dialami oleh partisipan dan menjelaskan perspektif filosopi yang mendasari fenomena tersebut (Dharma, 2013).

  Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Hal yang disajikan adalah deskripsi mengenai bagaimana pengalaman orang lain dan apa maknanya bagi mereka (Saryono & Anggraeni, 2013).

  Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan lebih kurang 10 orang. Terdapat dua macam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif.

  Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena. Sementara itu, bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut disebut fenomenologi interpretif (Polit & Beck, 2012).

  Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Colaizzi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1989). Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

  Menurut Lincoln & Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) untuk memperoleh hasil penelitian fenomenologi yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu, 1.

  Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, artinya hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian yaitu memperpanjang masa pengamatan (prolonged engagement), pengamatan yang terus menerus (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), mengadakan pengecekan anggota (member checking), analisis kasus negatif (negative case

  

analysis) , dan pengecekan atas kecukupan referensial (referencial

adequacy checks).

  2. Transferbility yaitu apakah hasil penelitian dapat diterapkan pada situasi yang lain. Kriteria ini digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam komteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama.

  3. Dependability yaitu kriteria untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek apakah peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview

  audit aktifitas peneliti.

  4. Confirmability yaitu dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.

Dokumen yang terkait

Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 0 11

a. Laki-laki b. Perempuan 3 Tingkat Pendidikan a. SMP b. SMU c. DIII d. S1 e. S2 4 Masa Kerja - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengorganisasian 2.1 Definisi Pengorganisasian - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 1 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Usaha Kecil Menengah - Strategi Keunggulan Bersaing Pada Ukm Kacang Garing Martabe Dalam Menghadapi Persaingan Antar Usaha Kacang Garing Di Silangkitang - Tapanuli Utara

0 0 43

Strategi Keunggulan Bersaing Pada Ukm Kacang Garing Martabe Dalam Menghadapi Persaingan Antar Usaha Kacang Garing Di Silangkitang - Tapanuli Utara

0 0 16

2. IPE 2.1 Definisi IPE - Analisis Persepsi, Motivasi, dan Kesiapan Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sumatera Utara pada Interprofessional Education (IPE)

0 6 16

BAB 2 LANDASAN TEORI - Perencanaan Produksi Kopi Menggunakan Model Matriks Transportasi Bowman(Studi Kasus: Pt.Sumatera Specialty Coffees)

0 0 41

Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 3 49

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian - Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 31