BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Sejarah Partai Politik di Indonesia - Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Partai Politik Pasca Munculnya Kasus Korupsi Di Indonesia (Studi Deskriptif di Kelurahan Asam Kumbang,Kecamatan Medan)

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Sejarah Partai Politik di Indonesia

  Partai politik pertama

  • –tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah dia bertujuan sosial (seperti Budi Utomo dan Muhammadiah) ataukah terang-terangan menganut azas politik/agama (seperti Sarikat Islam dan Partai Politik) atau azas politik/sekuler (seperti PNI atau PKI), memainkan peranan penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa ini menunjukkan keanekaragaman, pola mana diteruskan dalam masa merdeka dalam bentuk sistem multi-partai. Dengan didirikannya Volksraad maka beberapa partai dan organisasi bergerak melalui badan ini.

  Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi dalam Volksraad, yakni Fraksi Nasional di bawah pimpinan Husni Thamrin, PPBB (perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putra) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale

  

Group di bawah pimpinan Muhammad Yamin. Di luar Volksraad ada usaha untuk

  mengadakan gabungan dari partai-partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional. Pada tahun 1939 dibentuk K.R.I. (Komite Rakyat Indonesia) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia, yang merupakan gabungan dari partai-partai beraliran Islam yang terbentuk pada tahun 1937) dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia, yang merupakan gabungan organisasi buruh). Kegiatan politik pada masa pendudukan Jepang dilarang hanya golongan- golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi.

  Akan tetapi, satu bulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan, kesempatan dibuka lebar-lebar untuk mendirikan partai poltik, anjuran mana mendapat sambutan yang antusias. Dengan demikian kepartaian kembali ke pola multi- partai yang telah dimulai dalam zaman kolonial. Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 membawa penyederhanaan dalam jumlah partai dalam arti bahwa dengan jelas telah muncul empat partai besar, yakni Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Akan tetapi partai-partai tetap tidak menyelenggarakan fungsinya sebagaimana yang diharapkan. Akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin partai- partai dipersempit ruang-geraknya mengenai partai dalam masa sistem parlementer pernah ditulis oleh Daniel S.Lev.

  “Sistem partai di Indonesia menunjukkan beberapa gejala kekacauan yang tidak asing bagi sistem multi-partai di dunia. Ada partai kecil yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar daripada dukungannya dalam masyarakat; di samping itu tidak ada partai yang mengembangkan sikap memikul tanggung jawab penuh seperti yang biasanya terdapat pada partai yang menguasai pemerintahan tanpa koalisi. Lagipula, sistem parlementer (di Indonesia) tidak pernah memiliki kekuasaan sepenuhnya, kewenangan dan keabsahan dalam tata-tertib politik, dan juga tidak dapat menguasai segala aspek situasi konflik politik. Pada akhirnya pemerintahan parlementer dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan extra parlementer seperti presiden dan tentara. Akan tetapi partai politik juga tidak luput dari tantangan dari kalangan mereka sendiri. Dan hal ini juga membantu timbulnya Demokrasi Terpimpin”

  Dalam masa Orde Baru partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa. Akan tetapi, sesudah diadakan pemilihan umum tahun 1971, di mana Golkar menjadi pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya partai politik harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision making process untuk sementara akan tetap terbatas. Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai. Empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Indonesia dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bergabung menjadi Partai Demokrasi Pembangunan.

2.2 Defenisi Partai Politik

  Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan

  • – politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

  Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dan pemilihan umum, menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye,dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya. Kebalikan dari partisipasi adalah apatis. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika dia tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.

  Di bawah ini beberapa definisi mengenai partai politik antara lain: 1.

   Carl J.Friedrich

  Partai politik adalah sekolompok manusia yang teroganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan tethadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan,berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.

  2. R.H Soltau

  Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

  3. Sigmund Neumann

  Neumann dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan definisi partai politik sebagai organisasi dari aktivis- aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

  Perlu diterangkan bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya, dan kadang-kadang malahan bersifat ideologi. Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure

  group ).

  Istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini adalah ‘kelompok kepentingan’ (interest group). Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang karena mewakili berbagai golongan, lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum (Miriam, 1992:160- 162).

2.3 Fungsi Partai Politik

  Fungsi partai politik sesungguhnya berangkat dari realitas empirik yang dikerjakan partai politik dan berlangsung melalui proses evolusi yang panjang.

  Menurut Paul Allen Beck dan Frank J.Sorauf (1992;17), kesulitan untuk melekatkan fungsi apa yang semestinya menjadi atribut partai disebabkan oleh dua hal. Pertama, di antara ahli kepartaian sendiri tidak pernah mencapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan kata fungsi. Beberapa ahli menggunakan kata itu untuk menunjukkan aktivitas nyata partai politik, seperti kontestasi dalam pemilu, sementara ahli yang lain menggunakannya untuk menggambarkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak direncanakan atau sebuah kebetulan yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Pakar yang lain menyebutkan fungsi adalah menandakan sebuah kontribusi partai untuk beroperasi dalam sistem politik yang luas. Kedua, kesulitan untuk memformulasikan kategori fungsi partai terkait dengan kebutuhan untuk dapat diobservasi dan diukur atas fungsi yang dijalankan. Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu fungsi partai politik adalah mengorganisir konflik sosial atau artikulasi kepentingan-kepentingan sosial.

  Menurut Caton (2007:7) dalam Pamungkas, dalam negara demokrasi dan berbagai fungsi partai politik yang ada sebenarnya terdapat 4 (empat) fungsi sentral partai politik. Pertama adalah fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mengembangkan program-program dan kebijakan pemerintah yang konsisten.

  Kedua, fungsi agregasi kepentingan, memungut tuntutan masyarakat dan membungkusnya. Ketiga, rekuitmen, yaitu menyeleksi dan melatih orang untuk posisi-posisi di eksekutif dan legislatif. Keempat, mengawasi dan mengkontrol pemerintah (Pamungkas, 2011:15-20).

  Anthonius Sitepu dalam Soekarno, Militer, dan Partai Politik yang mengutip Miriam Budiarjo menjabarkan bahwa fungsi utama dari sebuah partai politik seharusnya adalah mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun. Fungsi-fungsi tersebut dalam cakupan lebih luasnya antara lain adalah:

  1. Sebagai sarana komunikasi politik yang menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang; 2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik yakni memainkan peran sebagai sarana proses di mana seseorang memperoleh sikap dan sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui masyarakat untuk menyampaikan norma dan nilai dari satu generasi ke generasi lainnya;

  3. Partai politik sebagai sarana recruitment politik berfungsi mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai sehingga partai akan memperluas partisipasi politik. Caranya antara lain adalah dengan mengkader golongan muda untuk mengganti pimpinan lama; 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management), di mana partai politik berusaha mengatasinya (Sitepu, P. Anthonius &

  Kisah Ruth Siregar, 2009:31). Selain itu beberapa ilmuwan juga menggambarkan banyak definisi mengenai partai politik. Sitepu kembali menjelaskan bahwa menurut Carl

  Friedrich yang dikutip oleh Ramlan Surbakti bahwa batasan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idil kepada para anggotanya (Sitepu, P. Anthonius & Kisah Ruth Siregar, 2009:28).

  Soltau dalam Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Sitepu Anthonius juga memaparkan bahwa definisi partai politik sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat (Sitepu, P. Anthonius & Kisah Ruth Siregar, 2009:28).

  Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa partai politik pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yaitu organisasi yang teratur, terdiri dari orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama yaitu merebut dan atau mempertahankan kekuasaan. Adapun cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuannya antara lain adalah dengan turut serta dalam kegiatan yang konstitusional seperti pemilihan umum.

  Ismanto Ignatius dalam tulisannya Dinamika Politikal Di Era Otonomi Daerah-nya juga memaparkan pahwa pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi subjek intervensi pemerintah pusat. Kepala daerah dan DPRD kini dapat dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Proses liberalisasi politik tersebut telah menempatkan partai politik daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Hal ini diungkapkannya dengan menambahkan bajwa pelembagaan partai lokal dapat menjadi alternatif bagi penguat kapasitas politik lokal akses pada

  25 Juni 2012, puku; 15.35 WIB).

  Hal yang senada juga dipaparkan oleh Humas UGM bahwa banyak partai politik sekarang yang menghadapi kaderisasi. Fenomena kader partai yang pindah dari satu partai ke partai lain menunjukkan bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik belum berhasil menanamkan loyalitas yang kuat sehingga kaderisasi tersebut menjadi masalah besar di partai politik. Penelitian dari LIPI bahkan menyebutkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun dikarenakan partai politik tidak mampu memainkan fungsinya secara optimal. Partai-partai politik tersebut dianggap tidak memiliki kemampuan mengerahkan dan mewakili kepentingan warga dengan pemerintah kses pada 28 Juni 2012, pukul 08.35 WIB).

  Terjadinya kesulitan dalam menjalankan fungsi partai politik ini menurut Paul Allen Beck dan Frank J. Sorauf (Pamungkas, 2011: 15 (Beck dan Sorauf 1992:17)) dikarenakan oleh dua hal, yakni: 1.

  Di antara ahli kepartaian sendiri tidak pernah mencapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan kata fungsi.

  Beberapa ahli menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan aktivitas nyata partai politik, seperti kontestasi dalam pemilu.

  Sementara ahli yang lain menggunakannya untuk menggambarkan konsekuensi yang tidak direncanakan atau sebuah kebetulan yang dihasilkan dari aktivitas yang direncanakan.

  2. Kesulitan untuk memformulasikan kategori fungsi partai terkait dengan kebutuhan untuk dapat diobservasi dan diukur di atas fungsi yang dijalankan. Beberapa penulis malah berpendapat bahwa salah satu fungsi partai adalah mengorganisir konflik sosial atau artikulasi kepentingan sosial.

  Senada dengan hal tersebut, Bismar Arianto dalam Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan yakni Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam

  

Pemilu memaparkan bahwa salah satu hal yang mengakibatkan masyarakat

  bersikap acuh terhadap pemilihan umum atau pemilihan yang bersifat sejenisnya terkait dengan masalah kasus korupsi adalah faktor poitik. Ketidakpercayaan terhadap partai yang dianggap tidak membawa perubahan dan perbaikan mengakibatkan masyarakat tidak mau menggunakan hak pilihnya (Arianto, 2011:8 dalam Jurnal Ilmu Politik Dan Ilmu Pemerintahan, 2011:58-59).

  Arianto menjabarkan bahwa masyarakat tidak lagi percaya dengan partai. Kandidat yang diberikan sebagai calon dianggap tidak memberikan perubahan. Stigma politik dilihat sebagai sesuatu yang kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya sehingga memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik. Akibatnya masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan.

  Politik di mana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi (Arianto, 2011:9).

2.4 Korupsi di Indonesia

  Korupsi merupakan fenomena yang telah menyejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, bahkan bangsa-bangsa di dunia. Hingga kini korupsi di Indonesia bukannya surut, tetapi justru semakin berkembang tak terkendali dengan modus operandi yang semakin canggih. Dalam berbagai kesempatan dan kegiatan korupsi mudah dilihat dan dikenali. Bahkan oleh orang awam sekalipun, mudah dimengerti, karena mereka sering melakukan atau mengalaminya.

  Banyak pihak yang melihat merajalelanya korupsi di Indonesia adalah refleksi sebuah budaya juga pendapat yang menyatakan bahwa korupsi itu lebih merupakan sebuah penyakit ganas dan bukan sebuah cacat bawaan dari suatu masyarakat. Seperti kanker yang lebih banyak muncul atau terjadi karena suatu proses perilaku korban yang buruk karena melanggar prinsip dan aturan hidup sehat. Memang ada kanker yang merupakan cacat bawaan (keturunan), namun keberadaannya lebih mudah diatasi atau diantisipasi. Dalam konteks budaya yang dapat disalahgunakan dan mendorong terjadinya korupsi itu juga ada di mana- mana dan masih eksis hingga sekarang.

  Adapun korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

  (b) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. (c) Kolonialisme. Suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. (d) Kurangnya pendidikan. (e) Kemiskinan. (f) Tiadanya tindak hukuman yang keras. (g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi. (h) Struktur pemerintahan yang berbelit-belit dan tidak kondusif. (i) Perubahan radikal. Tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tansisional. (j) Keadaan masyarakat. Korupsi dalam dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat keseluruhan. (Alatas, 1986: 46-47).

  Menurut Sudjana ada 4 (empat) hal utama yang memicu korupsi kian menjadi-jadi, yaitu:

  1. Sistem pemerintahan/ negara yang memungkinkan dan memberi peluang untuk korupsi;

  2. Semakin menurunnya moralitas, akhlak, dan kesadaran masyarakat; 3.

  Pandangan hidup yang materialistik, sekuler, kapitalis, komunis, dan melupakan keberadaan Tuhan dalam kehidupan, serta;

  4. Kurang aktifnya masyarakat dalam mengontrol (Sudjana, 2008:28).

  Setelah Indonesia merdeka, budaya korupsi juga terus berlanjut. Tak ketinggalan dalam penelitiannya Sirait juga memaparkan bahwa terdapat beberapa jenis korupsi (Beveniste dalam Sirait, 2011:16-18), antara lain: 1.

  Discretionery corupption, yakni tindak korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh: seorang pelayan perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada ”calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberi pendapatan tambahan.

2. Illegal corupption, yakni tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi hukum.

  Contoh: di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelengan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses itu tidak dimungkinkan. Untuk pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal- pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa digunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender.

  Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corupption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata; buka substansinya.

  3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh: dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang mempunyai kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang ”sogok” atau ”semir” dalam jumlah tertentu.

  4. Ideologi corruption, ialah enis korupsi ilegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejat tujuan kelompok. Contoh: kasus skandal Watergate adalah contoh ideological corruption, di mana sejumlah individu memberikan komitmen mereka terhadap presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset- aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum.

  Belum lama ini kita mendengar serangkaian kasus korupsi yang semakin menghangatkan suhu politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

  Pertama-tama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaq dinyatakan sebagai tersangka korupsi kasus impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama sesudahnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang. Tentu saja, dari sudut pandang normatif, ini merupakan suatu pertanda buruk dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Korupsi seakan-akan sudah menjadi persoalan klasik dan fitur utama dalam politik di tanah air.

  Ironisnya, para politisi, pejabat publik, dan tokoh masyarakat yang tersangkut kasus korupsi juga memiliki latar belakang yang sempat digadang-gadang memiliki potensi memperjuangkan proses politik yang lebih bersih (Anugrah, Iqra. 2013. Harian Indoprogress:

Dokumen yang terkait

Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Partai Politik Pasca Munculnya Kasus Korupsi Di Indonesia (Studi Deskriptif di Kelurahan Asam Kumbang,Kecamatan Medan)

2 87 76

Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum 2009)

1 45 71

Wanita Dan Partai Politik (Studi Analisis Deskriptif Terhadap Partisipasi Kesempatan Wanita Berkarier Dalam Kepengurusan Partai Politik Di Kabupaten Tapanuli Utara)

0 30 102

Partai Politik Dan Pemilu (Suatu Studi Marketing Politik Terhadap Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009)

0 56 96

Komunikasi Politik Di Media Massa : Studi Analisis Wacana Terhadap Pemberitaan Partai Nasdem Di Harian Media Indonesia

2 30 124

Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia

0 0 24

Hak Konstitusional Partai Politik dan Konsekuensi Calon Presiden-Wakil Presiden Tunggal di Indonesia

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Politik - Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional Dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik)

0 0 25

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN II.1. Profil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan II.1.1 Sejarah Berdirinya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan - Strategi Partai Politik Untuk Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Sebagai Imp

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Partai Politik Pasca Munculnya Kasus Korupsi Di Indonesia (Studi Deskriptif di Kelurahan Asam Kumbang,Kecamatan Medan)

0 0 8