Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum 2009)

(1)

Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat

Pematangsiantar

( Studi Kasus pada Pemilihan Umum 2009)

D I S U S U N OLEH :

HANNA REFAELTY GULTOM NIM : 050906072

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang diberikanNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum 2009) ini.

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada dosen yang membimbing penulis dalam proses pengerjaan skripsi, yaitu Bapak Zakharia Taher, M.Sp dan DR. Warjio, MA. Penulis juga tidak lupa kepada teman teman yang membantu penulis dalam melakukan proses pengerjaan skripsi dan dalam menganalisa data.

Peneliti menyadari bahwa dalam proses penyusunan tesis ini melibatkanberbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam dalamnya dan penghargaan yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil dalam bentukdorongan semangat maupun sumbangan pemikiran, informasi, data, dan lain-lain penulis meminta maaf apabila ada kesalahan yang diperbuat dalam pengerjaan skripsi.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi Pembaca dan juga Penulis. Tuhan Berkati..

Medan, Juni 2011 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2. Perumusan Masalah ... ... 13

1.3. Pembatasan Masalah ... 13

1. 4. Tujuan Penelitian... 14

1. 5. Manfaat Penelitian ... 14

1. 6. Kerangka Teori... 15

1.6. 1. Konseptualisasi Partisipasi Politik ... .15

1.6. 1. Tipologi Partisipasi Politik ... 17

1. 6. 2. .Teori Elit………....…………... 21

1. 6. 3. Teori Gender ... 23

1. 6. 3. Keterwakilan Politik Perempuan pada Partai Politik…. ...24

1 6.4. Hubungan Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan….27 1. 7. Metode Penelitian ... .30

1. 7. 1. Jenis Penelitian ... 30

1. 7. 2. Lokasi Penelitian ……….……..….…...………...30

1. 7. 3. Populasi dan Sampel ………..…..…....30

1. 7. 4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data………...…...32


(4)

1. 8. Sistematika Penulisan... 33

BAB II PROFIL DPC PARTAI DEMOKRAT KOTA PEMATANGSIANTAR 2. 1. Latar Belakang Berdirinya Partai Demokrat... 34

2. 2. Deskripsi tentang DPC Partai Demokrat Pematangsiantar... 36

2.3. Platform Partai Demokrat... 37

2. 3. 1. Asas Partai Demokrat...37

2. 3. 2 Tujuan Partai Demokrat………...…... 37

2. 3. 3. Garis Ideologi Partai Demokrat………...…38

2. 3. 4. Visi dan Misi Partai Demokrat...…39

2. 3. 5. Sifat Partai Demokrat………... 41

2. 4. Kebijakan Umum Partai Demokrat………...…...41

2. 5. Program Kerja DPC Partai Demokrat..Kota Pematangsiantar...…..46

2. 6. Struktur Organisasi DPC Prtai Demokrat Pematangsiantar..….…… .. 49

BAB III ANALISA DATA 3. 1. Bentuk Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di Pematangsiantar……..…53

3. 2. Motif Partisipasi Elit POlitik Perempuan di Pematangsiantar... 65

3. 3. Keterwakilan Politik Perempuan DPC Partai Demokrat Pematangsiantar Pada Pemilu 2009……….…. …66


(5)

ABSTRAK

Partisipas

mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-wakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Pematangsiantar.

Sekalipun terdapat divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir oleh mayoritas (laki-laki). Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik.


(6)

ABSTRAK

Partisipas

mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-wakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Pematangsiantar.

Sekalipun terdapat divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir oleh mayoritas (laki-laki). Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik.


(7)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Partisipasi merupakan aspek penting dari demokrasi .1

1

Herbert Mc.Closky, International Encyclopedi of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 285.

Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warganegara-negara, tetapi dalam kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik.

Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warga negara cenderung meningkat.

Pemilihan umum 2009 merupakan pemilu ketiga setelah reformasi bergulir, dan berkembang banyak wacana seputar pelaksanaannya. Pembicaraan, perdebatan dan diskusi banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat yang mengupas masalah-masalah pemilu, partai politik, electoral threshold dan yang tidak ketinggalan juga partisipasi politik perempuan dalam kehidupan berbangsa yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga politik.


(8)

Menggagas peran perempuan dalam politik Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik yang menempati ruang pinggir diskursus kontemporer selama lebih kurang lima dekade. Perjuangan Kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan relevansinya bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan dalam pendidikan dan peran publik bukan merupakan hal baru. Posisi perempuan yang cenderung dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini, mengingat perempuan seharusnya turut mengambil peran yang penting dalam pembangunan. Perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini bukan suatu kebetulan tapi sudah menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan merugikan pihak perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik.

Negara yang menganut sistem nilai patriarkal seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan bagi perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, termasuk di dalamnya isu politik.

Pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam


(9)

politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.2

Berdasarkan kajian dan pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur demokrasi, tidak secara substantif. Pemilu pada masa ini lebih sebagai sebuah rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi kekuasaan sebagai sebuah prasyarat demokrasi.

Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah tertentu elit. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/ kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

3

Pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan, harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan partai di daerah (hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi). Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi,

Hal ini disebabkan ketidakstabilan politik akibat tarik menarik antarkekuatan partai politik dengan kekuatan lain yang memiliki peran kuat yakni militer, yang memiliki hubungan khusus dengan partai Golkar.

2

2010, pukul 11:28.

3


(10)

ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Pemilu 1999 menghasilkan 44 orang yang duduk di DPR atau sekitar 8,9%.4

Kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun 2004 terbuka lebar dengan dicantumkannya kuota 30 persen sebagai nominasi calon legislatif dalam undang-undang pemilihan umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih sangat awal bagi peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia khususnya diparlemen.

Hal lain yang turut memberi warna pada pemilu kali ini adalah adanya ketentuan kuota minimal sebesar 30% untuk calon anggota legislatif perempuan. Perubahan ini tentu saja akan membawa implikasi politik yang cukup menyegarkan bagi kehidupan politik di masa mendatang. Bagaimanapun, selama ini kehidupan politik di Indonesia memang banyak didominasi oleh mainstream ideologi patriarkat. Hasil pemilu tahun 2004 menempatkan 65 orang (11,82%) perempuan di lembaga DPR, hanya meningkat sedikit apabila dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Sementara di lembaga DPD jumlah perempuan lebih besar, mencapai 29 orang (21,09%).5

Di lembaga legislatif, keterwakilan politik perempuan dalam parlemen berada pada peringkat-89 dari 189 negara.6

4

Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Tahun 2006, hal. 5.

5

Ibid.

6

Kuota Perempuan Tantangan Partai Politik, Media Indonesia, 2 September 2008, hal. 18.

Pencantuman kuota 30 persen bagi perempuan ternyata tidak cukup untuk mewujudkan peningkatan partisipasi politik perempuan karena hal ini tidak memberikan pengaruh yang significant terhadap keterwakilan perempuan di parlemen, mengingat pencantuman kuota 30 persen pada pemilu 2004 hanya sekedar syarat yang tekesan ’basa-basi’ untuk menyenangkan kaum perempuan karena pada akhirnya laki-laki yang akan masuk ke parlemen. Banyak hal yang mempengaruhi hal tersebut, disamping calon legislatif perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah juga mereka bukanlah pengurus


(11)

’teras’ partai. Mereka menjadi calon hanya sekedar untuk melengkapi kuota calon perempuan 30 persen.

Memperkuat partisipasi politik perempuan perlu penguatan peran dan kesempatan yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam politik yang dimulai dari keterlibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih besar dalam struktur partai politik. Hal ini diatur dalam undang-undang partai politik dan setiap partai politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari upaya keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

Partisipas

mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat

adala

kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan.

Menurut Sanit, anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.7

Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap

7


(12)

warga negara untuk menikmatinya. Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pemilu 2009 memiliki banyak sisi yang unik untuk dikaji, salah satunya adalah keterlibatan perempuan dalam pemilu.

Sejarah perpolitikan di Indonesia maupun negara berkembang lain, pada umumnya peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah.

Berdasarkan sejarah tradisi budaya Indonesia, kedudukan perempuan cenderung terbatas, yang dimulai dari diri perempun itu sendiri yang didominasi oleh sistem patriarki, hingga pada faktor eksternal yang juga berperan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik maupun parlemen. Sejarah sistem politik di sebagian besar negara juga menunjukan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik, mulai tingkat lokal hingga nasional. Hal ini mengkibatkan terpotongnya akses perempuan dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik. Peran dan status perempuan dewasa ini lebih dipengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami kelemahan. Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Adanya


(13)

Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang mengatur tentang kuota 30% sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik.

Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument hukum yang sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.

Dalam konteks pemilu tahun 2009, kesertaan perempuan di dalamnya merupakan suatu proses penting yang menyangkut sejauh mana perempuan itu menerima sejumlah orientasi dan nilai-nilai tentang pemilu. Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa dengan terbukanya kran demokrasi yang luas memungkinkan untuk setiap elemen bangsa berperan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan terutama dalam bidang politik, sejatinya seluruh elemen terlibat termasuk dari kalangan perempuan. Dengan terlibatnya perempuan dalam pembangunan ini diharapkan mampu menghadirkan nilai-nilai perbaikan.

Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-wakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Pematangsiantar.

Partisipasi perempuan dalam proses politik merupakan keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan politik. Partisipasi perempuan sangat berhubungan dengan sosilisasi politik


(14)

yang dilaminya. Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat .8

Kajian mengenai partai politik merupakan aspek penting demokrasi .

Merujuk pada deskripsi di atas Penulis tertarik untuk mengangkat wacana perempuan di Pematangsiantar, dimana dalam kelembagaan legislatif sebagai permasalahan yang akan diteliti penulis tidak terpenuhinya kuota 30% perwakilan politik perempuan. Adapun fokus penelitian ini adalah partisipasi politik elit politik perempuan di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, dengan menguraikan dan menganalisa bagaimana bentuk dan motif partisipasi elit politik perempuan pada Pemilu tahun 2009.

9

Suara perempuan memiliki peranan yang sangat vital bagi Partai Demokrat, pada pemilihan Legislatif dan SBY pada pemilihan Presiden. Data exit poll Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa SBY didukung oleh 66% pemilih perempuan. Hasil pemilu Salah satunya adalah mengenai partisipasi politik rakyat, yang pertama partisipasi dalam menetukan arah kebijakan dan yang kedua dalam membuat suatu perundang-undangan. Oleh karena itu kajian mengenai partai politik akan terkait dengan studi mengenai Pemilihan Umum.

Partai Demokrat hadir sebagai partai politik dengan tampilan berbeda dari partai politik lainnya. Banyak prestasi dan kemenangan yang diraih Partai Demokrat pada dua periode pemilihan umum belakangan ini (pemilu 2004 dan 2009), beberapa diantaranya seperti dalam pemenangan Soesilo Bambang Yudoyono dalam 2 periode jabatan presiden, dan menjadi Partai Politik yang memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar. Pada Pilkada 2004, Partai Demokrat juga berhasil memenangkan R.E Siahaan menjadi Walikota Pematangsiantar. Di Pematangsiantar Partai Demokrat merupakan partai pemenang pada Pemilihan Umum Legislatif 2009.

8

Syahrial Sarbaini,. Sosiologi dan Politik, Jakarta : Kahlia Indonesia, 2002, hal. 73.

9

Maswadi Rauf, Jurnal Politika (Partai Politik dan Sistem Kepartaian), Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, hal. 7


(15)

legislatif menunjukkan bahwa Paetai Demokrat memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar dari sisi jumlah maupun proporsi.10

10

FN: LSI, Arah Baru Peilaku Pemilih, Exit Poll 8 Juli 2009, Lembaga Survei Indonesia.

Menanggapi kuota 30% bagi keterwakilan perempuan, Partai Demokrat juga menyambut baik dan mendukung aturan tersebut. Karna Partai Demokrat merupakan salah satu partai yang memiliki banyak kader perempuan. Hal ini juga sejalan dengan visi dan misi Partai Demokrat. Visi Partai Demokrat menekankan pentingnya kita berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan. Pada misi ketiga Partai Demokrat ditegaskan kembali tujuan untuk memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan. Dengan demikian sangat jelas dukungan Partai Demokrat dalam upaya pemberdayaan politik perempuan.

Hal inilah yang membuat Penulis tertarik untuk memilih Partai Demokrat sebagai objek penelitian, dan partai Demokrat mewakili seluruh partai yang ada di Indonesia untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk partisipasi elit poplitik perempuan dan sejauh mana keterwakilan politik Perempuan di Parlemen. Adapun alasan yang melatarbelakangi Penulis memilih lokasi Penelitian di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar karna merupakan kota asal Penulis, dengan demikian diharapkan lebih praktis dalam pengambilan dan pengolahan data yang akan memudahkan Penulis dalam proses penelitian.

Perempuan merupakan salah satu entitas yang memiliki potensi, kemampuan, dan kelebihan yang tidak kalah dengan laki-laki. Atas dasar kenyataan inilah kemudian peneliti mengambil judul Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar (Studi Kasus pada Pemilihan Umum 2009)”.


(16)

Menjelaskan jalannya penelitian perlu adanya batasan operasional agar orang lain yang berkepentingan dalam penelitian ini mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti. Batasan operasional yang perlu ditegaskan adalah :

1. Menurut Huntington dan Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak (turut ambil bagian) sebagai pribadi-pribadi yang di maksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.11

2. Elit merupakan istilah yang menunjuk kepada suatu minoritas-minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab.12

3. Perempuan adalah orang (manusia) yang memiliki kodrat. Yang dimaksud dengan kodrat di sini adalah perbedaan yang mendasar dan hakiki yang tidak dimiliki oleh laki-laki.Menurut Teori nature perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara keduanya memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran yang tidak dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak dapat dipertukarkan.

Elit politik menurut Harold Laswell merupakan sekelompok kecil orang yang memegang posisi dan peranan penting dalam masyarakat, mereka memperoleh sebagian besar dari apa saja dan mereka termasuk dalam kelompok elit berpengaruh. Adapun elit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengurus perempuan di DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar.

13

4. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang 1945 yang Hal inilah yang membedakan elit politik perempuan dengan elit politik laki-laki.

11

Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 9.

12

Arsal Thriwaty, Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang, FIS Unnes, 2004, hal. 5.

13

Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN, 2009, hal. 8.


(17)

bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pemilu yang menjadi bahan penelitian Penulis adalah pemilu legislatif 2009 di Pematangsiantar.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi dan pembatasan masalah14

1. Bagaimana bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar?

. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan utama yang akan menjadi bahan analisa Penulis dalam penelitian yaitu :

2. Bagaimana partisipasi politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar dilihat dari tingkat keterwakilannya?

3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan demi mendapatkan hasil uraian yang sistematis, diperlukan adanya pembatasan masalah atau disebut ruang lingkup penelitian. Pembatasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup penelitian tersebut.

Adapun berdasarkan perumusan masalah di atas, yang menjadi batasan dan fokus masalah penelitian ini adalah penelitian hanya dilakukan di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar dan penelitian hanya dilakukan untuk mengetahui bentuk partisipasi politik elit politik perempuan pada Pemilu 2009 di Pematangsiantar.

14


(18)

4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan motif partisipasi elit politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar.

2. Untuk mengetahui partisipasi elit politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar dilihat dari tingkat keterwakilannya.

5. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat untuk orang lain terlebih lagi bagi ilmi pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah, serta melalui penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Secara akademis dapat menambah referensi bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai partisipasi politik elit politik perempuan.

6. Kerangka Teori

6. 1. Teori Partisipasi Politik

6. 1. 1. Konseptualisasi Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju


(19)

dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri15

Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan lebih mengenai partisipasi politik. Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.

. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.

16

Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom.17

15

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. 1990, hal. 140.

16

Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 9.

17

Kamaruddin, Partai PoLitik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta : Visi Publishing, 2003. hal. 94.

Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.


(20)

Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane dalam Rush dan Althoff18

• Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,

menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu:

• Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,

• Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,

• Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu. Samuel P Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

1. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu.

2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.

3. Kegiatan organisasi, yaitu partsipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringna dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka.

5. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok untuk mempengauhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru-hara, terror, kudeta, pembunuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.19

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson di atas, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Oleh sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap.

Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk

18

Michael Rush, dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 181.

19


(21)

partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.

6. 1. 2. Tipologi Partisipasi Politik

Surbakti mengkategorikan kegiatan partisipasi politik dengan sejumlah kriteria “rambu-rambu” yang menjadi konseptualisasi dari partisipasi politik itu sendiri. Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan ini diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksanaan keputusan politik.20

Partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk dalam kategori partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah

.

21

Dengan kata lain, partisipasi aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output. Di samping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi aktif maupun partisipasi pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut dengan apatis

.

20

Surbakti Ramlan, op. cit., hal. 141.

21


(22)

atau golongan putih (golput).

Menurut Olsen partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Dia membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain), warga negara, marginal, (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan system politik), dan orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).22

Perspektif lainnya, Roth dan Wilson menguraikan bentuk partisipasi politik warga negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai aktivis. 23

Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam kategori aktivis sedikit jumlahnya. Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti menjadi pejabat partai sepenuh waktu,

Bila dijenjangkan, intensitas kegiatan politik warga negara tersebut membentuk segitiga serupa dengan warga negara.Karena seperti piramida, bagian mayoritas partispasi politik warga negara terletak di bawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik mengikuti perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu.

Setingkat lebih maju dari kelompok pengamat yang terletak di tengah-tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Pada jenjang partisipan ini aktivitas partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial.

22

Surbakti Ramlan, Op.Cit., hal. 143.

23


(23)

pemimpin partai/kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini oleh Roth dan Wilson disebut sebagai orang yang apolitis.

6. 2. Teori Elit

Studi tentang elit menjadi studi yang menarik untuk dikaji sebagai istilah yang menunjuk pada minoritas-minoritas pribadi, yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggungjawab. Teori elit dibangun di atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit, baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat.

Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan yang lebih baru, elit dipandang sebagai suatu kelompok yang menghimpun para petinggi pemerintahan. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin atau pembuat keputusan24

24

Arsal Thriwaty, Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. FIS Unnes,2004, hal. 6.


(24)

Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller25

Huky

mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni:

(1) pertumbuhan penduduk,

(2) pertumbuhan spesialisasi jabatan,

(3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi,

(4) perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom.

26

1. Elit karena kekayaan. Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya.

membagi elit ke dalam tiga kategori :

2. Elit karena eksekutif. Group ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, ia memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabat-pejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis.

3. Elit komunitas. Orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain.

Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian 25

Keller Suzanne, Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan Elit penentu dalam Masyarakat Modern. PT. Raja Grafindo Persada, 1995. hal. 87.

26


(25)

elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.

Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Elit politik atau politisi menurut Harold Laswell merupakan sekelompok kecil orang yang memegang posisi dan peranan penting dalam masyarakat, mereka memperoleh sebagian besar dari apa saja dan mereka termasuk dalam kelompok elit berpengaruh.

6. 3. Teori Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi.

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’.27

27

John M. Echols dan Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia,Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 265.


(26)

sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.28

Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.29 Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu, lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.30

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin.31

Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau

Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.

28

Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary, New York: Websters New World Clevenland, 1984, hal. 561.

29

Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, London: Myfield Publishing Company,1993 hal.4.

30

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet.I, 2004, hal. 4.

31


(27)

olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom.

6. 4. Keterwakilan Politik Perempuan

Salah satu konsep kunci dalam Ilmu Politik untuk mengukur partisipasi perempuan dalam politik adalah keterwakilan politik. Keterwakilan politik diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Keterwakilan politik (political representativeness) tersebut ditentukan oleh system perwakilan politik yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Keterwakilan politik diukur dari kemampuan wakil-wakil untuk bertindak atas nama yang pihak yang diwakili.32

• keterwakilan politik perempuan yang sangat rendah di ruang publik,

Menurut Syafiq Hasyim, masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam 4 (empat) isu, yaitu:

• komitmen partai politik yang belum sensitif gender, sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan,

• kendala nilai-nilai budaya, dan interpretasi ajaran agama yang bias gender, dan bias nilai-nilai patriarki, dan

32


(28)

• minat, hasrat, animo para perempuan untuk terjun dalam kancah politik yang rendah, tetapi untuk yang terakhir ini perlu dilakukan pengkajian lebih dalam.33

Secara konsepsional, keterwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya Pemilihan Umum yang merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik di kalangan masyarakat luas, sebab pemimpin yang muncul di pusat kekuasaan disaring/diseleksi oleh pemilih. Begitupula halnya jika Pemilu berperan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyeleksi kebijaksanaan sesuai dengan garis besar kepentingan mereka. 34

Partai politik merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembentukan kekuasaan Negara. Partai politik juga menjadi sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggungjawab.

6. 5. Hubungan Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan

35

Kajian mengenai partai politik merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Melalui partai politiklah berbagai kepentingan masyarakat akan diserap dan diadopsi dalam berbagai bentuk kebijakan negara yang dirumuskan oleh badan legislatif yang menjadi ranah formal dari berlakunya fungsi-fungsi partai politik.

36

33

. Hasyim Syafiq, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 124.

34

Sanit Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1998, hal. 193-194.

35

Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal.16

36

Maswadi Rauf, I Jurna POlitika ( Partai :POitik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, antara kenyataan dan harapan), Jakrta, Akbar tanjung Institute, 2006. Hal. 7.

Salah satunya adalah mengenai partisipasi politik rakyat, baik mengenai partisipasi dalam menentukan arah kebijakan dan maupun dalam membuat suatu perundang-undangan. Demikian, kajian mengenai partai politik akan terkait dengan studi mengenai pemilihan


(29)

umum. Partai politik merupakan kendaraan politik untuk terselenggaranya pemilu dan sebagai suatu institusi yang mempunyai struktur organisasi di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Syarbaini mendefinisikan partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang mempersatukan, dan dimotivasi oleh ideologi tertentu. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, kontrol kepentingan dan sebagainya. 37

Menggerakkan pemilu dibutuhkan peserta pemilu yang diwakili oleh partai politik. Hal ini tergambar dari tujuan umum dan tujuan khusus partai politik. Tujuan umum partai politik antara lain:38

a. Mewujudakan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945,

b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan

d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia Adapun tujuan khusus partai politik antara lain:39

a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan

b. Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan

c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

37

Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002, hal 48.

38

Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008.

39


(30)

Perempuan dan kepentingannya dalam partai politik seringkali kurang diperhatikan. Pandangan ini sebenarnya berangkat dari pemahaman atau budaya yang tidak peka terhadap keadilan relasi. Iklim partai politik yang cenderung mereduksi politik sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan tidak memiliki komitmen dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang membutuhkan komitmen tinggi, serta persoalan-persoalan diskriminasi kekerasan terhadap perempuan.

Sekalipun terdapat divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir oleh mayoritas (laki-laki). Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik.

Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik juga harus terus ditingkatkan. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki.

Demikian, keterwakilan perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif sangat penting. Keterwakilan perempuan di legislatif akan memudahkan akses perempuan untuk mengawasi dan menyalurkan kebijakan-kebijakan yang belum


(31)

dianggap adil bagi hak-hak perempuan. Duduknya perempuan dalam lembaga-lembaga tersebut, maka dapat terlibat langsung dalam proses kebijakan sebagai pembuat keputusan (decision maker).

7. Metode Penelitian

7. 1. Jenis Penelitian

Penelitian menggunakan jenis penelitian deskriptif. Adapun metode deskriptif adalah suatu bentuk menerangkan hasil penelitian yang bersifat memaparkan sejelas-jelasnya tentang apa yang diperoleh di lapangan, dengan melukiskan, memaparkan dan menyusun suatu keadaaan secara sistematis sesuai dengan teori yang ada untuk menarik kesimpulan dalam upaya pemecahan masalah40

2. Metode sampling yang digunakan penulis pada penulisan ini adalah dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode penarikan sampling yang disengaja dengan tujuan sampling yang diambil adalah orang yang dapat memberikan keterangan dan memahami masalah yang akan diteliti di lapangan. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari

.

7. 2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian akan dilakukan di Sekretariat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Jl. Ahmad Yani No. 60, Kotamadya Pematangsiantar.

7. 3. Populasi dan Sampel

1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, yang terdiri dari 40 orang pengurus partai, yakni 26 orang pengurus laki-laki dan 14 orang pengurus perempuan.

40


(32)

pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, khususnya pengurus perempuan. Adapu profil ke-14 informan adalah sebagai berikut:

No Nama Jabatan Um

ur

Pendidikan Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Hj. Etiria Zai Berliana Sibarani Yuniar Siahaan, ST Dra. Ernita Purba Mutiara Sitanggang, SH

Ariyani Nadeak, SH Artina Linda

Kristina Simanjuntak Dra. Espelinda Napitupulu Ida Pananda, BA Hj. Yulpida Siti Aizah Yuriati Nurhaidah Tambunan W. Kelautan W. Pemberdayaan W. Sekretaris OKK W. Sekretaris Kelautan W. Sekretaris Agama W. Sekretaris Hukum HAM

W. Sekretaris Pemberd. Perempuan

W. Bendahara SDM W. Bend. Perdagangan W. Bendahara Kelautan W. bendahara pertanian W. Bendahara Energi W. Bend. Pertahanan W. bend. Pariwisata

40 42 38 43 45 43 46 37 49 37 48 38 52 43 SMA S1 Hukum SMA S1 ADM S1 Hukum S1 USI SMA D1 S1 SMA S1 pertanian SMA SMA D3 AKPAR Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Anggota DPRD Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta

Sumber : Dokumen Sekretariat DPC Partai Demokrat Pematangsiantar

7. 4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan informasi berdasarkan fakta, maka penulis akan menggunakan:

a. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah,bulletin, maupun Undang-undang serta berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu Pengumpulan data dengan dialog ataupun


(33)

yang berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang dimaksud adalah data tentang partisisipasi elit politik perempuan pada pemilu 2009 di Pematangsiantar.

7. 5. Teknik Analisa Data

Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian41

41

Sumadi, Suryabrata, Metode Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 40.

. Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. Selanjutnya data-data yand berasal dari studi kepustakaan maupun data lapangan (wawancara, dialog) akan dianalisis dan dieksplorasi menggunakan teori yang signifikan terhadap data demi menghasilkan kesimpulan yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti secara akurat.

8. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci, dan demi mempermudah pemahaman isi dari Skripsi, maka Penulisan Penelitian ini akan dijabarkan dalam 3 (tiga) bab Penyajian Data dan 1 ( satu ) bab sebagai penutup.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI DAN LOKASI PENELITIAN


(34)

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Bab ini berisikan penyajian dan pembahasan data yang diperoleh serta menganalisis data dan fakta yang ada mengenai partisipasi elit politik perempuan di Pematangsiantar pada Pemilihan Umum 2009.

BAB IV : PENUTUP

Bab terakhir ini berisikan Kesimpulan dari keseluruhan penelitian serta temuan-temuan di dalam penyusunan skripsi ini dan diakhiri dengan saran atau rekomendasi dari Penulis


(35)

BAB II

PROFIL DEWAN PIMPINAN CABANG ( DPC ) PARTAI DEMOKRAT KOTA PEMATANGSIANTAR

1. Latar Belakang Berdirinya Partai Demokrat42

Partai Demokrat didirikan atas inisiatif Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY) pada pemilihan calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan calon wakil Presiden (cawapres) dan hasil pooling public yang menunjukkan popularitas yang ada pada diri SBY, beberapa orang terpanggil untuk memikirkan bagaimana sosok SBY bisa dibawamenjadi Pemimpin bangasa dan bukan direncanakan menjadi wakil Presiden RI, tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya adalah beberapa orang diantaranya, seperti Vence Rumangkang menyatakan dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita tersebut dapat terlaksana, jalan satu-satunya adalah mendirikan partai politik.

Perumusan konsep dasar dan platform parti sebagai mana yang diinginkan SBY dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Aput dan selanjutnya teknis administrasi yang dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh Vence rumangkang. Ada terdapat beberapa diskusi-diskusi tentang berdirinya sebuah partai untuk mempromosikan SBY menjadi presiden, antara lain : pada tanggal 12 Agustus 2001 pulul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di Apartemen Hilton. Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari: 1. Vence Rumangkang, 2. Drs. A. Yani Wachid (alm.), 3. Achmad Kurnia, 4. Adhiyaksa Dault, 5. Baharuddin Tonti, 6. Sirato Syafei.

42


(36)

Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal dari pendirian Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY.

Selanjutya pada tanggal 20 Agustus 2001, Vence Rumangkang yang dibantu oleh Drs. Sultan Bhatoegaha berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan sebuah parta politik. Pada akhirnya, terbentuklah tim 9 (Sembilan) yang beranggotaan 10 (sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah partai politik, yakni : 1. Vence Rumangkang, 2. Drs. Ahmad Mubarokh, MA , 3. Drs. A. Yani. Wachid (alm.) , 4. Prof. Dr. Subur Budi Santoso, 5. Prof. Dr. Irzan Tanjung, 6. R. M. H. Heroo Syswasnto, NS, 7. Prof. Dr. RF. Saragih, SH,MA, 8. Prof. Dr. Dardji Darmodihardjo, 9. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rampas dan 10. Prof. Dr. T. Rusli Ramli, MS. Disamping nama-nama tersebut ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali ikut diskusi. Diskusi finalisasi konsep partai dipimpin oleh Bapak SBY.

Untuk menjadi sebuah partai yang disahkan oleh Undang-undang Kepartaian disebutkan minimal limapuluh angka orang sebagai pendirinya, tetapi muncul pemikiran agar jangan sebatas hanya lima puluh orang saja, tetapi dilengkapi menjadi Sembilan puluh Sembilan agar ada keterkaitan makna dengan SBY selaku pengurus, dimana SBY lahir pada tanggal Sembilan bulan Sembilan.

Pada tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama lantai XI , Jakarta Selatan, di hadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH, 46 dari Sembilan pu;uh Sembilan orang menyatakan bersedia menjadi pendiri Partai Demokrat dan hadir menendatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. Adapun 53 orang selebihnya tidak hadir tetapi memberika surat kuasa kepada Vence Rumangkang. Kepengurusan pun disusun.


(37)

Pada malam harinya pada pukul 20.30, Vence Rumangkang melaporkan segala sesuatu mengenai pembentukan partai kepada SBY di kediaman beliau yang saat itu sedang merayakan ulang tahun ke-52. Selaku kordinator pengurus, pencetus dan partai Demokrat.

Deklarasi Partai kemudian dilakukan pada 17 Oktober 2002 di Jakarta Convention Center, Jakarta oleh 29 Ketua Dewan Pimpinan Daerah dari seluruh Indonesia. Setelah Deklarasi, Pembentukan Cabang partai di daerah gencar dilakukan yang disertai dengan pelatihan bagi para kadernya.

2. Deskripsi tentang Dewan Pimpinan Cabang Demokrat Pematangsiantar

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar berdiri pada tahun 2001 dengan diketuai oleh Ir. Saud Simanjuntak. Dewan Pimpinan Cabang merupakan pelaksana Partai di tingkat Kotamadya yang kepengurusannya bersifat kolektif. Adapun pengesahan berdirinya Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Dewan Pimpinan Cabang berwenang untuk menentukan kebijakan tingkat Kotamadya sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, ketetapan Kongres, Rapat Tingkat Nasional serta peraturan partai lainnya.

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar terletak di Jalan Ahmad Yani No.60 Pematangsiantar. Pada tahun 2010 ini, struktur organisasi Partai Demokrat di pematangsiantar terdiri dari delapan anak cabang dan lima puluh tiga anak ranting. Kedelapan Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) , yaitu: DPAC Siantar Timur, DPAC Siantar Barat, DPAC Siantar Utara, DPAC Siantar Selatan, DPAC Siantar Martoba, DPAC Siantar Marihat, DPAC Siantar Simarimbun, dan DPAC Siantar Sitalasari.


(38)

3. Platform Partai Demokrat

Platform Partai Demokrat merupakan landasan berpijak untuk mengetahui darimana dan mau kemana arah perjuangan dari Partai Demorat. Pada platform partai democrat ini terdapat beberapa hal yang menjadi landasan berpijak partai democrat, yakni sebagai berikut:

3. 1. Asas

Partai Demokrat berasaskan pancasila

3. 2. Tujuan Partai Politik Demokrat

Adapun tujuan dari partai politik democrat secara umum, yaitu:

• Tegak, aman dan uthnya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

• Terwujudnya cita-cita bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar 1945

• Terbangunnya masyarakat berwawasan nasionalis, pluralism, dan humanism

• Meningkatnya partisipasi masyarakat untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih, sederhana dan mengabdi.

3. 3 . Garis Ideologi Partai Politik Demokrat

Ideologi Partai Demokrat adalah Nasionalis-Religius. Nasionalis artinya bersifat horizontal. Sedangkan religius artinya vertikal atau menuju ke atas ke khalik atau sang Pencipta. Dalam bahasa lain, religius artinya adalah: hablumminallah, berserah kepada yang di atas, membangun Bangsa Indonesia dengan semangat keagamaan, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.Nasionalis mengandung dua subtansi. Yaitu masalah NKRI, memupuk kecintaan terhadap bangsa dan negara Indonesia. NKRI adalah sebuah harga mati dan tidak dapat diganggu gugat. Bangsa ini jangan pernah mau dipecah dgn SARA (suku, agama ras dan antar golongan).


(39)

Substansi kedua adalah Bangsa Indonesia diikat dengan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, biarpun berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Jangan menyikapi perbedaan, dengan perpecahan. Perbedaan hendaknya disikapi dengan khasanah, pengayaan jati diri bangsa. ”Right or wrong it is my contry,” katanya berapi-api. ”Pancasila adalah ideologi dan pandangan hidup Bangsa Indonesa.”

3.4 . Visi dan Misi Partai Demokrat

Adapun Visi partai Demokrat adalah, Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat nasionalisme, humanisme dan internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.

Adapun misi Partai Demokrat secara Umum adalah:

1. Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang signifikan di dalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaan.

2. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan sejarah bahwa kehadiran Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak


(40)

melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi. 3. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa

membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan permusyawaratan.

Sedangkan misi partai Demokrat secara khusus adalah:

1. Membangun sumber Daya manusia yang berkualitas 2. Mewujudkan kehidupan bangsa yang nasionalis-religius

3. Menciptakan Lingkungan politik yang dinamis, demokratis, aman dan damai 4. Menciptakan suasana kehidupan masyarakat Indonesia dalam bingkai Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

5. Membangun pemerintahan “Good Government” 6. Menciptakan Ekonomi makro yang kondusif 7. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bahagia 8. Melindungi gender dan Lingkungan Hidup

9. Menaikkan harkat bangsa dan Negara Republik Indonesia

10.Memantapkan peran Partai Demokrat dalam rangka pengabdian masyarakat dan perwujudan Demokrasi Pancasila

3. 5. Sifat partai Demokrat

Sifat Partai Demokrat adalah terbuka. Artinya, Partai Demokrat terbuka bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan. Karena mempunyai satu tekad dan tujuan, yaitu untuk membangun bangsa yang lebih baik. Sebagai wujud dari semangat Nasionalisme,


(41)

keanggotaan Partai Demokrat terbuka bagi seluruh warga Negara Indonesia, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Setiap warga Negara Indonesia yang memiliki komitmen Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) dan komitmen untuk membangun masa depan bangsa, berhak memperoleh perhatian dari partai dan berhak untuk bergabung di dalam wadah perjuangan Partai Demokrat.

4. Kebijakan Umum Partai Politik Demokrat

Partai Demokrat termasuk kekuatan politik di Indonesia yang diperhitungkan oleh banyak orang, dan memiliki peluang besar menjadi pemenang utama pada Pemilu 2009. Oleh karena itu, tepat kalau paartai democrat harus mempersiapkan program umum ke depan. Penyusunan program umum partai merupakan penyiapan bingkai kerja (frame work) bagi jajaran dan kader partai yang senantiasa berada dalam kehidupan masyarakat pluralis. Oleh karenanya program yang disusun, seyogyanya berangkat dari geografis, geopolitik dan geoekonomi serta wawasan partai.

Secara garis besar program umum partai Demokrat adalah sebagai berikut:

4. 1. Mengembangkan, Memperkuat dan Membina Partai.

Kesuksesan Partai Demokrat mengusung Bapak DR. H. Soesilo bambang Yudhoyono menjadi presiden Republik Indonesia sudah menjadi suatu indicator bagwa partai Demokrat telah diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Walaupun sesungguhnya figure Bapak SBY tidak luput dari keberhasilan besar itu.

Keberhasilan pelaksanaan manajemen partai politik, terutama dalam mencapai visi dan misi, tujuan dan saasaran organisasi banyak dipengaruhi oleh efektivitas koordinasi pada


(42)

tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Disamping itu kemampuan, loyalitas, keuletan, moralitas dan militansi seorang kader sangat diperlukan bahkan menjadi syarat utama untuk menjadi pimpinan/pengurus partai. Kader partai yang akan dibina tidak hanya dipersiapkan dalam kepemimpina partai politik, tetapi kader dalam segala lini, termasuk memimpin di masyarakat dan pemerintahan.

Program pengembangan partai untuk tumbuh dab kuat di akar rumput, maka haruslah kita sadar bahwa partai Demkrat tidak sekedar wadah perpolitikan saja, tetapi harus berperan sebagai organisasi masyarakat yang peduli pada kehidupan rakyat kecil. Mereka itu yang harus diangkat harkat dan martabatnhya sebagai manusia sesuai dengan kodrat alam. Oleh karena itu program partai mendatang benar-benar berorie ntasi pada:

1. Manajemen partai harus pada tataran keselarasan, keserasian dan keseimbangan 2. Manajemen partai harualah bersih, simpatik, berwibawa, akuntabel, terbuka dan

komunikatif.

3. Pembinaaan kader dimulai dari struktur organisasi yang terendah adalah Ranting (Pekarting = Pembinaan Kader Ranting, Pekarancab = Pembinaan Kader Anak Cabang, Pekercab = Pembinaan Kader Cabang, Perkada = Pembinaan kader Daerah, Pekapus = Pembinaan Kader Pusat)

4. Partai harus membuat wadah koordinasi yang kuat, baik daerah maupun pusat untuk merekam, mendiskusikan, dan mencari solusinya terhadap isu-isu yang berkenbang di masyarakat, baik isu perpolitikan maupun isu pembangunan yang sedang berjalan. Wadah ini harus melibatkan para tokoh nasyarakat, agama, dan para akademis. 5. Untuk menjadi organisasi social yang kuat, perlu ada gerakan social yang menarik


(43)

4. 2. Sasaran dan Pokok-pokok Program

Pencapaian tujuan Partai Demokrat dilakukan melalui pelaksanaan program umum secara bersungguh-sungguh dengan berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai sasaran yang ditentukan baik sasaran ke dalam maupun ke luar.

1. Sasaran ke dalam adalah:

a. Memantapkan Partai Demokrat sebagai organisasi kekuatan sosial politik dalam mengembangkan kepercayaan rakyat dalam memikul dan melaksanakan tugas pembaharuan dan pembangunan bagi kepentingan rakyat.

b. Mantapnya partai Demokrat sebagai organisasi kekuatan sosial politik yang semakin bertumbuh, mengakar, berkualitas, mandiri dan demokratis sehingga lebih tanggap dan mampu mempejuangkan aspirasi rakyat serta meningkatkan pemantapan perwujudan kehidupan bernegara yang memiliki pemerintahan yang bersih, efektif, efisien serta dinamis menuju Indonesia yang demokratis, sejahtera, maju dan modern dalam suasana aman dan penuh kedamaian lahir dan batin. c. Menngkatnya kemampuan dan peranan pengurus dan anggota di semua tingkatan

organisasi Partai Demokrat melalui program pelatihan kepemimpinan dan wawasan nusantara bagi kader-kader partai Demokrat.

d. Meningkatnya peranan semua perangkat organisasi di semua tingkatan

e. Tewujudnya kader partai Demokrat yang berkualitas, beriman, tidak tercemar, bermoral baik dan memiliki militansi yang tinggi.

2. Sasaran Keluar adalah:

a. Tetap tegaknya dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945


(44)

b. Suksesnya pembangunan Nasional yang menjadi program pemerintah dalam mengusung perubahan menuju terwujudnya rakyat yang aman, adil dan sejahtera c. Kemenangan partai Demokrat pada Pemilu 2009 baik untuk Pemilihan Legislatif

maupun pemilihan Presiden dan wakil presiden

d. Gairahnya semangat partisipasi aktif rakyat dalam pembangunan nasional

e. Suksesnya partai Demokrat membangun opini public bahwa partai Demokrat adalah parti yang dapat diharapkan oleh masyarakat Indonesia.

Sasaran sebagaimana dimaksud di atas, diupayakan untuk dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan terncana, terarah, terkoordinir dan terus menerus yang dapat dirangkum dalam:

a. Konsolidasi

b. Pembangunan Nasional c. Pemilu tahun 2009

Pokok-pokok program Partai Demokrat untuk 5 (lima) tahun ke depan adalah meliputi konsolidasi, pembangunan nasional, dan Pemilu tahun 2009.

Konsolidasi meliputi:

a. Konsolidasi partai adalah segala usaha dan kegiatan yang terencana, terarah, dan terpadu yang dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasilguna, untuk memperkuat apa yang telah dicapai dan mempersiapkan diri dalam usaha mencapai tujuan bersama. b. Memperkokoh kesetiaan partai demokrat terhadap ideology Pancasila. Bahwa NKRI

adalah Negara yang demokratis, meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, menjamin hak asasi manusia, dan terwujudnya masyarakat yang aman, adil dan sejahtera.

c. Meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ideologi, paham, dan pola pikir yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila.


(45)

d. Konsolidasi yang meliputi kegiatan-kegiatan di bidang keanggotaan, kaderisasi, kelembagaan, penggalian dan pendayaguanaan dana, hubungan organisasi sosial/kemasyarakatan, profesi serta penerangan, penerbitan dan media massa.

5. Program Kerja Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota

Pematangsiantar

Program kerja adalah rencana kerja Partai Demokrat yang tersusun secara sistematis yang dijadikan sebagai dasar dan pedoman untuk mencapi tujuan bersama. Program kerja yang tersusunsecara sistemats ini memiliki landasan atau dasar sebagai berikut:

1. AD/ART Partai Demokrat 2. Keputusan Kongres Mei 2005 3. Program Umum 20 Tahun 4. Program Nasional 2005-2009

Program kerja DPC partai Demokrat Kota Pematangsiantar memiliki sasaran ke dalam dan ke luar. Adapun sasaran ke dalam adalah:

1. terlaksananya konsolidasi

2. perangkat partai mampu melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat menumbuhkan simpati masyarakat

3. kader partai di lembaga legislatif mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat 4. terwujudnya kader partai yang berkualitas, beriman, tidak tercemar, bermoral dan

memiliki militansi yang tinggi.

Dan adapun sasaran ke luar program kerja DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar adalah:


(46)

1. tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. suksesnya Pembangunan Nasiional

3. sukses dalam Pemilu 2009

4. sukses membangun citra bahwa partai Demokrat adalah partai yang menjadi harapan rakyat.

Melalui landasan dan sasaran pembentukan program kerja di atas, DPC Partai Demokrat menetapkan pokok-pokok program kerja DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, yaitu: Konsolidasi, Pembangunan Nasional dan Daerah serta Pemenangan Pemilu 2009.

Adapun pokok-pokok program kerja dari ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Konsolidasi

• konsolidasi idiil dan wawasam

• konsolidasi kelembagaan

• konsolidasi kaderisasi

• konsolidasi anggota

• konsolidasi penggalian dan pendayagunaan dana

• konsolidasi hubungan dengan Ormas dan organisasi Profesi

• konsolidasi penerangan, penerbitan dan Media massa

2. Pembangunan Nasional dan Daerah:

• Politik

• Ekonomi, Koperasi dan UKM

• Hukum dan HAM

• Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan

• Kelautan dan Perikanan

• Pendidikan, kebudayaan dan SDM

• Agama, aliran kepercayaan, sosial dan kesehatan


(47)

• Pemberdayaan Perempuan

• Pemuda, Olahraga dan Informasi

• Energi, SDA, Lingkungan Hidup, Kelestarian dan Bencana alam

• Perdagangan dan Perindustrian

• Pariwisata dan Pertahanan

• Pemda dan Pertanahan

3. Pemenangan dalam Pemilu 2009

• Pemberhasilan konsolidasi Partai

• Pembuatan peta politik statis dan dinamis

• Mempersiapkan RENSTRA dan RENOPS untuk pemenangan Pemilu

• Melakukan penggalangan dan pembinaan massa

• Menyerap dan menyalurkan aspirasi

• Meningkatkan komunikasi dan koordinasi antarpengurus partai, anggota dan masyarakat

• Merekrut anggota baru dengan gerakan operasi simpatik, proaktif dalam proses pentahapan kegiatan Pemilu.

6. Struktur Organisasi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar43

Hubungan kerja dalam sebuah organisasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan organisasi. Hubungan kerja dalam organisasi dituangkan dalam struktur organisasi, dimana merupakan gambaran sistematis dengan orang-orang yang menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Struktur Organisasi merupakan wadah bagi sekelompok orang yang bekerjasama antarsesama anggota untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Struktur organisasi menyajikan personil yang memegang jabatan tertentu, dimana masing-masing diberikan tugas, wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan jabatannya.

43


(48)

Berikut ini adalah Struktur Organisasi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar :

Ketua : Ir. R. E. Siahaan

Sekretaris : Ir. H. M. Joni

WAKIL-WAKIL KETUA DEPARTEMEN

Organisasi, Keanggotaaan dan Kaderisasi (OKK )

( - )

Pendidikan da Peningkatan Sumber Daya Manusia

( - )

Ekonomi, Koperasi, dan Unit Kegiatan Masyarakat

Marangin Nainggolan, SE

Perdagangan dan Perindustrian Polin Sinaga, ST Pemuda, Olahraga dan KomInfo Josman Marpaung, SH Kelautan dan Perikanan Hj. Etiria Zai

Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Drs. P W. Gultom

Sosial dan Kesehatan R T P Sihotang

Agama dan Aliran Kepercayaan Jojor Pohan, SE Energi dan Sumber Daya Alam, Lingkungan

Hidup, Pelestarian Alam dan Bencana Alam

Rocky Marbun

Polkamda dan Pertahanan Harryson Manurung

Pariwisata, Seni dan Budaya Muda Saragih, BC Hukum, HAM, Buruh, Tani, Nelayan, dan

Tenaga Kerja

Drs. Haposan Silalahi


(49)

WAKIL-WAKIL SEKRETARIS

Organisasi, Keanggotaaan dan Kaderisasi (OKK )

Yuniar Siahaan, ST

Pendidikan da Peningkatan Sumber Daya Manusia

Rudy Wu, SH

Ekonomi, Koperasi, dan Unit Kegiatan Masyarakat

( - )

Perdagangan dan Perindustrian Ferry Silalahi, SE

Pemuda, Olahraga dan KomInfo Ir. Hendry Dunand Sinaga Kelautan dan Periukanan Dra. Ernita Purba

Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan ( - )

Sosial dan Kesehatan Langgiung Siahaan

Agama dan Aliran Kepercayaan Mutiara Sitanggang, SH Energi dan Sumber Daya Alam, Lingkungan

Hidup, Pelestarian Alam dan Bencana Alam

Tuahman Sipayung, SE

Polkamda dan Pertahanan Parningotan Sibarani Pariwisata, Seni, dan Budaya Alpines Marbun Hukum, HAM, Buruh, Tani, Nelayan, dan

Tenaga Kerja

Ariani Nadeak, SH


(50)

WAKIL-WAKIL BENDAHARA

Organisasi, Keanggotaaan dan Kaderisasi (OKK )

Badal Napitupulu

Pendidikan da Peningkatan Sumber Daya Manusia

Kristina Simanjuntak

Ekonomi, Koperasi, dan Unit Kegiatan Masyarakat

Ginis Siahaan

Perdagangan dan Perindustrian Dra. Espelinda Napitipulu Pemuda, Olahraga dan KomINfo Ramot Tampubolon Kelautan dan Periukanan Ida P. Nainggolan, BBA Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Hj. Yulpida

Sosial dan Kesehatan Drs. Edwin Simanjuntak Agama dan Aliran Kepercayaan Drs. Eugenius Samosir Energi dan Sumber Daya Alam, Lingkungan

Hidup, Pelestarian Alam dan Bencana Alam

Siti Aizah

Polkamda dan Pertahanan Yuriati

Pariwisata, Seni dan Budaya Nurhaida Tambunan Hukum, HAM, Buruh, Tani, Nelayan, dan

Tenaga Kerja

Subaini, BA


(51)

BAB III ANALISA DATA

Partisipasi politik perempuan pada dasarnya adalah peran serta perempuan dalam setiap aktivitas partai politik, baik secara aktif maupun pasif. Timbulnya kesadaran perempuan untuk terlibat di partai juga tidak terlepas dari partainya sendiri, karena Partai Demokrat sangat memberikan peluang yang sangat besar terhadap perempuan untuk terlibat. Pernyataan ini dapat mewakili latar belakang yang mendorong perempuan untuk aktif di partai politik. Pendapat ini sejalan dengan kesadaran diri sendiri untuk terlibat di partai politik, yakni kesadaran untuk memberikan aspirasi .44

Pemilu 2009 tidak luput dari dinamika yang terjadi. Hal ini terlihat dari aktivitas-aktivitas politik dalam pemilu seperti kesertaan pengurus Partai Demokrat dalam kampanye partai politik maupun pada saat pelaksanaan pemilu. Terjadinya perbedaan-perbedaan pilihan Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warganegara cenderung meningkat.

44

Hasil Wawancara dengan Ibu Artina Linda, Wakil Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan DPC Partai Demokrat Pematangsiantar.


(1)

pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga.Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan.

Salah satu konsep kunci dalam ilmu politik untuk mengukur kiprah perempuan di dalam dunia politik adalah keterwakilan politik. Dalam banyak analisis, kaum perempuan harus segera keluar lingkungan domestik menuju lingkungan publik. Menurut kaum feminis masalah ketidakterwakilan politik perempuan dapat dipecahkan melalui 2 (dua) cara47

1. Secara psikologis, para perempuan yang ingin terjun ke dunia politik praktis harus melawan kadar subjektifitasnya, seperti mengurangi kadar emosi, berpikir secara rasional dan menghilangkan egoisme.

:

2. Secara politik, perempuan harus lebih sering tampil di depan publik sehingga sosialisasi politik perempuan berada dalam satu perspektif yang lebih luas daripada urusan rumah tangga.

Masalah rendahnya keterwakilan perempuan di legislatif merupakan isu central dalam partisipasi politik perempuan yang perlu dievaluasi, karna bagaimanapun harus ada keterwakilan perempuan di lembaga legislatif yang seimbang dengan pria. Diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik sudah pasti akan menghasilkan kebijaksanaan yang kurang tepat karna akan mengesampingkan kondisi dan aspirasi setengah lebih aspirasi penduduk Indonesia.

47

Mary Lou Kendrigan, Political Equality in Democratic Society: Women in United State, Connecticut: Greenwood Press,1984, hal.226.


(2)

Jadi tidak terwakilinya perempuan di lembaga legislatif diduga disebabkan oleh beberapa hal, antara lain48

1. Pola partisipasi dan rekrutmen politik yang tidak begitu baku :

2. Pola sosialisasi, pendidikan politik yang belum mengakar

3. Pola rekrutmen politik yang belum begitu baik karena kuatnya sikap “paternalisme” yang berbentuk hubungan patron-client, maka kekuasaan politik masih tetap menjadi urusan elit politik, sehingga rekrutmen politik yang mengandalkan grassroot politik, khusunya bagi kaum perempuan tidak established. Perempuan-perempuan yang dekat dengan elit politik mempunyai akses besar kepada kekuasaannya


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. partisipasi politik elit politik perempuan di kota Pematangsiantar berdasarkan intensitasnya terbagi dalam 3 bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktifitas. Perempuan sebagai pengamat ditunjuk dalam bentuk dalam pemberian suara. Sedangkan elit politik perempuan sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatife, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik perempuan sebagai aktifitis yaitu menjadi pengurus partai politik.

2. Motif partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Semarang dalam pemilu legislatif tahun 2004 adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.

3. Partisipasi politik perempuan di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar cukup tinggi. Akan tetapi ditinjau dari tingkat keterwakilannya sangat rendah, dimana dalam Pemilihan Umum 2009 tidak ada satu pun dari 11 0rang (35%) caleg yang duduk di DPRD Pematangsiantar.


(4)

4.2 Saran

1. Penulis mengharapkan agar partisipasi elit politik perempuan di partai Demokrat tetap tinggi. Pemberdayaan Perempuan dilaksanakan secara maksimal, dan lebih aktif dalam memberikan pendidikan politik secara terus menerus mengenai kajian berperspektif perempuan. Bidang pemberdayaan perepuan juga diharapkan dapat mengkaji hambatan-hambatan apa yang dihadapi elit politik peremuan untuk menjadi menjadi anggota legislatif, kemudian menyiapkan strategi demi meningkatkan keterwakilan politik perempuan

2. Elit politik perempuan hendaknya terus meningkatkan kualitas diri agar dapat melakukan banyak peran terutama peran-peran di wilayah publik yang justru banyak bersinggungan dengan kepentingan perempuan itu sendiri dan turut memberikan kontribusi agar dapat berkompetisi serta turut ambil bagian dalam proses pembuatan kebijakan (policy making)


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arsal, Thriwaty. Partisipasi Politik Elite Agama Islam di Kota Magelang. FIS Unnes Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII, 1983.

Gaffar, Affan. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani, 1990.

Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan.. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

International IDEA Conference Report, Strengthening Women’s Political Participation In Indonesia, Part 1, 2002.

Kamaruddin. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing, 2003.

Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elite, Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Lexy J. Moelong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Lips, Hilary M. Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing Company,

1993.

Maran, Raga, Rafael. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Miles, Mathew B. dan Huberman, A. Michael. Analisis Data kualitatif. Jakarta: UI Press, 1992.

M. Darwin, Muhadjir. Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana, . 2005


(6)

Utama. Cet. I, 2004.

Neufeldt, Victoria (ed.). Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenland, 1984.

Rush, Michael dan Althoff, Philip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Sastroatmodjo, Sudijono. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo, 1999.

Takariawan, Cahyadi. Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama, 2002.

Usman, Husaini. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Bumi Aksara, 2004.