Komunikasi Politik Di Media Massa : Studi Analisis Wacana Terhadap Pemberitaan Partai Nasdem Di Harian Media Indonesia

(1)

PARTAI NASDEM DI HARIAN MEDIA INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom.I )

Oleh:

ISNAANTO ACHMAD MAULANA NIM: 207051000662

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PARTAI NASDEM DI HARIAN

MEDIA

INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam

( S.Kom.I )

Oleh:

Isnaanto Achmad Maulana NIM: 207051000662

Pembimbing:

fu.

Dr. Gun Gun Hervanto. M.Si NrP. 19760812 200501

I

00s

JURUSAN

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN

ISLAM

FAKULTAS

ILMU

DAKWAH DAN TLMU

KOMUNIKASI

UIN SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434

H /

2013

M


(3)

Skripsi yang berjudul KOMUIT{IKASI POLITIK DI MEDIA MASSA :

STUDI ANALISIS WACANA TERIIADAP

PEMBERITAAN PARTAI

NASDEM

DI HARIAN MEDIA

INDONESIA. Telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas

Ilmu

Dakwah

dan

Ilmu

Komunikasi

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Juli 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarut r:ntuk merath gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)

pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 19 Juli 2013

Panitia Sidang Munaqasyah

Sekretaris

NrP. 19710412 204403 2 001

Anggota,

Penguji I Penguji II

t/

/\/l

/

'[r

Ade Masturi" MA NrP. 197s0606 200710 1 001

Pembimbing,

Dr. Gun Gun Heryanto. M.Si NIP: 19760812 200501 1 005

Ketua

970A9A3 199603 1 001

i Nilamsari. M.Si 97TA'2A D9903 2 002


(4)

2.

a

-r-Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata

I

di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dankarya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2013


(5)

i ISNAANTO ACHMAD MAULANA

Komunikasi Politik di Media Massa : Studi Analisis Wacana Kritis Terhadap Pemberitaan Partai NasDem di Harian Media Indonesia

Perkembangan media massa saat ini seakan tidak dapat dipisahkan dari rutinitas masyarakat pada umumnya, baik media elektronik, media cetak, maupun media baru. Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen, media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada didalam maupun diluar media massa itu sendiri. Media Indonesia sebagai salah satu dari sekian banyak media cetak nasional yang ada di Indonesia, bertugas sebagai penyalur informasi juga sebagai alat kontrol sosial terhadap aktifitas politik di

pemerintahan yang sedang menjabat. Surya Paloh yang notabene-nya merupakan

pemilik Harian Media Indonesia juga merupakan tokoh berpengaruh didalam

Partai NasDem, hal ini tentu akan berimplikasi pada content berita Media

Indonesia terhadap berita mengenai Partai NasDem.

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini terkait pada bagaimana konstruksi wacana yang dibangun Media Indonesia dalam memberitakan Partai

NasDem? Bagaimana kognisi sosial redaksi Media Indonesiadalam menilai Partai

NasDem? Serta bagaimana konteks sosial masyarakat mengenai Partai NasDem. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif dengan paradigma kritis, menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk yang mengelaborasi elemen-elemen wacana dan membagi tingkatan analisis teks ke dalam struktur makro, suprastruktur, dan sturktur mikro. Serta analisis kognisi sosial yang melibatkan wawancara dengan narasumber yang terkait, dan analisis konteks sosial dengan melihat wacana yang berkembang di masyarakat dan didasarkan pada faktor akses dan kekuasaan.

Dalam penelitian ini ditemukan adanya praktik konstruksi wacana pada struktur teks yang diberitakan Media Indonesia mengenai Partai NasDem. Dalam struktur makro, tema yang dikedepankan oleh Media Indonesia mengandung unsur pro-aktif terhadap kegiatan yang dilakukan Partai NasDem. Pada superstruktur, Media Indonesia menyusun skema berita dengan menonjolkan dua tokoh penting di dalam Partai NasDem yang juga merupakan tokoh berpengaruh di Harian Media Indonesia. Pada tingkatan struktur mikro, wacana yang dibangun Media Indonesia selalu menititikberatkan pada kepercayaan diri Partai NasDem yang akan sukses dalam Pemilihan Umum 2014 mendatang.


(6)

ii Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabil’alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Setelah melewati proses yang cukup panjang akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan tidak hanya karena doa dan kerja keras, namun banyak pihak yang turut serta mendukung dan mendoakan penulis agar segera menyelesaikan karya

ilmiah ini. Karena tanpa adanya bantuan dan dukungan dari orang-orang tercinta

tersebut, karya ilmiah ini tidak akan mungkin terselesaikan. Ucapan terima kasih penulis hanturkan kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra, MA, selaku Pudek I dan selaku ketua sidang pada saat skripsi ini diujikan. Drs. H. Mahmud Jalal, MA, selaku Pudek II dan Drs. Study Rijal LK, MA selaku Pudek III, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dalam bentuk karya ilmiah ini, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

2. Dra. Asriati Jamil, M.Hum (alm). Selaku Koordinator Teknis Program


(7)

iii

3. Dr. Gun Gun Heryanto M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu

memberikan bimbingan dan motivasi serta dapat meluangkan waktunya untuk membenahi hal-hal yang salah di dalam bimbingan.

4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah

banyak memberikan ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis dalam menyelesailan studi maupun dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

5. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, beserta staffnya.

6. Terimakasih kepada Bapak Ono Sarwono, selaku asisten kepala divisi

pemberitaan Media Indonesia yang telah menjadi narasumber dalam penelitian ini dan telah banyak memberikan informasi yang membantu peneliti dalam menjawab setiap rumusan-rumusan masalah dalam penelitian ini.

7. Kedua orang tua tercinta Bapak Pujiyono dan Ibu Sumiyati, yang telah

mencurahkan semua kasih sayang dan selalu mendidik, serta mendoakan penulis dengan kasih sayang tidak terhingga yang tidak mampu digantikan dengan apapun. Semoga Allah selalu menjaga, menyayangi, melindungi dan memberikan kebahagiaan dunia maupun akhirat.

8. Saudara sekandung penulis: Wahid Achmad Fauzi (kaka), dan Bagussalasa

Achmad Shafaruddin (adik) yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan motivasi secara tidak langsung bagi penulis.

9. Teman-teman Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam program Non-Reguler 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, juga


(8)

iv

10.Keluarga besar alumni Man 4 Model Jakarta 2007, khususnya

teman-teman Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, beserta para guru yang telah mendidik penulis menjadi seperti sekarang ini.

11.Sahabat-sahabat tercinta dan terbaik yang selalu penulis sayangi dan

hormati: Ahmad Fikri Al-fatih, Faruk Abdurrahman, Ongko Prasetyo, Rikzha Lutfi, M. Sudrajat, Yohan Aditya, Novita Hariyani, Agustina Widianputri, M. Sandi, Nur Ardiansyah, Riska Ayustinandini, Pak H. Sulaiman, Zeptri Eriadi, dan teruntuk Fitri Sri Rezeki, Terimakasih atas persahabatan, doa, dan dukungan serta selalu bersedia mendengarkan keluh kesah penulis dan selalu meyakinkan penulis mampu untuk berhasil di masa depan.

12.Keluarga KKS/N 88 tahun 2010 yang luar biasa hebat: Ade Alfan Syifa,

M. Samlawi, Syaifullah, Barqowi, Iqbal, Syarif, Indah, Mutiara Rahmah,

Lulu Lutfiah, Ika Kartika, Za’arasy Rahmah, Dahliana Syahri, Juliani,

Neneng, Nila Lestari, dan keluarga besar Kampung Punaga, Desa Mandalakasih kecamatan Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.

Penulis senantiasa berdoa semoga amal baik yang telah diberikan, mendapatkan ridha dari Allah SWT. Akhirnya kepada Allah penulis serahkan dengan harapan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang besar khususnya bagi penulis dan umumnya bagi yang membaca.

Jakarta, 15 Juli 2013


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konstruksi Realitas Sosial ... 18

1. Eksternalisasi ... 23

2. Objektivasi ... 25

3. Internalisasi ... 26

B. Konstruksi Realitas Politik ... 27

1. Opini Publik ... 29

2. Propaganda Politik ... 39


(10)

vi

B. Visi dan Misi ... 55

C. Struktur Organisasi Media Indonesia ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Teks Pemberitaan Pastai NasDem ... 58

B. Analisis Kognisi Sosial Pemberitaan Partai NasDem ... 79

C. Analisis Konteks Sosial Pemberitaan Partai NasDem ... 83

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 88

B. Saran-saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(11)

vii

1. Tabel 1 Elemen Wacana Teun A. Van Dijk ... 12

2. Tabel 2 Gambaran Umum Berita Partai NasDem ... 58

3. Tabel 3 Analisis Teks Berita 1 ... 60


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian keilmuan di bidang komunikasi massa terus menarik untuk di perbincangkan dan dibahas melalui berbagai kegiatan seperti seminar, kuliah umum, focus group discussion, dan berbagai kegiatan lainnya, terlebih dikalangan mahasiswa maupun praktisi media massa. Semua hal itu berdasarkan pada aspek kultural dan ideologi barat yang masuk ke dalam perkembangan industri media massa di Indonesia. Dalam perkembangannya, media massa menjadi pengaruh yang signifikan dalam kehidupan manusia sehari-hari dikarenakan manusia adalah makhuk sosial yang terus membutuhkan informasi untuk di konsumsi. Berita dalam kajian komunikasi massa bukan sekedar berita atas peristiwa manusia, melainkan berita yang telah di konstruksi oleh manusia yang berada dalam struktural di balik industri media massa itu sendiri.

Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen. Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Dalam memproduksi berita, media massa

kerap dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

antara lain berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan


(13)

politik tertentu. Sementara faktor eksternal dapat berupa tekanan pasar pembaca atau

pemirsa, sistem politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan eksternal lainnya.1

Kepentingan-kepentingan eksternal dan internal inilah yang mengharuskan media

terus bergerak dinamis di antara kepentingan-kepentingan tersebut. hal ini menyebabkan media massa sulit menghindari bias-bias dalam penyampaian beritanya.

Dewasa ini terlihat bahwa media massa semakin menguatkan posisi mereka bukan hanya sebagai penyalur informasi dan alat kontrol sosial melainkan, menjadi alat untuk mengukuhkan atau membantu para elite politik maupun partai politik lainnya agar tercapainya tujuan dibalik kekuasaan itu. Sebagai konsumen, praktisi, mahasiswa, maupun pekerja media massa, kita harus lebih jeli untuk melihat mana isi pesan yang bercirikan politik, pesan yang bertujuan mendelegitimasi pihak lain atau pesan yang memperbaiki citra individu maupun kelompok tertentu.

Media Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak media cetak nasional yang ada di Indonesia, mereka bertugas sebagai penyalur informasi juga sebagai alat kontrol sosial terhadap segala sesuatu yang menyangkut kebijakan, rancangan undang-undang, dan seluruh aktifitas politik yang berada pada kepemerintahan yang sedang menjabat. Namun, mereka juga dapat memperbaiki suatu citra politik yang menimpa golongan atau individu yang mendukung segala

kebutuhan yang dibutuhkan oleh Media Indonesia.

1

Ibnu Hamad, “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik”, (Jakarta : Granit, 2004), h. 2-3


(14)

Sebagaimana yang telah diketahui secara visual, Media Indonesia sering kali memberikan informasi yang terjadi baik situasi dan kondisi yang sedang berlangsung di Indonesia termasuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April 2012

yang lalu. Surya Paloh sebagai salah satu tokoh dan pemilik Media Indonesia yang

tergabung dalam Media Group tersebut tentu mempunyai pengaruh besar terhadap

pemberitaan-pemberitaan yang akan disampaikan oleh Media Indonesia sebelum

berita itu diterbitkan.

Terkait kekalahan Surya Paloh dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Munas (Musyawarah Nasional) Partai Golkar 2009 lalu, berimplikasi pada berdirinya organisasi masyarakat Nasional Demokrat yang didirikannya pada tahun 2010 lalu. Hal ini tentu menyorot pandangan publik atas keputusan Surya Paloh mendirikan organisasi masyarakat tersebut terlebih setelah Ia memutuskan untuk keluar dari Partai Golkar dan lebih memprioritaskan diri ke dalam organisasi masyarakat yang didirikannya.

Hal tersebut di atas tentu akan mengakibatkan bergesernya arah pemberitaan Media Indonesia yang awalnya seringkali menyorot pemberitaan mengenai Partai Golkar, dan setelah hengkangnya Surya Paloh dari Golkar, tentu berita yang

disuguhkan Media Indonesia akan beralih pada pemberitaan organisasi masyarakat

Nasional Demokrat tersebut dan content-nya akan cenderung memberikan citra positif atas berdirinya organisasi tersebut. Dalam kajian ilmu komunikasi politik tentu hal ini merupakan salah satu pengaplikasian dari teori ekonomi politik media massa.


(15)

Sebagaimana menurut Garnham yang dikutip dari Heryanto, “institusi harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dan kondisi yang memaksakan perluasan pasar. Kualitas itu juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi

para pemilik dan penentu kebijakan”.2

Konten yang disuguhkan media massa tentunya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kepentingan-kepentingan pemilik dan penentu kebijakan di media massa tersebut, kepemilikan atas media massa tentu berimplikasi pada sejauh mana citra

yang ditonjolkan dari isi berita yang diterbitkan, terlepas dari kepentingan ini Media

Indonesia tentu tidak bisa dengan mudah melepaskan kepentingan Surya Paloh yang notabene-nya berada dibalik kepemilikan Media Group, baik dari segi manuver politiknya maupun keputusan politik yang akan Ia lakukan.

Pada masa sekarang kita melihat banyak para calon kandidat baik dari kalangan politisi maupun kalangan umum yang terjun dalam dunia politik, mereka berlomba-lomba ingin mengusai media massa di berbagai lini agar dapat dijadikan alat untuk melancarkan strategi pertempuran guna menaikan citra diri dan menjatuhkan lawan-lawan politik mereka. Begitupun dengan organisasi masyarakat Nasional Demokrat, bahwa organisasi masyarakat yang kini bertransformasi menjadi

sebuah Partai NasDem (Nasional Demokrat) itu sangat memanfaatkan momentum

kebebasan pers, di mana pers yang mulanya menjadi alat kontrol sosial kemudian

2

Gun Gun Heryanto. Komunikasi Politik di Era Industri Citra. (Jakarta : PT Lasswell Visitama, 2010). h. 302


(16)

dimanfaatkan menjadi kendaraan untuk melancarkan manuver politik termasuk membangun citra positif dan mengenalkan kepada masyarakat luas tentang didirikannya partai tersebut. Ini merupakan langkah yang mulus bagi Partai NasDem demi keikutsertaanya dalam pesta demokrasi terbesar di tahun 2014 mendatang.

“Siapa menguasai media, dia menguasai dunia”. Rumusan ini sering kita

dengar menggambarkan betapa pentingnya peran media dalam proses produksi,

reproduksi, dan distribusi pengetahuan serta kekuasaan.3 Begitu pula dengan Media

Indonesia sebagai salah satu media massa nasional yang dalam pendistribusian pengetahuannya memberikan banyak manfaat positif bagi khalayak yang masih minim informasi dengan dunia luar, namun bagaimana dengan kekuasaan yang diproduksi, dan didistribusikan? Apakah sesuai dengan kebutuhan khalayak yang menginginkan transparansi informasi secara akurat, apakah sudah memberikan kepuasan kepada khalayak mengenai kekuasaan elite politik dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang terjadi, apakah media sudah netral dalam menyajikan berita yang sarat akan isu-isu politik di pemerintahan sekarang.

Hal ini tentu membutuhkan penelusuran lebih jauh mengenai konstruksi realitas yang dibangun dari masing-masing media massa, hingga saat ini independensi media masih sering dipertanyakan sebagian publik baik dari kalangan pengamat maupun akademisi, sedikitnya penelitian ini diharapkan mampu

memberikan jawaban atas keresahan publik mengenai independensi Media Indonesia

3


(17)

yang selama ini kental sekali dengan sensitivitasnya di Media Group yang dipimpin Surya Paloh.

Menilik segala kebutuhan publik yang sangat haus akan informasi maka fenomena ini sangat berkaitan dengan kajian keilmuan komunikasi massa yang hakekatnya penting untuk dipelajari lebih dalam oleh para mahasiswa, praktisi maupun para pakar media massa.

Fenomena media massa di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan publik, para pengamat sering mengkritisi dan menyayangkan hal yang menimpa media massa di Indonesia ini, baik dari sisi kepemilikan media, independensi media, maupun konten dari media tersebut, begitu pula dari kalangan mahasiswa Ilmu komunikasi yang menjadikan media massa sebagai bahan kajian keilmuannya, jika dikaitkan pada kajian Ilmu komunikasi politik hal ini tentu akan menambah khazanah keilmuan komunikasi baik secara umum maupun lebih spesifik seperti komunikasi politik di media massa.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti ingin mengkaji lebih jauh

tentang bagaimana Media Indonesia mengkonstruksi berita mengenai Partai Nasional

Demokrat, baik dari segi pesan komunikasi politik maupun pencitraan terhadap suatu kelompok atau golongan. Atas dasar tersebut maka skripsi ini diberi judul

“Komunikasi Politik di Media Massa, Studi Analisis Wacana Terhadap Pemberitaan Partai NasDem (Nasional Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia“.


(18)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti pada segi pesan komunikasi politik yang terdapat pada teks di Harian Umum Media Indonesia dan bagaimana Media Indonesia mengkonstruksi berita mengenai Partai Nasional Demokrat pada edisi sabtu 23 Juni dan senin 25 Juni 2012, dengan menggunakan metode analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk.

Kedua edisi tersebut di pilih karena berita yang ada di dalamnya memuat beberapa kegiatan yang sedang dilakukan Partai NasDem, terlebih lagi kedua edisi tersebut terbit pada hari sabtu dan senin yang diasumsikan dapat membentuk ingatan publik, untuk terus beranggapan bahwa Partai NasDem selalu melakukan kegiatan-kegiatan positif dalam rangka penguatan kader dan meyakinkan publik akan kesiapan partai ini untuk turut serta dalam perhelatan pesta demokrasi pada 2014 mendatang.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana konstruksi wacana pemberitaan Partai NasDem (Nasional

Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia?

b. Bagaimana kognisi sosial redaksi dalam menyajikan berita-berita mengenai

Partai NasDem (Nasional Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia?

c. Bagaimana konteks sosial yang digambarkan mengenai Partai NasDem


(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas maka penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu :

a. Untuk mengetahui bagaimana konstruksi wacana pemberitaan Partai

NasDem (Nasional Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia.

b. Untuk mengetahui bagaimana kognisi sosial redaksi dalam menyajikan

berita-berita mengenai Partai NasDem (Nasional Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia.

c. Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial yang digambarkan mengenai

Partai NasDem (Nasional Demokrat) di Harian Umum Media Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dalam penelitian ini yaitu :

a. Manfaat Akademis : Penelitian ini diharapkan memiliki fungsi dan manfaat

secara akademis (keilmuan) di lingkungan universitas, agar kajian keilmuan komunikasi politik dapat lebih dikembangkan, oleh karena itu penelitian ini masih tetap mengacu kepada permasalahan komunikasi politik media massa.

b. Manfaat Praktis : Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan informasi dan data yang dapat dipergunakan di perguruan-perguruan tinggi lainnya guna menunjang pengetahuan mengenai studi ilmu komunikasi di bidang komunikasi politik media massa.


(20)

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian :

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh

gambaran mengenai kategorisasi tertentu.4

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, metodologi penelitian

skripsi ini menggunakan metode analisis wacana dalam paradigma kritis, yang biasa digunakan untuk mengkaji dan menelaah pesan-pesan yang terdapat dalam media. Analisis wacana kritis merupakan salah satu bentuk alternatif untuk menganalisis pesan dalam media selain anlisis isi kuantitatif, dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk. Analisis wacana model Van

Dijk lebih menekankan pada tiga dimensi yakni: teks, kognisi sosial, dan konteks

sosial.

2. Subjek dan Objek Penelitian :

a. Subjek Penelitian, dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah surat kabar Harian Umum Media Indonesia.

4

Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2001), h. 302


(21)

b. Objek Penelitian, dan yang menjadi objek penelitian ialah pemberitaan mengenai Partai Nasional Demokrat di Harian Umum Media Indonesia.

3. Pengumpulan Data :

a. Observasi Teks yaitu peneliti melakukan observasi terhadap teks terkait berita mengenai Partai NasDem untuk mengetahui pesan komunikasi

politik pada surat kabar Media Indonesia pada edisi sabtu 23 Juni dan senin

25 Juni 2012. Kemudian dilakukan pengamatan sistematis yang disesuaikan dengan metode analisis model Van Dijk dan fenomena yang terdapat dalam teks tersebut dijadikan sebagai objek peneliti.

b. Interview yaitu peneliti melakukan wawancara kepada bapak Ono Sarwono

selaku Asisten Kepala Divisi Pemberitaan Harian Media Indonesia.

Kemudian peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber terkait proses peliputan berita, pemilahan berita hingga proses akhir diterbitkannya berita, dengan tidak hanya berpedoman pada sistematika pertanyaan yang disediakan, sehingga pemberi data dapat menjawab dengan bebas dan terbuka.

c. Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data-data mengenai hal-hal yang akan peneliti bahas, yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti yaitu: pengumpulan data melalui internet yang berupa artikel-artikel terkait berita mengenai Partai NasDem, kemudian buku-buku teoritis yang dapat menunjang metode analisis dalam penelitian, serta arsip maupun


(22)

dokumentasi dari tim redaksi surat kabar Media Indonesia dan media cetak lainnya.

4. Analisa Data :

Data yang diperoleh dari berbagai sumber kemudian akan ditafsirkan oleh peneliti dengan metode kualitatif menggunakan kerangka analisis wacana kritis model Van Dijk dengan membagi ke dalam tiga dimensi yaitu : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Inti dari model ini adalah menggabungkan ketiga dimensi (teks, kognisi sosial, dan konteks sosial) menjadi sebuah kesatuan. Untuk dimensi teks, analisis wacana

model van Dijk terdiri atas tiga struktur yakni struktur makro merupakan makna

global dari suatu teks, superstruktur yakni kerangka dalam suatu teks atau alur dalam

suatu teks atau alur dalam suatu tulisan seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan

kesimpulan, dan struktur mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang dapat

dilihat dengan mengamati pilihan kata, kalimat, dan gaya yang digunakan dalam suatu teks. Ketiga struktur tersebut masing-masing memiliki elemen-elemen yang saling mendukung satu sama lain. Seperti yang tergambar dalam tabel di bawah ini:


(23)

Tabel 1.

Elemen Wacana Teun A. Van Dijk5

STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu

berita

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan

dalam teks berita utuh

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks

berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit

satu sisi dan mengurangi detil sisi lain

Latar, Detil, Maksud, Peranggapan, Nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang

dipilih

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks

berita

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan

dilakukan

Grafis, Metafora, Ekspresi

5


(24)

E. Tinjauan Pustaka

Ada banyak sekali penelitian mengenai kajian keilmuan komunikasi di bidang komunikasi politik, namun beberapa penelitian mempunyai subjek dan objek penelitian yang berbeda, baik mengenai Partai NasDem sebagai objek penelitiannya

maupun Harian Media Indonesia sebagai subjek dari penelitian itu sendiri. Dalam

penelitian yang peneliti lakukan ini, peneliti mencoba mengelaborasikan sumber-sumber dan berbagai literatur dari penelitian-penelitian terdahulu. Di antaranya adalah:

1. Komunikasi Politik Melalui Media Massa: Pasangan Mochtar Mohammad –

Rahmat Effendi (Murah) Dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013.

Oleh Misliyah, mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Program

Non Reguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010.

Dalam penelitian di atas ditemukan bahwa dalam kegiatan sosialisasi politik

pasangan Mochtar Mohammad – Rahmat Effendi, banyak menggunakan media

massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Peranan media massa dalam

mensosialisasikan figur pasangan Mochtar Mohammad – Rahmat Effendi, visi

misi dan program kerja mereka sangatlah efektif.

Dalam penelitian ini juga ditemukan keberhasilan pasangan calon walikota dalam memenangkan pilkada Bekasi itu terdiri dari beberapa faktor diantaranya publisitas melalui media massa dan dukungan dari partai-partai besar,


(25)

sedangkan yang menjadi penghambat dari pasangan ini adalah maraknya Black Campaign (kampanye gelap), kecurangan-kecurangan pasangan dari kubu

lawan, Many Politic, fenomena Golput di masyarakat setempat.

Perbedaan dari penelitian di atas terletak pada subjek dan objek penelitian yang berbeda namun masih dalam konteks kajian komunikasi politik, penelitian yang dilakukan Misliyah ini lebih menekankan pada peranan media massa dalam lingkup pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bekasi dan hanya menggunakan teori publisitas aktor politik, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih kepada unsur propaganda politik dan konstruksi realitas yang dibangun media massa.

2. Komunikasi Politik Pasangan Hj. Airin Rachmi Diany dan Drs. H. Benyamin

Davnie dalam Pilkada Tangsel Tahun 2011. Oleh Amalia mahasiswi Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amalia ini bertujuan untuk mengetahui strategi komunikasi politik pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie untuk memenangkan pilkada Tangsel 2011 melalui media lini atas (Above the line) dan media lini bawah (Below the line).

Penelitian Amalia ini menggunakan metode kualitatif analisis deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data, teori yang digunakan adalah model kampanye Ostergaard,


(26)

dengan mengidentifikasi masalah yang ada, tahap pelaksanaan kampanye, dan tahap penanggulangan kampanye.

Hasil akhir dalam penelitian yang dilakukan Amalia ini ditemukan bahwa strategi politik pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie adalah dengan menggunakan media lini atas seperti koran, dan internet sebagai media utamanya, dan media lini bawah seperti striker, poster, spanduk, baliho dan billboard sebagai media pendukung. Kedua jenis media tersebut terbukti efektif dalam mempromosikan dan membentuk citra pasangan Airin-Benyamin, terlebih keberhasilannya dalam melakukan publisitas melalui media massa. Perbedaan yang nampak jelas pada penelitian yang dilakukan oleh Amalia ini terletak pada model penelitian yang menggunakan model Ostergaard sedangkan model penelitian yang peneliti gunakan adalah model Teun Van Dijk, dan teori

yang dipakai hanya media lini atas (Above the line) dan media lini bawah

(Below the line) sedangkan teori yang peneliti gunakan meliputi, konstruksi realitas sosial, konstruksi realitas politik, opini publik, dan propaganda politik namun persamaan pada penelitian ini masih terkait dengan kajian keilmuan komunikasi politik media massa.

Penelitian-penelitian tersebut di atas merupakan sebagian penelitian yang membahas tentang komunikasi politik, keterkaitan dari penelitian di atas adalah sama-sama meneliti mengenai kajian keilmuan dibidang komunikasi politik, dengan media massa atau media cetak yang menjadi subjek penelitian. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada objek penelitian, dan lembaga yang diteliti,


(27)

penelitian terdahulu tidak melulu menggunakan metodologi yang sama, ada yang menggunakan metode kualitatif dan ada yang menggunakan metode kuantitatif.

Dewasa ini di kalangan mahasiswa fakultas dakwah dan komunikasi sudah banyak yang melakukan penelitian dalam bidang komunikasi politik, ini menunjukkan bahwa ketertarikan dan perkembangan pola pikir mahasiswa sangatlah signifikan maka itu perlu dikembangkan lebih lanjut agar lulusan-lulusan dari fakultas dakwah dan komunikasi tidak hanya bisa melihat pesan-pesan yang bercirikan politik namun juga bisa mempraktikkan yang menjadikan edukasi bagi masyarakat luas.

Teori-teori yang digunakan pun tidak sepenuhnya sama, masing-masing dari peneliti mempunyai kajian teoritis yang sangat mendalam pada penelitiannya, ada yang menggunakan teori konstruksi realitas sosial, konseptualisasi marketing politik, teori konstruksi citra, dan teori komunikasi politik secara umum. Ini pun akan menambah khazanah keilmuan bagi fakultas dakwah dan komunikasi dalam perkembangan kajian ilmu komunikasi dibidang komunikasi politik.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah yang menjadi alasan dilakukannya penelitian ini, rumusan dan batasan masalah yang merumuskan dan membatasi masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian


(28)

yang menggunakan metode kualitatif deskriptif, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Dalam bab ini terdapat berbagai macam teori yang nantinya akan digunakan untuk menganalisis berbagai permasalahan dalam penelitian ini, seperti teori konstruksi realitas sosial, konstruksi realitas politik, propaganda politik, opini publik, analisis wacana model Van Djik, dan lain sebagainya.

BAB III GAMBARAN UMUM

Adapun gambaran umum atau profil objek penelitian akan disampaikan dalam bab ini seperti, profil Harian Umum Media Indonesia, sejarah berdirinya, struktur

organisasi, visi – misi, dan sebagainya.

BAB IV ANALISA DATA

Dalam bab empat ini akan diulas dan di paparkan analisa wacana pemberitaan Partai NasDem di Harian Umum Media Indonesia. Pendekatan analisis yang digunakan dalam bab ini adalah analisis wacana Teun Van Dijk. Model ini menekankan pada tiga aspek yaitu: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

BAB V PENUTUP

Kesimpulan dari analisis terhadap bagaimana wacana pemberitaan Partai NasDem pada Harian Media Indonesia, dan hasil temuan-temuan lainnya, serta saran-saran yang mungkin bisa berguna bagi Harian Umum Media Indonesia.


(29)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konstruksi Realitas Sosial

Jika melihat fungsi media massa secara umum baik berita dari media cetak maupun elektronik, adalah merupakan laporan dari sebuah peristiwa. Peristiwa disini adalah realitas atau fakta yang dicari dan diliput oleh wartawan dan pada giliriannya akan dilaporkan secara terbuka melalui media massa. Dengan begitu proses jurnalisme berupaya menceritakan kembali suasana atau keadaan di sekitar peristiwa, orang atau benda, bahkan pendapat yang terdapat dalam sebuah peristiwa merupakan upaya untuk merekonstruksi realitas.

Realitas sosial itu „ada‟ dilihat dari subyektifitasnya „ada‟ itu sendiri dan

dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai

„kedirian‟-nya, namun juga dilihat dari mana „kedirian‟ itu berada, bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan

menerimanya.1

Pendapat di atas menunjukkan bahwa seseorang akan melihat kenyataan yang terjadi di lingkungan sosialnya dengan menjadikan dirinya sebagai subjektif yang berada dalam lingkaran sosial objektif namun, pada kenyataannya seseorang itu menjadi objektif di dalam lingkungan sosial yang subjektif, jika melihat pandangan dari paradigma konstruktivis, realitas diciptakan oleh individu yang mengkonstruksi

1

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 12


(30)

realitas sosial tersebut namun, kebenaran dalam realitas sosial itu bergantung pada siapa individu yang melihat realitas tersebut.

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.2

Morissan berpendapat teori konstruksi sosial realitas merupakan ide atau prinsip utama dari kelompok pemikiran atau tradisi kultural. Ide ini menyatakan bahwa dunia sosial tercipta karena adanya wujud interaksi antara manusia. Cara bagaimana kita berkomunikasi sepanjang waktu mewujudkan pengertian kita mengenai pengalaman, termasuk ide kita mengenai diri kita sebagai manusia dan

sebagai komunikator.3

Menurut Morissan dengan adanya interaksi simbolik antar individu, dunia sosial akan tercipta dengan prinsip utama dari kelompok pemikir maupun budaya yang sudah menjadi tradisi pada individu tersebut, dengan berinteraksi satu sama lain individu dapat memahami dirinya sendiri dan memberikan stimulus terhadap dirinya sehingga akan timbul respon terhadap dunia sosialnya.

2

Ibid, h. 12-13 3


(31)

Teori konstruksi sosial realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki kesamaan budaya akan memiliki peraturan makna yang berlangsung terus-menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orang-orang

yang memiliki kultur yang sama.4 Latar belakang kesamaan budaya memang akan

berdampak pada kesamaan makna terhadap suatu realitas jika masing-masing individu itu berasal dari daerah yang sama namun, realitas yang terkonstruk dari latar belakang tersebut hanya berlaku untuk sebagian individu, tidak menyeluruh seperti konstruksi yang di buat oleh media massa.

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi

terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. berger dan Thomas Luckmann melalui

bukunya yang berjudul The Sosial Construction of Reality: A Treatise in the

Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas

yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.5

Interaksi dan tindakan yang dilakukan individu dalam proses sosial akan memunculkan pengetahuan sosial, pengetahuan terhadap realitas yang mereka ciptakan dan dialami secara subjektif pada akhirnya menimbulkan kesamaan pandangan yang telah mapan terpola sehingga melahirkan konsensus makna.

Morissan menambahkan, Berger dan Luckmann menyebut tanda larangan itu memiliki simbol makna objektif karena orang kerap menginterpretasikan secara biasa-biasa saja namun, ada beberapa hal lainnya yang merupakan makna subjektif,

4

Ibid, h. 135 5


(32)

hal ini disebut dengan tanda. Dalam teori konstruksi realitas, mobil adalah lambang (simbol) mobilitas, namun mobil merek-merek tertentu, seperti Cadillac atau

Mercedez Benz merupakan tanda kemakmuran atau kesuksesan.6

Pada dasarnya tanda maupun simbol sama-sama bernegosiasi terhadap makna namun, negosiasi tanda berlangsung lebih kompleks, sedangkan simbol negosiasinya lebih umum. Jika seseorang yang memiliki mobil itu disimbolkan dengan kalangan

menengah ke atas, maka mobil-mobil dengan merek high class menjadikan seseorang

itu ditandai sebagai pembeda dari kalangan menengah ke atas.

Berger dan Luckmann dalam Bungin mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataan

semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.7

Penerimaan makna simbolik merupakan hasil dari negosiasi antara peserta komunikasi dalam proses interaksi, dalam proses ini objektivitas makna bisa terjadi melalui penegasan atau penyampaian berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain atau institusi sosial, baik media maupun institusi pemerintah yang memiliki definisi subjektif yang sama.

Dalam proses selanjutnya, proses dialektika antara individu menciptakan suatu tatanan masyarakat maupun sebaliknya masyarakat menciptakan individu, proses dialektika ini terjadi melalui tahap-tahap seperti, eksternalisasi, objektivikasi,

6

Morissan, Teori Komunikasi Massa, h. 135 7


(33)

dan internalisasi, dalam kajian komunikasi massa dikenal sebagai Entry Concept, berikut penjelasannya :

a. Objective reality atau realitas objektif, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

b. Symbolic reality atau realitas simbolik, merupakan semua ekspresi

simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronik, begitu pun yang ada di film-film.

c. Subjective Reality atau realitas subjektif, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi

melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality

yang baru.

Dialektika antara diri dengan dunia sosiokultural berlangsung dalam proses

dengan tiga „moment‟ simultan. Pertama, eksternalisasi, (penyesuaian diri) dengan

dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivikasi, yaitu interaksi


(34)

proses institusionalisasi. Sedangkan ketiga, internalisasi, yaitu proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi

sosial tempat individu menjadi anggotanya.8

1. Eksternalisasi (Penyesuaian diri)

Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio cultural sebagai

produk manusia. Bungin mengungkapkan jika binatang lahir ke dunia sudah ditentukan sepenuhnya oleh instinktualnya, diarahkan pada suatu lingkungan yang khas spesiesnya. Pada manusia berbeda, dunia manusia di bentuk oleh aktivitas manusia sendiri. Oleh karena itu, keberadaan manusia adalah sebagai penyeimbang antara manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan lingkungan dan dunianya. Dalam proses penyeimbang ini, manusia membentuk dirinya sendiri sehingga bisa

merealisasikan dirinya dalam kehidupan.9

Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Proses ini dimaksud adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk

melihat dunia luar.10

Media massa dapat berperan dalam mengkonstruksikan suatu peristiwa untuk membentuk realitas sosial. Pendekatan konstruksi sosial realitas telah menjadi

8

Ibid, h. 15 9

Burhan Bungin, Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 29-30

10


(35)

gagasan penting dan popular dalam ilmu sosial. Menurut Keneth Gergen, konstruksi sosial memusatkan perhatiannya pada proses dimana para individu menanggapi

kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka.11

Iklan televisi sebagai produk masyarakat dieksternalisasikan oleh pemirsa ke dalam dunia sosiokultural. Eksternalisasi itu terjadi secara dini karena adanya kedekatan antara televisi dan pemirsanya. Dapat dipastikan, setiap orang dari kelas menengah menikmati televisi setiap saat, karena umumnya dalam rumah keluarga modern, terdapat televisi lebih dari satu. Sehingga di saat hubungan sosial keluarga mulai merenggang karena desakan kehidupan modern, justru individu semakin menggantungkan dirinya terhadap televisi sebagai sumber informasi, hiburan, dan

sebagainya.12

Iklan televisi begitu penting dalam kehidupan sosiokultural pemirsa, karena tanpa disadari pemirsa berupaya menyesuaikan dirinya dengan apa yang dilihatnya pada iklan televisi, sehingga iklan televisi berfungsi sebagai acuan-acuan nilai

permirsa televisi.13 Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika

produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu meng-eksternalisasikan (penyesuaian diri) ke dalam dunia sosio-kulturalnya sebagai bagian dari produk manusia.

11

Sasa Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2005) Edisi ke- 9, h. 83 12

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 167-168 13


(36)

2. Objektivasi

Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang

di-lembagakan atau mengalami institusionalisasi (Society is an objective reality).

Maksudnya adalah tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan, masing-masing individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain.

Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman di dalam Bungin mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia

bersama.14

Objektivikasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar-individu dan pencipta produk sosial itu.15

Objektivasi (interaksi sosial) adalah kemampuan manusia memanifestasikan diri dalam produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun orang lain. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses

institusionalisasi.16 Salah satu contoh objektivasi yang sangat penting adalah

14

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 16 15

Ibid, h. 16 16


(37)

signifikansi yakni pembuatan tanda oleh manusia yang kemudian tanda-tanda tersebut

dikelompokan dalam sebuah sistem seperti biasa.17

3. Internalisasi (Identifikasi diri)

Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga

sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya, “Man is a social product”. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa, dalam kehidupan setiap individu ada suatu urutan waktu, dan selama itu pula Ia diimbaskan sebagai partisipan

ke dalam dialektika masyarakat.18

Titik awal dari proses ini adalah internalisasi; pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan

demikian menjadi bermakna secara subjektif bagi individu sendiri.19

Internalisasi adalah proses pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu manifestasi dari proses subjektif bagi dirinya pribadi. Internalisasi dalam arti luas merupakan dasar dari pemahaman mengenai sesama manusia dan pemahaman

mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial.20

Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada

17

Ibid, h. 29-30 18

Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 19 19

Ibid, h. 19 20


(38)

kepada generasi berikutnya. Generasi berikutnya diajarkan (lewat berbagai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakat. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah

diobjektivikasikan.21

Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan mengalami dua proses

sosialisasi: pertama, sosialisasi primer dan kedua, sosialisasi sekunder. Sosialisasi

primer dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru

dalam dunia objektif masyarakatnya.22

Deddy Mulyana mengatakan, realitas sosial tergantung pada bagaimana seseorang menafsirkannya. Pemahaman itulah disebut realitas. Karena itu peristiwa dan realitas yang sama bisa menghasilkan konstruksi realitas yang berbeda dari orang yang berbeda. Setiap individu memiliki gambaran yang berbeda-beda mengenai

realitas di sekelilingnya.23

B. Konstruksi Realitas Politik

Proses konstruksi realitas, prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan”

(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak terkecuali mengenai

21

Ibid, h. 30 22

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 20 23


(39)

hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksikan realitas.24 Dalam hal ini Hamad berpendapat segala sesuatu yang berkaitan dengan politik, baik dari segi kegiatan politik, iklan politik yang dilihat khalayak, maupun program politik di masa kampanye dari suatu partai tertentu, merupakan hasil dari pembentukan konstruksi realitas atas kejadian yang telah dilaporkan oleh media massa.

Berbicara mengenai konstruksi atas realitas tentu erat kaitannya dengan media massa sebagai agen konstruksi yang sangat besar penyebarannya, terlebih dalam konstruksi yang di bangun di bumbui dengan kepentingan politik tertentu, baik dari partai politik maupun aktor politik. Masing-masing media tentu mempunyai batasan dan aturan dalam mengkonstruksi suatu realitas politik yang sedang terjadi dalam proses pembentukan konstruksi.

Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah

dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.25

Salah satu faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap proses pembuatan atau pengkonstruksian realitas politik hingga jenis opini yang terbentuk adalah sistem media massa dimana sebuah media menjalankan operasi jurnalistiknya. Konstruksi realitas politik yang dibentuk oleh sebuah media pertama-tama

24

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta : Granit, 2004), h. 11

25


(40)

dipengaruhi oleh kehidupan sistem politik.26 Sistem politik di sini diartikan sebagai sistem pemerintahan dari Negara tersebut, serta peran Negara dalam mengatur media massa.

Media massa memiliki kekuatan tersendiri dalam mempengaruhi sistem

politik sehingga hubungan antara keduanya biasanya ditandai oleh dua hal. Pertama,

bentuk dan kebijakan politik sebuah negara menentukan pola operasi media massa di negara itu, mulai dari kepemilikan, tampilan isi, hingga pengawasannya, sistem media massa yang berlaku di sebuah negara menjadi cerminan sistem politik atau

rezim negara itu. Kedua, media massa sering menjadi media komunikasi politik

terutama oleh para penguasa. Setiap kekuatan politik sedapat mungkin memakai

media massa untuk melancarkan hajat politiknya.27

Penempatan pers sebagai pilar keempat karena pers memiliki peran untuk

membentuk pendapat umum, sekaligus sebagai ruang publik (public sphere) yang

menyediakan tempat kepada anggota masyarakat untuk berimprovisasi dalam

penyampaian pikiran dan pendapat.28

1. Opini Publik

Istilah opini publik diserap secara utuh dari bahasa Inggris public opinion,

yang kemudian disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Opini adalah suatu respon aktif terhadap stimulus suatu respon yang di konstruksi melalui interpretasi

26

Ibid, h. 7 27

Ibid, h. 7-8 28

Hafied Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), Edisi 1, h. 88


(41)

pribadi yang berkembang dari dan menyumbang citra (image). Sedangkan publik adalah suatu kumpulan orang-orang yang sama minat dan kepentingannya terhadap sesuatu isu.29

Menurut Nurudin opini publik adalah kelompok yang tidak terorganisasi serta menyebar di berbagai tempat dengan disatukan oleh suatu isu tertentu dengan saling

mengadakan kontak satu sama lain dan biasanya melalui media massa.30

Sedangkan menurut Dan Nimmo opini publik adalah kumpulan pendapat orang mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik minat komunitas, cara singkat untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang berlaku di masyarakat tertentu bahwa hukum-hukum tertentu bermanfaat, suatu gejala dan proses kelompok dan opini pribadi orang-orang yang oleh pemerintah dianggap bijaksana untuk

diindahkan.31

Jadi yang dimaksud dengan opini publik yaitu suatu opini yang menyangkut

isu atau kejadian yang mengandung keprihatinan (concern) publik. Dengan demikian

opini publik bukan karena banyaknya jumlah orang melainkan karena sifatnya yang

menyangkut isu publik.32

Menurut James Bryces dalam “Modern Democracy” opini publik merupakan

kumpulan pendapat dari sejumlah orang tentang masalah-masalah yang dapat mempengaruhi atau menarik minat atau perhatian masyarakat di dalam suatu daerah

29

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida. Komunikasi Politik, (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 89

30

Nurudin. Komunikasi Propaganda. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008), h. 55 31

Dan Nimmo. “Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media”. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 10

32


(42)

tertentu. Secara sederhana opini publik merupakan kegiatan untuk mengungkapkan atau menyampaikan apa yang oleh masyarakat tertentu diyakini, dinilai, dan

diharapkan oleh seseorang untuk kepentingan mereka dari situasi tertentu, issue

diharapkan dapat menguntungkan pribadi atau kelompok.33

Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu:34

1. Konstruksi Personal

Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.

2. Konstrusi Sosial yang terdiri dari :

a. Opini Kelompok: Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam

kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.

b. Opini Rakyat: Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas

seperti pemilihan umum atau hasil polling.

c. Opini Massa: Opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau

konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.

3. Konstruksi Politik

Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.

33

Ibid, h. 90 34


(43)

a. Komponen-komponen Opini Publik : 1. Keyakinan

a. Credulity, atau soal percaya atau tidak hal ini menyangkut apakah sesuatu yang diperbincangkan itu dipercaya atau justru sebaliknya tidak dipercaya oleh khalayak

b. Salience, yakni tingkat pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Apa yang sudah dipercayai oleh khalayak belum tentu langsung dianggapnya penting. Terdapat proses perangkingan isu, oleh karenanya opini publik juga terkait dengan beragam cara menjadikan sesuatu yang dipercaya itu menjadi penting dalam persepsi khalayak

2. Nilai-nilai

a. Nilai-nilai kesejahteraan (welfare values). Hampir seluruh opini publik

terkait dengan apa yang dirasakan atau diupayakan didapat oleh khalayak terutama berkenaan dengan nilai kesejahteraan. Seperti misalnya pembicaraan soal korupsi, kebijakan publik, pengaturan pajak, kenaikan harga dan lain-lain menjadi perbincangan opini publik, salah satunya karena terkait dengan nilai kesejahteraan

b. Nilai-nilai deferensi (deference values). Hal ini berkaitan erat dengan

bagaimana opini dipertukarkan oleh sesama masyarakat. Misalnya penanaman respek, menghormati cara dan kebiasaan orang berpendapat dan lain-lain. Nilai deferensi ini mengacu pada asumsi dasar opini publik yang tidak pernah bermakna tunggal


(44)

3. Ekspektasi berkaitan dengan konatif atau kecenderungan, seringkali

disamakan dengan impuls, keinginan, usaha keras atau striving. Opini publik

bukan semata perbincangan yang mengalir tanpa arah, opini publik sebenarnya berkaitan erat dengan keinginan dan usaha keras dari sebagian

masyarakat yang menginginkan suatu isu itu solid menjadi „sesuatu‟ yang

diperhatikan masyarakat. Dalam konteks ini kita kerap melihat opini publik diarahkan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan kepentingan

mereka masing-masing.35

b. Karakteristik Opini Publik

Dan Nimmo membagi karakteristik opini kedalam dua bagian: opini pribadi dan opini publik. Karakteristik utama opini pribadi ialah: opini mempunyai isi (opini adalah tentang sesuatu), arah (percaya-tidak percaya, mendukung-tidak mendukung),

dan intensitas (kuat, sedang atau lemah).36

Opini publik sebagai fenomena sosial dan politik khususnya di bidang komunikasi politik memiliki karakteristik tertentu. Namun ada empat karakteristik utama dalam opini publik, yaitu :

1) Mempunyai arah

2) Mempunyai content

3) Stabil

4) Mempunyai intensitas

35

Heryanto dan Farida. Komunikasi Politik, h. 91-92 36


(45)

Sementara Ithel de Sola Pool dalam Heryanto, mengemukakan bahwa opini publik sekurang-kurangnya memiliki satu diantara tiga keharusan (atau memiliki

ketiga-tiganya), yaitu: pertama, diekspresikan (dinyatakan) secara umum. Kedua,

menyangkut kepentingan umum. Dan ketiga, dimiliki oleh banyak orang.37

Sedangkan Floyd Allpord dalam Heryanto mengumpulkan 12 karakteristik opini publik. Secara ringkas pokok-pokok karakteristik itu ialah opini publik merupakan perilaku manusia-manusia individu; dinyatakan secara verbal; melibatkan banyak individu; situasi dan objeknya dikenal secara luas; penting untuk banyak orang; pendukungnya berbuat atau bersedia untuknya; disadari; diekspresikan; pendukungnya tidak mesti berada pada tempat yang sama; bersifat menentang atau mendukung sesuatu; mengandung unsur-unsur pertentangan; dan efektif untuk

mencapai objektivitas.38

Menurut Helena Olii Opini publik merupakan suatu pengumpulan citra yang diciptakan proses komunikasi. Pergeseran persepsi mengenai citra tergantung pada siapa saja yang terlibat dalam proses komunikasi, setiap kali jaringan komunikasi berubah, opini publik juga berubah. Perubahan dalam opini publik adalah dinamika komunikasi, sedangkan substansi opini publik tidak berubah karena ketika proses pembentukan opini publik berlangsung, pengalaman dari peserta komunikasi itu telah terjadi.39

37

Heryanto dan Farida. Komunikasi Politik, h. 95 38

Ibid, h. 93 39


(46)

Sedangkan Redi Panuju dalam Olii menegaskan, dalam pergeseran yang

terjadi dalam opini publik disebabkan beberapa faktor:40

1. Faktor Psikologis

Antara individu yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan, ada hanya kemiripan yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan atas individu bisa meliputi pengalaman, selera, dan kerangka berpikir, sehingga setiap individu berbeda dalam bentuk dan cara merespon stimulus yang menghampirinya.

2. Faktor Sosiologis Politik

Ada anggapan bahwa opini publik terlibat dalam interaksi sosial, seperti misalnya pada:

a. Saat mewakili citra superioritas, yaitu barang siapa menguasai opini

publik, maka ia akan mengdalikan orang lain. Apa yang disebutkan sebagai menguasai tidaklah tepat karena opini publik bukan suatu barang. Tetapi, karena opini publik bersifat dinamis, maka keberpihakannya pun bersifat relatif dan cenderung berpihak pada kelompok atau individu yang memiliki kedekatan hubungan.

b. Opini publik mewakili suatu kejadian, sehingga individu merasa

keberadaannya dalam opini publik serta keterlibatannya sebagai bagian anggota masyarakat.

40


(47)

c. Opini publik berhubungan dengan citra, rencana, dan operasi (action). Kenneth R. Boulding dalam Olii mengutarakan, citra, rencana, dan operasi merupakan matriks dari tahap-tahap kegiatan dalam situasi yang selalu berubah.

d. Opini publik disesuaikan dengan kemauan banyak orang. Untuk itu,

banyak orang berlomba memanfaatkan opini publik sebagai argumentasi atas alasan memutuskan sesuatu.

e. Opini publik identik dengan hegemoni ideologi. Kelompok atau

pemerintahan ingin tetap terus berkuasa, maka mereka harus mampu menjadikan ideologi kekuasaan menjadi dominan dalam opini publik. 3. Faktor Budaya

Budaya mempunyai pengertian yang aneka ragam. Budaya diartikan sebagai seperangkat nilai yang dipergunakan untuk mengelola kehidupan manusia. Nilai-nilai yang terhimpun dalam sistem budaya itu oleh individu menjadi identitas sosialnya, menjadi ciri-ciri dari anggota komunitas budaya tertentu.

4. Faktor Media Massa

Interaksi antara media dengan institusi masyarakat menghasilkan

produk isi media (media content). Oleh audiens, isi media diubah menjadi

gugusan-gugusan makna, apakah yang dihasilkan dari proses penyandian pesan itu, sangat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku dalam


(48)

masyarakatnya, pengalaman yang lalu, kepribadian dan selektivitas dalam penafsiran.

c. Pembentukan Opini Publik

Opini publik sebagai efek politik terbentuk melalui proses komunikasi politik yang dimulai dari opini setiap individu. Setiap pesan atau pembicaraan politik yang menyentuh individu itu dapat ditolak atau diterima, pada umumnya melalui proses

terbentuknya pengertian dan pengetahuan (knowledge), dan proses terbentuknya sikap

dan pendapat menyetujui atau tidak menyetujui (attitude and opinion), serta proses

terjadinya gerak pelaksanaan (practice).

Ketiga proses diatas itu menurut E. Rogers dan Shoemakers dalam Heryanto pada dasarnya melalui lima tahap, yaitu: kesadaran; perhatian; evaluasi; coba-coba; dan adopsi. Kelima tahap ini dirumuskannya dalam kerangka komunikasi inovasi atau komunikasi pembaharuan. Dapat dikatakan bahwa pengertian dan pengetahuan lahir setelah melewati pintu kesadaran dan perhatian. Dengan kata lain bahwa suatu pesan atau pembicaraan politik dapat diketahui dan dimengerti oleh seseorang untuk kemudian melahirkan sikap dan opini (pendapat), harus terlebih dahulu seseorang itu memiliki kesadaran akan adanya rangsangan yang menyentuhnya. Rangsangan itu

kemudian menimbulkan pengamatan dan perhatian.41

Sedangkan menurut Nimmo, pembentukan opini adalah proses empat tahap yang melibatkan kesaling-lingkupan aspek personal, sosial, dan politik melalui munculnya :

41


(49)

1. Pertikaian yang mempunyai potensi menjadi isu, 2. Kepemimpinan politik,

3. Interpretasi personal dan pertimbangan sosial,

4. Kesediaan mengungkapkan opini pribadi di depan umum.

Sebelum menyebutkannya, ada dua hal yang menurut Nimmo perlu

dibicarakan. Pertama, dalam memberikan peran utama kepada interpretasi personal

yang aktif dalam membentuk opini, kita tidak mengulang esensial contoh manusia

rasional dari perilaku manusia. Kedua, yang perlu dibicarakan mengenai

pembentukan opini sebelum kita meninjau implikasi pandangan kita, ialah mengenai

karakteristik opini dan opini publik.42

Jika publik menghadapi suatu isu maka akan timbul perbedaan opini, hal ini

menurut Santoso Sastropoetro dalam Olii disebabkan karena. Pertama, adanya

perbedaan pandangan terhadap fakta dari masing-masing individu. Kedua, perbedaan

perkiraan tentang cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan. Dan ketiga, adanya

perbedaan motif yang serupa guna mencapai tujuan.43

Arifin dalam Heryanto mengungkapkan bahwa dalam psikologi dijelaskan bahwa suatu pesan atau pembicaraan politik baru dapat disebut rangsangan apabila ia menyentuh alat indera manusia. Rangsangan itu kemudian dibawa ke otak oleh urat saraf, dan karena reaksi otak terjadilah pengamatan. Sejak itulah orang tersebut sadar akan adanya pesan atau pembicaraan politik yang menyentuhnya. Dalam hal ini

42

Nimmo, Komunikasi Politik “Khalayak dan Efek, h. 24-25 43


(50)

Thomas A. Aquino menyatakan bahwa tiada sesuatu yang dapat masuk kedalam

pikiran yang tidak ditangkap oleh panca indera.44

Dalam hubungannya dengan penilaian terhadap suatu opini publik, perlu

diperhitungkan empat pokok, yaitu:45

a. Difusi, yaitu apakah opini yang timbul merupakan suara terbanyak, akibat adanya kepentingan golongan.

b. Persistense, yaitu kepastian atau ketetapan tentang masa berlangsungnya isu karena di samping itu opini pun perlu diperhitungkan.

c. Intensitas, yaitu ketajaman terhadap isu.

d. Reasonableness, yaitu pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan beralasan.

Opini publik terbentuk karena adanya aktivitas komunikasi yang bertujuan memengaruhi dan mengubah cara pandang orang lain terhadap suatu isu, pun terkadang dalam prosesnya seringkali terjadi perubahan antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Agar pihak lain terpengaruh tidak jarang menggunakan proses tawar menawar dengan cara penekanan, agitasi (provokator), ataupun intimidasi atau ancaman.

2. Propaganda Politik

Propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi. Propaganda diartikan sebagai proses diseminasi informasi untuk

44

Heryanto dan Farida. Komunikasi Politik, h. 99 45


(51)

memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat dengan

motif indoktrinasi ideologi.46

Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian komunikasi politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainya dijalankan.47

Propaganda merupakan komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisir yang ingin menciptakan pastisipasi aktif maupun pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu kelompok yang terorganisir.

Komunikasi politik selalu bertujuan memengaruhi khalayak, atau dengan kata lain melakukan persuasi. Salah satu diantaranya propaganda. Propaganda merupakan salah satu bagian dari komunikasi politik secara luas. Apabila politik didefinisikan sebagai kegiatan manusia secara kolektif yang mengatur perilaku mereka di dalam situasi konflik sosial, maka komunikasi politik adalah (kegiatan) komunikasi yang

46

Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, h. 332 47


(52)

dilakukan berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang

mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik.48

Menurut Nimmo dalam Heryanto, dalam komunikasi politik ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika.

Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja

(intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki

kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.49

Propaganda berfungsi membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengarahkan perilaku khalayak sesuai kepentingan pihak yang memproduksi propaganda baik perorangan maupun kelompok. Membentuk persepsi dibangun melalui bahasa verbal dan visual seperti misalnya, simbol-simbol dalam sebuah

poster, logo perusahaan rokok dalam event-event olahraga, dan atau slogan-slogan

partai politik.

Propaganda dapat didefinisikan sebagai sebuah proses komunikasi satu arah dan bersifat subjektif yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan persuasif untuk memengaruhi pendapat khalayak sasaran tanpa melahirkan sikap kritis. Dalam propaganda politik biasanya beroperasi melalui imbauan-imbauan khas jangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis.

48

Arief Adityawan S. “Propaganda Pemimpin Politik Indonesia : Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto”. (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), h. 45

49


(53)

Menurut Qualter dalam Nurudin mengatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh si

propagandis.50

Propaganda adalah salah satu strategi komunikasi yang cenderung berjalan satu arah dan instruksional. Artinya, Propaganda bertujuan memengaruhi khalayak sasaran untuk kepentingan tertentu tanpa harus membangkitkan daya kritis mereka. Itulah sebabnya mengapa citra negatif propaganda senantiasa dikaitkan dengan

kegiatan komunikasi (politik) di negara-negara fasis dan totaliter.51

Sedangkan Menurut Jacques Ellul sebagaimana yang dikutip Nimmo dalam Heryanto, propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.52

Propaganda sekarang merupakan bagian politik rutin yang normal dan dapat diterima, dan tidak hanya terbatas pada pesan-pesan yang dibuat selama perayaan politik, kampanye, krisis atau perang. Propaganda sendiri memiliki banyak tipe,

50

Nurudin. Komunikasi Propaganda, h. 9-10 51

Adityawan S. “Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, h. 46 52


(54)

diantaranya propaganda politik, propaganda non politik, bahkan ada propaganda

antipolitik, meski pada akhirnya menghasilkan konsekuensi politis.53

a. Tipologi Propaganda 1. Propaganda Sosial

Tipe propaganda ini berlangsung secara berangsur-angsur, sifatnya merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh

setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang”.

2. Propaganda Politik

Jacquas Ellul dalam Heryanto menyatakan bahwa propaganda politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, dan sekelompok kepentingan untuk membentuk dan membina opini publik dalam mencapai tujuan politik (strategis atau taktis) dengan pesan-pesan khas yang lebih berjangka pendek. Misalnya dalam jangka pendek partai politik bermaksud menaikan legitimasinya dan sekaligus mendelegitimasi pihak lawan, maka partai tersebut membuat beragam bentuk propaganda yang dalam jangka pendek diharapkan berpengaruh secara langsung pada persepsi dan perilaku politik khalayak yang menjadi target.

Dengan kata lain propaganda politik dapat merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik dengan

53


(55)

menggunakan sugesti (mempermainkan emosi) untuk memengaruhi, membentuk, atau membina opini publik. Hal ini dilakukan dengan cara memengaruhi seseorang atau kelompok orang, khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa), agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi, definisi, sampai sikap) dan atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri

tanpa merasa dipaksa atau merasa terpaksa.54

3. Propaganda Agitasi

Propaganda agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Biasanya propaganda jenis ini diisi dengan

sejumlah doktrin bahkan upaya “cuci otak” guna mendapatkan loyalitas dari

target atau sasaran propaganda.

Menurut Blumer dalam Arifin, menyatakan bahwa agitasi beroperasi untuk membangkitkan rakyat kepada suatu gerakan, terutama gerakan politik. Dengan kata lain, agitasi adalah suatu upaya untuk menggerakan massa secara lisan atau tulisan, dengan cara merayu dan bahkan merangsang dan membangkitkan emosi khalayak. Agitasi juga berarti hasutan kepada orang banyak yang biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis politik untuk

54


(56)

mengadakan gerakan politik, seperti unjuk rasa (demonstrasi), huru-hara atau

pemberontakan.55

Melalui agitasi politik, seorang pemimpin mempertahankan kegairahan para pengikutnya untuk memperoleh kemenangan, yang akan diikuti oleh usaha-usaha selanjutnya dalam serangkaian tujuan. Oleh sebab itu, agitator politik juga diperlukan dalam mengonsolidasi massanya melalui tulisan dan

pidato yang persuasif dan provokatif.56

4. Propaganda Integrasi

Menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun. Propaganda ini biasanya berorientasi pada loyalitas jangka panjang. Propaganda ini mirip jenis propaganda sosial yang bekerja tidak dalam hitungan hari atau minggu melainkan dalam suatu rentang yang panjang dan bertahap.

5. Propaganda Vertikal

Bentuk propaganda ini adalah representasi propaganda satu kepada

banyak (one to many). Seorang atau sekelompok propagandis yang

menjalankan skema kegiatan sistematis berupaya memaksimalkan saluran-saluran yang dalam waktu cepat dan mudah bisa menjangkau khalayak atau

sasaran propaganda. Misalnya melalui media massa, propagandis

menyebarkan isu sehingga isu tersebut diterima secara masif dan serentak.

55

Anwar Arifin. Komunikasi Politik : Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 223

56


(57)

Contoh lain misalnya propaganda ini dijalankan lewat orang atau sekelompok orang yang menjadi pimpinan di sebuah organisasi.

6. Propaganda Horizontal

Propaganda ini berlangsung lebih banyak di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya, propaganda ini lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa. Berbeda dengan jenis propaganda vertikal yang sifatnya masif dan linear. Propaganda horizontal lebih tertarik mengembangkan jejaring sesama teman, kolega dan sejumlah

organisasi lainnya.57

b. Teknik-teknik Propaganda

Ada beberapa macam teknik penipuan yang biasa dilakukan melalui

propaganda yang perlu diwaspadai seseorang, antara lain sebagai berikut:58

1. Memberi julukan (name calling)

Cara ini digunakan untuk menjelek-jelekan seseorang dengan memberi gelaran yang lucu atau sinis sehingga orang yang dipengaruhinya benar-benar

yakin. Teknik name calling atau pemanggilan nama (julukan) dilakukan untuk

mengasosiasikan seseorang atau gagasan dengan simbol tertentu. Nama atau julukan tersebut dalam lingkungan tertentu selalu diberi makna dan

57

Heryanto dan Farida. Komunikasi Politik, h. 120 58


(58)

berkonotasi negatif. Misalnya, para pengkritik rezim Orde Baru Soeharto

senantiasa diberi cap “anti-Pancasila” atau “Komunis”.59

2. Gemerlap (glittering generalities)

Propaganda yang dimaksud di sini ialah propaganda yang menggunakan kata-kata bombastis sehingga orang tanpa sadar mengikutinya.

Misalnya “Mohon maaf kepada warga Jakarta atas kemacetan lalu lintas karena simpatisan partai X yang telah membludak”, padahal di Jakarta bisa

dikatakan tiada hari tanpa macet.60

3. Pengalihan (transfer)

Pengalihan ialah teknik propaganda yang dilakukan dengan cara pengalihan pada objek lain. Misalnya larangan iklan rokok untuk media televisi, diganti dengan berbagai macam sponsor untuk kegiatan sosial, seperti seminar, lomba olah raga, tetapi secara tersirat mengandung propaganda

rokok, karena memasang logo perusahaan yang memproduksinya.61

Contoh lain misalnya, menyandingkan gambar wajah Presiden Soeharto di antara gambar wajah Panglima Besar Soedirman dengan gambar wajah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Itu dilakukan agar nilai-nilai

luhur kedua tokoh tersebut dapat “berpindah” ke citra Soeharto sebagai Bapak

Pembangunan Nasional.62

59

Adityawan S. Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, h. 47 60

Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, h. 335 61

Ibid, h. 336 62


(59)

4. Pengakuan (testimonial)

Pengakuan ialah teknik propaganda yang memakai nama orang-orang terkenal seperti bintang film dan olahragawan, meskipun sebenarnya yang

bersangkutan tidak memakainya. Misalnya “Minuman suplemen A adalah minuman para juara”.63

5. Flain Folks

Cara ini sering dipakai oleh para politisi untuk memengaruhi orang banyak. Misalnya, meskipun ia sudah menjadi orang penting, tampak ia seperti orang kebanyakan, merakyat, dan sederhana hidupnya (bersahaja).

6. Pengikut (bandwagon)

Teknik propaganda ini ditujukan kepada orang-orang yang berpengaruh seperti kepala kantor, pemimpin partai, kepala desa. Maksudnya kalau orang itu menjadi anggota, anggota lainnya yang lebih rendah status

sosialnya akan mengikuti atasannya.64

7. Memakai fakta (card stacking)

Card stacking adalah teknik propaganda yang memanfaatkan berbagai

“pengelabuan” untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau organisasi. Misalnya, mengangkat dan menekan isu yang lebih menguntungkan atau sebaliknya mengambangkan dan mengaburkan isu yang dianggap merugikan

63

Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, h. 335 64


(60)

dengan memunculkan isu baru. Dengan alat itu citra seseorang akan terlihat

lebih memesona daripada kenyataan sesungguhnya.65

Cara ini digunakan untuk mencoba mengemukakan fakta untuk meyakinkan orang lain. Misalnya melalui contoh-contoh, tetapi di balik itu ia menutupi kekurangannya.

Cangara menyebutkan dua tambahan teknik dalam propaganda yaitu :

8. Kecurigaan yang penuh emosi (emotional stereotype)

Kecurigaan ini ialah teknik propaganda untuk menumbuhkan rasa

curiga yang penuh emosi. Misalnya “ia memperoleh nilai baik karena ia meniru pekerjaan Anda”, atau memberi penanaman kepercayaan yang bersifat negatif karena stereotipe, misalnya etnis, agama, dan keturunan.

9. Retorika

Retorika ialah teknik yang digunakan dengan memilih kata-kata yang bisa menarik seseorang sehingga orang itu bisa menuruti kehendaknya.

C. Media Massa Sebagai Agen Komunikasi Politik

Hubungan antara media dan politik sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum ilmu politik menemukan jati dirinya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dari filsafat. Karena hubungan yang begitu erat antara media dengan politik, kini media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam proses politik, media menjadi

65


(61)

aktor utama dalam bidang politik. Ia memiliki kemampuan untuk membuat seseorang

cemerlang dalam karir politiknya.66

Menurut Suwardi dalam Hamad, media memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi politik seperti pengembangan opini publik dikarenakan media sering terlibat dalam pembuatan wacana politik. Dalam komunikasi politik media seringkali tidak hanya bertindak sebagai saluran untuk menyampaikan pesan

politik, namun juga bertindak sebagai agen politik.67

Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan. Pesan di sini bisa dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Alat yang dimaksud di sini tidak hanya berbicara sebatas pada media mekanis, teknik, dan sarana untuk saling bertukar lambang, namun manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi. Lebih tepatnya saluran komunikasi itu adalah pengertian bersama tentang siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dengan keadaan bagaimana, dan sejauh mana dapat dipercaya.

Komunikator politik, apakah dia politikus, profesional, atau aktivis, menggunakan pembicaraan persuasif, baik untuk saling mempengaruhi maupun untuk mempengaruhi anggota khalayak yang kurang terlibat di dalam politik. Alat

atau upaya yang digunakan untuk mengirim pesan itu ialah saluran dari “siapa mengatakan apa kepada siapa”.68

66

Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, h. 117 67

Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, h. xvi 68

Dan Nimmo. Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999), h. 166


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)