Wanita Dan Partai Politik (Studi Analisis Deskriptif Terhadap Partisipasi Kesempatan Wanita Berkarier Dalam Kepengurusan Partai Politik Di Kabupaten Tapanuli Utara)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

WANITA DAN PARTAI POLITIK

(STUDI ANALISIS DESKRIPTIF TERHADAP PARTISIPASI KESEMPATAN WANITA BERKARIER DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN

TAPANULI UTARA)

SKRIPSI Diajukan Oleh

ALEXANDER SIMAMORA 040901029

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNUVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAKSI

Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.

Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.

Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa program pemerintah mengenai kuota 30% di beberapa partai yang diteliti sudah berjalan dengan baik, keadaan ini juga terlihat dengan sudah adanya program pendidikan politik, pemberdayaan perempuan, pemerataan kesempatan dan penghapusan diskriminasi di lingkungan partai politik. Terdapat sikap yang lebih perduli terhadap perempuan termasuk kepentingan dan kebutuhan praktis dan strategisnya. Walaupun demikian partisipasi politik perempuan juga mengalami hambtan seperti peran domestik sebagai ibu rumah tangga, rendahnya pendidikan politik serta hambatan budaya patriarkhi yang merupakan faktor yang masih mempengaruhi partisipasi politik perempuan di Kabupaten Tapanuli Utara.


(3)

KATA PENGANTAR

Terima kasih yang sangat besar pada Allah Bapa Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih. Banyak bimbingan dan kekuatan serta pengalaman yang penulis rasakan dalam menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis yakin semuanya itu karena Kasih Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan pada penulis untuk menjalani dan merasakannya. Ketika mengalami masa-masa sulit, Tuhan Yesus tetap memberikan jalan dan semangat serta kekuatan sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Hormat dan puji syukur saya panjatkan kehadiratNya, Amin.

Selama pembuatan skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan dan dapatkan seperti ketekunan, kesabaran, keberanian, motivasi, pengalaman, kerjasama dan disiplin, serta menambah wawasan penulis. Penulis menyadari bahwa proses studi sampai pada penulisan skripsi ini dukungan semua pihak baik secara moril maupun materi, doa dan fasilitas yang mendukung sampai selesainya penulisan ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Departemen Sosiologi dan Ibu Dra. Rosmiani, MA sebagai Sekretaris Jurusan.

3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai dosen pembimbing, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak terkatakan dan juga rasa hormat penulis karena telah memberikan tenaga, pemikiran, ide-ide, waktu dan semangat dalam proses bimbingan dan penulisan skripsi ini.


(4)

4. Ibu Harmona Daulay, S.sos, M.Si sebagai dosen wali, penulis mengucapkan banyak terima kasih karena telah memberikan motivasi dan bahan-bahan dalam penulisan skripsi, sehingga membantu mempercepat dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Dosen-dosen staf pengajar FISIP USU dan dosen sosiologi atas pengajaran dan arahan pada masa perkuliahan.

6. Orang tua penulis, Ibu R. Sihombing yang tercinta atas dukungan doa, motivasi, materi, kesabaran yang membentuk penulis agar selalu berjuang hingga mendapatkan gelar sarjana, dan Bapak R. Simamora, yang selalu mendukung penulis dan selalu sabar untuk menunggu penulis mendapatkan gelar sarjana ini. 7. Saudara-saudaraku, abang Bobby R. Simamora, adikku Magdalena Simamora

yang telah memberi semangat dan dorongan sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan cepat.

8. Keluarga besar Op.Bunga dan tante-tanteku, inangtuaku dan tulang yang telah memberikan dukungan baik doa, moril dan materi.

9. Imma yang memberikanku semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan juga adik kecilku Evi.

10. Teman-teman sosiologi stambuk 2004, Tika, Renova, Ferika, Herna, OTG, Robin, Eko, Citra, Juni, Flo, Rabanta, Heru, Rudi, dan teman-teman yang telah wisuda yang memotivasi penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.

11. Orang-orang yang mendukung saya selama kegiatan di lapangan, responden, seluruh pengurus partai dan pemerintah daerah Kab. Tapanuli Utara.


(5)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAKSI ……… i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……… iv

DAFTAR TABEL ………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ………... vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 7

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ……… 8

1.5. Kerangka Teori ………... 9

1.6. Defenisi Konsep ……… 13

1.7. Defenisi Operasional ……… 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 28

3.1. Jenis Penelitian ……… 28

3.2. Lokasi penelitian ……… 28

3.3. Populasi Dan tehnik Penarikan Sampel ………... 29

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 30

3.5. Analisis Data ……… 30


(6)

3.7. Keterbatasan Penelitian ……… 31

BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN ANALISIS DATA ………. 33

BAB V PENUTUP ……….. 86

5.1. Kesimpulan ……….. 88

5.2. Saran ………. 90 DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1. Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga Formal……… 3

Tabel 1.2. Jumlah dan Persentase Anggota DPR tahun 1950-2004……….. 4

Tabel 4.1. Usia Responden……… 53

Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Responden ……….. 54

Tabel 4.3. Penghasilan Responden……… 56

Tabel 4.4. Status Perkawinan……… 57

Tabel 4.5. Suku Responden………. 58

Tabel 4.6. Jumlah Anak………... 59

Tabel 4.7. Jenis Pekerjaan Suami……… 60

Tabel 4.8. Pekerjaan Responden……….. 61

Tabel 4.9. Penghasilan Suami……… 62

Tabel 4.10. Jabatan Responden di Partai ……….. .…… 64

Tabel 4.11. Lama Menjadi Pengurus Partai Politik………...65

Tabel 4.12. Cara Responden Mendapatkan Jabatan……… 66

Tabel 4.13. Tujuan Responden Dalam Partai Politik………67

Tabel 4.14. Wewenang Wanita Dalam Partai Politik ……… 69

Tabel 4.15. Keaktifan Wanita Dalam Partai ………. ………. 70

Tabel 4.16. Implementasi Kuota 30% di Partai ……… 72

Tabel 4.17. Implementasi Pemenuhan Kuota 30% Dalam Kepengurusan Partai …… 73

Tabel 4.18. Aktifitas Wanita Dalam Partai………. 74

Tabel 4.19. Implementasi Kuota Dalam Daftar Caleg ……….…... 75

Tabel 4.20. Hambatan Partisipasi Politik Perempuan……….. 76


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Kuesioner………. L-1 Logo Partai ……….. L-2 Surat Keputusan……… L-3 Surat Ijin Penelitian………. L-4


(9)

ABSTRAKSI

Pandangan politik merupakan ranah bagi laki-laki, sekarang hanya sekadar wacana saja. Apalagi kalau kita mencoba melihat isi yang paling aktual dewasa ini, yaitu mengenai partisipasi perempuan dalam partai politik. Dimana tingkat partisipasi politik perrempuan pada saat ini belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Tingkat partisipasi yang rendah ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran perempuan mengenai pentingnya partisipasi politik mereka. Selain itu hambatan lain, seperti kurangnnya kesempatan dan sistem patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita. Sementara itu partisipasi perrempuan dalam politik merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan perempuan seperti, isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.

Partisipasi politik dapat dipraktekkan dalam partai politik sebagai lembaga politik f ormal yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan itu, tentunya jika partai politik tersebut merupakan salah satu partai pemenang pemilu yang otomatis memiliki perwakilan di parlemen. Di dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No.18 Tahun 2007 tentang kuota 30% keterwakilan wanita dalam kepengurusan partai politik yang sudah diimplementasikan hingga saat ini. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik memaparkan secara rinci bagaimana implementasi kuota 30% bagi kepengurusan wanita di partai politik, bagaimana pandangan pengurus partai perempuan mengenai kuota 30% dan bagaimana partai menberikan peluang dan kesempatan pada perempuan dalam pengembangan karieer dan politiknya sekaligus membahas hambatan-hambatan yang dialaminya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif evaluatif. Dengan metode penelitian ini, peneliti dapat menggambarkan secara rinci suatu fenomena konflik dan interaksi sosial berdasarkan instrumen-instrumen penelitian yang digunakan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara yaitu Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Populasi yang digunakan berjumlah 30 orang, populasi langsung dipakai sebagai sampel penelitian.

Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa program pemerintah mengenai kuota 30% di beberapa partai yang diteliti sudah berjalan dengan baik, keadaan ini juga terlihat dengan sudah adanya program pendidikan politik, pemberdayaan perempuan, pemerataan kesempatan dan penghapusan diskriminasi di lingkungan partai politik. Terdapat sikap yang lebih perduli terhadap perempuan termasuk kepentingan dan kebutuhan praktis dan strategisnya. Walaupun demikian partisipasi politik perempuan juga mengalami hambtan seperti peran domestik sebagai ibu rumah tangga, rendahnya pendidikan politik serta hambatan budaya patriarkhi yang merupakan faktor yang masih mempengaruhi partisipasi politik perempuan di Kabupaten Tapanuli Utara.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Jumlah perempuan Indonesia yang besar ternyata tidak mengidentifikasikan kekuatan posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Tercatat Biro Pusat Statistik tahun 200p1, terdapat 101.628.816 atau sekitar 51% jumlah perempuan dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya 8% hingga 10% saja yang terpilih dalam setiap pemilu. Di dalam parlemen di suatu daerah-daerah, hanya terdapat 44 orang atau 9,1% saja jumlah perempuan. Data ini di dukung fakta bahwa 30 daerah Tingkat I di Indonesia, tidak satupun terdapat perempuan yang memimpin, sedangkan dari 336 Daerah Tingkat II hanya 6 daerah yang dipimpim oleh perempuan.

Pada konferensi perempuan tahun 1994 yang dihadiri 27 negara, menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun ke bidang politik masih rendah. Hal ini disebabkan karena perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik, yaitu adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan (Jurnal Perempuan 2001:27). Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita Bangladesh, Roanaq Johan menyatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang menduduki jabatan anggota kabinet (Mentri) hanya 40% saja. Di Asia tercatat hanya lima perempuan saja yang berhasi merebut posisi kepala negara, yakni, Gandhi di India, Sirimaro Bandaranaike di Srilanka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaledah Zia di Bangladesh dan Corazon Aquino di Filipina (http:www.angelfire.com/md/alihsas.html).


(11)

Jika kita melihat ke dalam suatu organisasi politik formal, saat perempuan menyuarakan dan memperjuangkan kepeduliannya terhadap isu-isu, seperti kekerasan, kesehatan, pengamanan, dan kebebasan berpolitik, sering sekali tidak terjadi perubahan, artinya tidak ada tindak lanjut dari tuntutan-tuntutan kebutuhan perempuan, sehingga tuntutan tersebut hanya sampai sekadar wacana saja, tanpa ada tindak lanjut dalam penyelesaian masalah-masalah perempuan. Pada sejarah pemerintahan kita, pada masa orde lama, jumlah perempuan dalam pemerintahan berada di bawah 10%, pada masa orde baru jumlah perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan hanya berkisar 10 - 11% saja, hal yang tidak jauh berbeda pada masa reformasi yang hanya 9% saja. (Jurnal Perempuan ; 2001:21).

Dalam seminar “Peranan Wanita” dalam peta demokrasi 1997 yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan harian republika, Drs. Arbi Sanit menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibanding pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1985. (http:www.surabayapost.co.id/11/25/06 kanan.html, diakses 26/08/08).


(12)

Tabel 1.1

Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik Formal Tahun 2001

KETERWAKILAN PEREMPUAN INDONESIA Dalam Lembaga Politik Formal

Lembaga Perempuan Laki-laki Jumlah

(100%)

Jumlah % Jumlah %

* MPR 18 9,5 177 90,8 195

* DPR 45 9,0 455 91,0 500

* MA 7 14,8 40 85,2 47

* BPK 0 0,0 7 100,00 7

* DPA 2 4,4 43 95,6 42

* KPU 2 18,1 9 81,9 11

* Gubernur (Dati I)

0 0,0 30 100,0 32

* Bupati (Dati II) 5 1,5 331 98,5 336 * Eselon I-III 1.883 7,0 25.110 93,0 16.993

** Hakim 536 16,2 2.775 83,8 3.311

** PTUN 35 23,4 150 76,6 185

Sumber : kompas (Senin, 11 Maret 2002)

Tabel 1.1 menunjukkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik formal. Dari beberapa lembaga yang ada diatas, terutama lembaga tinggi negara, seperti MPR, DPR dan MA menunjukkan jumlah perempuan berada di bawah 15%, yakni MPR hanya 9,5%, DPR 9,0% dan MA 14,8%. Bahkan pada lembaga seperti BPK dan kepala Daerah Tingkat I keterlibatan perempuan tidak ada sama sekali. Namun pada lembaga formal yang lain seperti KPU, Hakim dan PTUN menunjukkan jumlah yang signifikan mengenai keberadaan perempuan. Tetapi yang paling penting untuk diperhatikan, bahwa jumlah tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga tersebut sangat minim dan memprihatinkan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat perbedaan jumlah yang sangat jauh antara keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam lembaga-lembaga tersebut.


(13)

Tabel I.2

Jumlah dan Persentase Anggota DPR Perempuan Tahun 1950-2004

Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Prasentase

1950-1955 (DPR Sementara)

9 236 3,8

1955-1960 17 272 6,3

1956-1959 (Konstituante)

25 488 5,1

1971-1977 36 460 7,8

1977-1982 29 460 6,3

1982-1987 39 460 8,5

1987-1992 65 500 13

1992-1997 62 500 12,5

1997-1999 54 500 10,8

1999-2004 45 500 9

Sumber : Jurnal Perempuan 2001, edisi pertama.

Tabel 1.2 menunjukkan sejak 1950-2004 sudah ada 10 kali lembaga DPR terbentuk, menunjukkan perentase keterlibatan perempuan di bawah 15%. Bahkan sejak tahun 1950-1987 jumlah perempuan di DPR berada di bawah 10%, tetapi pada tahun 1987 angka perentasenya mencapai 13%, sedangkan tahun 1992-1997 dengan persentase 12,5% dan 1997-1999 dengan 10,8%, tetapi pada tahun 1999-2004 turun menjadi 9%. Tabel 1.2 menggambarkan belum ada regulasi yang tetap dalam mengatur jumlah keterwakilan perempuan di parlemen pada saat itu.

Pandangan Aristoteles sebagai pandangan politik klasik, membuat dikotomi kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu. Pengembangan pengertian politik didasarkan pada cara pandang biner patriarchist, yang akhirnya menciptakan pengertian politik yang semula sebagai suatu musyawarah warga negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah berubah. Ia telah menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu ditemukan (Robson dalam Nunuk P.M. 2004 :122 ).


(14)

menyingkirkan perempuan serta pandangan perempuan dalam kehidupan berpolitik. Pengertian politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh berkuasa. Padahal jika kita melihat defenisi politik yang sebenarnya adalah suatu sarana pencapaian kedudukan atau kekuasaan secara legal dan rasional dan bagaimana menjalankan kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan peraturan yang berlaku dan berwujud pada kemakmuran masyarakat dan wilayah yang dikuasainya itu.

Kesempatan wanita dalam politik mulai diperhatikan dengan tindakan khusus sementara (affirmatife action) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan sistem kuota 30% sehingga mencapai sedikitnya minoritas kritis yaitu 30% dari total anggota parlemen. Tetapi persoalan tidak selesai dengan kuota saja, karena daftar caleg yang disusun oleh partai peserta pemilu menempatkan perempuan pada daftar nomor bawah sehingga sulit untuk menang dalam pemilu, sedangkan laki-laki tetap berada pada nomor urut teratas, hal tersebut karena adanya anggapan bahwa laki-laki dianggap lebih berkualitas, dan lebih unggul dalam bidang politik. Dalam hal ini budaya Patriarkhi determinan terhadap kuantitas perempuan dalam legislatif (Jurnal Politeia Vol II, 2006:74). Affirmative action ini membawa perdebatan pada isu kuantitas dan kualitas. Lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia mengambil angka 30% sebagai angka keterwakilan perempuan di parlemen sebagai jumlah minimum agar keputusan yang dambil parlemen bisa menyuarakan aspirasi, nilai dan kepentingan perempuan.

Budaya patriarkhi yang ada di Indonesia membawa perempuan dalam posisi yang subordinat dalam politik. Budaya patriarkhi yang terakumulasi mengakibatkan terciptanya cara berpikir pasangan (biner) dan dikotomis yang memposisikan si kuat (yang berkuasa) yang menentukan kehidupan si lemah, (Aristoteles dalam Nunuk P. Murniati 2004 : 119).


(15)

Center for Elektoral Reform (Cetro) menyatakan jumlah 30% sebagai jumlah keterwakilan minimum dengan argumentasi bahwa kajian-kajian tentang tingkah laku minoritas menunjukkan diperlukannya 30% wakil kelompok agar sebuah kelompok dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan atau kebijakan atau membuat aliansi-aliansi diantara berbagai kelompok. Jika jumlah perempuan ada dibawah angka strategis 30%, maka perempuan akan sekedar menjadi dekorasi politik atau akan sebagai pelengkap saja (Kompas, 27 Mei 2002).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kendala-kendala yang dihadapi perempuan dalam berpolitik yang menurut (Lycette dalam Indriyati Suparno, 2005: 27), yaitu :

1. Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, di dalam maupun di luar

2. Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat pendidikan perempuan yang rendah dan perbedaan kesempatan yang diperoleh anak perempuan dan laki-laki terjadi di seluruh dunia

3. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual, dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi perempuan

4. Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan kepemilikan tanah, larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program KB tanpa persetujuan suami atau ayahnya.

Selain itu hambatan kultural dan hambatan struktural juga menghalangi kesempatan dan peluang wanita berpolitik. Hambatan kultural berhubungan dengan masih kentalnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang menetapkan pola dan peran sosial


(16)

yang berdeda untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan kendala struktural berhubungan dengan sistem pemilu yang memperkecil peluang munculnya perempuan dalam partai politik yang tidak didukung pula dengan sistem pendidikan politik di dalam internal partai (Indriyati Suparno, 2005:27).

Streotipe yang ditujukan kepada perempuan membentuk pandangan bahwa wanita sering diragukan kemampuannya. Sebagian ahli menyatakan bahwa kemampuan manajerial wanita yang baik akan mendukung kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan tidak dibedakan atas gender. Kepemimpinan dapat dipelajari oleh siapapun tetapi yang pasti kepemimpinan perlu dikarakterkan dan tidak hanya dipelajari secara teori (Jajan Kaswara 1999).

Gambaran ini dapat dilihat diantaranya banyak pemimpin negara adalah perempuan. Ini juga berlaku di Indonesia seperti keberhasilan wanita menjadi ketua partai bahkan menjadi presiden. Namun tidak dapat dipungkiri kenyataannya belum banyak perempuan yang aktif dalam ranah politik. Tentunya dengan penetapan kuota 30% memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Penelitian ini akan melihat sejauh mana partai ini menerapkan sistem keterwakilan perempuan dalam pemenuhan kuota 30% serta bagaimana partai-partai yang ada memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Dalam hal ini dikonsentrasikan pada partai yang terdapat di Tapanuli Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan dalam penelitian ini adalah :


(17)

2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan partai terhadap sistem keterwakilan?

3. Untuk mengetahui sikap dan pandangan Partai terhadap sistem keterwakilan yang ditetapkan pemerintah ini?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadu tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sikap atau pandangan partai terhadap peluang dan kesempatan dalam karir politiknya?

2. Untuk mendapatkan jawaban tanggapan pengurus Partai perempuan menanggapi kuota 30% tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah : 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan dengan sistem demokrasi yang terdapat di negara kita, sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam menjalankan pemerintahan untuk memberi kesempatan bagi seluruh wanita Indonesia untuk dapat berkarier dalam bidang politik.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta-fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis peneliti sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut. Dan khususnya penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang yang diharapkan dapat berguna bagi


(18)

penelitian-1.5. Kerangka Teori

Dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang dianggap penting terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-negara berkembang. Secara konseptual partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan kebijakan pemerintah. Kegiatan partisipasi politik mencakup pemilu, rapat-rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok-kelompok anggota kepentingan. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau koleksi, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadif, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington & Nelson dalam Antonius PS, 126).

Pandangan masyarakat luas yang meliputi konsep gender, peran gender dan streotipe, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan diantara perempuan dan laki-laki. Keadaan ini mengakibatkan marginalisasi dan pengucilan terhadap perempuan dari kehidupan politik formal. Dengan demikian keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari persoalan tersebut adalah budaya patriarkhi yang telah menghampiri semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk di bidang politik. Menyatakan semua aktifitas politik punya dimensi politik yang penting, dan semua aktivitas itu juga mempunyai ciri politik yaitu adanya power relation yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan (Bystydzienski dalam Ani Widyani 2005:26).


(19)

Pada kenyataannya di dalam ruang publik dan domestik kebutuhan perempuan dapat digolongkan atas 2 kebutuhan yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis. Kebutuhan praktis ialah kebutuhan konkret yang diidentifikasi oleh perempuan sebagai kebutuhan pada peran tradisional reproduktif dan produktif perempuan. Misalnya, perawatan kesehatan, pekerjaan, perumahan, makanan, dan minuman. Sedangkan kebutuhan strategis ialah kebutuhan yang dilihat dari analisis subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dan mencoba meningkatkan kesetaraan lebih besar antara laki-laki dan perempuan. Kebutuhan ini mempermasalahkan pembagian kerja dan isu-isu kekuasaan dan kontrol. Misalnya, hak hukum dan politik, perlawanan terhadap KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), pembayaran gaji dan lain-lain. Dalam hal ini perempuan dalam Partai Politik merupakan kebutuhan strategis yang akhir-akhir ini ingin disuarakan oleh perempuan, baik mengenai keterwakilan mereka dalam setiap instansi pemerintah.

Kate Millet dalam Indriati Suparno, dkk (2005;15) menyatakan politik sebagai hubungan kekuasaan yang terstruktur yang terbentuk ketika orang berada di bawah kontrol kelompok yang lain. Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya dan di Indonesia khususnya, dunia politik dikategorikan adalah dunianya laki-laki karenanya, dunia perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Laki-lakilah yang menetapkan dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundang-undangan, dari dunia tersebut termasuk yang menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan (Macioni 1987; Susanto 1993, dalam Indriati dkk; 2005:16).

Teori feminis merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang mengeksplorasi konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan terlepas dari seks biologis yang dipahami dalam pengertian kualitas gender,


(20)

termasuk bahasa, kerja, peran keluarga , pendidikan sosialisasi. Kritik feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Teori feminis berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia (Idi Subandy Ibrahim dan Hanf Suranto, 1998; xxxvii). Teori feminis tidak hanya satu melainkan banyak, namun hampir semua menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, ( Rosmeri Tong feminist Trought dalam Nunuk P. Murniati 2004:125).

Teori feminis marxis didasari historis materialis, manusia menciptakan dirinya sendiri secara individu dan kelompok. Dalam kehidupan sosial, manusia membedakan pekerjaan produksi dan reproduksi dan dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Tugas produksi diserahkan kepada laki-laki, dan tugas reproduksi diserahkan kepada kaum perempuan. Pembagian tugas ini dilihat sebagai suatu persoalan oleh kaum feminis Marxist. Menurut teorinya, produksi tidak hanya benda dan jasa, tetapi termasuk tugas melahirkan dan memelihara anak, sebab tugas ini merupakan produksi potensi manusia (SDM). Feminis Marxist percaya bahwa keadaan sosial ditentukan secara sadar, sehingga secara sadar pula dapat dirubah. Teori feminis marx menyebutkan bahwa secara politik perempuan mempunyai kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarkhi pada waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.

Beberapa tokoh aliran ini, seperti Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, mengatakan bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah (Nunuk P. Murniati, 2002:72). Situasi ini digambarkan sebagai berikut :

a) Perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang pertama tertindas,


(21)

b) Penindasan terhadap perempuan tersebar luas di berbagai kehidupan sosial, c) Penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser

hanya oleh perubahan sosial antar kelas,

d) Penindasan perempuan menyebabkan penderitaan kaum korban, secara kuantitatif dan kualitatif. Walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan disadari, baik pelaku ataupun oleh korban,

e) Penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk mengetahui bentuk penindasan lain.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan, teori feminis radikal mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikonstruksi menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini, perempuan teralienasi dari berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang politik yang mengatur kehidupan masyarakat. Analisis perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan, politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehidupan domestik dan pribadi perempuan.

Pandangan Dahrendorf mengatakan konflik berhubungan dengan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan sehingga mengakibatkan munculnya perbedaan kelas di masyarakat, terdapat dikotomi antara penguasa dan orang yang dikuasai (Poloma, 2003:136). Teori ini mencampur adukan biologis dan sosiologis, secara psikologis, feminis psikoanalitik menolak teori freud tentang penentuan biologis manusia sebagai dasar perbedaan seks. Kenyataan biologis bahwa perempuan harus mengandung dan melahirkan bayi, menjadi kenyataan yang membedakan kedua peran gender tersebut.


(22)

Dimulai dari keluarga, istri dianggap milik suami. Pada wilayah domestik, istri dikuasai suami, pada wilayah publik perempuan dikuasai oleh laki-laki. Kondisi ini diperkuat oleh asumsi bahwa laki-laki adalah pemilik modal. Pemilik modal inilah yang menjadi penguasa di bidang ekonomi / industri.

1.6. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide gagasan ( Iqbal Hasan 2002;17 ). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam proposal penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1) Sistem Keterwakilan

Merupakan sistem yang ditetapkan oleh pemerintah yang diturunkan melalu UU kepada parpolitik dan mempengaruhi jumlah perwakilan golongan di dalam pemilu.

2) Affirmative Action

Adalah tindakan khusus sementara mengenai peluang wanita dalam politik dengan kuota 30% untuk mewujudkan keterwakilan wanita.

3) Kuota

Adalah porsi yang ditetapkan atau ditentukan untuk mewakili suatu golongan dan suatu lembaga.

4) Gender

Perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan masyarakat (kontruksi sosial).


(23)

5) Feminis

Seorang, baik perempuan maupun laki-laki yang peduli dan sadar bahwa adnya ketimpangn gender di dalam hubungan sosial dan berusaha untuk mencari jalan keluar.

6) Feminisme

Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, serta gerakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.

7) Dominasi

Kedudukan berkuasa atau menguasasi dari kelompok jenis kelamin tertentu (laki-laki) terhadap jenis kelamin lainnya (perempuan).

1.7. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan gambaran teliti mengenai prosedur yang diperlukan untuk memasukkan unit-unit dalam kategori tertentu dari tiap-tiap variabel. Variabel adalah konsep yang secara empiris dapat diukur dan dinilai. Dalam penelitian kuantitatif secara umum terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas (Independen) dan variabel terikat (Dependen). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebasnya adalah partisipasi wanita dengan indicator sebagai berikut :

a) Lahirnya peraturan pemerintah mengenai kuota tersebut seperti UU dan peraturan lainnya

b) Tata cara pelaksanaan implementasi kuota 30% pada perempuan pada partai politik


(24)

Sedangkan vaiabel terikatnya adalah kepengurusan partai politik dengan indikator sebagai berikut :

a) Tingkat pendidikan / jenjang pendidikan

b) Pengalaman dalam organisasi, dalam hal ini berhubungan dengan pengalaman dalam karier politiknya

c) Ketidakadilan gender atau diskriminasi. Hal ini berhubungan dengan faktor penghambat karier politik perempuan diluar tingkat pendidikan dan pengalaman.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Partai dan Fungsinya

Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan kekuasaan serta melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo dalam Antonius P.S, 2006:90). Partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia. Lembaga-lembaga politik adalah lembaga yang memperhatikan kekuasaan, organisasinya, pengalihannya, pelaksanaan dan legitimasi kekuasaan (Duverger 1988:124).

Berdirinya Syarikat Islam pada tahun 1912 dianggap sebagai lahirnya partai politik pertama di Indonesia, karena sejak itu organisasi itu menjadi sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Pada awalnya banyak yang mengira kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana berpartisipasi saja. Tetapi dalam perkembangannya partai diidentifikasikan sebagi organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya kepada kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, dan juga bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Partai politik juga merupakan perantara dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan berakibat pada aksi politiknya dalam masyarakat yang lebih luas (Neuman dalam Antonius P.S 2006:91).

Pada perkembangan demokrasi modern partai politik mempunyai peranan penting pada masyarakat, diantaranya dapat memaksimalkan keikutsertaan anggota masyarakat dalam suatu proses politik. Partai politik juga tidak boleh keluar dari fungsi utamanya


(26)

yaitu melebarkan jaringannya diantara anggota di masyarakat agar keinginan dan aspirasi, kepentingan mereka terus-menerus dapat dipantau. Jaringan itu dapat berupa organisasi masa yang tugas utamanya adalah menghimpun atau merangkum segala aspirasi masyarakat.

2.2. Masyarakat Dalam Partisipasi Politik

Pengertian demokrasi ialah pemerintah yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dalam arti empiric diatas menyatakan setiap warga negara bebas berpartisipasi dalam politik tanpa membeda-bedakan status golongan, agama dan jenis kelamin (Antonius P :123). Secara konseptual, partisipasi politik merupakan kegiatan sekarang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, kegiatannya meliputi tindakan-tindakan seperti memberi suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok-kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah.

Partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga Negara bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung dan tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Mc Closky dalam Antonius P :125). Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau koleksi, teorganisir dan spontan, mantap dan sporadis secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efaktif atau tidak efektif (Hutington dalam Antonius P : 126).

Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Demokrasi secara normatif


(27)

ialah bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara, sedangkan demokrasi dalam arti empirik, yakni demokrasi dalam pengejawantahannya dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik.

2.3. Konflik Dalam Partisipasi Politik Perempuan

Konflik merupakan suatu fakta dalam masyarakat industri modern yang secara empiris tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakekat masyarakat. Konflik merupakan realitas yang harus dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum perilaku sosial. Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif, salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Konflik sosial mempunyai fungsi katarsis, karena konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada sistem sosial. Konflik tidak mengubah sistem sosial, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan di dalam sistem sehingga sistem itu bisa lebih efektif (Wardi Bachtiar,2006:108).

Pengembangan teori konflik dilakukan oleh Polybius (Wardi Bachtiar 2006:108), tetapi yang mengembangkannya adalah Karl Marx. Marx melihat masyarakat kapitalisme modern, kaum industrialis atau borjuis, pemilik modal dan masyarakat kelas bekerja atau proletar yang sering diamati sebagai gambaran konflik yang nyata pada masa itu. Konflik kelas diamati sebagai titik sentral dari masyarakat, segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi, memusatkan tujuan produksi dan mengkonsentrasikan produksi pada segelintir orang saja atau memperhatikan kesejahteraan kelas pekerjanya,


(28)

keadaan tersebut membawa ketimpangan sosial pada masyarakat pada saat itu berupa ketidakadilan yang dialami masyarakat buruh yang dipaksa bekerja terus-menerus dalam peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesetaraan upah dan penyesuaian jam kerja. Keadaan tersebut melahirkan perjuangan kelas yang dilakukan kaum proletar yang dipandang oleh Marx yang bermula dari konsep kekuatan politik sebagai pembantu terhadap kekuatan kelas, dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus perjuangan kelas. Dalam hal ini kelas borjuis sebagai penguasa dan kelas proletar yang dikuasai.

Pertentangan kelas juga diterima Dahrendorf sebagai suatu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Dahrendorf memodifikasi teori pertentangan kelas Marx dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut Dahrendorf konflik berhubungan dengan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur dari kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam strutur kekuasaan yang ada di dalam kelompok, sedang yang lain tidak. Dahrendorf mengakui terdapat beberapa perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaaan di dalam sikap dominasi akan selalu terjadi, tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi dalam masyarakat industri modern, pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.

Sarana yang dimaksud adalah penguasaan terhadap sumber daya yang ada, baik sumber daya alam maupun faktor-faktor produksi. Pada masyarakat yang berkembang


(29)

kekuasaan yang dimiliki sudah otomatis penguasaan terhadap sumber daya yang ada, kekuasaan sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi. Jika dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dibanding daripada perempuan. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan berbagai pertentangan. Pertentangan yang telah berakar dan potensial diantara kedua jenis kelamin ini sekarang diatur lewat institusionalisasi pertentangan. Marx dan Dahrendorf mengemukakan pertentangan kelas antara laki-laki dan perempua n, laki-laki yang memperoleh kekuasaan dari budaya pariarkhi dan konstruksi sosial mempengaruhi hubungan-hubungan dalam politik. Secara tidak langsung tapi disadari politik digunakan dalam pencapaian kekuasaan, kesempatan dan peluang laki-laki dalam politik lebih terbuka dibanding perempuan sehingga proses distribusi kekuasaan hanya berada ditangan laki-laki.

Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi bukan sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas yang mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasi merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Disini kita lihat kekuasaan memainkan peranan


(30)

sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, ini merupakan aspek dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik (Maurice Duverger, 1989:XIII).

Aspek kedua muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Di sini kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-avis kepentingan golongan atau kelompok.

Homans menjelaskan asal mula kekuasaan dan wewenang dalam kaitannya dengan prinsip kepentingan minimum (principle of least interest) : orang yang memiliki kepentingan yang paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah satu pihak yang berpartisipasi, “sebab dalam pertukaran seseorang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan orang itu kepadanya” (Homans dalam Poloma, 2003: 67).

Dalam organisasi formal hubungan yang asimetris dapat dilestarikan melalui kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan memaksa merupakan pertukaran yang tidak seimbang, dan situasi yang demikian juga diatur oleh proposisi pertukaran seperti halnya dalam hubungan-hubungan yang bersifat tidak memaksa. Homan menyatakan bahwa paksaan tidak dibutuhkan bila hubungan itu didasarkan pada pertukaran yang fair. Akan tetapi, sekalipun kekuasaan bersifat memaksa pertukaran itu akan terlihat juga.

Selanjutnya Blau melihat sesuatu yang menarik dari individu ke dalam asosiasi “ mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang interinsik maupun


(31)

eksterinsik. Blau memang mengakui tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Dia mengetengahkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dicapai melelui interaksi dengan orang lain, dan perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Blau dalam Poloma,2003:82). Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang dan jasa atau intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan dan lain-lain. Perilaku manusia yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu yang mendasari pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial.

Beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “ pervasive category understanding human experience”. Gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. perempuan yang tidak diperhitungkan secara ekonomis, merupakan fokus perjuangan kaum feminis marxist. Perempuan secara sistematis dikontrol di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kenyataan pribadi perempuan pun dikontrol oleh negara (hak milik tanah harus atas nama laki-laki). Fungsi reproduksi hanya diartikan sebagai fungsi haid, hamil, dan melahirkan terbeban pada kaum perempuan. Tetapi fungsi yang hanya bisa dikerjakan oleh perempuan ini justru menciptakan anggapan bahwa tenaga perempuan tidak produktif. Fungsi reproduksi tidak dihargai secara ekonomis, dan tidak diperhitungkan sebagai sumbangan pendapatan nasional atau pendapatan dunia.


(32)

Teori feminis marxist menyebutkan bahwa secara politik perempuan mempunyai kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarkhi pada waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.

Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Aliran ini percaya bahwa kelompok masyarakat memiliki kepentingan (intrest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan hubungan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai syarat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi seperti ini maka perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya merubah posisi dan hubungan. Demikian juga perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat dari konflik antar 2 kepentingan.

Bagi penganut feminis Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Mereka telah menganggap pratiarkhi ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalis yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesaiannya pun harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Namun tidak hanya sampai disitu, perempuan masih dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Dari perspektif ini, diyakini bahwa emansipasi perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga, namun proses itu hanya terjadi melalui industrialisasi. Bagi teori Marxis klasik,


(33)

perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik.

Di negara kita politik formal sangat berkaitan dalam pencapaian kekuasaan, jika kita berbicara tentang politik formal tentu berhubungan dengan partai politik. Partai politik yang diominasi oleh laki-laki sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya patriarkhi mengakibatkan perbedaan wewenang dalam partai tersebut. Walaupun perempuan sudah mulai ikut aktif dalam partai politik, namun secara kasat mata wewenang mereka berada dalam wewenang laki-laki. Dengan demikian wewenang tersebut hanya menyangkut atau membahas mengenai kebutuhan untuk pencapaian kekuasaan bagi laki-laki. Perbedaan posisi perempuan berada pada posisi subordinat dengan laki-laki yang mendominasi. Adanya perbedaan posisi dalam masyarakat antara posisi perempuan dan laki-laki terbawa dalam struktur politik termasuk partai politik. Sehingga mengakibatkan wanita sebagai suatu kelompok semu yang telah berubah menjadi lapisan yang diperintah. Sebagai contoh, menurtu hukum seorang wanita harus tunduk kepada suaminya, kemudian di kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan dan di dalam organisasi pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh kerena perbedaan jenis kelamin itu.

Kekayaan status sosial dan ekonomi walau bukan faktor determinan kelas dapat juga mempengaruhi pertentangan. Dahrendorf mengetengahkan proposisi, “semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentang kelas”. (M. Poloma, 2003:138). Dengan kata lain kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif lebih tinggi memiliki


(34)

kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan stuktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.

Secara sosiologis bahwa asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur tersebut. Pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan menjadi permasalahan pertentangan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa pertentanagn kelas dan kelompok terjadi akibat dari proses pencapaian kekuasaan di dalam masyarakat karena kekuasaan memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki dapat menguasai sumber daya dan menguasai sistem pemerintahan, dapat menyebarkan pengaruhnya, memupuk kekayaan dan menguasai hukum dan ekonomi. Dalam pembahasan teori kelas dapat dilihat bagaimana pentingnya suatu kekuasaan bagi organisasi sosial dan bagaimana konflik mengenai kekuasaan dapat menjurus pada pengembangan-pengembangan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat. Di dalam mendapatkan kekuasaan terdapat kelompok-kelompok kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi.

2.4. Kebijakan Peningkatan Partisipasi Perempuan Di Partai

Peranan perempuan dalam politik terakomodasi dengan menerapkan affirmative

action melalui sistem kuota 30%. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh

Undang-Undang Pemilu pasal 65 ayat 1 yang berbunyi “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini bisa menjadi motivasi perempuan untuk dapat berkiprah di politik. Perempuan tinggal menyiapkan


(35)

potensi perempuan dan siap berkiprah dalam politik terutama politik formal yang akan mempengaruhi kebijakan (Daulay 2007: 36). Usaha memaksimalkan keterwakilan perempuan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh beberapa kelompok perempuan sehingga UU No. 10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 tercantum ketentuan yang melebihi 5 tahun sebelumnya, sedikitnya satu dari setiap 3 calon adalah perempuan (Kompas, 2008 :35).

UU No. 18 Tahun 2007 tentang partai politik menyebutkan pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan, kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, serta kepengurusan partai politik tingkat propinsi dan Kabupaten / Kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib dan sukarela. Dengan sistem demokrasi dan kepartaian yang kita anut, yang berkaitan dengan system perwakilan yang berhubungan dengan calon-calon legislative yang akan duduk diparlemen. Dengan begitu mereka yang sering disebut wakil rakyat berasal dari partai. Partai berperan penting dalam penentuan calon legislatif yang akan duduk di parlemen walaupun pada akhirnya masyarakat yang memilih. Di dalam menghadapi pemilu April 2009 nanti, seluruh partai harus mengacu pada UU No 10 Tahun 2008 dan UU No 18 Tahun 2007, yang intinya adalah keterlibatan perempuan yang harus memenuhi kuota 30%.


(36)

Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini, sedikit banyaknya memotivasi perempuan untuk dapat berkiprah di bidang politk, terutama politik formal yang akan menentukan kebijakan (Daulay 2007:36). Hal ini tampak dari munculnya perempuan dalam percaturan dunia politik seperti calon kepala daerah dalam pemilihan kepala derah (pilkada) di beberapa daerah di Indonesia dan juga sebagai pengurus penting di berbagai partai peserta pemilu.

Dalam hal ini partai juga memiliki kriteria penting dalam penentuan calegnya. System pengkaderan di dalam setiap partai yang akan memunculkan calon legislatifnya akan mempengaruhi kedudukan perempuan dalam partai tersebut. Namun, pada intinya, kualitas adalah hal yang utama. Partai tetap menganggap prestasi, keunggulan, berupa latar belakang pendidikan setiap caleg tetap menjadi hal yang utama. Di sisi lain partai juga memperhatikan UU mengenai kuota perempuan dalam legislatif.

Pada intinya kita akan melihat bagaimana partai menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) April 2009, bagaimana mengakulturasi kepentingan partai memenangkan pemilu dengan kepentingan perempuan yaitu, keterwakilannya dalam produk pemilu tersebut, berupa implementasi UU yang berujung pada kuota 30%, sehingga tujuan dari UU dapat diimplementasikan dengan baik oleh setiap partai, dan terciptanya keadilan berpolitik antara laki-laki dan perempuan.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluaitf dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ialah penelitian yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku, sehingga dapat damati dan danalisis (Faisal,1995:22). Penelitian evaluatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memantau atau menilai program yang akan atau sedang berjalan di masyarakat, yang dalam hal ini program kebijakan pemerintah dalam implementasi kuota 30% keterwakilan wanita dalam lembaga politik formal. Disini jenis penelitian evaluatif yang digunakan adalah menggambarkan secara terperinci suatu fenomena sosial, seperti konflik sosial, interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain. Desain ini hanya menggambarkan dan mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan sekaligus menjawab permasalahan penelitian.

Penelitian Deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Burhan Bungin, 2007:68).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Utara, tepatnya di beberapa kantor cabang partai politik. Partai Politik yang menjadi lokasi penelitian merupakan partai besar yang dianggap dapat memberikan informasi dan data-data yang diperlukan


(38)

oleh peneliti. Selain itu struktur pengurus dan pembagian divisi-divisi yang dianggap jelas sesuai dengan observasi awal peneliti. Partai yang menjadi subjek penelitian yaitu, kantor DPD Partai Golkar, kantor DPC Partai PDI-P, dan kantor DPC Partai Demokrat. Alasan pemilihan lokasi penelitian yaitu:

a) Mudahnya akses masuk ke Partai tersebut dalam melaksanakan dan menjalankan penelitian,

b) Adanya sikap terbuka oleh pihak bersangkutan dalam melakukan observasi awal yang dilakukan peneliti,

c) Lokasi tersebut dianggap sesuai dengan judul dan permasalahn penelitian, sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan penelitian,

d) Lokasi tersebut dianggap lokasi yang tepat dalam melaksanakan peneliti, karena merupakan daerah yang memiliki fenomena politik yang dinamis

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dapat diteliti . Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Iqbal hasan, 2002:58). Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah pengurus wanita dari 3 partai politik yang terdapat di kantor Dewan Pimpinan Cabang dari partai PDI-P, Golkar, dan Demokrat. Jumlah populasinya adalah 30 orang, karena populasi yang tidak terlalu besar maka peneliti memutuskan menggunakan populasi menjadi sampel dengan rincian sebagai berikut :


(39)

PDI-P = 8 orang Golkar = 11 orang Demokrat

3.4. Teknik Pengumpulan Data = 11 orang Jumlah = 30 orang

Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-keterangan atau karakteristik sebagian atau seluruh elemen-elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian (Iqbal Hasan, 2005: 83). Untuk menjawab masalah penelitian pengumpulan data dilakukan melalui :

a) Angket (kuesioner)

Angket adalah pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi oleh responden. Responden merupakan anggota pengurus partai perempuan, yang menjadi sampel penelitian yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang disajikan.

b) Dokumenter dan Studi Kepustakaan

Dokumenter adalah data yang diperoleh dari suatu dokumentasi, dalam hal ini dokumen-dokumen partai. Sedangkan studi kepustakaan meliputi menelaah permasalahan melalui sumber buku, majalah, atau surat kabar atau bentuk tulisan lainnya yang dianggap relevan terhadap masalah penelitian. 3.5. Analisis Data

Dalam analisis data peneliti akan mentabulasi data-data yang dihasilkan dari kuesioner ke dalam beberapa bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga data-data yang


(40)

terdapat pada kuesioner, jawabannya akan dianalisis atau diinterpretasikan sebagai data yang akan melengkapi hasil penelitian (Burhan Bungin, 2001:187).

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.1

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi

2 Persetujuan Judul √ 3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √

8 Bimbingan √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √

10 Sidang √

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian adalah permasalahan-permasalahan atau hambatan-hambatan yang dihadapi peneliti selama menjalankan dan melakukan penelitian di lapangan. Dalam hal ini peneliti juga mengalami beberapa kendala di dalam melakukan penelitian kendala-kendala yang dihadapi antara lain :


(41)

1. Proses pengurusan surat izin penelitian yang sangat menyulitkan peneliti dan memakan waktu yang cukup lama yaitu sepuluh hari. Surat izin penelitian yang dibutuhkan yaitu dari Kesbang. Bapeda dan Kantor Camat.

2. Proses pengumpulan data di lapangan, berupa dokumen yaitu surat keterangan kepengurusan Partai (S.K). dari ketiga Partai tersebut peneliti tidak mendapat S.K dari salah satu Partai yang akan diteliti. Dalam hal ini Partai tidak bersedia memberikan Surat Keterangan tersebut dengan alasan kerahasiaan Partai dan beberapa alasan yaitu S.K tersebut sudah akan diganti dan alasan-alasan yang tidak memuaskan peneliti.

3. Adanya item pertanyaan yang responden tidak bersedia menjawab dengan alasan-alasan yang tidak jelas, terutama pertanyaan tambahan yang disediakan untuk dijawab.


(42)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Daerah penelitian yaitu Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukota di Tarutung. Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang secara geografis terletak diantara 1 20’-2 41 LU dan 98 05- 99 15’ BT. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Selatan. Untuk lebih lengkapnya berikut profil daerah Kabupaten Tapanuli Utara :

Kabupaten : Tapanuli Utara

Ibukota : Tarutung

Luas Kabupaten : 10.605 km²

Kepadatan : 71 jiwa/ km²

Pembagian Administratif

Kecamatan :16 kecamatan (Adian Koting, Garoga, Muara, Pagaran, Pahae Jae, Pahae Jalu, Pangaribuan, Parmonangan, Purba Tua, Siatas Barita, Siborong-borong, Simangumban, Sipahutar, Sipoholon, Tarutung ).

Desa / Kelurahan : 213 Desa dan 11 Kelurahan Tanggal hari jadi : 5 Oktober 1945

Bupati : Torang Lumbantobing


(43)

Sejarah terbentuknya kabupaten Tapanuli Utara ini ditandai dengan masa penjajahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten Tapanuli Utara termasuk dalam Keresidenan Tapanuli yang dipimpin oleh seorang Residen Bangsa Belanda yang berkedudukan di Sibolga. Saat itu Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi 4 Afdeiling (Kabupaten), salah satu diantaranya adalah Afdeiling Batak Landen dengan ibukotanya Tarutung, dan 5 Onder Afdeiling (wilayah yang meliputi : Onder Afdeiling Silindung, Toba, Samosir, Dairi, dan Barus.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, sejarah perkembangan pemerintahan RI di Kabupaten Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besluit No. 1 dari Residen Tapanuli Dr. Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan daerah Tapanuli dengan pengangkatan staf pemerintahannya, juga pengangkatan kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli. Afdeiling Tanah Batak dirubah menjadi LUHAK TANAH BATAK, dan sebagai kepala Luhak diangkat Bapak Cornelius Sihombing, beliau dianggap sebagai Bupati pertama Tapanuli Utara.

Sesuai dengan UU Drt. No. 7 Thn 1956, di daerah Propinsi dibentuk daerah otonom Kabupaten. Salah satu Kabupaten yang dibentuk dalam UU Drt tersebut adalah Kabupaten Tapanuli Utara. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, maka untuk meningkatkan daya guna pemerintahan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah ini, maka pada Tahun 1964, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Dairi. Pemekaran Kabupaten Dairi dri Kab.Tapanuli Utara sesuai dengan UU No. 15 Tahun 1964 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Dairi.


(44)

Pada tahun 1998 untuk kedua kalinya, Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan UU No. 12 tahun 1998 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kamudian pada tahun 2003, Kabupaten Tapanuli Utara untuk yang ketiga kalinya dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Humbang Hasundutan sesuai dengan UU. No. 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan. Kabupaten Pak-pak Barat, dan Kabupaten Humbang hasundutan di Propinsi Sumatera Utara. Pemekaran wilayah Kabupaten ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan serta untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah ini.

Sebagaimana uraian singkat sejarah perkembangan Pemerintahan RI di Kabupaten Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besliut No. 1 dari Residen Tapanuli Dr. Ferdinan Lumbantobing pada tanggal 5 Oktober 1945 yang memuat pembentukan daerah Tapanuli dan pengangkatan kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli, maka tanggal 5 Oktober ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Tapanuli Utara sesuai dengan peraturan daerah Kabupaten Tapanuli Utara No. 5 Tahun 2003.

4.1.2. Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Tapanuli Utara

Seperti berbagai daerah lain di seluruh dunia, Tapanuli Utara menghadapi persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan budaya. Sejumlah cara untuk meningkatkan kualitas pembangunan telah dilaksanakan seperti 3 kali proses pemekaran yaitu pada tahun 1964 pembentukan Kab. Dairi, pada tahun 1998 pemebentukan Kab. Toba Samosir, dan tahun 2003 pentukan Kab. Humbang Hasundutan. Kab. Tapanuli Utara didominasi


(45)

oleh masyarakat Batak Toba dan mayoritas beragama Kristen Protestan sebesar 90,21%, Islam sebesar 5,23%, dan agama Katolik sebesar 4,49%. Masyarakat Tapanuli Utara pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor pariwisata. Dalam bidang agribisnis terdapat pengusaha kecil seperti pengusaha kacang, keripik pedas dan pengusaha kecil lainnya yang terbukti mampu menggerakkan perekonomian masyarakat Tapanuli Utara khususnya sektor informal. Dari sektor pertanian dan perkebunan Tapanuli Utara sudah mampu menghasilkan beras, sayur, buah, kemenyan, pinus, jati terutama untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sedangnkan sektor peternakan terdapat peternakan babi, kerbau, ayam, bebek dan ikan yang cukup menjanjikan. Sektor pertanian dan peternakan secara langsung mempengaruhi sektor perdagangan di Kab. Tapanuli Utara yang mendorong pemerataan hasil pertanian, peternakan dan perkebunan demi meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat. Dari sektor pariwisata Kab. Tapanuli Utara terkenal dengan wisata iman Salib Kasih, pemandian air panas yang memiliki daya tarik wisata yang tinggi. Diketahui bahwa dalam 5 tahun terakhir pendapatan daerah dari sektor ini memberi sumbangan bagi APBD (http:www.sumut.bps.go.id/taput).

4.1.3. Gambaran Pendidikan Masyarakat Tapanuli Utara

Secara umum tingkat pendidikan di Kab. Tapanuli Utara sudah cukup baik, ini terlihat dari tersedianya fasilitas pendidikan yang cukup memadai diantaranya sekolah dasar berjumlah 397 unit dengan jumlah siswa 46.571 orang, guru pengajar 2.553. sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 60 unit termasuk 2 MTS atau setingkat Madrasah dengan jumlah siswa 20.838 orang dan guru 1.163 orang. Sekolah Menengah


(46)

Umum (SMU) berjumlah 22 unit dengan jumlah siswa 11.774 orang dengan guru 634 orang. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berjumlah 15 unit dengan siswa 4.577 orang dan guru pengajar 369 orang. Juga terdapat 1 Universitas yaitu Universitas Sisingamangaraja yang berada di Kec. Siborong-borong.

Tingkat pendidikan Tapanuli Utara juga dapat dilihat dari persentase penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan seperti tabel 4.1. dibawah ini :

Tabel 4.1. Persentase Pendidikan Yang Ditamatkan Tingkat Pendidikan Persentase Jumlah Belum sekolah/ Belum tamat SD 26,41 69.072

Tamat SD 24,85 64.992

Tamat SLTP 23,70 61.985

Tamat SLTA 22,20 58.062

D1 / Sarjana 2,84 7.428

Total 100,00 261.539

Sumber : BPS Taput Dalam Angka

Dari tabel 4.1 dilihat jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Kab. Tapanuli Utara berturut-turut, belum sekolah atau belum tamat SD sebesar 26,41 (69.072 orang), tamat SD sebesar 24,85% (64.992 orang), tamat SLTP sebesar 23,70% (61.985 orang), tamat SLTA sebesar 22,20% (58.062 orang), dan D1 / Sarjana sebesar 2,84% (7.428 orang). Terdapat kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan semakin rendah persentase atau jumlah masyarakat yang menamatkan pendidikan tersebut.

4.1.4. Gambaran Penduduk Dari Usia

Dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok umur pada tahun 2005, sebanyak 36,37% penduduk Kab. Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok anak-anak (0-14 tahun), sebanyak 55,87% merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun), dan


(47)

kelompok usia lanjut (65 tahun keatas) sebanyak 7,76%. Berikut data dilihat dari tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2. Persentase Usia Penduduk

Kelompok Umur Persentase Jumlah

0-14 tahun 36,37 95.122

15-64 tahun 55,87 146.122

65 tahun keatas 7,76 20.295

Total 100,00 261.539

Sumber : BPS Taput Dalam Angka

Dari tabel 4.2 diketahui kelompok usia yang paling tinggi jumlah perentasenya ialah usia 15-64 tahun sebesar 55,87% (146.122 orang), usia 0-14 tahun sebesar 36,37% (95.122 orang), dan lanjut usia atau 65 tahun keatas sebesar 7,76% (20.295 orang). Dapat disimpulakan bahwa usia produktif di Kab. Tapanuli Utara cukup tinggi dibanding dengan usia anak-anak dan lanjut usia, berarti terdapat banyak penduduk yang merupakan angkatan kerja.

4.1.5. Gambaran Penduduk Dari Jenis Kelamin

Dari data BPS Kab. Tapanuli Utara tahun 2005 berdasarkan data kependudukann, terdapat 129.881 orang laki-laki dan 131.658 orang perempuan dengan total 261.539 masyarakat Tapanuli Utara dan rasio 98,65, atau dengan persentase 49,67% laki-laki dan 50,33% perempuan. Ini berarti jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah laki-laki di Kab. Tapanuli Utara.

4.1.6. Posisi Perempuan Dalam Masyarakat

Masyarakat Tapanuli Utara merupakan masyarakat yang mayoritas merupakan suku Batak Toba yang menganut sistem patriarkhi yang sudah ada sejak dulu dan turun-temurun. Patriarkhi adalah sistem garis keturunan bapak, artinya ayah sebagai pemegang kekuasaan dalam keluarga. Perbedaan posisi perempuan dan laki-laki terjadi atau berlaku


(48)

di acara-acara adat saja, artinya sistem patriarkhi tadi berkembang dan bertahan sejalan dengan perkembangan adat istiadat masyarakat Batak. Konstruksi adata yang terbangun secara tidak langsung masuk dan mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dari semua sudut pandang, ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan. Dapat dikatakan perbedaan posisi perempuan dan laki-laki pada masyarakat masih tampak jelas.

Masyarakat memandang keadaan tersebut terjadi dengan sendirinya dan sudah berlangsung cukup lama. Keadaan ini diterima dan dipahami masyarakat melalui adat dan agama yang diyakininya, artinya di beberapa segi kehidupan masyarakat, sistem budaya patriarkhi yang mengakibatkan perbadaan posisi laki-laki dan perempuan sudah biasa dan tidak mengganggu kestabilan kelompok sosial yang ada di masyarakat. Ada kecenderungan masyarakat Batak Toba di Tapanuli Utara menganggap budaya berada pada posisi sentral dalam kehidupan mereka yang harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya, walaupun sistem tersebut sudah mempengaruhi bahkan merugikan perempuan dalam kehidupan sosialnya.

4.1.7. Gambaran Partai Politik dan Kondisi Masyarakat Tapanuli Utara

Masyarakat Tapanuli Utara merupakan masyarakat yang sangat dekat dengan unsur budaya dan adat istiadat. Unsur budaya dan adat istiadat sangat mempengaruhi sisi kehidupan termasuk kehidupan politik. Masyarakat di Tapanuli Utara di dominasi oleh sistem garis keturunan ayah atau patriarkhi yang merupakan ciri umum masyarakat Batak Toba yang mayoritas berada di Kab. Tapanuli Utara, melihat keadaan tersebut sistem budaya partiarkhi juga mempengaruhi sistem politik disana, hal ini sudah terjadi sejak dahulu hingga awal tahun 2000.


(49)

Terdapat 44 partai yang mengikuti pemilihan umum 2009 di Kab. Tapanuli Utara, untuk memperebutkan 35 kursi DPRD. Dari ketiga partai yang diteliti terdaftar dari partai PDI-P sebanyak 30 total caleg dengan 9 orang caleg perempuan, Golkar sebanyak 17 caleg dengan 6 orang caleg perempuan, sedangkan partai Demokrat 26 caleg, 1 caleg perempuan.

4.1.7.1. Gambaran Mengenai Keberadaan Perempuan Di DPRD Tapanuli Utara 2004-2009

Gambaran mengenai keberadaan perempuan di kursi DPRD Taput 2004-2009. partai PDI-P terdapat 2 orang anggota dewan, di Partai Golkar terdapat 3 orang perempuan yang menjadi anggota DPR. Sedangkan di Partai Demokrat hanya 1 orang perempuan yang menjadi anggota DPRD Tapanuli Utara (Sumber : KPU Taput 2009).

4.1.7.2. Gambaran Mengenai Caleg Perempuan Pada Pemilu 2009 Terhadap Kuota 30% Dari data KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Taput, terdaftar 7 orang caleg perempuan dari PDI-P untuk 3 Dapil Kecamatan, 6 orang caleg perempuan untuk partai Golkar dari 3 Dapil Kecamatan, sedangkan dari partai Demokrat tidak terdapat caleg perempuan untuk 3 Dapil Kecamatan. Mereka berada di nomor urut yang tepat yaitu pada nomor urut 3,4,5. peraturan penentuan nomor urut merupakan kebijakan partai, dengan sistem urut jika nomor urut 1 dan 2 adalah laki-laki maka untuk nomor urut 3 harus perempuan. Jadi dalam 10 orang nama caleg harus menyertakan 3-4 orang caleg perempuan. Penetapan nama-nama caleg secara keseluruhan harus betul-betul memenuhi kuota 30%. Dari data diatas yang merupakan gambaran partisipasi politik perempuan di Kab. Tapanuli Utara dapat dikatakan perkembangan politik di Kab. Tapanuli Utara cukup


(50)

baik, ini dapat dilihat dari antusiasme warga untuk ikut dalam pemilihan umum dan partisipasi dalam partai politik. Dengan keadaan itu partisipasi wanita yang dahulu asing dengan dunia politik sekarang sudah tampak partisipasinya. Dengan demikian perempuan dalam partai politik sudah tampak hasil dari berlakunya kuota 30% pada keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik.

4.2. Deskripsi Partai

Lokasi penelitian ini adalah Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Golkar, PDI-P, dan Demokrat yang seluruhnya beralamat di Kecamatan Tarutung. Berikut ini profil Partai dan sejarah berdirinya Partai tersebut .

4.2.1. Partai Golongan Karya (Golkar)

4.2.1.1. Sejarah Pendirian Partai dan Keberadaan Dalam Perkembangan Partai Politik Indonesia

Partai Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober tahun 1964, yang berkantor pusat di jakarta. Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebua masa akhir pemerintahan Presiden menandingi pengaru perkembangannya, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.

Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden


(51)

pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah

Partai Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah. Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai Golkar menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai Golkar mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%. Sekarang ini, Partai Golkar dipimpin oleh Ketua Umum DPP Golkar,

4.2.1.2. Struktur Organisasi

Struktur organisasi partai Golkar terdiri dari tingkat pusat, tingkat propinsi, tingkat Kabupaten, tingkat Kecamatan dan Desa atau Kelurahan atau sebutan lainnya yang masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan


(52)

Daerah Propinsi, Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Kecamatan, dan Pimpinan Desa/ Kelurahan. Partai Golkar juga membentuk perwakilan di luar negeri.

Dewan Pimpinan Pusat adalah badan pelaksanaan tertinggi partai yang bersifat kolektif yang berwenang menentukan kebijakan tingkat nasional sesuai dengan AD/ART, Keputusan Musyawarah Nasional, Musyawarah Luar Biasa dan Rapat Pimpinan Nasional serta Peraturan Organisasi Golkar, mengesahkan komposisi Personalia Dewan Pimpinan Daerah Propinsi dan perselisihannya, memberikan sanksi dan penghargaan sesuai dengan Anggran Dasar dan Rumah Tangga Partai.

Dewan Pimpinan Pusat berkewajiban melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan AD/ART, Musyawarah Nasional serta Peraturan Organisasi Partai Golkar dan memberi pertanggung jawaban pada Musyawarah Nasional. Begitu seterusnya hingga tingkat Desa atau Kelurahan.

4.2.1.3. Aktifitas Partai

Aktifitas partai Golkar hampir sama dengan aktifitas partai lain pada umumnya yaitu mengangkat, menyukseskan konsolidasi dan pengembangan partai Golkar, mensukseskan reformasi pembangunan sesuai dengan amanat reformasi di segala bidang dan menyukseskan Pilkada dan Pemilu 2005-2009. Mensukseskan konsolidasi meliputi konsolidasi idil yang berisi tentang memperkokoh kesetaraan Partai Golkar pada Pancasila dan UUD 1945 dan menjaga tegak dan utuhnya kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan penghayatan dan pengalaman ideologi perjuangan Partai Golkar dan seluruh jajaran anggota, meningkatkan kesadaran moral dan etika. Konsolidasi wawasan meliputi, memantapkan wawasan Kebangsaan dan Nusantara, memantapkan wawasan perubahan demi percepatan Kebangkitan Indonesia, memantapkan wawasan


(53)

kesinambungan terhadap semua perubahan kehidupan bernegara yang terjadi di masa lalu dan dinamika yang terjadi di masa datang, dan mengembangkan wawasan global dalam perspektif kepentingan Nasional. Konsolidasi organisasi meliputi bidang keanggotaan yaitu memperluas basis keanggotaan, memperbaiki sistem administrasi dan pendapatan.

Bidang kaderisasi yaitu mengembangkan sistem kaderisasi dalam menjamin kesinambungan dan cita-cita partai. Partai ini membuka rekrutmen anggota seluas-luasnya kepada masyarakat, mengembangkan kualitas dan kompetensi kader dalam menghidupi dan merespon berbagai masalah dalam partai dan masyarakat, memantapkan pengelolaan lembaga kader menjadi lembaga modern profesional dan memantapkan pendayagunaan kader secara efektif.

Bidang kelembagaan yaitu memantapkan peran dan fungsi kelembagaa dan organisasi yang bersifat vertikal dan horizontal, meningkatkan sarana dan prasarana organisasi, mengembangkan kelembagaan dalam perpektif peranan baru dalam partai Golkar sebagai kekuatan pengembang dalam kehidupan politik dan pemerintah, yang diwujudkan dalam pembidangan tugas. Sukses reformasi dan pembangunan nasional, politik dan demokrasi sengan upaya-upaya menetapkan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dan dasar negara serta UUD 1945 sebagai landasan pembangunan sistem politik, mengembangkan sistem, kelembagaan dan kualitas pemilihan umum, pemilihan pejabat publik dan peningkatan partisipasi politik rakyat dalam sistem kepemimpinan Nasional, mengembangkan budaya politik yang demokratis, terbuka untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat di segala bidang dan meningkatkan kualitas kebebasan pers dan hak memperoleh informasi dalam rangka pendidikan komunikasi.


(54)

4.1.2.4. Posisi Perempuan Dalam Partai

Dari data sekunder yang diperoleh, diketahui terdapat 36 pengurus partai DPD II Partai Golkar Kab. Tapanuli Utara dengan jumlah 28 pengurus laki-laki dan 8 pengurus perempuan, 1 orang menjabat wakil ketua bidang permpuan, 3 wakil sekretaris, 1 wakil bendahara, dan 3 bagian pengurus OKK, bagian perempuan (data lamiran L-3). Keseluruhan aktifitas partai melibatkan seluruh pengurus partai tidak ada pembatasan, tetapi diakui juga bahwa untuk perwakilan pengurus untuk pertemuan tingkat pusat memang masih mengutamakan laki-laki, tetapi belakangan ini sudah mulai diadakan program partai yaitu peningkatan kompentensi organisasi dan pengkaderan yang dikhususkan untuk perempuan yang dilaksanakan wakil ketua bidang pemberdayaan wanita dan telah menjadi agenda tetap partai. Dalam mengirimkan utusan dalam kegiatan-kegiatan lain seperti acara debat memang masih mengutamakan laki-laki, tetapi jika ada rapat dalam pengamblan keputusan secara kolektif partisipasi perempuan harus dilibatkan sesuai dengan kapasitas mereka, sebagai pengurus, karena suara mereka juga menentukan kebijakan partai kedepan.

Dari data yang diperoleh dari KPUD Tapanuli Utara diketahui untuk partai Golkar Dapem 1 terdapat 3 caleg perempuan, dan 3 caleg laki-laki, untuk Dapem 2 terdapat 1 caleg perempuan, dan 4 caleg laki-laki, untuk Dapem 3 terdapat 2 caleg perempuan dan 2 caleg laki-laki, sehingga keseluruhannya terdapat 6 caleg perempuan dari total 17 caleg yang terdaftar.

4.2.2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 4.2.2.1. Sejarah Pendirian Partai


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil analisis maka di peroleh kesimpulan :

Peluang yang mendukung pengembangan karier perempuan dalam partai politik perempuan.

Bahwa partai cenderung memperhatikan usia dan pendidikan, usia tidak lagi menjadi penghalang untuk kegiatan partai. Gambaran ini tampak pada partai Demokrat yang pengurus partainya mayoritas berada pada usia muda dan tingkat pendidikan yang baik.

Terdapat peningkatan partisipasi politik perempuan setelah adanya kebijakan pemerintah mengenai kuota 30% terhadap keterwakilan perempuan di partai politik, walaupun belum seperti yang diharapkan tetapi dengan kuota tersebut perempuan menjadi lebih aktif dan leluasa untuk mau terjun keranah politik.

Adanya perubahan kebijakan di partai setelah adanya kuota 30%, partai mulai memperhatikan keadaan kepengurusan perempuan di partainya. Keadaan ini dtandai dengan adanya program-program partai yang ditujukan kepada perempuan, seperti pendidikan politik, pemberdayaan perempuan, pemerataan kesempatan, penghapusan diskriminasi.

Terdapat hambatan-hambatan yang menyangkut partisipasi politik perempuan di Kabupaten Tapanuli Utara, yaitu :

Streotipe mengenai laki-laki dan perempuan berada di bawah peran laki-laki, masih ditemukan di dalam partai politik, dimana perempuan yang tingkat pendidikannya S1 dan


(2)

S2 lebih banyak menjadi aktifis di partai. Artinya bahwa hanya perempuan yang betul-betul memiliki kemampuan politiklah yang dapat menjadi pengurus inti di partai.

Peran Perempuan sebagai ibu rumah tangga yang sekaligus menjalankan kewajibannya mengurus suami dan anak telah menghambat partisipasi politik perempuan.

Faktor pendidikan juga mempengaruhi partisipasi politik perempuan. Secara umum selama ini perempuan tidak pernah mendapatkan pendidikan politik secara formal maupun informal, walaupun tingkat pendidikan mereka memadai, tetapi pengalaman organisasi, dan pengalaman politik mereka cukup minim.

Hambatan budaya juga mempengaruhi partisipasi politik perempuan di Kabupaten Tapanuli Utara. Masyarakt yang patriarkhi sangat mempengaruhi peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

Keaktifan perempuan dalam organisasi dan partai politik yang masih kurang dipengaruhi oleh pembagian waktu mereka antara ikut dalam kegiatan partai atau mengurus rumah tangga.

Iklim politik di Kabupaten Tapanuli Utara cukup baik bagi perkembangan politik perempuan terutama dengan diberlakukannya kuota 30% tersebut. Sehingga implementasi kuota 30% tersebut terhadap partai politik khusunya Kabupaten Tapanuli Utara cukup terlaksana dengan baik dan terarah.

Saran

Dari hasil penelitian dianalisis dengan pengamatan yang objektif dan rasional peneliti mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh


(3)

pihak yang dianggap sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, saran tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Sebaiknya pengimplementasian kuota 30% bagi perempuan dalam kepengurusan partai diikuti oleh kebijakan hukum yang mengikat bagi pelanggaran UU yang mengatur kuota tersebut.

2. Agar pemerintah melakukan fungsi pengawasan terhadap partai dalam pelaksanaan implementasi kuota 30% agar dapat terlaksana dan merata di seluruh wilayah Indonesia baik tingkat pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

3. Dengan baik Pemerintah menciptakan iklim politik yang sehat sesuai dengan cita-cita demokrasi, agar partisipasi politik perempuan dapat meningkat dalam upaya mewujudkan pemimpin-pemimpin perempuan yang tangguh sehingga dapat mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan pada umumnya,dan

4. Mengupayakan pendidikan yang selayaknya berupa pendidikan formal dan informal bagi perempuan Indonesia dalam mewujudkan perempuan yang berintelektual dan memiliki jiwa kepemimpinan demi mengupayakan emansipasi wanita.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi, 2006, Sosiologi Klasik: Dari Comte Hingga Parsons, Bandung. Remaja Rosdakarya.

Bungin, Burhan H. M, 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial , Jakarta : Kencana Prenama Media Group.

Bungin, Burhan H. M, 2001. Metodologi Penelitian Sosial : format-format kuantitatif dan kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press.

Contor, W. Doroty, Tony Beray dkk, 1998, Women in Power ; Kiprah Wanita dalam Dunia Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama dan IKAPI.

Daulay, Harmona, 2007. Perempuan Dalam kmelut Gender, Medan, USU Press. Duverger, Mourice, 1988, Sosiologi Politik, Rajawali Jakarta.

Faisal, Sanifah, 1999, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Hasan, Iqbal M, 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Ibrahim, Idi Subandy, dkk, 1998, Wanita dan Media : Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : PT. Remaja Rodakarya.

Koswara, Jajan, 1999, Kemampuan Manajerial Wanita Sebagai Pemimpin Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kepemimpinan Wanita Dalam Milenium III, Yogyakarta : Lembaga Penelitian Pusat Studi Wanita, UGM.

Munir, Rozi dkk, 1999, Pemimpin Perempuan Mengapa Tidak, Jakarta : Panitia Muktamar XXX Nahdatul Ulama


(5)

Muniarti. P. Nunuk, 2002 ; Getar Gender I : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik Ekonomi, Hukum dan HAM, Yayasan Indonesia Tera, Jakarta, Ikapi dan The Ford Foundation.

Poloma, Margareth, 2003, Sosiologi Komtemporer, Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Prasetyo, Bambang, dkk, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Shanti, Budi, 2001, Jurnal Perempuan, Perempuan dan Kewarganegaraan Dimana? ; Kuota Perempuan Parlemen ; Jalan menuju Kesaaraan Politik, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.

Sitepu, P, Anthonius, dkk, 2006, Jurnal Ilmu Politik, Politea ; Militer dan Politik, Medan, Dep. Ilmu Politik FISIP USU

Sitepu, P, Anthonius, 2006, Sistem Politik Indonesia, Medan. Pustaka bangsa Press.

Suparno, Indriyati, dkk, 2005, Masih Dalam Posisi Pinggiran ; Membaca Tingkat Partiipasi Politik Perempuan di Surakarta, Solo ; Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan HAM (SPEK-HAM).

Susilo, Zumrotink, dkk, 2002 ; Perempuan Bergerak Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Sulawesi Selatan : Yayasan Lembaga Konsumen.

Syarbini, Syahrial,2002: Sosiologi Politik, Jakarta, Ghalia Indonesia.

kompas 11 Maret 2002, Keterwakilan Perempuan Secara Proporsional di DPR, Cermin Demokrasi Modern


(6)

Sumber-sumber Lain :

Amalik. J. Mulyadi, 2008. Jurnal Keterwakilan Perempuan di Partai Politik dan Parlemen serta Urgensi Basis Gerakannya.

http:// mirisa.wordpress.com/2008/08/23, diakses 12/12/08/Jumat, pkl 13.13

Kusuma, Eva, 1996, Caleg Wanita dan Artikulasi Kepentingan Wanita

Majidah, Alfii, 1995, Gambaran Aktivitas Wanita ” Masa Kini ” Dalam Politik

Widyani, Ani Soejipto, 2005, Esai-esai Pilihan ; Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta : PT. Kompas Media Utama.

http:/www.partaidamaisejahtera.com

http:www.sumut.bps.go.id/taput, diakses selasa, 16 Juni 2009, pkl 16.00.

kompas 11 Maret 2002, Keterwakilan Perempuan Secara Proporsional di DPR, Cermin Demokrasi Modern

Kompas 27 Mei 2002, Keterwakilan Politik Hak Yang Belum Diberi, Senin, hal 15.


Dokumen yang terkait

Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum 2009)

1 45 71

UPAYA PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PEMILU 2004 (Studi pada DPC PKB Kabupaten Bangkalan)

0 3 1

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK (Studi pada DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Ngawi)

1 19 2

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 17

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 12

PERAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN CIANJUR: Studi Deskriptif Tentang Pendidikan Politik Bagi Kader Perempuan di Partai Politik.

1 1 63

Partisipasi dan Akuntabilitas partai politik.

0 1 68

ANALISA GENDER DALAM PENGELOLAAN PARTAI POLITIK (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anggota Partai Politik dan Partai Politik Peserta Pemilu 2014).

0 0 16

Partai Politik: Studi Deskriptif Proses Pendirian Partai Solidaritas Indonesia

0 0 15

PARTISIPASI PURNAWIRAWAN TNI DALAM PARTAI POLITIK : Studi Deskriptif Tentang Partisipasi Dan Adaptasi Puruawirawan TNI Dalam Partai Politik Di Surabaya Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 110