BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

  2.1.1 Definisi Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawabpertanyaan ”what” misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan sebagainya (Notoatmadjo, 2005).

  Pengetahuan adalah pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007).

  2.1.2 Tingkat Pengetahuan

  Pengetahuan yang tercangkup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,yaitu:

  1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mempresentasikan materi tersebut secara benar.

  10

  3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

  4. Analisa (Analysis) Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

  5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justipikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek(Notoatmodjo, 2007).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Menurut Lukman, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu :

  1. Umur Semakin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun.

  2. Intelegensi Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berpikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru dengan

  

  demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan.

  3. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang.

  4. Sosial Budaya Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain karena hubungan ini seseorang mengalami sesuatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

  5. Pendidikan Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.

  6. Informasi Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.

  Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

  7. Pengalaman Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. (Notoatmodjo, 2007).

  

 

2.1.4 Kategori Pengetahuan

  Untuk mengetahui secara kualitas tingkat pengetahuan yang di miliki oleh seseorang dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :

1. Tingkat Pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100% 2.

  Tingkat Pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75% 3. TingkatPengetahuan kurang bila skor atau nilai < 56%

  (Nursalam, 2008)

2.1.5 Pengukuran Pengetahuan

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).

2.2 Perawat

2.2.1 Perawat

  Perawat adalah seseorang yang sudah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan, dan penanggung jawaban dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien (Ali, 2001).

  Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik didalam maupun diluar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku mejalankan praktek keperawatan harus santiasa meningkatkan mutu pelayanan profesional, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

  

 

2.2.2 Fungsi Perawat

  

 

  teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidangnya (Kustanto, 2004).

  Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya, fungsi perawat tersebut dapat diubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi Indenpenden, fungsi Dependen dan fungsi

  Interdependen .

  1. Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang merupakan fungsi dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia.

  2. Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atau pesan intruksi dari perawat lain, sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya di lakukan perawat umum.

  3. Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim yang lain. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks (Hidayat, 2007).

2.3 Halusinasi

2.3.1 Defenisi

  Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).

  Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).

  Halusinasi termasuk gologan dari skizofrenia yang merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (PPGDJ-III, 2001).

  Halusinasi adalah persepsi sensori yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interpretasi waham tentang pengalaman halusinasi (Kaplan-Sadock, 2010)

  

 

2.3.2 Klasifikasi Halusinasi

  Menurut Stuart (2007), jenis halusinasi antara lain : 1. Halusinasi Pendengaran (Auditorik)

  Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, tertama suara-suara orang, bisanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

  2. Halusinasi Penglihatan (Visual) Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pencaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

  3. Halusinasi Penghidu (Olfactory) Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine, atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

  4. Halusinasi Peraba (Tactile) Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : mersakan sensai listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

  5. Halusinasi Pengecap (Gustatory) Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seprti rasa darah, urine atau feses.

  

 

  6. Halusinasi Sinestetik Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

  7. Halusinasi Kinesthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2.3.3 Proses Terjadinya Halusinasi

  Fase halusinasi ada 4, yaitu (Stuart dan Laraia, 2001) : 1. Comforting

  Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum dan tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.

  2. Condemning Pada ansietas berat pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan.

  Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk emngambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda- tanda vital (denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

  3. Controlling Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar

  

  berhubungan dengan orang lain,berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

4. Consquering

  Terjadi pada panik pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. kondisi klien sangat membahayakan.

2.3.4 Faktor Penyebab Halusinasi 1.

  Faktor predisposisi a.

  Faktor Perkembangan Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

  b.

  Faktor Sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

2. Faktor Biokimia

  Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan

  

 

  Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan

  teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.

  3. Faktor Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

  4. Faktor Genetik Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2011).

  5. Faktor Presipitasi a.

  Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993), memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dalam dilihat dari lima dimensi yaitu:

  

 

  1) Dimensi Fisik

  Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

  2) Dimensi Emosional

  Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3)

  Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

  4) Dimensi Sosial

  Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

  comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di dunia

  nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi

  

  sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. 5)

  Dimensi Spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2011).

2.3.5 Tahapan Halusinasi

  Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri atau mengingkari rangsangan terhadap

    Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan.

  • Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan.
  • Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
  • Tersenyum, tertawa sendiri
  • Menggerakkan bibir tanpa suara
  • Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
  • Pergerakkan mata yang cepat
  • Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik.
  • Respon verbal yang lambat
  • Diam dan berkonsentrasi

  • Menyalahkan -
  • Pengalaman sensori menakutkan
  • Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah

  • Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
  • Perhatian dengan lingkungan berkurang
  • Mulai merasa kehilangan kontrol
  • Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
  • Menarik diri dari orang lain non psikotik
  • Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas
  • Mengontrol -
  • Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)
  • Perintah halusinasi ditaati
  • Sulit berhubungan dengan orang lain
  • Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi
  • Isi halusinasi menjadi atraktif
  • Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik
  • Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik
  • Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.

   

  kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia, suara-suara biasanya berasal dari tuhan, setan, tiruan atau relatif.

  Tabel 2 Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien. Tahap Karakteristik Perilaku Klien

  Tahap I

  Tahap II

  Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati

  Tahap III

  Tingkat kecemasan berat Tahap IV Pengalaman sensori - -

  Klien sudah Perilaku panik

  • dikuasai oleh mungkin menakutkan jika

  Resiko tinggi mencederai halusinasi individu tidak mengikuti Agitasi atau kataton

  • perintah halusinasi, bisa
  • berlangsung dalam terhadap lingkungan beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.

  Klien panik Tidak mampu berespon

  (Erlinafsiah, 2010).

2.3.6 Penatalaksanaan pada Pasien Halusinasi

  Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :

2.3.6.1 Penatalaksanaan Medis 1.

  Psikofarmakologis Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan

  butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer.

  Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine:

  Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut Chlorpromazine/Largactile/Promactile. biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011).

  a.

  Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT) b.

  Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) (Purba, 2012).

  

 

2.3.6.2 Asuhan Keperawatan Pasien Halusinasi

  

 

  Gangguan persepsi sensori : halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa. Bagian ini berisi pedoman agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami halusinasi.

1. Pengkajian

  Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada.

  Pada proses pengkajian, data penting yang perlu anda dapatkan adalah sebagai berikut : a.

  Jenis dan isi halusinasi Berikut ini adalah jenis halusinasi menurut data objektif dan subjektifnya.

  Data subjektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan wawancara dengan pasien. Melalui data ini, perawat dapat mengetahui isi halusinasi pasien.

  b.

  Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya apakah terus-menerus atau hanya sesekali? Situasi terjadinya, apakah jika sedang sendiri, atau setelah terjadi kejadian tertentu? Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi, tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi dapat direncanakan.

  c.

  Respons Halusinasi Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang perasaan atau tindakan pasien saat halusinasi terjadi. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien atau dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi muncul. Pendokumentasian asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap proses keperawatan. Oleh karena itu, dokumentasi asuhan keperawatan jiwa harus mencantumkan dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Deden,2013)

2. Diagnosis Keperawatan

   Dengan menggunakan istilah “Diagnosis Keperawatan” jelas bahwa

  perawat adalah penegak diagnosis. Sebelum masa ini, penilaian klinia digunakan dalam praktik klinik untuk menetapkan fokus asuhan keperawatan yang tidak jelas atau belum memiliki istilah. Akan tetapi,, dengan diawalinya klasifikasi diagnosis keperawatan yang formal ini, perawat telah menerima secara luas sebagai penegak diagnosis yang harus menggunakan proses diagnostik dan berkolaborasi dengan individu yang mereka asuh guna mengidentifikasi diagnosis yang tepat untuk mengarahkan asuhan keperawatan yang dilakukan. Hal ini karena fokus asuhan

    keperawatan adalah individu yang seutuhnya atau pencapaian kesejahteraan dan aktualisasi diri individu. Pengalaman dan respon individu terhadap masalah kesehatan dan proses kehidupan memiliki makna khusus bagi mereka, dan makna tersebut diidentifikasi dengan bantuan perawat (NANDA- I, 2012)

3. Tindakan Keperawatan

  Dalam tindakan keperawatan ada beberapa hal yang dilakukan dalam implementasi yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri dari: a.

  Do (melakukan), implementasi pelaksanaan kegiatan dibagi dalam beberapa kriteria, yaitu: 1)

  Dependent interventions : dilaksanakan dengan mengikuti order dari pemberi perawatan kesehatan lain.

  2) Collaborative (interdependent) : intervensi yang dilaksanakan dengan profesional lain.

  3) Independent (autonomus) intervention : intervensi dilakukan dengan melakukan nursing orders dan sering juga digabungkan dengan order dari medis.

  4) Delegate (mendelegasikan) : pelaksanaan order bisa didelegasikan hanya saja ada beberapa tanggung jawab yang perlu dicermati oleh pemberi delegasi yaitu apakah tugas tersebut tepat untuk didelegasikan, apakah komunikasi tepat dilakukan dan apakah ada supervisi atau pengecekan kerja.

  5) Record (mencatat), pencatatan bisa dilakukan dengan berbagai format tergantung pilihan dari setiap institusi (Wilkinson, 2007)

  

  Tindakan keperawatan pada pasien halusinasi, yaitu sebagai berikut : a. Tindakan keperawatan pada pasien

  1) Tujuan keperawatan

  a) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya.

  b) Pasien dapat mengontrol halusinasinya.

  c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal. 2)

  Tindakan Keperawatan

  a) Membantu pasien mengenali halusinasi

  Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar,dilihat,atau dirasa), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respons pasien pada saat halusnasi muncul.

  b) Melatih pasien mengontrol halusinasi

  Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Menghardik Halusinasi

  Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan

    halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini pasien, tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.

  a.

  Menjelaskan cara menghardik halusinasi b.

  Memperagakan cara menghardik c. Meminta pasien memperagakan ulang d.

  Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.

  2. Bercakap-cakap dengan orang lain Bercakap-cakap dengan orang lain dapat memebantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain (Deden, 2013).

  3. Melakukan aktivitas yang terjadwal Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur.

  Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu, halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun

  

  pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi perawat dalam memberikan aktivitas yang terjadwal, yaitu : a.

  Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi.

  b.

  Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien.

  c.

  Melatih pasien melakukan aktivitas.

  d.

  Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas mulai dari bangun pagi sampai tidur malan.

  e.

  Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan penguatan terhadap perilaku pasien yang positif (Deden,2013) 4. Minum obat secara teratur Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi.

  Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu, pasien harus dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan perawat agar pasien mau minum obat secara teratur :

  

 

  (a) Jelaskan kegunaan obat. (b) Jelaskan akibat jika putus obat. (c) Jelaskan cara mendapatkan obat/ berobat. (d)

  Jelaskan cara minum obat denga prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis)

2.4 Strategi Pertemuan pada Pasien Halusinasi

  

SP 1 (Strategi Pertemuan 1) : membantu pasien mengenal halusinasi,

  menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengar menghardik halusinasi.

  1. Mengidentifikasi jenis halusinasi.

  Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja (Keliat, 2006).

  2. Mengidentifikasi isi halusinasi Perawat dapat mengkaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu,jika halusinasi auditorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien,jika halusinasi visual. Bau apa yang tercium, jika halusinasi

  

  penghidu. Rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan. Apa yang dirasakan permukaan tubuh jika halusinasi perabaan (Keliat, 2006).

  3. Mengidentifikasi waktu dan frekuensi halusinasi.

  Perawat juga perlu mengkaji serta menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dana menentukan bilamana klien perlu perhatiaan saat mengalami halusinasi (Keliat, 2006).

  4. Mengidentifikasi situasi pencetus halusinasi.

  5. Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi penyataan klien (Keliat, 2006).

  6. Mengidentifikasi Respon Untuk menentukan sejauhmana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

  7. Mengajarkan pasien menghardik halusinasi.

  Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan

  

  diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.

  a.

  Menjelaskan cara menghardik halusinasi.

  b.

  Memperagakan cara menghardik.

  c.

  Meminta pasien memperagakan ulang.

  d.

  Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.

  (Keliat, 2006)

  

SP 2 (Strategi Pertemuan 2): melatih pasien mengontrol halusinasinya dengan

bercakap-cakap bersama orang lain.

1. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi.

  Untuk mengetahui dampak halusinasi pada pasien dan apa respons pasien ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat juga dapat menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika halusinasi muncul (Deden, 2013).

  

SP 3 (Strategi Pertemuan 3) : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan

  melaksanakan aktivitas terjadwal : 1.

  Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

  Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah dilakukan perawat.

  

 

  2. Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya.

  3. Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di rumah sakit.

  Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak luang waktu sendiri dan sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam.

  4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

  Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya.

  SP 4 (Strategi Pertemuan 4) : melatih pasien minum obat secara teratur 1.

  Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

  Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah dilakukan perawat.

  2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur.

  Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter.

  Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk

  

  mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu pasien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. (Purba, 2009).

                                           

 

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

18 171 101

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

7 92 96

Hubungan Pengetahuan Dengan Peran Perawat Dalam Penanganan Pasien Perihku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

11 145 81

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

2 36 88

Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

20 157 94

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Stambuk 2013/2014 tentang Akne Vulgaris

0 1 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan tentang Penanganan Awal Kegawatdaruratan pada Perawat dan Bidan di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 2 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Halusinasi 2.1.1 Definisi Halusinasi - Hubungan Pemakaian Narkoba dengan Timbulnya Halusinasi pada Pasien di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 21

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 0 39

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan - Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 0 16