BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan - Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan adalah hasil dari rasa ingin tahu terhadap suatu objek yang didapat karena berfungsinya penginderaan seperi mata, telinga, hidung dan sebagainya. Intensitas perhatian dan persepsi terhadap suatu objek mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan sehingga ada perbedaan tingkatan pengetahuan yaitu:

  2.1.Tahu (know) Tahu diartikan sebagai suatu proses mengulang kembali hal yang sudah diketahui atau sudah diamati sebelumnya. Tahu disebut juga sebagai recall

  (memanggil) memori atau ingatan yang sudah tersimpan sebelumnya setelah memperhatikan dan mempersepsikan sesuatu.

  2.2 Memahami (comprehension) Memahami adalah proses menginterpreasikan dengan benar tentang suatu objek yang sudah diketahui. Sehingga memahami bukan hanya tahu menyebutkan suatu objek tertentu tetapi mampu menjelaskan dengan benar apa objek yang diketahui.

  2.3 Aplikasi

  (application)

  Aplikasi diartikan bukan hanya tahu dan memahami tetapi pada proses aplikasi seseorang dituntut untuk mampu mengaplikasikan atau menerapkan apa sudah yang diketahui dan dipahami ke dalam bentuk situasi yang lain.

  2.4 Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk memisahkan komponen yang terdapat di dalam suatu masalah dan mencari hubungan antara komponen tersebut sehingga seseorang mampu membedakan, memisahkan atau mengelompokkan objek tertentu bedasarkan pengetahuan atas objek tersebut.

  2.5 Sintesis (synthesis) Sintesis adalah suatu tahap dimana seseorang mampu merangkum hal yang diketahui dan membuat hal tersebut menjadi suatu kesatuan dalam suatu hubungan yang logis sehingga muncul suatu bentuk yang baru dari bentuk yang sudah ada sebelumnya.

  2.6 Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah kemampuan untuk membandingkan suatu objek sebelum diketahui dan setelah diketahui berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan oleh diri sendiri ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat sehingga lahir sebuah penilaian terhadap suatu objek.

2. Discharge planning

  2.1 Defenisi

  Discharge planning adalah suatu perencanaan yang sistematis untuk

  mengatur kontinuitas perawatan pasien agar pasien menerima perawatan yang tepat sehingga dapat pulang dengan tepat waktu dan kembali mandiri dalam menjalani situasi kehidupan seperti semula. Discharge planning adalah suatu program yang terkoordinasi yang dirancang untuk memberikan perawatan yang berkelanjutan, informasi kebutuhan yang harus dipenuhi pasien setelah pulang, evaluasi dan instruksi perawatan diri (Swanburg, 2000). Discharge planning membantu mengembalikan peran pasien ke lingkungan yang memungkinkan pasien diterima sebagai individu yang produktif atau normal. Discharge planning yang dikerjakan dengan baik akan mengantisipasi terjadinya komplikasi (Hayne & Young, 1988).

  Menurut Potter & Perry (2005), discharge planning adalah suatu proses yang terpusat, terkoordinasi dan terdiri dari disiplin ilmu yang memberikan kepastian bahwa klien mempunyai suatu rencana untuk perawatan berkelanjutan. Perencanaan pemulangan pasien membantu proses pemindahan pasien dari suatu lingkungan ke lingkungan lain.

  2.2 Manfaat discharge planning Beberapa manfaat discharge planning yang dikemukakan oleh Swanburg (2000) yaitu:

  2.2.1 Discharge planning diperlukan oleh badan atau lembaga akreditasi tertentu dalam membuat suatu desain discharge planning sehingga mempermudah dalam pengaturan atau manajemen discharge planning bagi pasien.

  2.2.2 Discharge planning diperlukan oleh kerja praktik perawat negara bagian seperti ANA (American Nurse Association Standards for Nursing Practice) untuk membuat suatu cara atau standar pelayanan keperawatan untuk menilai apakah perawat memberikan pelayanan yang berkualitas atau tidak sehingga dapat dibedakan perawat yang bekerja secara profesional maupun non-profesional.

  2.2.3 Discharge planning sebagai rencana terdokumentasi untuk evaluasi terhadap perawatan dan rencana pulang dengan memperhatikan kebutuhan fisik, emosi dan mental pada saat pasien pulang.

  2.2.4 Menurunkan jumlah kekambuhan, penerimaan kembali pasien dan kunjungan ke ruangan kedaruratan.

  2.2.5 Menjamin penggunaan tenaga perawat dan sumber-sumber pelayanan secara tepat.

  2.2.6 Menolong pasien dalam memahami kebutuhan setelah perawatan.

  2.2.7 Menjamin penggunaan sumber-sumber dukungan dalam komunitas.

  2.3 Keuntungan Discharge Planning Menurut Pemila (2009), pelaksanaan discharge planning memberikan keuntungan yaitu:

  2.3.1 Bagi Perawat 1.

  Dapat merasakan bahwa keahliaannya dapat diterima dan dapat digunakan.

  2. Menerima informasi kunci setiap waktu.

  3. Memahami perannya dalam suatu sistem.

  4. Dapat mengembangkan keterampilan dalam prosedur baru.

  5. Memiliki kesempatan untuk bekerja dalam setting yang berbeda dan cara yang berbeda.

  6. Bekerja dengan efektif dalam suatu sistem.

  2.3.2 Bagi Pasien 1.

  Dapat memenuhi kebutuhan pasien.

  2. Merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari proses perawatan sebagai bagian yang aktif dan bukan objek yang tidak berdaya.

  3. Menyadari haknya untuk dipenuhi segala kebutuhannya.

  4. Merasa nyaman untuk kelanjutan perawatannya dan memperoleh support sebelum timbulnya masalah.

  5. Dapat memilih prosedur perawatannya.

  6. Mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan mengetahui siapa yang dapat dihubunginya.

  2.4 Prinsip Umum Dalam Penerapan Discharge Planning Menurut Alghzawi (2012), adapun prinsip yang harus diketahui ketika mengerjakan discharge planning adalah:

  2.4.1 Perencanaan yang teliti menjadi inti dari keberhasilan suatu perawatan dalam suatu kelompok. Perencanaan proses keperawatan dari pasien masuk sampai dirawat dibuat dalam suatu discharge planning.

  2.4.2 Tim yang memberi perawatan harus berkolaborasi dengan pasien dan keluarga dalam membuat suatu keputusan untuk perencanaan pulang dan resiko yang mungkin terjadi terkait dengan kebutuhan pasien secara spesifik.

  2.4.3 Discharge planning dirumuskan dengan memperhatikan perawatan secara komprehensif yaitu sejak pasien masuk.

  2.4.4 Dalam membuat discharge planning, pasien dan pemberi asuhan harus sama-sama terlibat dalam membuat discharge planning sehingga ada kesepakatan bersama dalam mengerjakan praktik perencanaan.

  2.4.5 Setiap pasien harus memperhatikan perencanaan prioritas yang memungkinkan untuk dilakukan terlebih dahulu.

  2.4.6 Discharge planning yang sudah disepakati oleh pasien, perawat dan tim kesehatan lain dibuat dalam suatu dokumentasi.

  2.4.7 Dokumentasikan discharge planning dengan lengkap mulai dari nama pasien, tanda tangan, pengetahuan dan persetujuan pasien terkait dengan

  discharge planning, pengobatan dan tindak lanjut perawatan.

  2.5 Komponen perawatan dan discharge planning Menurut National Council of Social Service (2006), komponen perencanaan perawatan dan discharge planning terdiri dari:

  2.5.1 Komponen Perawatan Hal yang yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan perawatan yaitu: 1.

  Kekuatan, kebutuhan, kemampuan dan kesiapan pasien.

  2. Merupakan bentuk ringkasan (summary).

  3. SMART yaitu Spesific (spesifik), Measurable (Dapat diukur), Achievable (Terjangkau), Realistic and Time-bound (Realistis dan dalam batas waktu tertentu).

  4. Perencanaan dan komunitas berperan dalam rangka mencapai tujuan akhir.

  5. Pemindahan pasien dan rencana pemulangan meliputi kriteria pemulangan dan pemindahan pasien.

  6. Melibatkan peran dari pasien, keluarga atau perawat staff, sukarelawan dan sumber pendukung lain seperti tetangga.

  2.5.2 Komponen discharge planning Hal yang yang harus dipertimbangkan dalam discharge planning yaitu: 1.

  Kondisi pasien terkini (fisik, mental dan sosial) dan perubahan yang terjadi pada pasien setelah diintervensi.

  2. Antisipasi gejala, masalah atau perubahan yang terjadi setelah pasien pulang meliputi faktor pendukung yang tersedia untuk mempertahankan kondisi pasien atau faktor lain yang mempengaruhi kondisi pasien.

  3. Anjurkan untuk melakukan perawatan berkelanjutan atau pemeriksaan ke pelayanan kesehatan.

  4. Kebutuhan perawat akan pelatihan dan penelitian untuk memberikan pelayanan yang berdampak dalam memberikan pelayanan.

  5. Komunitas dan sumber dukungan sosial bagi pasien dan perawat meliputi transportasi, pemeliharaan peralatan, perawatan yang cukup, perawatan di rumah, rujukan dan pelayanan yang tersedia.

  6. Sumber-sumber informasi seperti pamphlet, video, buku dan situs tertentu.

  7. Informasi tentang pemberi pelayanan discharge planning meliputi nama, nomor telepon dan email yang dapat dihubungi.

  2.6 Proses Discharge Planning Pengkajian pada saat pasien masuk

  Penerimaan Pengkajian kebutuhan pasien, jika perlu berkolaborasi dengan tim yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda

  Diinterpretasikan dalam bentuk ringkasan (summary) Menetapkan rencana perawatan dan discharge planning dalam suatu diskusi yang melibatkan pasien

  Melaksanakan perawatan Memantau hasil, meninjau ulang rencana perawatan berdasarkan perubahan kebutuhan dan perkembangan pasien

  Mempersiapkan perencanaan pemulangan sesuai dengan tindak lanjut perencanaan.

  Pemulangan Pasien Tindak lanjut

  

Skema 2.1. Proses discharge planning (National Council of Social Service,

2006)

  2.6.1 Pengkajian pada saat pasien masuk Pengkajian adalah hal yang penting untuk dilakukan karena bertujuan untuk mendapatkan informasi penting tentang kondisi pasien. Pengkajian yang dilakukan meliputi pengkajian fisik, mental, riwayat sosial dan keluarga, sumber- sistem pendukung baik formal maupun informal, aktifitas sehari-hari, status mentas dan emosi, komunitas dan status ekonomi, minta, hobi, riwayat pekerjaan sebelumnya. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pengkajian adalah mengkaji kondisi pasien secara holistik sehingga didapatkan kebutuhan yang harus dipenuhi pada pasien.

  2.6.2 Penerimaan Penerimaan pasien dilakukan setelah pasien mendaftar dan informasi mengenai pasien dicatat didalam dukumentasi.

  2.6.3 Pengkajian kebutuhan pasien, jika perlu berkolaborasi dengan tim multidsiplin Rencana perawatan dan perencanaan pemulangan akan lebih efektif dikerjakan jika melibatkan tim yang berdiskusi untuk membuat perencanaan bagi pasien. Tindakan yang diambil juga harus melibatkan pasien dalam memenuhi kebutuhan pasien.

  2.6.4 Diinterpretasikan dalam bentuk ringkasan (summary) Setelah kekuatan, kebutuhan, kemampuan dan kesiapan pasien diidentifikasi pada saat pengajian kebutuhan, data pasien kemudian dikembangkan kedalam bentuk ringkasan. Ringkasan ini berisi diagnosa dan kebutuhan yang akan dipenuhi pada pasien sesuai dengan prioritas masalah.

  2.6.5 Menetapkan rencana perawatan dan discharge planning dalam suatu diskusi bersama pasien dan pemberi perawatan Rencana perawatan yang dibuat harus berdasarkan prioritas masalah. Perencanaan harus spesifik, dapat diukur, terjangkau, tujuan harus realistis dan dikerjakan dalam batas waktu tertentu. Hasil yang diharapkan dapat dilihat dari respon klien. Hal ini dapat menilai perubahan yang terjadi pada pasien sehingga pasien dan pemberi pelayanan dapat melihat pencapain dari perencanaan.

  2.6.6 Melaksanakan perawatan Melaksanakan perawatan merupakan suatu strategi untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi perkembangan pasien harus terus menerus dipantau secara sistemstis sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.

  2.6.7 Pemulangan pasien Pemulangan pasien dimulai sejak pasien masuk. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi rencana perawatan yang akan dilakukan setelah pasien keluar dari rumah sakit.

  2.6.8 Tindak lanjut Ada beberapa pertanyaan yang diajukan untuk menilai kesiapan pasien untuk pulang yaitu:

1. Apa yang anda lakukan untuk mengatasi suatu masalah (koping)? 2.

  Apakah ada hal yang ingin anda tanyakan? 3. Apakah di lingkungan tempat tinggal anda ada fasilitas pelayanan kesehatan yang mendukung?

  4. Apakah pemberi pelayanan mampu memberikan dukungan yang adekuat bagi anda?

  5. Perubahan apa yang anda rasakan?

  3. Halusinasi

  3.1 Defenisi Halusinasi adalah suatu gejala psikotik dari gangguan persepsi dimana individu memiliki pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkungan.

  Pasien menyebutkan bahwa mereka merasa kesulitan dalam memahami kondisi yang terjadi disekitar mereka sehingga hal ini menjadi masalah yang menakutkan bagi pasien (Davison, Kring dan Neale, 2006). Halusinasi dapat melibatkan semua indra meskipun pengalaman yang dirasakan individu tidak nyata (Barlow & Durand, 2007).

  Halusinasi adalah kesalahan persepsi sensori yang melibatkan salah satu dari kelima panca indera sehingga halusinasi dapat bermacam-macam yang meliputi halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan (Towsend dalam Wahyuni, 2010). Menurut Akemat & Keliat (2009), halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi dimana pasien akan merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan ataupun penghiduan yang sebenarnya tidak ada.

  3.2 Jenis-jenis halusinasi

  3.2.1 Halusinasi Pendengaran Halusinasi pendengaran adalah suatu persepsi bunyi yang palsu dalam bentuk suara atau dapat juga dalam bentuk bunyi seperti musik (David, Jogn et.al,

  Dharmady dalam Aini, 2010). Halusinasi pendengaran ditandai dengan bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, Mencondongkan telinga kearah tertentu, menutup telinga, mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak untuk bercakap-cakap, Mendengar suara yang memerintah dan pasien akan melakukan sesuatu yang berbahaya karena mengikuti suara yang didengar (Akemat & Keliat, 2009). Halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling sering terjadi dimana 74% pasien mengalaminya (Sartorius dkk dalam Davidson, Neale & Kring, 2006).

  3.2.2 Halusinasi Penglihatan Halusinasi penglihatan adalah halusinasi yang berisi bayangan cahaya atau sesuatu yang menakutkan bagi pasien yang sebenarnya tidak ada sama sekali

  (Cancro & Lehman dalam Wahyuni, 2010). Halusinasi penglihatan ditandai dengan menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas, melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun dan melihat hantu atau monster (Akemat & Keliat, 2009).

  3.2.3 Halusinasi Penciuman Halusinasi penciuman ditandai dengan pasien tampak seperti mencium bau- bauan tertentu seperti darah, urine, feses, terkadang bau yang menyenangkan dan biasanya pasien akan menutup hidung (Akemat & Keliat, 2009).

  3.2.4 Halusinasi Pengecapan Pada halusinasi pengecapan, isi halusinasi berupa pasien sering meludah, muntah, merasakan sesuatu seperti darah, urine atau feses (Akemat & Keliat,

  2009). Apa yang dirasakan oleh pasien merupakan rasa kecap yang palsu dan menjadi pengalam yang tidak menyenangkan bagi pasien (David, Jogn et.al, Dharmady dalam Aini, 2010).

  3.2.5 Halusinasi Perabaan Pasien yang mengalami halusinasi perabaan akan merasakan sensasi seperti tersengat listrik, mengatakan ada serangga di permukaan kulit dan menggaruk-garuk permukaan kulit (Akemat & Keliat, 2009).

4. Discharge planning pada pasien halusinasi di rumah sakit jiwa

  Menurut British Columbia Schizophrenia Society (1995), discharge

  

planning adalah rencana yang melibatkan koordinasi antara perawat dengan

  keluarga. Oleh karena itu keluarga harus menyadari bahwa discharge planning adalah bagian integral dari asuhan keperawatan jiwa. Hal penting yang harus ada di dalam sebuah discharge planning yang baik meliputi:

  4.1 Obat Tindakan pengobatan yang dilakukan pada pasien halusinasi adalah pemberian obat golongan antipsikotik. Adapun jenis obat yang sering digunakan untuk mengurangi gejala positif skizofrenia adalah butirofenon (a.l., haloperidol, Haldol) dan thioksantin (a.l., thiothiksin, Navane). Pemberian obat bertujuan bermanfat untuk mengurangi gejala bukan untuk menyembuhkan (Davison, Neale & Kring, 2006).

  Terapi medis yang dikenal saat ini adalah pemberian obat antipsikotik tipikal dan atipikal. Kerja utama obat antipsikotik pada sistem syaraf adalah menyekat reseptor neurotransmitter dopamine. Antipsikotik tipikal berfungsi untuk menangani gejala target seperti halusinasi tetapi menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Sedangkan jenis antipsikotik atipikal, selain dapat mengatasi gejala target juga dapat mengatasi gejala-gejala negatif skizofrenia (Videbeck dalam Wahyuni, 2010).

  Informasi mengenai obat menjadi hal penting yang harus diketahui oleh keluarga. Hal penting yang harus ditekankan kepada keluarga adalah perlunya menjaga kepatuhan pasien dalam minum obat karena ketidakpatuhan minum obat menjadi penyebab terjadinya kekambuhan sehingga pasien akan kembali ke rumah sakit jiwa (British Columbia Schizophrenia Society, 1995). Agar pasien patuh minum obat maka perawat harus menjelaskan tentang kegunaan obat, akibat yang terjadi jika putus obat, cara mendapatkan obat dan cara minum obat yang benar sesuai dengan prinsip lima benar yaitu benar pasien, benar obat, benar cara, benar waktu dan benar dosis (Akemat & Keliat, 2009).

  4.2 Tempat Tinggal Perencanaan untuk tempat tinggal pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa juga perlu diperhatikan. Tempat tinggal yang baik harus dapat menjadi sumber pendukung bagi pemulihan pasien agar pasien merasa diterima ditengah komunitas dimana pasien tinggal. Aktivitas dalam suatu kelompok dapat menolong pasien dalam proses penyembuhan pasien (British Columbia

  Schizophrenia Society , 1995)

  4.3 Komunitas Perawatan dan pengobatan harus tetap dipantau secara berkesinambungan.

  Pasien membutuhkan suatu program rehabilitasi, dukungan dalam kelompok ataupun program untuk penyembuhan dari ketergantungan alkohol maupun narkoba jika pasien memiliki diagnosa lebih dari satu (British Columbia

  Schizophrenia Society , 1995)

  4.4 Aktivitas Sehari-hari Gangguan kognitif pada pasien akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menjalankan fungsi dirinya sehari-hari. Masalah yang muncul adalah pasien akan mengalami gangguan dalam mengingat, gangguan dalam merencanakan sesuatu, gangguan dalam mengorganisasikan suatu hal dan kondisi pasien juga akan mempengaruhinya dalam mengambil keputusan. Aktivitas sehari-hari dan terapi untuk memperbaiki kognitif sangat mendukung penyembuhan pasien (British Columbia Schizophrenia Society, 1995).

  4.5 Perawatan Kesehatan Fisik Secara umum, penyakit fisik lebih banyak terjadi pada pasien yang mengalami masalah jiwa. Karena gangguan jiwa menyebabkan pasien cenderung mengabaikan kondisi fisik sehingga sangat penting untuk mempertahankan kesehatan fisik dan mencegah terjadinya masalah yang baru ketika pasien kembali ke lingkungan tempat pasien berada (British Columbia Schizophrenia Society, 1995).

  4.6 Pendidikan Kesehatan Sebelum pasien meninggalkan rumah sakit jiwa, pasien harus dalam kondisi yang baik, memiliki pengetahuan tentang gejala penyakit yang dialaminya, pencegahan dan penularan AIDS dan penyakit menular seksual (British Columbia Schizophrenia Society, 1995).

  Menurut Isaacs (2004), pendidikan kesehatan yang diberikan kepada keluarga meliputi:

  4.6.1 Informasi Tentang Penyakit Pendidikan yang diberikan terdiri dari pengertian halusinasi, penyebab, gejala serta resiko mengalami kekambuhan.

  4.6.2 Memberikan informasi tentang cara mengatasi gejala klien Berikan informasi kepada keluarga tentang pentingnya mengidentifikasi gejala-gejala yang ditunjukkan pasien ketika mengalami kekambuhan dan menghubungi pelayanan kesehatan yang tersedia serta beritahukan kepada keluarga untuk tidak menyetujui pernyataan halusinasi dari pasien tetapi ajarkan kepada keluarga untuk melihat kepada realitas.

  4.6.3 Informasi tambahan Meliputi informasi tentang perawatan diri, berikan informasi kepada keluarga untuk membicarakan tentang perasaan dan kekhawatiran mereka dengan penyedia layanan kesehatan serta memberikan perimbangan bagi keluarga untuk bergabung ke komunitas pendukung di dalam masyarakat seperti National

  Alliance for Mentally III (NAMI).

   

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

18 171 101

Pengetahuan Keluarga tentang Perawatan Klien Halusinasi di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 35 105

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

7 92 96

Hubungan Pengetahuan Dengan Peran Perawat Dalam Penanganan Pasien Perihku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

11 145 81

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

2 36 88

Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Strategi Pelaksaan Komunikasi pada Pasien Perilaku Kekerasan di Rumah sakit Jiwa daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

6 69 66

Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa (Studi Deskriptif Tentang Teknik Komunikasi Terapeutik Oleh Perawat Kepada Pasien Halusinasi Dalam Proses Penyembuhan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat)

0 5 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Halusinasi 2.1.1 Definisi Halusinasi - Hubungan Pemakaian Narkoba dengan Timbulnya Halusinasi pada Pasien di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Budaya Organisasi 1.1. Pengertian Budaya Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 1 19

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 0 39