Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

(1)

SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Magdayofa Simanjuntak NIM : 121121010

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

“Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan ”.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedy Ardinata, M.Kes selaku Dekan fakultas Keperawatan Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Sumatera Utara.

3. Ibu Wardiyah Daulay,S.Kep,Ns,M.Kep selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan, motivasi maupun saran dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Ibu Sri Eka Wahyuni,S.Kep,Ns,M.Kep selaku dosen penguji I dan Ibu Roxana Devi Tumanggor selaku dosen penguji II yang telah banyak memberikan kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bekal ilmu dan bimbingan selama penulis dalam pendidikan.


(5)

kepada penulis.

7. Buat seseorang yang spesial dalam hidupku Hotmen Butar-Butar,S.Th yang sudah mensupport dan mendoakan penulis hingga saat ini dalam penyelesaian skripsi.

8. Terimakasih buat Sahabat-sahabat saya (Kak Cut Mey Ribka Sirait, Desy Kurnia Lestari, Pak Syaiful, Bg Nasir,) yang selalu menyemangati saya, dan mendukung saya.

9. Terimakasih buat teman – teman satu bimbingan Agus Surya Bakti, Ahmad Syahiddin, dan Rusmini buat dukungan,kerjasama kepada penulis.yang telah memberikan semangat dan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan profesi keperawatan.

Medan, Januari 2014 Penulis


(6)

Prakata……… Daftar Isi... Daftar Skema... Daftar Tabel... Abstrak... iv vi viii ix x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Pertanyaan Penelitian ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus... 8

1.4Manfaat Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

1.1 Pengetahuan ... 10

1.1.1 Defenisi Pengetahuan... 10

1.1.2 Tingkat Pengetahuan..………... 10

1.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan... 11

1.1.4 Kategori Pengetahuan …...……… 13

1.1.5 Pengukuran Pengetahuan ………...……… 13

1.2 Perawat...………...……. 14

1.2.1 Defenisi Perawat... 14

1.2.2 Fungsi Perawat... 14

1.3 Halusinasi ... 15

1.3.1 Defenisi Halusinasi... 15

1.3.2 Klasifikasi Halusinasi... 16

1.3.3 Proses Terjadinya Halusinasi... 18

1.3.4 Faktor Penyebab Halusinasi... 19

1.3.5 Tahapan Halusinasi... 23

1.3.6 Penatalaksanaan pada Pasien Halusinasi... 24

2.3.6.1 Penataaksanaan Medis... 24

2.3.6.2 Asuhan Keperawtan Pasien Halusinasi 25 2.4 Strategi Pertemuan... 30  

     


(7)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 38

4.1. Disain Penelitian... 38

4.2. Populasi dan Sampel... 38

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian... 39

4.4. Pertimbangan Etik Keperawatan... 39

4.5. Instrumen Penelitian... 40

4.6. Validitas Instrumen Penelitian... 41 4.7. Uji Reliabilitas Instrumen... 42 4.8. Analisa Data... 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 44

5.1. Hasil Penelitian... 44

5.2. Pembahasan... 47

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 55

6.1. Kesimpulan... 55

6.2. Rekomendasi ... 56 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent) Lampiran 2 Jadwal Perencanaan Penelitian

Lampiran 3 Master Tabel

Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Lampiran 5 Hasil Analisa SPSS

Lampiran 6 Surat Permohonan Survei Awal dari Rumah Sakit Jiwa Lampiran 7 Surat Pengambilan Data dari Kampus

Lampiran 7 Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit Jiwa Lampiran 8 Surat Selesai Penelitian dari Rumah Sakit Jiwa Lampiran 9 Surat Selesai Uji Validitas


(8)

(9)

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan... 47 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien

Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan ...……….. 47 Tabel 5.4 Tabel Hasil Analisa Korelasi Hubungan Tingkat Pengetahuan

Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan ...……….. 48


(10)

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2014

Abstrak

Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan yang tersedia. Sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan memerlukan metode ilmiah dalam memberikan proses keperawatan yang teraupetik berbentuk bio-psiko-sosial-spiritual dengan tujuan membantu menyelesaikan masalah dan kebutuhan klien melalui perawatan dan meningkatkan pengetahuan kesehatan. Penelitian ini menggunakan desain deskritif korelasi bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Sampel adalah perawat rawat inap sebanyak 30 responden dengan menggunakan tehnik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan panduan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukan mayoritas mempunyai pengetahuan baik sebanyak 21 responden (70%) dan mayoritas yang tidak melaksanakan strategi pelaksanaan 23 responden (76,7%), ada hubungan yang signifikan, p=0,000 (p<0,005) antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi dengan nilai p-value adalah 0,000, nilai ini lebih kecil dari Level of Significance (α) (p<0,05) sehingga hipotesa Ha diterima. Diharapkan bagi perawat agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dan dapat menerapkan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi untuk mengurangi angka kejadian pasien gangguan jiwa.

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan, Strategi Pelaksanaan, Halusinasi  

             


(11)

Year : 2014

Abstract

Nurses must have enough knowledge about the available implementation strategies. As nurses who provide nursing care requires the scientific method in providing teraupetik nursing process shaped bio-psycho-social-spiritual with the aim to help solving the problems and needs of clients through care and improving health knowledge. This study used a descriptive correlation design aims to determine the relationship of the nurses knowledge level with the application of implementation strategy on patients with hallucinations in Mental Hospital of North Sumatra Medan. The sample were 30 respondents of inpatient nurses using purposive sampling technique. Data collection using questionnaires and observation sheets guide.The results showed the majority had a good knowledge of as many as 21 respondents (70%) and the majority do not implement strategies 23 respondents (76.7%),there is a significant relationship, p = 0.000 (p <0.005) between the nurses knowledge level with the implementation strategy on patients with hallucinations with p-value is 0.000, this value is smaller than the Level of Significance (α) (p <0.05) so that the hypothesis Ha accepted. It is expected for nurses to provide health services and to apply the implementation strategies on patients with hallucinations to reduce the incidence of mental patients.

Keywords: Level of Knowledge, Implementation Strategy, Hallucinations  

               


(12)

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2014

Abstrak

Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan yang tersedia. Sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan memerlukan metode ilmiah dalam memberikan proses keperawatan yang teraupetik berbentuk bio-psiko-sosial-spiritual dengan tujuan membantu menyelesaikan masalah dan kebutuhan klien melalui perawatan dan meningkatkan pengetahuan kesehatan. Penelitian ini menggunakan desain deskritif korelasi bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Sampel adalah perawat rawat inap sebanyak 30 responden dengan menggunakan tehnik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan panduan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukan mayoritas mempunyai pengetahuan baik sebanyak 21 responden (70%) dan mayoritas yang tidak melaksanakan strategi pelaksanaan 23 responden (76,7%), ada hubungan yang signifikan, p=0,000 (p<0,005) antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi dengan nilai p-value adalah 0,000, nilai ini lebih kecil dari Level of Significance (α) (p<0,05) sehingga hipotesa Ha diterima. Diharapkan bagi perawat agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dan dapat menerapkan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi untuk mengurangi angka kejadian pasien gangguan jiwa.

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan, Strategi Pelaksanaan, Halusinasi  

             


(13)

Year : 2014

Abstract

Nurses must have enough knowledge about the available implementation strategies. As nurses who provide nursing care requires the scientific method in providing teraupetik nursing process shaped bio-psycho-social-spiritual with the aim to help solving the problems and needs of clients through care and improving health knowledge. This study used a descriptive correlation design aims to determine the relationship of the nurses knowledge level with the application of implementation strategy on patients with hallucinations in Mental Hospital of North Sumatra Medan. The sample were 30 respondents of inpatient nurses using purposive sampling technique. Data collection using questionnaires and observation sheets guide.The results showed the majority had a good knowledge of as many as 21 respondents (70%) and the majority do not implement strategies 23 respondents (76.7%),there is a significant relationship, p = 0.000 (p <0.005) between the nurses knowledge level with the implementation strategy on patients with hallucinations with p-value is 0.000, this value is smaller than the Level of Significance (α) (p <0.05) so that the hypothesis Ha accepted. It is expected for nurses to provide health services and to apply the implementation strategies on patients with hallucinations to reduce the incidence of mental patients.

Keywords: Level of Knowledge, Implementation Strategy, Hallucinations  

               


(14)

Di Indonesia saat ini, banyak mengalami keprihatinan dengan kesehatan, salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari perhatian. Orang sengaja menghindar dan tidak mencari bantuan bagi keluarganya yang mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa (Rudyanto, 2007).

Gangguan jiwa memang tidak dianggap sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dapat menyebabkan ketidakmampuan secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2007).

Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress (misalnya, gejala nyeri), disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, dan sangat kehilangan kebebasan (American Psychiatric Association, 1994).

Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri (Baihaqi, dkk, 2005). Gangguan jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan jasmaniah lainnya. Hanya saja gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas,


(15)

takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau kita kenal sebagai gangguan jiwa (Hardianto, 2009).

Kecenderungan gangguan jiwa akan semakin meningkat seiring dengan terus berubahnya situasi ekonomi dan politik kearah tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi, tetapi juga kalangan menengah keatas sebagai dampak langsung atau tidak langsung ketidakmampuan individu dalam penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah (Rasmun, 2001).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan jiwa di dunia adalah 450 juta jiwa. Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu diperkirakan sudah meningkat. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan.

Data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sebaliknya, Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,5 juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia. Pada studi terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa parah tidak dapat pengobatan apapun pada tahun utama (Hardian, 2008). Berdasarkan data dari medical record BPRS dari Makasar Provinsi Sulawesi Selatan menunjukan pasien halusinasi yang dirawat pada tahun 2008 (Januari-Maret) jumlah pasien 2294 dengan halusinasi sebanyak 1162 orang.


(16)

Hasil survei awal yang diperoleh dari sumber Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2012, pasien halusinasi mengalami peningkatan sebanyak 1398 orang dengan rata-rata ± 280 penderita per bulannya dengan jumlah ruangan rawat inap 14 ruangan dan jumlah perawat keseluruhan rawat inap adalah 122 orang (Data Medikal Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara).

Berbagai manifestasi klinis gangguan jiwa mendapat perhatian serius dalam perawatan klien gangguan jiwa, diantaranya halusinasi. Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya atau tidak ada objek (Sunardi, 2005). Menurut Yosep (2010), bahwa halusinasi didefenisikan sebagai terganggunya persepsi seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jenis halusinasi yang paling banyak diderita oleh pasien dengan skizofrenia adalah pendengaran. Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan sensori persepsi. Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu (Direja, 2011).

Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran yaitu pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, sedangkan halusinasi penglihatan dalam hal ini pasien melihat bayangan orang atau sesuatu yang menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Halusinasi penciuman yaitu pasien mengalami hal-hal sebagai berikut membaui bau-bauan tertentu padahal orang lain tidak merasakan sensasi serupa, selanjutnya adalah halusinasi pengecapan, dimana pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada, merasakan mengecap sesuatu padahal tidak sedang makan apapun serta


(17)

merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada apapun dalam permukaan kulit (Yosep, 2010).

Sensori dan persepsi yang dialami pasien tidak bersumber dari kehidupan nyata, tetapi dari diri pasien itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman sensori tersebut merupakan sensori palsu. Menurut Chaery (2009), menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat. Dengan banyaknya angka kejadian halusinasi, semakin jelas bahwa dibutuhkan perawat untuk membantu pasien agar dapat mengontrol halusinasinya.

Keperawatan jiwa adalah proses perawat membantu individu atau kelompok dalam mengembangkan konsep diri yang positif, meningkatkan pola hubungan antar pribadi yang lebih harmonis agar dapat berperan lebih produktif di masyarakat (Yosep, 2007).

Menurut Yosep (2007), dalam hal ini keperawatan jiwa menghadapi dua tantangan dalam upaya memberikan perawatan yang berkualitas dalam sistem pelayanan kesehatan. Pertama, para pelaksana perawatan saat ini merawat pasien dengan masalah yang majemuk dari pada sebelumnya. Kedua, para pelaksana keperawatan mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda dan juga kesempurnaan dan kemampuan pengetahuan yang berbeda.


(18)

Perawat adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan professional yang merupakan bagian integral pelayanan kesehatan berdasar ilmu dan kiat keperawatan meliputi aspek biologi, pisikologis, sosial dan spritual yang bersifat komprehensif, ditunjukkan kepada individu dan masyrakat yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Gaffar, 1999).

Peran perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien (Stuart, 2007). Menurut Dalami (2010), pengetahuan perawat adalah setiap individu mempunyai tingkat pengetahuan yang berbeda. Perawat perlu mengkaji tingkat pengetahuan lawan bicara pasien, sehingga dalam menyampaikan pesan atau membicarakan topik, perawat dapat menyesuaikan dengan tingkat pengetahuan lawan bicara.

Sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan memerlukan metode ilmiah dalam memberikan proses keperawatan yang therapeutik berbentuk bio-psiko-sosial-spiritual dengan tujuan membantu menyelesaikan masalah dan kebutuhan klien melalui perawatan dan meningkatkan pengetahuan kesehatan. Dengan melibatkan kerjasama antara klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal, khususnya pada klien yang mengalami gangguan persepsi sensorik yaitu halusinasi (Darsananur, 2009).

Untuk itulah peran dari perawat pelaksana keperawatan jiwa haruslah didesain untuk memenuhi tantangan ini dengan menyediakan pendekatan yang sistematik dalam melakukan strategi pelaksanaan terhadap pasien halusinasi setiap


(19)

hari ada 4 cara, yaitu menghardik halusinasi, mengontrol halusinasi, melaksanakan aktifitas yang terjadwal kepada pasien dan melatih pasien menggunakan obat secara teratur. Namun pada kenyataan tingkat keberhasilan intervensi yang dilakukan belum tercapai dengan baik. Pemberian strategi pelaksanaan yang tepat pada klien dengan masalah gangguan jiwa halusinasi sangatlah diperlukan untuk menghindari dampak yang muncul yang dapat membahayakan kondisi klien, seperti perubahan persepsi sensori : halusinasi, resiko tinggi menciderai diri sendiri,orang lain serta lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998, dalam Fitria, 2009).

Dari hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit, bahwa seluruh perawat ruangan memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sehingga masih banyak yang belum menerapkan strategi pelaksanaan khususnya pada pasien halusinasi yang dibuktikan dengan tidak adanya pendokumentasian perawat dalam melakukan penerapan strategi pelaksanaan. Dalam hal ini, ditandai dengan meningkatnya jumlah pasien halusinasi tiap tahun bahkan tiap bulannya. Sehingga kenyataannya tingkat keberhasilan intervensi dan asuhan keperawatan yang dilakukan belum tercapai dengan baik.

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Carolina (2008), menunjukkan bahwa dengan penerapan asuhan keperawatan yang sesuai standar dapat membantu menurunkan tanda dan gejala halusinasi sebesar 14%, kemampuan kognitif pasien meningkat 47% serta kemampuan psikomotor sebanyak 48%.

Sulastri (2010), dalam penelitiannya terhadap 30 responden didapatkan bahwa penerapan asuhan keperawatan dapat mengontrol halusinasi pasien.


(20)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi peningkatan nilai kemampuan mengontrol halusinasi, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan. Hasil dari kedua penelitian tersebut sama-sama menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan pasien mengontrol halusinasi sebelum dan setelah diterapkan halusinasi.

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan merupakan alat yang dijadikan sebagai panduan oleh seorang perawat jiwa ketika berinteraksi dengan klien dengan gangguan halusinasi. Standar asuhan keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan halusinasi. Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan keperawatan yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Fitria, 2009). Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan pasien bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, serta melakukan aktifitas terjadwal untuk mencegah halusinasi (Keliat dkk, 2010).

Kesembuhan pasien akan menjadi sia-sia jika tidak mendapat dukungan keluarga dan masyarakat, karena dukungan keluarga dan masyarakat sangat berarti bagi kesembuhan pasien. Keperawatan jiwa akan maksimal apabila perawat dapat melaksanakan perannya dengan menggunakan metode strategi pelaksanaan dalam setiap asuhan keperawatan yang diberikan. Khususnya pada gangguan halusinasi, guna kesembuhan namun hal ini juga harus mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi


(21)

pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan”.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

b. Mengidentifikasi penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. c. Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan

penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi perawat tentang strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa. 1.4.2 Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi keperawatan sehingga dapat mengetahui tentang strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa.

1.4.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa.


(23)

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawabpertanyaan ”what” misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan sebagainya (Notoatmadjo, 2005).

Pengetahuan adalah pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercangkup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mempresentasikan materi tersebut secara benar.


(24)

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisa (Analysis)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justipikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek(Notoatmodjo, 2007).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Lukman, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu :

1. Umur

Semakin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. 2. Intelegensi

Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berpikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru dengan


(25)

demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan.

3. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang.

4. Sosial Budaya

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain karena hubungan ini seseorang mengalami sesuatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

5. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.

6. Informasi

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

7. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. (Notoatmodjo, 2007).


(26)

2.1.4 Kategori Pengetahuan

Untuk mengetahui secara kualitas tingkat pengetahuan yang di miliki oleh seseorang dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :

1. Tingkat Pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100% 2. Tingkat Pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75% 3. TingkatPengetahuan kurang bila skor atau nilai < 56%

(Nursalam, 2008)

2.1.5 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).

2.2 Perawat

2.2.1 Perawat

Perawat adalah seseorang yang sudah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan, dan penanggung jawaban dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien (Ali, 2001).

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik didalam maupun diluar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku mejalankan praktek keperawatan harus santiasa meningkatkan mutu pelayanan profesional, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan


(27)

teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidangnya (Kustanto, 2004).

2.2.2 Fungsi Perawat

Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya, fungsi perawat tersebut dapat diubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi Indenpenden, fungsi Dependen dan fungsi

Interdependen.

1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang merupakan fungsi dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia. 2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atau pesan intruksi dari perawat lain, sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya di lakukan perawat umum.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim yang lain. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks (Hidayat, 2007).


(28)

2.3 Halusinasi

2.3.1 Defenisi

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).

Halusinasi termasuk gologan dari skizofrenia yang merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (PPGDJ-III, 2001).

Halusinasi adalah persepsi sensori yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interpretasi waham tentang pengalaman halusinasi (Kaplan-Sadock, 2010)


(29)

2.3.2 Klasifikasi Halusinasi

Menurut Stuart (2007), jenis halusinasi antara lain : 1. Halusinasi Pendengaran (Auditorik)

Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, tertama suara-suara orang, bisanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2. Halusinasi Penglihatan (Visual)

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pencaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi Penghidu (Olfactory)

Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine, atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. 4. Halusinasi Peraba (Tactile)

Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : mersakan sensai listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

5. Halusinasi Pengecap (Gustatory)

Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seprti rasa darah, urine atau feses.


(30)

6. Halusinasi Sinestetik

Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

7. Halusinasi Kinesthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak. 2.3.3 Proses Terjadinya Halusinasi

Fase halusinasi ada 4, yaitu (Stuart dan Laraia, 2001) :

1. Comforting

Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum dan tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.

2. Condemning

Pada ansietas berat pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk emngambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

3. Controlling

Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar


(31)

berhubungan dengan orang lain,berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

4. Consquering

Terjadi pada panik pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. kondisi klien sangat membahayakan.

2.3.4 Faktor Penyebab Halusinasi

1. Faktor predisposisi a. Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress. b. Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi

(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya

pada lingkungannya. 2. Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan


(32)

Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan

acetylcholine dan dopamine.

3. Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. 4. Faktor Genetik

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2011).

5. Faktor Presipitasi a. Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993), memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dalam dilihat dari lima dimensi yaitu:


(33)

1) Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

2) Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

4) Dimensi Sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di dunia

nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi


(34)

sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

5) Dimensi Spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2011).

2.3.5 Tahapan Halusinasi

Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri atau mengingkari rangsangan terhadap


(35)

kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia, suara-suara biasanya berasal dari tuhan, setan, tiruan atau relatif.

Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan.

Tabel 2

Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien.

Tahap Karakteristik Perilaku Klien

Tahap I

- Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan.

- Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.

- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas - Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik.

- Tersenyum, tertawa sendiri

- Menggerakkan bibir tanpa suara

- Pergerakkan mata yang cepat

- Respon verbal yang lambat

- Diam dan berkonsentrasi

Tahap II - Menyalahkan - Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati

- Pengalaman sensori menakutkan

- Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut

- Mulai merasa

kehilangan kontrol - Menarik diri dari orang

lain non psikotik

- Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan

darah

- Perhatian dengan

lingkungan berkurang

- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja - Kehilangan kemampuan

membedakan halusinasi dengan realitas Tahap III - Mengontrol - Tingkat kecemasan berat - Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi

- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi) - Isi halusinasi menjadi

atraktif

- Kesepian bila

pengalaman sensori berakhir psikotik

- Perintah halusinasi ditaati - Sulit berhubungan dengan

orang lain

- Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik

- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat,


(36)

Tahap IV

- Klien sudah dikuasai oleh halusinasi

- Klien panik

Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.

- Perilaku panik

- Resiko tinggi mencederai - Agitasi atau kataton

- Tidak mampu berespon terhadap lingkungan

(Erlinafsiah, 2010).

2.3.6 Penatalaksanaan pada Pasien Halusinasi

Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :

2.3.6.1 Penatalaksanaan Medis

1. Psikofarmakologis

Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer.

Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine:

Chlorpromazine/Largactile/Promactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut

biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011).

a. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT) b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)


(37)

2.3.6.2 Asuhan Keperawatan Pasien Halusinasi

Gangguan persepsi sensori : halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa. Bagian ini berisi pedoman agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami halusinasi.

1. Pengkajian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada.

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu anda dapatkan adalah sebagai berikut :

a. Jenis dan isi halusinasi

Berikut ini adalah jenis halusinasi menurut data objektif dan subjektifnya. Data subjektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan wawancara dengan pasien. Melalui data ini, perawat dapat mengetahui isi halusinasi pasien.

b. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi

Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya apakah terus-menerus atau hanya sesekali? Situasi terjadinya, apakah jika sedang sendiri, atau setelah


(38)

terjadi kejadian tertentu? Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi, tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi dapat direncanakan.

c. Respons Halusinasi

Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang perasaan atau tindakan pasien saat halusinasi terjadi. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien atau dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi muncul.

Pendokumentasian asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap proses keperawatan. Oleh karena itu, dokumentasi asuhan keperawatan jiwa harus mencantumkan dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Deden,2013)

2. Diagnosis Keperawatan

Dengan menggunakan istilah “Diagnosis Keperawatan” jelas bahwa perawat adalah penegak diagnosis. Sebelum masa ini, penilaian klinia digunakan dalam praktik klinik untuk menetapkan fokus asuhan keperawatan yang tidak jelas atau belum memiliki istilah. Akan tetapi,, dengan diawalinya klasifikasi diagnosis keperawatan yang formal ini, perawat telah menerima secara luas sebagai penegak diagnosis yang harus menggunakan proses diagnostik dan berkolaborasi dengan individu yang mereka asuh guna mengidentifikasi diagnosis yang tepat untuk mengarahkan asuhan keperawatan yang dilakukan. Hal ini karena fokus asuhan


(39)

keperawatan adalah individu yang seutuhnya atau pencapaian kesejahteraan dan aktualisasi diri individu. Pengalaman dan respon individu terhadap masalah kesehatan dan proses kehidupan memiliki makna khusus bagi mereka, dan makna tersebut diidentifikasi dengan bantuan perawat (NANDA- I, 2012)

3. Tindakan Keperawatan

Dalam tindakan keperawatan ada beberapa hal yang dilakukan dalam implementasi yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri dari:

a. Do (melakukan), implementasi pelaksanaan kegiatan dibagi dalam beberapa kriteria, yaitu:

1) Dependent interventions : dilaksanakan dengan mengikuti order dari

pemberi perawatan kesehatan lain.

2) Collaborative (interdependent) : intervensi yang dilaksanakan dengan

profesional lain.

3) Independent (autonomus) intervention : intervensi dilakukan dengan

melakukan nursing orders dan sering juga digabungkan dengan order dari medis.

4) Delegate (mendelegasikan) : pelaksanaan order bisa didelegasikan

hanya saja ada beberapa tanggung jawab yang perlu dicermati oleh pemberi delegasi yaitu apakah tugas tersebut tepat untuk didelegasikan, apakah komunikasi tepat dilakukan dan apakah ada supervisi atau pengecekan kerja.

5) Record (mencatat), pencatatan bisa dilakukan dengan berbagai format


(40)

Tindakan keperawatan pada pasien halusinasi, yaitu sebagai berikut : a. Tindakan keperawatan pada pasien

1) Tujuan keperawatan

a) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya. b) Pasien dapat mengontrol halusinasinya.

c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal. 2) Tindakan Keperawatan

a) Membantu pasien mengenali halusinasi

Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar,dilihat,atau dirasa), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respons pasien pada saat halusnasi muncul.

b) Melatih pasien mengontrol halusinasi

Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Menghardik Halusinasi

Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan


(41)

halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini pasien, tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.

a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi b. Memperagakan cara menghardik

c. Meminta pasien memperagakan ulang

d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien. 2. Bercakap-cakap dengan orang lain

Bercakap-cakap dengan orang lain dapat memebantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain (Deden, 2013).

3. Melakukan aktivitas yang terjadwal

Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu, halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun


(42)

pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi perawat dalam memberikan aktivitas yang terjadwal, yaitu :

a. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi.

b. Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien. c. Melatih pasien melakukan aktivitas.

d. Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas mulai dari bangun pagi sampai tidur malan. e. Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan

penguatan terhadap perilaku pasien yang positif (Deden,2013)

4. Minum obat secara teratur

Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu, pasien harus dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan perawat agar pasien mau minum obat secara teratur :


(43)

(a) Jelaskan kegunaan obat. (b) Jelaskan akibat jika putus obat.

(c) Jelaskan cara mendapatkan obat/ berobat.

(d) Jelaskan cara minum obat denga prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis)

2.4 Strategi Pertemuan pada Pasien Halusinasi

SP 1 (Strategi Pertemuan 1) : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengar menghardik halusinasi.

1. Mengidentifikasi jenis halusinasi.

Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja (Keliat, 2006).

2. Mengidentifikasi isi halusinasi

Perawat dapat mengkaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu,jika halusinasi auditorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien,jika halusinasi visual. Bau apa yang tercium, jika halusinasi


(44)

penghidu. Rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan. Apa yang dirasakan permukaan tubuh jika halusinasi perabaan (Keliat, 2006).

3. Mengidentifikasi waktu dan frekuensi halusinasi.

Perawat juga perlu mengkaji serta menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dana menentukan bilamana klien perlu perhatiaan saat mengalami halusinasi (Keliat, 2006).

4. Mengidentifikasi situasi pencetus halusinasi.

5. Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi penyataan klien (Keliat, 2006).

6. Mengidentifikasi Respon

Untuk menentukan sejauhmana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

7. Mengajarkan pasien menghardik halusinasi.

Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan


(45)

diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.

a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi. b. Memperagakan cara menghardik.

c. Meminta pasien memperagakan ulang.

d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien. (Keliat, 2006)

SP 2 (Strategi Pertemuan 2): melatih pasien mengontrol halusinasinya dengan bercakap-cakap bersama orang lain.

1. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi.

Untuk mengetahui dampak halusinasi pada pasien dan apa respons pasien ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat juga dapat menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika halusinasi muncul (Deden, 2013).

SP 3 (Strategi Pertemuan 3) : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal :

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah dilakukan perawat.


(46)

2. Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian

Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya.

3. Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di rumah sakit.

Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak luang waktu sendiri dan sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam.

4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya.

SP 4 (Strategi Pertemuan 4) : melatih pasien minum obat secara teratur 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah dilakukan perawat.

2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur. Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk


(47)

mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu pasien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. (Purba, 2009).

                                         


(48)

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati/diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Adapun yang menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini dibuat berdasarkan teori/konsep dalam Depkes RI (1994).

Adapun kerangka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

Skema 3.1 : Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di RSJD PROVSU Medan.

3.2. Defenisi Operasional

Menurut Setiadi (2007), defenisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian sebagai berikut, untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang strategi pelaksanaan

Penerapan Strategi Pelaksanaan ( SP ) Pada Pasien Halusinasi :

- Sp I - Sp II - Sp III - Sp IV Tingkat Pengetahuan

perawat : - Baik - Cukup - Kurang


(49)

dengan menggunakan kuesioner/angket untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang SP I - SP 4 dengan kriteria baik, cukup, dan kurang.

Variabel Defenisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Pengetahuan Perawat Segala informasi yang diketahui perawat tentang strategi pelaksanaan halusinasi.

Kuesioner Baik Skor ( 7-10 )

Cukup Skor ( 4-7 ) Kurang Skor ( < 4 )

Ordinal

Penerapan strategi pelaksanaan (SP) Pada Pasien Halusinasi Tindakan perawat dalam melakukan strategi pelaksanaan (SP) Pada Pasien Halusinasi yang mengidentifikasi jenis, isi, waktu, situasi, frekuensi dan respon halusinasi dengan cara melatih pasien menghardik halusinasi, melatih pasien dengan bercakap-cakap kepada orang lain, melatih pasien melaksanankan aktifitas terjadwal dan melatih pasien minum obat secara teratur. Observasi dengan menggunakan Kuesioner Dilaksanakan (6-10) Tidak Dilaksanakan (0-5) Nominal


(50)

3.3. Hipotesis

Ha : Ada hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi.

                                       


(51)

Penelitian dalam studi ini menggunakan desain deskriptif kolerasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua perawat yang berada di ruang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Menurut data survey awal yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit Jiwa pada tahun 2013, perawat yang berada di ruang rawat inap berjumlah 122 orang.

4.2.2 Sampel Penelitian

Menurut Arikunto (2006). jika sampel lebih dari 100 orang dapat diambil sampel sebanyak 10-15% atau 20-25% atau tergantung kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana serta sempit luasnya wilayah pengamatan.

Disini peneliti mengambil sampel sebanyak 25% dari 122 orang yaitu 30,5 sampel sehingga peneliti membulatkannya menjadi 30 sampel. Pengambilan sampel dalam penelitan ini dengan cara purposive sampling yaitu tehnik pengambilan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik yang telah dikenal sebelumnya.


(52)

Dengan kriteria inklusi :

 Responden merupakan perawat yang bekerja diruang rawat inap  Pendidikan responden minimal DIII keperawatan

 Bersedia menjadi responden

 Masa pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun 4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober s/d November 2013. 4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapat izin dalam pengumpulan data, maka dilakukan pendekatan kepada responden dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Wasis (2008), ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatian pada penelitian ini, dan telah diberikan persetujuan komisi etik penelitian kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 24 Januari 2014 oleh Ibu Siti Zahara Nasution, S.Kp,MNS, yaitu:

1. Otonomi. Peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk menentukan

apakah bersedia atau tidak mengikuti kegiatan penelitian.

2. Informed Consent. Peneliti menanyakan kesediaan menjadi responden setelah

peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan manfaat penelitian. Jika responden menjadi peserta penelitian, maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan.


(53)

3. Anonimity. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi akan memberikan kode pada masing – masing lembar persetujuan tersebut.

4. Confidentiality. Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan kelompok data

tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

5. Beneficience. Selalu berupaya bahwa kegiatan yang diberikan kepada

responden mengandung prinsip kebaikan bagi responden guna mendapatkan suatu metode atau konsep baru untuk kebaikan responden.

6. Nonmaleficience. Penelitian yang dilakukan tidak mengandung unsur bahaya

atau merugikan apalagi sampai mengancam jiwa bagi responden.

7. Veracity. Penelitian yang dilakukan harus dijelaskan secara jujur tentang

manfaat, efek dan apa yang didapat jika responden terlibat dalam penelitian tersebut.

8. Juctice. Peneliti harus berusaha semaksimal mungkin untuk tetap

melaksanakan prinsip justice (keadilan) pada saat melakukan penelitian. 4.5 Instrumen penelitian

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari 3 bagian yaitu, data demografi, kuesioner pengetahuan dan observasi menggunakan kuesioner penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka.


(54)

4.5.1 Kuesioner Data Demografi

Data demografi meliputi umur, jenis kelamin, agama dan pendidikan terakhir dan masa pengalaman kerja.

4.5.2 Kuesioner Pengetahuan

Pada kuesioner ini berisi tentang tingkat pengetahuan dengan perawat dalam melakukan strategi pelaksanaan (SP), dapat diukur dengan pemberian bobot pada setiap pertanyaan. Dengan jumlah pertanyaan ada sebanyak 10 pertanyaan dengan skor tertinggi adalah 10, dengan kriteria Skor yakni: Benar : 1, Salah : 0. Tingkat pengetahuan dibagi 3 kategori (Nursalam, 2008), Baik apabila skor 7-10, Cukup jika skor 4-6, Kurang jika skor < 4 (Alimul, 2009).

4.5.2 Kuesioner Penerapan Strategi Pelaksanaan

Kuesioner ini dalam bentuk observasi yang dikutip dari penelitian Carolina (2008), dan dimodifikasi penyataannya yang terdiri dari 10 pernyataan kemampuan perawat dalam penerapan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien halusinasi, memiliki 2 jawaban, yaitu Ya = 1 dan Tidak = 0. Skor tertinggi 20 dan skor terendah 0. Skor Ini akan dibagi dalam 2 kategori yaitu : Dilaksanakan apabila skor (6-10), Tidak dilaksanakan apabila skor 0 – 5 (Arikunto, 2003).

4.6 Validitas Instrumen Penelitian

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi, dan juga sebaliknya (Arikunto, 2006). Instrumen dikatakan valid jika instrumen itu mampu mengukur yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa


(55)

instrumen dianggap valid jika instrumen itu dapat dijadikan alat untuk mengukur yang akan diukur (Danim, 2003).

Uji Instrumen pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengkonsultasikan dengan dosen atau staf pengajar yang memahami tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Uji valid dimulai dari tanggal 24 Oktober s/d 29 November. Dari hasil uji valid, ada beberapa item dalam kuesioner yang dimodifikasi, meliputi pertanyaan pada kuesioner pengetahuan dalam nomor 8, 9 dan 10 dari bentuk pernyataan menjadi pertanyaan dan pada kuesioner observasi di modifikasi dalam bentuk pernyataan dengan nomor soal 9 dan 12. Uji valid telah selesai dilaksanakan pada tanggal 29 November 2013 dan dapat disebarkan untuk mengetahui kesahian instrument penelitian.

4.7 Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama. Setelah mengukur validitas, maka perlu mengukur reliabilitas data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Suatu instrumen dapat dikatakan reliabel jika r hitung > 0,70 (Polit & Hugler, 1995).

Uji reliabilitas instrument penelitian dilaksanakan pada tanggal 01 Desember 2013 di Ruang Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan dengan kriteria sampel yang sesuai dengan sampel penelitian ini sebanyak 10 orang perawat. Selanjutnya dilakukan uji dengan nilai Cronbach Alpha untuk


(56)

variabel tingkat pengetahuan sebesar 0,811 dan variabel penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi diperoleh alpha 0,727. Karena nilai Alpha > 0,7 maka dinyatakan bahwa seluruh instrument atau pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

4.8 Analisa Data

Data yang terkumpul akan di olah melalui langkah-langkah berikut:

1. Editing Data

Dilakukan pengecekan pada suatu data yang terkumpul, bila terdapat kesalahan dalam pengumpulan data maka akan diperbaiki dan penilitian di ulang.

2. Coding

Pemberian kode atau tanda setiap data yang telah terkumpul untuk memperoleh, memasukkan data kedalam.

3. Tabulating

Mengolah data kedalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk mempermudah analisa data, pengolahan data serta pengambilan kesimpulan.

4. Analisa Data

Data yang telah dientri (dimasukkan) kemudian akan dianalisis dengan analisa univariat yaitu menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik data demografi serta masing-masing variabel tingkat pengetahuan perawat dan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Selanjutnya untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan


(57)

strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi maka analisis univariat dilanjutkan dengan analisis bivariat yaitu dengan melakukan tabulasi silang dengan menggunakan uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 95 % dengan mebandingkan nilai p dengan nilai α yaitu bila p≤α (p≤0,05) maka keputusannya adalah Ha diterima artinya ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan, namun bila p≥α (p≥0,05) maka keputusannya Ha ditolak artinya tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan  perawat dengan penerapan strategi.


(58)

5.1 Hasil Penelitian

Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan. Pengumpulan data dilakukan Oktober 2013 sampai November 2013 terhadap 30 responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan. Penyajian data hasil penelitian meliputi deskrispsi karakteristik responden dan deskripsi pengetahuan perawat dalam penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi.

5.1.1 Karakteristik Responden

Pada hasil penelitian akan diuraikan tentang gambaran data demografi 30 responden yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir dan masa pengalaman kerja. Selain data demografi, diuraikan juga pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan. Dapat dilihat dari Tabel 5.1 sebagai berikut:


(59)

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Agama, Pendidikan Terakhir dan Masa Pengalaman Kerja di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan (n=30)

Karakteristik Demografi Frekuensi Persen (%)

Umur

26-31 tahun 12 40,0

32-35 tahun 5 16,7

36-39 tahun 7 23,3

> 40 tahun 6 20,0

Jenis Kelamin

Laki-Laki 11 36,7

Perempuan 19 63,3

Agama

Islam 15 50,0

Kristen Protestan 12 40,0

Katolik 3 10,0

Pendidikan Terakhir

D3 Keperawatan 22 73,3

S1 Keperawatan 8 26,7

Masa Pengalaman Kerja

< 5 tahun 1 3,3

5 tahun 9 30,0

> 5 tahun 20 66,7

Berdasarkan Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden menunjukkan bahwa tingkat usia yang mayoritas pada perawat dari umur 26-31 tahun dengan jumlah 12 orang (40%), mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (63,3%), mayoritas responden beragama Islam sebanyak 15 orang (50%), mayoritas pendidikannya adalah D3 Keperawatan sebanyak 22 orang (73,3%) dan mayoritas masa pengalaman kerja adalah > 5 tahun sebanyak 20 orang (66,7%).


(60)

5.1.2 Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

Setelah pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan (n=30)

No. Pengetahuan Frekuensi Presen (%)

1. Baik 21 70,0

2. Cukup 6 20,0

3. Kurang 3 10,0

Jumlah 30 100

Berdasarkan tabel 5..2 bahwa mayoritas tingkat pengetahuan perawat tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan dengan hasil yang diperoleh dari responden menjawab pertanyaan dengan skor 7 – 10 termasuk dalam tingkat pengetahuan baik sebanyak 21 orang (70%).

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan (n=30)

No. Kategori Penerapan Strategi Frekuensi Presen (%)

1. Dilaksanakan 7 23,3

2. Tidak Dilaksanakan 23 76,7


(61)

Berdasarkan tabel 5.3 bahwa dalam penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi, mayoritas adalah dalam kategori tidak diterapkan sebanyak 23 orang (76,7%) dan dalam kategori diterapkan sebanyak 7 orang (23,3%).

Tabel 5.4 Hasil Analisa Korelasi Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

Tingkat Pengetahuan

Penerapan Strategi Pelaksanaan Jumlah P-Value Dilaksanakan Tidak

Dilaksanakan

N % n % N %

Baik 7 23,4 14 46,6 21 70,0 0,000

Cukup 0 0 6 20,0 6 20,0

Kurang 0 0 3 10,0 3 10,0

Jumlah 7 23,4 23 76,6 30 100

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, hasil uji Chi- Square (Pearson Chi Square) dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan. Hasil tabulasi silang pada tabel 5.4 dibawah ini menunjukkan tingkat pengetahuan baik sebanyak 21 responden (70%) dan tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi sebanyak 14 responden (46,6%) yang dapat diperoleh dari nilai Asymp. Sig (2-Sided) yang menunjukkan nilai p value = 0,000 artinya bahwa nilai P- value < 0,05 hal ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan perawat berhubungan secara signifikan dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi.


(62)

Dalam pembahasan ini peneliti mencoba menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana hubungan tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.

5.2.1 Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Penerapan Strategi Pelaksanaan

Penelitian ini manunjukkan hasil bahwa sebanyak 21 orang (70%) perawat memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tingkat pengetahuan perawat terkait dengan penerapan strategi pelaksanaannya belum optimal dilaksanakan.

Notoadmodjo (2005), mengemukakan bahwa pengetahuan adalah hasil penginderaan seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Menurut Potter & Perry (2005), bahwa pengetahuan merupakan informasi dan penemuan yang bersifat kreatif untuk mempertahankan pengetahuan baru dimana perawat dapat menggunakan kemampuan rasional logis dan pemikiran kritis untuk menganalisis informasi yang diperoleh mengenai pembelajaran tradisional, pencarian informasi, belajar dari pengalaman, penelitian ide terhadap disiplin ilmu lain dan pemecahan masalah untuk menentukan terminologi tindakan keperawatan. Selain itu perawat juga dapat menggunakan kemampuan penyelidikan ilmiah untuk mengidentifikasi dan menyelidiki masalah klinis, profesional atau pendidikan.


(63)

Berdasarkan hasil penelitian bahwa tingkat pengetahuan perawat mayoritas memiliki tingkat pengetahuan baik berjumlah 21 responden (70%) dimana berdasarkan usia responden diperoleh mayoritas berusia 26-31 tahun sebanyak 12 orang (40%). Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh akan semakin baik (Notoadmodjo, 2007). Usia responden saat ini memasuki tahap usia dewasa muda. Pada usia ini individu dituntut untuk mempelajari peran baru di tempat kerja, rumah, dan masyarakat serta mengembangkan minat, nilai-nilai, dan sikap yang terkait dengan peran tersebut. Pada tahap ini seseorang memliki tingkat kematangan dan kemampuan yang lebih dalam berpikir dan bekerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berlatar belakang tingkat pendidikan D3 keperawatan sebanyak 22 orang (73,3%) dan yang berlatar belakang pendidikan S1 Keperawatan sebanyak 8 orang (26,7%) sehingga yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 21 orang (70%), pengetahuan cukup sebanyak 6 orang (20%) dan berpengetahuan kurang sebanyak 3 orang (10 %). Hal ini didukung oleh pernyataan Budiningsih (2005), bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia sementara orang lain menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai salah suatu pembentukan yang terus menerus oleh sesorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru, maka diharapkan bagi setiap perawat dapat menambah pengetahuannya melalui informasi yang ada disekitarnya.


(64)

Selain itu, lingkungan juga akan membentuk kepribadian seseorang dimana lingkungan banyak menyediakan informasi yang menambah pengetahuan seseorang. Pengetahuan merupakan doamain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003). Pernyataan ini mendukung dengan hasil penelitian bahwa mayoritas responden memiliki masa pengalaman kerja > 5 tahun sebanyak 20 responden (66,7%), maka hal ini dapat diungkapkan oleh Notoadmodjo (2003), bahwa melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin berkualitas dimana seseorang akan berfikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya.

Pengalaman juga merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi (Notoadmodjo, 2003). 5.2.2 Penerapan Strategi Pelaksanaan pada Pasien Halusinasi di Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

Berdasarkan hasil penelitian bahwa mayoritas tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi sebanyak 23 responden (76,7%) dan melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi sebanyak 7 responden (23,3%).

Menurut hasil penelitian Carolina (2008), mengatakan dalam membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, pada kelompok yang dirawat oleh perawat yang telah dilatih menunjukkan penurunan intensitas tanda


(65)

perawat yang belum dilatih. Dari kedua hasil tersebut, menurut asumsi peneliti bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak sejalan dengan penelitian Carolina (2008) karena hasil dalam penelitian ini adalah penerapan strategi pelaksanaan tidak dilaksanakan sebanyak 23 responden (70%) yang dilihat dari intervensi yang dilakukan perawat. Sehubungan dengan hal ini maka diperlukan pelatihan bagi perawat dalam melakukan intervensi untuk menurunkan tanda dan gejala halusinasi pada pasien yang mengalami halusinasi.

Perilaku yang ditampilkan dan dapat diobservasi oleh perawat pada klien halusinasi adalah bicara atau tertawa sendiri, tampak sedang memperhatikan atau mendengar sesuatu, tiba-tiba melakukan suatu tindakan tanpa adanya stimulus (Varcarolis, 2000). Untuk itu perlu dilakukan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi untuk mengurangi penurunan intensitas tanda dan gejala pada pasien halusinasi.

Dalam penerapan strategi pelaksanaan membutuhkan pengetahuan dimana menurut Potter & Perry, 2005), bahwa semakin banyak informasi yang diterima maka semakin meningkat pula pengetahuan yang dimilikinya. Pada penerapan strategi pelaksanaan, pasien halusinasi mendapatkan keempat strategi pelaksanaan yang meliputi melatih pasien menghardik halusinasi, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktifitas terjadwal dan melatih pasien minum obat secara teratur (Nita, 2009)


(66)

5.2.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

Berdasarkan hasil analisis bivariat dalam memperlihatkan hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 21 orang yang melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi sebanyak 7 orang (23,4%) dan yang tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi sebanyak 14 orang (46,6%) sedangkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup dan tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan sebanyak 6 orang (20%) serta responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang dan tidak melaksanakan sebanyak 3 orang (10%). Kalau dilihat dari nilai P ternyata didapatkan P = 0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan perawat dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Dalam hal ini perawat memiliki tingkat pengetahuan yang baik tetapi dalam penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi tidak diterapkan sebanyak 23 orang (76,7%). Meskipun demikian masih ditemukan responden yang tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka responden yang tidak melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan perlu meningkatkan pengetahuannya dalam praktik keperawatan khususnya dalam tindakan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Sementara responden yang berpengetahuan tinggi dan melaksanakan strategi pelaksanaan


(67)

pada pasien halusinasi tetap mempertahankan dan meningkatkan pengetahuannya agar lebih bertanggunga jawab untuk melaksanakan penerapan strategi pelaksanaan paraktik keperawatan dalam bekerja.

Dalam penelitian (Carolina, 2008), dijelaskan bahwa adanya pengaruh penerapan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi disebabkan oleh karena adanya intervensi asuhan keperawatan berdasarkan standar. Sehingga perawat melakukan asuhan lebih terarah dan memberikan arahan pada klien sesuai dengan kemampuan yang diharapkan dimiliki klien untuk mengontrol halusinasi. Intervensi yang dilakukan secara konsisten dan terarah membantu klien meningkatkan keinginan untuk mengatasi masalahnya.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal dan informal, misalnya melalui bimbingan, pelatihan, pengarahan, mencari informasi, diskusi dan berbagi pengalaman sehingga semakin banyak meperoleh pengetahuan tentang penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi. Menurut pengamatan peneliti rata-rata responden berpendidikan diploma tiga keperawatan, dengan demikian diharapkan responden lebih mudah menerima informasi dan pengetahuan yang baru baik dari dalam maupun dari luar lingkungan Rumah Sakit. Tinggi atau rendahnya pendidikan formal seseorang tidak menentukan sempit atau luasnya pengetahuannya.

Secara teroritis menurut Machfoed et al., (2005), cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa yang diketahuinya dalam bukti atau jawaban baik lisan maupun tertulis. Seseorang memiliki pengetahuan tinggi apabila


(68)

mampu mengungkapkan informasi dari suatu objek dengan benar, bila seseorang hanya mampu mengungkapkan sedikit informasi dari suatu objek tersebut. Pengetahuan dengan mudah dapat diakses melalui berbagai media massa yang dapat memberikan informasi baru bagi individu sehingga menambah pengetahuan dan wawasan responden. Sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Azwar (1995), bahwa adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentunya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana. Hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melakukan tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu menvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan interpersonal, intelektual teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta klien yang diharapkan, dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan serta respon klien (Ernawati, 2010).


(69)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan dapat disimpulkan : 1. Responden berjumlah 30 orang perawat, mayoritas berusia 26-31 tahun

dengan jumlah 12 orang (40%), mayoritas berjenis kelamin perempuan 19 orang (63,3%), memiliki mayoritas beragama Islam 15 orang (50%), pendidikan terakhir mayoritas D3 Keperawatan berjumlah 22 orang (73,3%) dan masa pengalaman kerja mayoritas > 5 tahun dengan jumlah 20 orang (66,7%).

2. Tingkat pengetahuan perawat menggambarkan mayoritas memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 21 responden (70%).

3. Berdasarkan observasi dalam penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi dapat dilihat sebanyak 23 orang responden (76,7%) tidak menerapkan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara Medan.

4. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan.


(70)

6.2 Rekomendasi

6.2.1 Pihak Rumah Sakit

Dari hasil yang didapat maka penulis merekomendasikan agar pihak rumah sakit sebagai pengambil keputusan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dirumah sakit perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, perlu juga meningkatkan kemampuan perawat dengan memberikan pelatihan secara terjadwal bagi setiap personil keperawatan dan perawat perlu meningkatkan kemampuan dalam merawat klien dan menerapkan strategi pelaksanaan (SP) bagi pasien halusinasi. Pihak rumah sakit juga dapat memberikan penghargaan kepada personil keperawatan dalam hal memberikan strategi pelaksanaan guna mengurangi peningkatan angka kejadian pada pasien halusinasi.

6.2.2 Rekomendasi Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut dapat melakukan tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan penerapan strategi pelaksanaan pada pasien jiwa yang lainnya sesuai dengan standar asuhan keperawatan jiwa.

 


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul. (2006). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika. Alimul. (2003). Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Edisi : I. Jakarta

: Salemba Medika.

--- (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.

Andri.(2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treatmen Gap For

Schizoprenia. Dibuka pada http://www.Kabar Indonesia.com pada

tanggal 25 Mei 2013

Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta.

Danim, S.(2003). Riset Keperawatan Sejarah dan Metodologi. Jakarta : EGC. Ernawati. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi I.Jakarta. Hamid. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori dan

Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Gaffar,J. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC. Gail. (2007). Keperawatan Jiwa. Edisi V. Jakarta : EGC.

Keliat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC. --- (1999). Proses Keperawatan Jiwa. EGC : Jakarta.

Nanda. (2005). Diagnosis Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi Nursing Intervention.

--- (2012). Diagnosis Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi 2012 – 2014. EGC : Jakarta.

Nita Fitria. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan

dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP&SP). Jakarta


(1)

78


(2)

79

   

     


(3)

(4)

(5)

82

   


(6)

83

CURRICULUM VITAE

Nama : Magdayofa Simanjuntak Tempat / Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 05 Januari 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan Alamat : Jl. Tusam Raya No. 294

Perumnas Batu VI Desa Lestari Indah

Pematang Siantar

Riwayat Pendidikan :

1. SD RK. Cinta Rakyat IV Pematang Siantar Tahun 1998 – 2003 2. SMP Swasta ASISI Pematang Siantar Tahun 2003 – 2006 3. SPK Kesdam I/BB Pematang Siantar Tahun 2006 – 2009 4. D-3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan Tahun 2009 – 2012 5. S1 Keperawatan USU Tahun 2012 – Sekarang


Dokumen yang terkait

Hubungan Pemakaian Narkoba dengan Timbulnya Halusinasi pada Pasien di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

5 61 70

Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

4 54 130

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

18 171 101

Gambaran Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Halusinasi Pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU

17 174 86

Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Strategi Pelaksaan Komunikasi pada Pasien Perilaku Kekerasan di Rumah sakit Jiwa daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

6 69 66

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara - Medan

30 131 90

Hubungan Pemakaian Narkoba dengan Timbulnya Halusinasi pada Pasien di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Discharge Planning Pada Pasien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 0 39

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

0 1 25

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Medan

0 0 9