BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Prinsip Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan Dengan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang

  perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang besar. Adanya perkembangan perekonomian ini merupakan salah satu wujud dari kebebasan dari warga negara dan masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi dalam memenuhi kehidupannya.

  Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”. Hal ini merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli Selanjutnya Undang- Undang Dasar 1945, juga mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta

  1

  berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Ketentuan ini menjelaskan bahwa setiap orang bebas melakukan berbagai hal guna mempertahankan hidupnya, seperti dalam hal ini transaksi jual beli yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketentuan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945

  1 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi juga mengatakan bahwa transaksi jual beli merupakan hak setiap individu/manusia, dikatakan demikian karena jual beli merupakan suatu kegiatan manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

  2

  hidupnya sehari-hari. Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan mulai dari jual beli biasa seperti jual beli permen di kios-kios sampai jual beli yang dilakukan secara tertulis seperti jual beli tanah, bebas untuk dilakukan dengan syarat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum diubah atau dibuat yang baru.

  Berbicara mengenai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

  Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, 2 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 17. yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :

  1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian

  2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian

  3. Suatu hal tertentu

  4. Suatu sebab yang halal Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).

  Dalam melaksanakan jual beli ini tentuan memerlukan adanya alat atau instrument untuk melakukan pembayaram. Instrumen/alat pembayaran merupakan media yang digunakan dalam pembayaran. Instrumen pembayaran saat ini dapat diklasifikasikan atas tunai dan non-tunai. Instrumen pembayaran tunai adalah uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang sudah dikenal selama ini. Sementara instrumen pembayaran non-tunai, dapat dibagi lagi atas alat pembayaran non-tunai dengan media kertas atau lazim disebut paper-based instrument seperti, cek, bilyet giro, wesel dan lain-lain serta alat pembayaran non-tunai dengan media kartu atau lazim disebut card-based instrument seperti kartu kredit, kartu debit, kartu

3 ATM dan lain-lain.

  Adanya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran ini adalah akibat perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang besar. Penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang yang besar selain tidak praktis, juga dapat menimbulkan risiko-risiko tertentu.

  Adanya risiko dalam penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang atau secara tunai disebabkan beberapa faktor antara lain :

  1. Sulitnya pengangkutan uang tunai dari negara yang satu ke negara yang lain.

  2. Mahalnya biaya pengangkutan uang tunai, karena bahannya yang berat.

  3. Adanya risiko pengangkutan uang dan perampokan sebagai akibat situasi

  4 yang belum sepenuhnya aman.

  Adanya risiko tersebut, maka untuk mengatasi keadaan tersebut di atas, maka dicarilah jenis alat pembayaran baru selain mata uang. Alat pembayaran yang dimaksud adalah dengan mempergunakan surat-surat atau akta-akta lain yang bernilai uang. Surat-surat atau akta-akta yang bernilai uang ini disebut surat perniagaan 3 Annonimous, Instrumen Pembayaran (Pengantar Sistem Pembayaran & Instrumen

  Pembayaran), Direktorat Akunting Dan Sistem Pembayaran Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Jakarta, tanpa tahun, hlm 2 4 Soeratno, Cek Sebagai Alat Pembayaran Tunai dan Masalahnya, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1986, hlm.1.

  5

  (handelspapieren). Dalam perkembangan selanjutnya, dunia perbankan melahirkan suatu tawaran instrumen baru. Alat pembayaran baru yang disajikan mengandung berbagai kemudahan bagi siapa saja yang berhak mengunakannya yaitu Kartu

6 Kredit.

  Timbulnya kartu kredit/credit card sebagai alat pembayaran jenis baru, adalah merupakan salah satu usaha perkembangan dari potensi, inisiatif dan daya kreasi di bidang alat-alat pembayaran yang ada di dalam masyarakat. Di Indonesia penggunaan Kartu Kredit mulai diperkenalkan tahun 1980-an oleh bank-bank tertentu di Amerika (Contoh: Bank Of America). Perkembangan penggunaan Kartu Kredit boleh dikatakan sangat pesat. Perkembangan tersebut sebenarnya didorong oleh berbagai faktor yang berkenaan dengan pengunaan kemudahan, kepraktisan dan citra diri

  7 pemegang kartu.

  Dalam hal pengggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli melibatkan tiga komponen yaitu pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi bantuan dana), dan merchant (toko, super market, dan lain-lain). Sebagai salah satu alat/sarana pembayaran, Kartu Kredit relatif mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu

  5 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia., Djambatan, Jakarta, 1984, hlm.1. 6 Sri Redjeki Hartono, Aspek Hukum Penggunaan Kartu Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, hlm.3. 7 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan , Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000, hlm. 265. dibandingkan dengan alat pembayaran tunai. Nilai lebih pengunaan Kartu Kredit dapat diperoleh untuk dua pihak sekaligus, yaitu:

  8

  1. Keuntungan bagi para pemegang Kartu Kredit:

  a. Membeli barang atau jasa dalam jumlah yang besar tanpa menggunakan uang tunai atau cek.

  b. Menikmati fasilitas kredit dengan batas tertentu. Berbagai ragam pembelian dengan jangka waktu 1 (satu) bulan baru dilunasi.

  2. Keuntungan bagi para penerima Kartu Kredit:

  a. Kredit dapat diberikan tanpa kemungkinan risiko macet, mengingat bank sebagai penjaminnya.

  b. Lebih aman daripada membawa uang tunai dalam jumlah yang besar.

  c. Orang biasanya lebih senang berbelanja dengan mempergunakan Kartu Kredit.

  3. Keuntungan lain bagi penerbitan Kartu Kredit adalah:

  9 a. Sebagai salah satu penambah keuntungan.

  b. Sebagai suatu promosi.

  Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya sebagai alat/sarana pembayaran, telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran yang sah (uang kertas dan logam).

  Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kartu kredit merupakan instrumen baru dalam dunia perdagangan dan merupakan surat-surat berharga yang mempunyai nilai uang. 8 Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, Kerjasama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 59. 9 Simorangkir, Seluk-Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.120.

  Berlakunya Kartu Kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum, maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka menjalankan usahanya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran juga tidak terlepas dari adanya itikad baik dari para pihak dalam hal penerbitan kartu kredit termasuk pula dalam pelaksanaan transaksi jual beli.

  Keterangan secara jujur akan menjadi prinsip yang sangat penting dalam pelaksanaan perjanjian perjanjian kartu kredit dan juga dalam transaksi jual beli. Prinsip itikad baik ini atau dalam istilah hukum dikenal dengan ,

  utmost good faith

  yaitu para pihak memberikan informasi yang benar dalam setiap transaksi yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip itikad baik/ utmost good

  faith , adalah memberikan informasi mengenai kemampuan calon pemegang

  atau pemohon kartu kredit tentang kemampuan untuk menutupi nilai transaksi yang nantinya dilakukan dengan kartu kredit, termasuk pula dalam hal ini tujuan penggunaan kartu kredit di kemudian hari. Pelanggaran tersebut dapat menyebabkan persoalan hukum dikemudian hari terhadap pelaksanaan perjanjian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli.

  Apabila dilihat dari para pihak dalam perjanjian atau transaksi jual beli dengan kartu kredit sebagaimana diketahui bahwa k artu kredit merupakan salah satu sarana untuk memudahkan transaksi jual beli. Dalam hal ini terdapat tiga komponen : pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi bantuan dana), dan merchant (toko, super market, dan lain-lain.). Nasabah mengajukan aplikasi kepada suatu bank yang menyediakan kartu kredit untuk memberinya fasilitas kartu kredit. Pihak bank akan menentukan layak tidaknya orang tadi mendapatkan fasilitas itu sesuai dengan kriteria yang dimilikinya. Tiap bank biasanya memiliki kriteria yang berbeda. Bila pihak bank menetapkan kelayakannya maka orang tersebut menjadi nasabah pemilik kartu kredit yang biasanya, sesuai bank masing-masing, harus membayar iuran tahunan sebagai biaya operasional. Namun demikian para pihak dalam penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli tidak selamanya melaksanakan prestasi seperti yang diperjanjikan baik karena kesengajaan, kesilapan maupun dengan berbagai alas an lainnya.

  Padahal pada awalnya memiliki rekening kredit, maupun kartu kredit menunjukkan seseorang dipercaya oleh bank atau lembaga keuangan untuk bertransaksi seperti transaksi jual beli dengan kartu kredit. Namun kemudian, apabila ditelaah lebih jauh penggunaan dana kredit dapat saja tidak sesuai dengan tujuan yang direncanakan pada awal pengajuaannya berpeluang untuk menimbulkan perselisihan apabila terjadi tunggakan dalam pembayaraannya.

  Seperti halnya dalam suatu transaski jual beli dapat saja terjadi perbuatan melawan hukum oleh pemegang kartu kredit dalam bertransaski yang kemudian membuka peluang terjadinya kerugian bagi bank.

  Demikian pula halnya dengan bisnis kartu kredit oleh bank, di mana konsumen atau nasabah pengguna kartu kredit hidup dari belanja dan pembayaran yang dilakukan melalui kartu kredit. Nasabah sebagai konsumen pada awalnya diberikan program menarik supaya menggunakan kartunya, lalu rasio pembayarannya pada level yang sehat supaya neracanya tetap seimbang. Hal ini diharapkan penerbit kartu kredit mendapat keuntungan dari dua hal, pertama komisi (fee base income) dari tiap transaksi oleh pemegang kartu dan kedua, dari bunga (interest income) neraca pembayaran pemilik kartu. Namun kemudian apabila pemakaian kartu tinggi, neracanya tidak sehat tentunya berpeluang terjadi tunggakan dan kredit atau pembiayaan yang diberikan macet. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi jual beli dengan menggunakan kartu kredit dikaitkan dengan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Pelaksanaan Prinsip Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan dengan Perjanjian Jual Beli”.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah bentuk perjanjian jual beli dengan menggunakan kartu kredit?

  2. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli?

  3. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perjanjian jual beli dengan menggunakan kartu kredit.

  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli.

  3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit.

  D. Manfaat Penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perbankan dan lembaga keuangan lainnya pada khususnya, terutama mengenai masalah penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam perjanjian jual beli.

  2. Secara Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada para pihak yang terkait dalam penggunaan/ penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam perjanjian jual beli, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya terhadap penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam perjanjian jual beli.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa beberapa penelitian yang menyangkut produk bank syari’ah, namun memang ditemukan adanya dua penelitian yang berkaitan yaitu :

  1. Penelitian Oleh Muhammad Andi Hakim, Nim 077011046 dengan judul, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu

  Kredit ”.

  2. Penelitian Oleh Mhd Dhana Surya Ginting , Nim 087011068 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit (Studi Kasus Pada Bank Danamon Medan)”.

  Apabila dilihat dari topiknya kedua penelitian memang mengambil topic yang sama dengan penelitian ini yaitu tentang kartu kredit, Namun permasalahan yang dikaji adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul “Pelaksanaan Prinsip Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan Dengan Transaksi Jual Beli” adalah merupakan suatu penelitian yang baru dan asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Di dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian

  10

  harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. Teori dimaksud adalah untuk

  11

  menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

  12

  menunjukkan ketidakbenarannya. Hal ini sesuai dengan Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

  13

  aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

  10 11 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta , 1992, hlm. 37.

  J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di ssini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 12 13 Ibid.

  

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hlm. 6. tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.

  14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

  tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.

15 Dengan demikian, pemikiran teoritis ini dijadikan kerangka

  pikir dalam suatu penelitian hukum yang dijadikan alat untuk menganalisis dasar penulisan tesis.

  Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori yang berkaitan dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan. Salah satunya adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan:

  Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

  system

  ). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.

  16

  14 J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hlm. 203. 15 M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm 80. 16 Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hlm. 55.

  Salah satu teori hukum positif yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian termasuk dalam hal ini perjanjian penerbitan kartu kredit maupun transaksi jual beli antara underwriter dan emiten adalah teori hasrat. Menurt teori hasrat dalam suatu perjanjian prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan.

  17 Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.

  Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

  18

  lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian,

  19

  yaitu :

  1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

  2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

  3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

17 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,

  Bandung, 2001, hlm. 5 18 Lely Niwan, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hlm. 26 19 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002, hlm. 26.

  Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

  Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas, diantaranya adalah asas

  (consensualisme)

  Kebebasan Berkontrak dan asas Konsensualisme . Asas Konsensualisme (consensualisme) adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir pada saat atau detik tercapainya kata sepakat di antara pihak-pihak yang

  20

  melakukan perjanjian tersebut . Asas konsensualisme mendasari lahirnya suatu perjanjian dari kata sepakat yang timbul antara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian, selain asas konsensualisme ada juga asas kebebasan berkontrak yang mengatur dibentuknya perjanjian. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,

  21 kesusilaan dan ketertiban umum .

  Asas kebebasan berkontrak bersifat mengatur, hal ini sesuai dengan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat 20 Benyamin Asri Dan Thabrani Asri, Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata dan Hukum ”, Armico, Bandung, 1987, hlm. 81.

  Agraria 21 Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 212.

  untuk hal-hal yang yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, maksudnya para pihak dalam suatu perjanjian pada prinsipnya bebas untuk menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, dan yang lebih penting isi perjanjian tersebut sesuai dengan syarat sahnya perjanjian seperti yang diterangkan dalam Pasal 1320 KUH- Perdata.

  Pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat kita lihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang atau pembayaran harga atas benda oleh pembeli kepada penjual.

  Jual beli merupakan perjanjian konsensualisme, hal ini dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 1458 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar, dalam hal ini kesepakatan dianggap terjadi pada saat pembeli mengambil barang tersebut dan membayar

  22 harganya kepada penjual.

  Dalam perjanjian jual beli, asas kebebasan berkontrak dinilai penting bagi pihak-pihak dalam jual beli karena hal ini berarti adanya kebebasan bagi mereka dalam menentukan isi (causa) dari jual beli yang mereka buat. Akan tetapi, perjanjian (kontrak) tersebut harus tetap memperhatikan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

  23 membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata) .

  Adapun syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu dan (4) Suatu sebab yang halal.

  Keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut.

  a. Syarat Subjektif.

  Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan

  24

  bertindak dalam bidang hukum. Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat 22 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli Seri Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, hlm. 48. 23 24 Ridwan Syahrani, Op. Cit., hlm. 212.

  Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 32. subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan.

  b. Syarat Objektif Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari

  25 perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

  Apabila dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit dalam suatu transaksi atau perjanjian jual beli sebagai alat pembayarannya, maka hal ini terkait pula dengan teori tentang kartu kredit, dimana kartu kredit merupakan bagian dari surat berharga. Rachmadi Usman mengatakan bahwa Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya sebagai alat/sarana pembayaran, telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran yang sah (uang kertas dan logam). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kartu kredit merupakan instrumen baru dalam dunia perdagangan dan merupakan surat- surat berharga yang mempunyai nilai uang. Surat-surat berharga ini secara konseptual dapat dibedakan atas surat berharga (Warde Papier) dan surat yang berharga (Papier

26 Van Waraade

  ). Tentang pengertian surat berharga dan surat yang berharga tidak secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

  Agar dapat disebut sebagai surat berharga, maka surat itu harus mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu sebagi alat untuk dapat diperdagangkan dan sebagai alat bukti

  25 . 26 Ibid

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Surat Berharga, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm.5.

  27

  terhadap tuntutan hutang yang telah ada. Di samping itu, ada yang memberikan pula fungsi surat berharga meliputi surat bukti tuntutan hutang, pembawa hak dan mudah

  28

  dijual belikan. Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa suatu surat untuk dapat dikatakan sebagai surat berharga itu mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

  1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang).

  2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual belikan dengan mudah atau sederhana).

  29 3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).

  Ternyata, sungguhpun Kartu Kredit telah mirip dengan surat berharga, tetapi dalam pengertian hukum belumlah dapat dipandang sebagai surat berharga. Sebab, jika dilihat dari ketiga fungsi surat berharga tersebut, hanya fungsi yang pertama yang dipenuhi oleh suatu surat berharga, yaitu fungsinya sebagai alat pembayaran (pengganti uang kontan), sedangkan fungsi kedua tidak terpenuhi sama sekali. Sementara fungsi ketiga juga tidak terpenuhi, walaupun secara tidak langsung hak tagih tersebut dapat dipenuhi tetapi bukan oleh Kartu Kredit, melainkan oleh slip pembayaran yang telah ditandatangani oleh pemegang Kartu Kredit.

  Berlakunya kartu kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum, maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu 27 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982, hlm.9. 28 29 H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit. hlm. 5-6.

  Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.6. memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka menjalankan usahanya.

  Oleh karena itu, dalam melaksanakan perannya di tengah kehidupan bersama, hukum memiliki fungsi yang sangat penting, yang oleh J.F. Glastra Van Loon dalam

  30

  bukunya Dirdjosisworo disebutkan yaitu: 1. Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.

  2. Penyelesaian pertikaian.

  3. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan dan jika perlu dengan kekerasan.

  4. Pengertian atau memelihara dan mempertahankan hal tersebut.

  5. Pengubahan tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat.

  6. Pengaturan tentang pengubahan tersebut, agar dapat memenuhi tuntutan keadilan (rechsvaardigheid), hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtzekerheid). Perjanjian jual beli diatur dalam Buku III Bab V, Pasal 1457 sampai dengan

  Pasal 1540 KUH Perdata. perjanjian jual beli dapat dilihat dalam Pasal 1457 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pada umumnya, suatu perjanjian hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUH Perdata), karena seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka 30 Soedjono Dirdjosisworo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,

  Alumni, Bandung, 1997, hlm.147-148 yang membuatnya. Maksud dari “perjanjian yang dibuat secara sah” adalah perjanjian yang dibuat, tidak bertentangan dengan undang-undang karena isi perjanjian tersebut bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian.

  Selain itu, itikad baik dalam melaksanakan suatu perjanjian mempunyai peranan yang penting, Subekti mengatakan bahwa itikad baik merupakan sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, karena merupakan landasan utama untuk dapat

  31 melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya .

  Dari pengertian di atas, maka dalam perjanjian jual beli ditemukan ada dua kewajiban, yaitu (1) Kewajiban dari pihak penjual, untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan (2) Kewajiban pihak pembeli, untuk membayar harga

  32 barang yang dibeli kepada penjual.

  Atas dasar pengertian yang disebut dalam butir 2, tentang kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual, maka harga barang yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada penjual haruslah berupa uang rupiah. Mengingat hal tersebut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa dengan menunjukkan Kartu Kredit dan dengan menandatangai faktur yang telah tersedia pada toko-toko, restoran, hotel-hotel dan lain-lain, berarti pemegang kartu telah melakukan pembayaran untuk transaksi yang telah dibuatnya, karena pembayaran (betaling) adalah tidak hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang 31 32 Riduan Syahrani, Op. Cit., hlm. 259.

  

R. Subekti R., Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 8 - 20 semata-mata. Ditinjau dari segi yuridis teknis, ditentukan bahwa pembayaran tidak selamanya mesti berujud sejumlah uang atau barang tertentu, akan tetapi bisa saja dalam bentuk pemenuhan jasa, atau pembayaran dalam bentuk tidak berujud atau

  33

  immaterial. Di samping itu, bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan bebas yang perlu adalah pembayaran yang dilakukan seseorang itu dimaksudkan untuk

  34

  memenuhi prestasi perjanjian, sudah cukup bagi hukum. Mengingat penggunaan kartu kredit adalah kalangan tertentu yang penghasilan per bulannya memenuhi standar yang telah ditentukan, maka dapat dipastikan bahwa masalah hukum yang timbul dari praktik penggunaan kartu kredit akan sangat bervariasi macam dan bentuknya.

  Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum antara bank atau lembaga non bank sebagai kreditur dengan nasabah pemegang kartu kredit sebagai debitur adalah didasarkan pada adanya perjanjian penyaluran dana dalam berbagai bentuk sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.

  Namun kemudian akibat salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya memberikan hak tagih bagi kreditur atas hutang debitur sebagaimana diatur dalam asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Jo 1320 KUH Perdata) menurut hukum perjanjian Indonesia, meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

  Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk 33 memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk 34 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 107 Ibid .

  menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi

  35

  ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Aanvullend Optional).” Menurut Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian penerbiatan kartu kredit seperti halnya perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain :

  1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;

  2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;

  36

  3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.” Mengenai akta perjanjian perjanjian kartu kredit di bawah tangan ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh Legal Officer, yaitu :

  1. Kelemahan.

  Ada beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu antara lain : a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh debitur yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tanda tangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat tersebut;

  b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh bank (Form Standart/Baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit.

  2. Arsip/ file surat asli.

  a. Pada dasarnya juga merupakan suatu kelemahan dari pada perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian 35 kredit yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang karena sebab 36 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, 1999, hlm. 47 Wardoyo, Ch. Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan

  Manajemen, Nopember-Desember, 1992. apapun, maka bank tidak memiliki arsip/file asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini akan membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi perselisihan.

  b. Isian Blanko Perjanjian. Dalam hal perjanjian kredit di bawah tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitur mengingkari atau memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, form/blankonya telah disiapkan bank, sehingga dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menanda-tangani blanko kosong yang

  37 berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian tersebut.

  Bentuk perjanjian pernerbitan kartu kredit oleh bank secara tertulis di bawah tangan ataupun akta notaril harus selalu memperhatikan klausul dalam perjanjian tersebut, karena perjanjian kartu kredit bank yang tidak memuat klausul seperti pendapat sarjana di atas akan mengandung kelemahan di kemudian hari yang tidak sesuai dengan tujuan dibuat perjanjian perjanjian kartu kredit tersebut.

  Tujuan di atas sesuai dengan pengertian kredit itu sendiri yang oleh O.P. Simorangkir, mengartikan perjanjian kartu kredit seperti halnya kredit adalah “pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra-prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas

37 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, hlm. 228.

  komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa

  38

  mendatang.” Dalam praktek, pihak debitur hanya dapat menawar besarnya bunga yang akan dibebankan sedangkan mengenai klausul yang lain pihak bank tidak bersedia untuk merubah. Begitu juga dengan perjanjian kuasa menjual yang dibuat kemudian dapat menjadi batal, sehingga prestasi dalam perjanjian kredit ini adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, karena prestasi merupakan isi dari pada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka debitur dikatakan wanprestasi. Terhadap wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur tersebut, maka tentunya diperlukan adanya jaminan yang nantinya digunakan sebagai alat untuk melakukan penagihan.

2. Konsepsi

  Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

38 O. P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersil, Aksara Persada, Jakarta, 1986, hlm. 91.

  1. Kartu kredit kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.

  2. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 1547 KUH Perdata yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

  39 dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

  3. Pihak penerbit kartu (Issuer) adalah pihak atau lembaga yang mengeluarkan dan mengelola suatu kartu kredit. Pihak penerbit dapat berupa bank, lembaga keuangan lain atau perusahaan bukan lembaga keuangan. Perusahaan yang khusus menerbitkan kartu kredit, harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari Departemen Keuangan. Apabila penerbit adalah Bank, maka harus mengikuti

  40 ketentuan Bank Indonesia.

  4. Pihak Acquirer adalah pihak yang berupa lembaga yang mengelola penggunaan kartu kredit, terutama dalam hal penagihan dan pembayaran

  issuer merchant/

  antara pihak dengan pihak pedagang. Berdasarkan mekanisme pengelolaan kartu kredit, pihak penerbit kartu kredit (Issuer) dapat sekaligus berfungsi sebagai pihak pengelola kartu kredit (Acquirer) atau

  41 hanya akan terkonsentrasi pada salah satu fungsi saja.

  39 40 Pasal 1547 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 41 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, 1995, hlm. 266.

  Ibid.

  5. Pihak pemegang kartu kredit (Card Holder), pihak ini berupa orang- perseorangan yang telah memenuhi prosedur atau persyaratan yang ditetapkan oleh penerbit untuk dapat diterima sebagai anggota dan berhak menggunakan kartu kredit sesuai dengan kegunaannya. Untuk dapat diterima menjadi anggota sebuah kartu kredit, calon pemegang kartu kredit harus memenuhi persyaratan pokok antara lain jumlah minimum penghasilan pertahunnya memenuhi batas yang telah ditentukan oleh bank atau lembaga bukan bank yang bergerak di bidang usaha kartu kredit. Pemegang kartu dapat dibedakan

  (basic Card)

  dengan pemegang kartu utama dan kartu suplemen (supplementary Card).

  Kartu suplemen ini biasanya diterbitkan untuk digunakan pihak-pihak yang akan ditanggung oleh pemegang kartu utama,

  42 misalnya anggota keluarga dan sebagainya.

  6. Itikad baik merupakan sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, karena merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan

  43

  sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya , termasuk dalam hal ini dalam pelaksanaan penggunaan kartu kredit.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

  Objek penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan akibat hukum dari penerbitan kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli. Hal ini 42

  ., 43 Ibid M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 108

  dilakukan karena melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam transaksi jual beli. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian, maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang berlaku di dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala- gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk sebagai upaya penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli.

2. Sumber Data

  Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

a. Data Sekunder

  Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan perundang- undangan yang ada kaitannya pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam transaksi jual beli. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:

  1) Bahan Hukum Primer

  Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di perpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.

  Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli ini adalah sebagai berikut: a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

  b) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

  c) Peraturan perundang-undangan yang terkait penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran.

  2) Bahan Hukum Sekunder