BAB II PENGATURAN KEWAJIBAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PERUSAHAAN PUBLIK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PASAR MODAL INDONESIA A. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal - Tanggu

  lingkungan hidup bagi perusahaan publik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai pasar modal itu sendiri dan kewajiban yang umum dilakukan bagi emiten atau perusahaan publik di industri sekuritas (pasar modal). Pada dasarnya, berinvestasi dalam pasar modal merupakan suatu cara investasi tidak langsung (indirect

  

investment). Hal ini yang menjadi perbedaan antara Undang-Undang Nomor 8

  Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur mengenai investasi tidak langsung dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur mengenai investasi langsung (direct investment).

  Pasar modal merupakan alternatif yang baik untuk kebutuhan dana perusahaan. Dengan adanya pasar modal maka kebutuhan dana perusahaan baik untuk pengembangan maupun kebutuhan lainnya akan dapat tercukupi. Sedangkan bagi investor (baik individu maupun perusahaan), pasar modal merupakan alternatif investasi yang dapat mendatangkan keuntungan. Sedangkan dari sisi pemerintah, dengan adanya pasar modal maka pembangunan

   perekonomian akan ikut terpacu.

  Secara umum, pasar modal dapat didefinisikan sebagai tempat bagi perusahaan yang memperjualbelikan berbagai instrument keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri. Baik pasar

  

  modal maupun pasar uang merupakan bagian dari pasar keuangan. Perusahaan yang menerbitkan sekuritas ini disebut sebagai emiten, sedangkan pihak yang membeli sekuritas berarti menanamkan modalnya di perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Pembeli sekuritas tersebut dinamakan pemodal atau investor, penebitan sekuritas disebut emisi. Sekuritas dapat pula disebut efek,

  

  sehingga pasar modal disebut juga bursa efek. Pasar modal banyak dijumpai di berbagai negara dikarenakan dua fungsinya yang begitu penting dengan menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.

  Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return), memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar modal dapat dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan 85 86 Pandi Anoraga dan Piji Pakarti, Op.Cit., hlm. v. 87 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 13.

  Asril Sitompul, Pasar Modal (Penawaran Umum dan Permasalahannya), (Bandung: Citra untuk memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan

   karakteristik investasi yang dipilih.

  Di berbagai negara, pasar modal sejak lama merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan bagi perkembangan ekonomi negara, sebab itu pula pemerintah suatu negara selalu berkepentingan untuk turut mengatur jalannya pasar modal. Di Indonesia, pada tanggal 2 Oktober 1995 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU tentang Pasar Modal yang kemudian pada tanggal

  10 November 1995 oleh Presiden disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan tidak sampai 2 (dua) bulan tepatnya pada 1

   Januari 1996 langsung berlaku secara efektif. Pemberlakuan Undang-Undang

  Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan landasan kokoh dan kepastian hukum bagi semua pihak terkait dalam melakukan kegiatan usaha di

   bidang pasar modal.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, telah diatur mengenai pengertian pasar modal yang lebih spesifik. Pasal 1 angka

  13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menetapkan pengertian Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek

   yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mempunyai hubungan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan 88 89 Syprianus Aristeus, Op.Cit., hlm. 60. 90 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 44.

  Ibid., hlm. 6. Terbatas dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan lex specialis dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

   Perseroan Terbatas yang menjadi lex generalis.

  Keterbukaan atau disclosure merupakan komponen utama dan terpenting

  

  di dalam industri sekuritas (pasar modal). Transparansi dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usaha atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap

   keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud atau harga dari efek tersebut.

  Pernyataan Pendaftaran (registration statement) adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada BAPEPAM (Sekarang OJK) oleh emiten dalam rangka

  

  penawaran umum atau perusahaan publik. Tindakan terpenting dalam suatu penawaran umum yang menentukan dapat tidaknya sebuah emiten melakukan penawaran umum adalah melakukan penyampaian pernyataan pendaftaran kepada otoritas pasar modal, yang sekarang ini otoritas pasar modal yang mempunyai 92 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 45. Lihat juga dalam Undang-Undang Nomor 40

  

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 154 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Bagi Perseroan

Terbuka berlaku ketentuan Undang-Undang ini jika tidak diatur lain dalam peraturan perundang-

undangan di bidang pasar modal.” Dan Pasal 154 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Peraturan

perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengecualikan ketentuan Undang-Undang ini

tidak boleh bertentangan dengan asas hukum Perseroan dalam Undang-Undang ini.” 93 94 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 166.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 25

menyebutkan bahwa: “prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten,

Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan

kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau

efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut.” wewenang tersebut adalah OJK dimana hal ini harus dilakukan karena tanpa

   adanya pernyataan pendaftaran, maka tidak akan pernah ada penawaran umum.

  Ketentuan mengenai kewajiban dalam menyampaikan pernyataan pendaftaran tersebut diatur di dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8

  Pernyataan pendaftaran pada dasarnya merupakan sekumpulan dokumen yang memuat prinsip-prinsip keterbukaan yang harus disampaikan oleh emiten

  

  dalam rangka penawaran umum efeknya di pasar modal. Pernyataan pendaftaran ini memberikan detil mengenai penawaran umum perusahaan, menyediakan informasi yang lengkap yang dibutuhkan oleh BAPEPAM (Sekarang OJK), dan

  

  untuk meningkatkan minat dari investor terhadap perusahaan. Kewajiban melakukan disclosure untuk pertama kali (ketika menyampaikan pernyataan pendaftaran ini) harus dilakukan secara menyeluruh dan adil, sehingga biasa disebut full and fair disclosure. Kewajiban yang menjadi bagian terpenting dari pernyataan pendaftaran setelah BAPEPAM (Sekarang OJK) menyatakan efektif

  

  pernyataan pendaftaran emiten ini adalah dokumen yang bernama prospekt pada akhirnya merupakan dokumen utama dalam melakukan penawaran atas efek 96 97 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 47.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 70 ayat (1) yang

menyebutkan bahwa: “Yang dapat melakukan Penawaran Umum hanyalah emiten yang telah

menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam untuk menawarkan atau menjual efek

kepada masyarakat dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah aktif.” Dan Pasal 73 menyebutkan

bahwa: “Setiap Perusahaan Publik wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada

Bapepam.” 98 99 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 47. 100 Asril Sitompul, Op.Cit., hlm. 56.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 26 yang

menyebutkan bahwa: “Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran

  

  tersebut. Prospektus ini harus ada dan dilihat oleh investor sebelum mereka

   menyatakan minat untuk melakukan pemesanan atas efek yang ditawarkan.

  Namun demikian kewajiban untuk melakukan disclosure ini tidak hanya pada saat penawaran umum tersebut dilakukan, tetapi akan terus berlanjut sepanjang tersebut merupakan perusahaan publik karena memang hanya informasilah yang merupakan materi yang dibutuhkan investor untuk melakukan

  

  keputusan investasinya. Kewajiban selanjutnya setelah pernyataan pendaftaran menjadi efektif baik bagi emiten maupun perusahaan publik adalah keterbukaan yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang pada dasarnya mencakup 2 hal, yaitu keterbukaan yang sifatnya berkala (periodic disclosure) dan keterbukaan yang sifatnya berdasarkan adanya informasi, peristiwa atau kejadian yang dialami oleh emiten (episodic

   disclosure ).

  Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban keterbukaan perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan BAPEPAM (Sekarang OJK). 101 102 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 48-50.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 71 yang menyebutkan

bahwa: “Tidak satu Pihak pun dapat menjual Efek dalam Penawaran Umum, kecuali pembeli atau

pemesan menyatakan dalam formulir pemesanan Efek bahwa pembeli atau pemesan telah

menerima atau memperoleh kesempatan untuk membaca Prospektus berkenaan dengan Efek yang

bersangkutan sebelum atau pada saat pemesanan dilakukan.” 103 104 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 48-49.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 86 ayat (1) yang

menyebutkan bahwa: “Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif atau

Perusahaan Publik wajib: a. menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan

mengumumkan laporan tersebut kepada masyarkat; dan b. menyampaikan laporan kepada

Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat

mempengaruhi harga Efek selambat-lambatnya pada akhir kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya

  B.

Menurut Undang-Undang-Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

  Hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merupakan hal yang positif bagi pembangunan ekonomi nasional khususnya perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mengatur kewajiban dari perseroan terbatas termasuk perusahaan publik di dalam 1 (satu) bab yaitu BAB V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

  Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memberikan definisi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yaitu komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun

   masyarakat pada umum.

  Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai kewajiban perusahaan termasuk perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan

   lingkungan.

  Jika dilihat pada penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya melihat pada bisnis inti (core business) dari perusahaan

  

  tersebut. Walaupun perusahaan tersebut tidak secara langsung melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, maka perusahaan tersebut wajib

  

melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

  C.

  

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan Lingkungan

  Pada hakikatnya, hanya manusialah yang mempunyai kewajiban dalam melestarikan lingkungan karena kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari

  

  lingkungan. Namun atas dasar pengertian bahwa perusahaan merupakan 106

  Ibid., Penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan

“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan

yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam” dan “Yang dimaksud

dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya

alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi

kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam”. 107 108 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op.Cit., hlm. 95. 109 Ibid.

  Lingkungan telah menyediakan beragam kebutuhan bagi manusia yang merupakan syarat

mutlak agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Lingkungan menyediakan air, udara, organisasi yang dibentuk oleh manusia dan terdiri dari manusia, maka perusahaan juga memiliki kewajiban dalam perlindungan dan pegelolaan lingkungan hidup.

  Perusahaan atau korporasi memiliki kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial bagi masyarakat dan lingkungan hidup di sekitar kegiatan perusahaan

  

  tersebut. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) perlu dibebankan kepada perusahaan-perusahaan karena dalam fakta, tidak terhindari bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan- perusahaan yang mengelola sumber daya alam dan perusahaan yang memiliki dampaknya kepada lingkungan dan sumber daya alam, memberikan gangguan dan

   berbagai pengorbanan atas masyarakat dan lingkungan hidup.

  Mengenai kewajiban perusahaan termasuk perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang- Undnag Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hukum lingkungan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. Penjabaran kewajiban tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

  

manusia.. Lingkungan adalah condition sine qua non bagi manusia. Lihat A’an Efendi, Op.Cit.,

hlm. 1. 110 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, (Jakarta: Pancuran Alam, 2008), hlm. 173.

  

Tabel 1. Kewajiban Bagi Perusahaan di Bidang Perlindungan dan

  Pengelolaan Lingkungan Hidup

  BAB Bagian Paragraf Pasal

  V Kedua

  5 Pasal 22-33 (Pengendalian) (Pencegahan) (Amdal)

  6 Pasal 34-35 (UKL-UPL)

  7 Pasal 36-41 (Perizinan)

  11 Pasal 47 (Analisis Risiko

  Lingkungan Hidup)

  12 Pasal 48-52 (Audit

  Lingkungan Hidup)

  Ketiga

  Pasal 53 (Penanggulangan)

  Keempat

  Pasal 54-55 (Pemulihan)

  VII Kesatu

  Pasal 58 (Pengelolaan (Pengelolaan B3)

  Bahan Berbahaya Kedua

  Pasal 59 dan Beracun serta (Pengelolaan Limbah

  Limbah B3) Berbahaya dan

  Beracun)

  X Kedua

  Pasal 67-68 (Hak, Kewajiban, (Kewajiban) dan Larangan)

  Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan

  

  hidup wajib memiliki Amdal. Amdal memiliki 2 fungsi dalam hukum 112

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 113 Dampak penting terhadap lingkungan ditentukan berdasarkan kriteria sebagaimana lingkungan, di satu sisi sebagai bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana dan/atau aktivitas sedangkan di sisi lainnya sebagai syarat atau keharusan

   untuk dipenuhi guna memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

  Tanpa dipenuhinya syarat pembuatan Amdal berupa dokumen Amdal, tentulah izin untuk melakukan usaha dan/atau aktivitas tidak akan diberikan oleh yang

  

  berwenang. Berbeda dengan Amdal, setiap usaha yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan

  

  Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Selain itu kegiatan-kegiatan yang tidak wajib UKL dan UPL, wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan

   dan pemantauan lingkungan hidup.

  Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Amdal dan UKL-UPL tidak lagi menjadi prasyarat untuk memperoleh izin usaha, tetapi sebagai prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

  

  Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebaliknya izin lingkungan merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan sebagaimana ditegaskan

  

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena

dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan

lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang terkena

dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; g. kriteria lain

sesuai dengan perkembangan teknologi. Baca dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di

Indonesia , (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 93. 114 115 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, Op.Cit., hlm. 206. 116 Ibid. 117 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 98.

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 35 ayat (1). dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

  

  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perizinan merupakan salah satu intrumen administratif yang digunakan sebagai sarana di bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dimana sektor-sektor usaha yang paling potensial sebagai sumber pencemaran, antara lain adalah industri dan

   pertambangan.

  Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat beberapa izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu izin usaha, misalnya izin usaha industri, kuasa pertambangan dan hak pengusahaan hutan, izin gangguan/HO (hinder ordonanntie), izin pengendalian pencemaran air dan

   izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan lainnya.

  Namun berdasarkan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-

  

  Undang ini ditetapkan.” Izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan dan jika usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, 119 120 Ibid. 121 Ibid., hlm. 127.

  Ibid., hlm. 128.

   penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui lingkungan.

  Oleh karena itu, izin lingkungan sebagai instrumen pengendalian wajib dipenuhi terlebih dahulu oleh perusahaan sebelum mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatannya.

  Menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan dan/atau kesehatan

  

  dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.” Perbedaan antara Amdal dan analisis risiko lingkungan hidup adalah Amdal merupakan kajian terhadap dampak yang mungkin terjadi akibat berlangsungnya sebuah kegiatan, sedangkan analisis risiko lingkungan hidup merupakan kajian

   terhadap peristiwa yang mungkin terjadi akibat suatu kegiatan.

  Selanjutnya kewajiban mengenai audit lingkungan hidup. Audit lingkungan adalah alat manajemen yang sifatnya internal yang digunakan oleh suatu organisasi atau aktivitas untuk melaksanakan kewajiban pengelolaan

  

  lingkungan. Penerapan prinsip audit lingkungan hidup pada dasarnya bersifat

  

  sukarela dan bukan merupakan kewajiban. Prinsip ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan “pemerintah mendorong 123 124 Ibid., hlm. 7. 125 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 123. 126 Ibid.

  A’an Efendi, Op.Cit., hlm. 85-86. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan

  

  hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.” Namun demikian, berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan

  

  bahwa pelaksanaan audit lingkungan akan menjadi bersifat wajib dalam hal: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

  Lalu ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan.” Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib melaksanakan audit lingkungan menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini adalah penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria

   Pasal 49 ayat (1), jadi tidak semua penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

  Ketentuan selanjutnya membahas mengenai penanggulangan. Berdasarkan

  Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan 128 129 Ibid.

  Ibid., hlm. 86. penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” Tindakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

  

  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Tahapan pemulihan yang diatur dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dilakukan dengan cara,

  

  yaitu: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Kewajiban pada bagian pemulihan juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal tersebut mengatur bahwa pemegang izin 131

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 53 ayat (2). lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.

  Pengaturan mengenai kewajiban pengelolaan B3 dan limbah B3 diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan dalam Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.” Kewajiban yang sama juga diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.”

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur kewajiban hukum yang telah diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam

  Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta megendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” Selanjutnya Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

  Ketentuan lebih lanjut kewajiban bagi perusahaan termasuk perusahaan publik dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan ketentuan lainnya yang bersangkutan.

  D.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

  Mengenai kewajiban perusahaan publik, maka terdapat keterkaitan yang erat dengan hukum penanaman modal (hukum investasi). Dalam poin ini akan membahas bagaimana kewajiban dari perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebelum membahas mengenai kewajiban bagi perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka harus diketahui terlebih dahulu konsep penanaman modal. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah memberikan definisi dari penanaman modal yang menyebutkan bahwa Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan

   kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

  Secara umum konsep penanaman modal terbagi atas 2 (dua), yaitu direct

  

investment (investasi secara langsung) yang dibedakan dengan istilah indirect

investment (investasi secara tidak langsung/investasi portofolio). Namun, Pasal

  2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur secara eksplisit dengan membatasi ruang lingkup investasi di wilayah negara Republik Indonesia hanya pada investasi seara langsung dan tidak

  

  termasuk investasi secara tidak langsung atau portofolio. Jadi, yang menjadi contoh dari investasi langsung adalah perseroan terbatas yang merupakan badan usaha berbentuk badan hukum, termasuk perusahaan publik.

  Kewajiban perusahaan publik harus mengikuti asas-asas dalam penyelenggaraan penanaman modal khususnya mengenai keterbukaan informasi pada bidang perlindungan dan pengelolaan hidup yang telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu

   keterbukaan, akuntabilitas, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

  Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial.

  Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa setiap penanam modal 133 134 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

  David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 19. 135 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Penjelasan Pasal 2.

  

  berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan

  Pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan

   sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

  Selanjutnya hubungan tanggung jawab sosial perusahaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian

  

  lingkungan hidup. Pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengatur secara khusus mengenai kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable) untuk mengalokasikan dana untuk pemulihan lokasi usaha sesuai dengan standar 137 Ibid., Pasal 15 menyebutkan bahwa : “Setiap penanam modal berkewajiban: a.

  

menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial

perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya

kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang- undangan.” 138 Diambil dari artikel hukum berjudul Konsep dan Perkembangan Pemikiran tentang

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, diakses pada tanggal 2 Februari 2015. 139 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 16

menyebutkan bahwa: “Setiap penanam modal bertanggung jawab: a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; b. menanggung dan menyelesaikan kewajiban dan kerugian jika penanam modal

menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan usaha

yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga

kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kelayakan lingkungan hidup yang mengatur kewajiban perlindungan dan

   pengelolaan lingkungan hidup.

  Keseriusan pemerintah dalam mengajak penanam modal untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan memberikan hak berupa fasilitas penanaman modal. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menetapkan kriteria-kriteria bagi penanam modal yang melakukan perluasan usaha atau melakukan penanaman modal baru untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah, yaitu salah

   satunya dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup.

  E.

  

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

  Indonesia beruntung dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Permukaan tanah yang subur dan di dalamnya juga terkandung bahan galian tambang berupa mineral, bijih-bijih, berbagai unsur kimia dan berbagai macam batu-batuan termasuk batu mulia yang dapat diolah untuk

  

  kesejahteraan rakyat. Mineral dan batubara (Minerba) sebagai salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan bagian dari sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat dan dibutuhkan setiap lapisan

  

  masyarakat dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Sebagai sumber daya 140

  Ibid., Penjelasan Pasal 17 menyebutkan bahwa: “ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.” 141 142 Ibid. 143 Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 77.

  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, alam yang strategis dan tidak dapat diperbaharui, mineral dan batubara menjadi komoditas yang sangat vital di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah untuk memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional

   dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

  Pada dasarnya, setiap orang, kelompok orang atau badan hukum termasuk perusahaan pertambangan memiliki kewajiban memelihara lingkungan hidup dan

  

  mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Saat ini di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di sektor indutri pertambangan batubara diantaranya adalah PT. Kaltim Prima Coal

  

  dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero). Tbk . Untuk Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan mineral berupa tembaga

  

  dan/atau emas diantaranya adalah PT. Freeport Indonesia , PT. Aneka Tambang

  

  Tbk n PT. Newmont Minahasa Raya. Secara umum pertumbuhan pesat 144 145 Ibid.

  Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia , (Malang, Setara Press, 2013), hlm. 141. 146 PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero). Tbk atau lebih dikenal dengan nama Bukit

Asam adalah perusahaan pertambangan batubara yang berlokasi di daerah Tanjung Enim,

Sumatera Selatan, Indonesia. Pada tanggal 23 Desember 2002, Perseroan tersebut mencatatkan diri

sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode “PTBA”. Diambil dari diakses pada tanggal 3 Februari 2015. 147 PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal asing yang pertama kali

mengusahakan pertambangan mineral dengan menggunakan pola Kontrak Karya (Kontrak Karya

I) yang ditandatangani pada bulan April 1967 dan berakhir bulan 31 Januari 1993. Lihat dalam Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 5. 148 PT. Aneka Tambang Tbk atau yang biasa disebut dengan PT. Antam merupakan

perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan usaha mencakup eksplorasi, penambangan,

pengolahan serta pemasaran dari sumber daya mineral. Komoditas utama Antam adalah bijih nikel

kadar tinggi atau saprolit, bijih nikel kadar rendah atau limonit, feronikel, emas, perak, dan

bauksit. Diambil dar Lihat juga pada

yang menerangkan bahwa saham ANTAM diperdagangkan di Bursa Efek

Indonesia (Indonesia Stock Exchange) serta di Bursa Efek Australia (Australian Securities industri pertambangan di Indonesia berlangsung paralel dengan masalah-masalah lingkungan yang kompleks. Penambangan dan pengoperasian industri pemrosesan telah mengakibatkan gangguan yang serius terhadap ratusan atau ribuan hektar tanah setiap areal penambangan, pencemaran sungai sebagai akibat pembuangan

   tailing sebagai efek dari operasi pertambangan.

  Secara teoritis, operasi industri tambang dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu open pit (penambangan terbuka) dan under ground (penambangan di

  

  bawah tanah. Dengan operasi industri tambang tersebut, maka dalam kegiatan usahanya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Untuk kedua tipe penambangan ini, batuan sisa merupakan sumber utama yang berpotensi menggangu lingkungan. Praktik-praktik pemrosesan dapat menghasilkan sumber- sumber pencemar lainnya seperti sisa padat (solid waste) yaitu cerih, limbah air

  

  dan cairan terkontaminasi, serta emisi debu. Dewasa ini, banyak kasus-kasus lingkungan hidup yang berasal dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha di sektor pertambangan. Sebagai contoh perusahaan yang sampai saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak dalam kaitannya dengan kewajiban untuk melakukan upaya-upaya perlindungan lingkungan adalah PT. Freeport Indonesia (FI) dan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), yang sampai

  

  saat ini masih dalam kondisi pro kontra. PT. Newmont Minahasa Raya terlibat dalam sebuah kasus pencemaran lingkungan berkaitan dengan pengelolaan

  149 150 Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 122. 151 Ibid.

  Ibid., hlm. 124.

  

tailing , yaitu masalah sub-marine tailing disposal (STD), yang biasa disebut oleh

perusahaan pertambangan dengan sub-marine tailing placement (STP).

  Dihasilkannya bahan sisa (waste) dalam volume yang sangat besar sebagai ciri utama proses penambangan, merupakan salah satu tantangan lingkungan yang sangat besar bagi industri pertambangan, terutama dalam hal pembuangan dan penanganannya. Dalam kegiatan penambangan dan pemrosesan, produk samping yang dihasilkan (by product) juga menimbulkan masalah, bukan karena volumenya yang sangat besar, akan tetapi juga karena bahan tersebut merupakan

  

  substansi kimia yang reaktif, bahkan dapat bersifat radioaktif Pada hakikatnya, kegiatan pertambangan umum dengan proyek obyek utama mineral, batubara dan panas bumi adalah untuk mencari dan mempelajari kelayakannya sampai dengan pemanfataan mineral dan batubara, baik untuk

  

  kepentingan perusahaan, masyarakat sekitar, maupun bagi pemerintah. Jika dilihat dari sifat usahanya, pertambangan mempunyai beberapa karakteristik, yang salah satunya bersifat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable energy). Pertambangan yang memiliki karakteristik ini berisiko lebih tinggi dan pengusahaannya memiliki dampak lingkungan baik fisik maupun sosial yang relatif lebih tinggi pula dibandingkan pengusahaan komoditi pada umumnya.

  153 Pembuangan tailing-limbah menyerupai lumpur kental, pekat, dan mengandung logam-

logam berat ke laut dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, anak perusahaan dari Newmont

  Indonesia Ltd di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, baca dalam Ibid., hlm. 142. 154 Ibid ., hlm. 124.

  Menurut Salim HS, setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:

   1.

  memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;

  2. meningkatkan pendapatan asli daerah; 3. menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.

  Demikian juga dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:

   1.

  kehancuran lingkungan hidup; 2. penderitaan masyarakat adat; 3. menurunnya kualitas lingkungan hidup penduduk lokal; 4. meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan

  Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan, khususnya untuk kewajiban perlindungan lingkungan bagi perusahaan publik yang melaksanakan kegiatan di sektor pertambangan, maka diperlukan landasan hukum yang mengatur kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Koesnadi Hardjosoemantri yang menyatakan bahwa apapun alasannya, karena penambang melakukan kegiatan usaha di Negara Indonesia, maka sudah semestinya apabila mematuhi pula berbagai produk hukum maupun 156

  Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 57.

  

  peraturan yang telah dibuat pemerintah Negara Republik Indonesia. Hukum positif Indonesia mengenai pertambangan mineral dan batubara terdapat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

   Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

  Perusahaan yang ingin melakukan usaha pertambangan harus memiliki izin terlebih dahulu. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dikenal 2 (dua) tipe izin yaitu Izin Usaha

  

  Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Untuk IUP

  

  diberikan kepada badan usaha selain koperasi dan perseorangan sedangkan

  IUPK diberikan terkhusus kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan

   Usaha Swasta.

  Pada izin usaha pertambangan baik IUP maupun IUPK, terdapat dua tahap izin yaitu untuk eksplorasi dan operasi produksi. Sebelum perusahaan mendapat

  

  izin tersebut, maka ketentuan-ketentuan izin dari IUP dan IUPK pada tahap 158 159 Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 135.

  Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 173

ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” 160 161 Ibid., Pasal 35 Ibid., Pasal 1 angka 23 menyebutkan bahwa: “Badan usaha adalah setiap badan hukum

yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan

berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 162 163 Ibid., Pasal 38 jo Pasal 75 ayat (2).

Dokumen yang terkait

Kajian Yuridis Atas Kejahatan Pasar Modal Di Bursa Efek Indonesia Menurut UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

5 85 103

Penyelesaian Wanprestasi Di Pasar Modal Dalam Sistem JATS Menurut UU Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

7 147 139

Kajian Yuridis Akuisisi Internal Pada Perusahaan Publik Menurut Pasal 84 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

0 5 129

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA BERDASAR UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 3 12

PERLINDUNGAN INVESTOR DALAM PEMBELIAN KEMBALI SAHAM MELALUI PASAR MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL

0 22 29

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PADA PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI PT. PENANAM MODAL DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 0 26

BAB II PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda

0 0 44

BAB II PENTINGNYA KETERBUKAAN FAKTA MATERIL DALAM HUKUM PASAR MODAL DI INDONESIA A. Mekanisme Perdagangan Efek di Pasar Modal - Analisis Hukum Ketentuan Fakta Materil dalam Perspektif Hukum Pasar Modal Indonesia

0 0 34

BAB II LANDASAN HUKUM MENGENAI REKSA DANA PERSEROAN A. Ketentuan Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal - Hubungan Hukum Para Pihak dalam Reksa Dana Perseroan terkait Transaksi Reksa Dana Saham

0 0 23

BAB II PENGATURAN REKSA DANA DI PASAR MODAL INDONESIA A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Reksa dana - Exchange Traded Fund (Etf) Sebagai Instrumen Alternatif Dalam Investasi Di Pasar Modal Indonesia

0 0 38