BAB II PENGATURAN KEWAJIBAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PERUSAHAAN PUBLIK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PASAR MODAL INDONESIA A. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal - Tanggu
lingkungan hidup bagi perusahaan publik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai pasar modal itu sendiri dan kewajiban yang umum dilakukan bagi emiten atau perusahaan publik di industri sekuritas (pasar modal). Pada dasarnya, berinvestasi dalam pasar modal merupakan suatu cara investasi tidak langsung (indirect
investment). Hal ini yang menjadi perbedaan antara Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur mengenai investasi tidak langsung dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur mengenai investasi langsung (direct investment).
Pasar modal merupakan alternatif yang baik untuk kebutuhan dana perusahaan. Dengan adanya pasar modal maka kebutuhan dana perusahaan baik untuk pengembangan maupun kebutuhan lainnya akan dapat tercukupi. Sedangkan bagi investor (baik individu maupun perusahaan), pasar modal merupakan alternatif investasi yang dapat mendatangkan keuntungan. Sedangkan dari sisi pemerintah, dengan adanya pasar modal maka pembangunan
perekonomian akan ikut terpacu.
Secara umum, pasar modal dapat didefinisikan sebagai tempat bagi perusahaan yang memperjualbelikan berbagai instrument keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri. Baik pasar
modal maupun pasar uang merupakan bagian dari pasar keuangan. Perusahaan yang menerbitkan sekuritas ini disebut sebagai emiten, sedangkan pihak yang membeli sekuritas berarti menanamkan modalnya di perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Pembeli sekuritas tersebut dinamakan pemodal atau investor, penebitan sekuritas disebut emisi. Sekuritas dapat pula disebut efek,
sehingga pasar modal disebut juga bursa efek. Pasar modal banyak dijumpai di berbagai negara dikarenakan dua fungsinya yang begitu penting dengan menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.
Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return), memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar modal dapat dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan 85 86 Pandi Anoraga dan Piji Pakarti, Op.Cit., hlm. v. 87 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 13.
Asril Sitompul, Pasar Modal (Penawaran Umum dan Permasalahannya), (Bandung: Citra untuk memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan
karakteristik investasi yang dipilih.
Di berbagai negara, pasar modal sejak lama merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan bagi perkembangan ekonomi negara, sebab itu pula pemerintah suatu negara selalu berkepentingan untuk turut mengatur jalannya pasar modal. Di Indonesia, pada tanggal 2 Oktober 1995 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU tentang Pasar Modal yang kemudian pada tanggal
10 November 1995 oleh Presiden disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan tidak sampai 2 (dua) bulan tepatnya pada 1
Januari 1996 langsung berlaku secara efektif. Pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan landasan kokoh dan kepastian hukum bagi semua pihak terkait dalam melakukan kegiatan usaha di
bidang pasar modal.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, telah diatur mengenai pengertian pasar modal yang lebih spesifik. Pasal 1 angka
13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menetapkan pengertian Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek
yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mempunyai hubungan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan 88 89 Syprianus Aristeus, Op.Cit., hlm. 60. 90 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 44.
Ibid., hlm. 6. Terbatas dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan lex specialis dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang menjadi lex generalis.
Keterbukaan atau disclosure merupakan komponen utama dan terpenting
di dalam industri sekuritas (pasar modal). Transparansi dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usaha atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap
keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud atau harga dari efek tersebut.
Pernyataan Pendaftaran (registration statement) adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada BAPEPAM (Sekarang OJK) oleh emiten dalam rangka
penawaran umum atau perusahaan publik. Tindakan terpenting dalam suatu penawaran umum yang menentukan dapat tidaknya sebuah emiten melakukan penawaran umum adalah melakukan penyampaian pernyataan pendaftaran kepada otoritas pasar modal, yang sekarang ini otoritas pasar modal yang mempunyai 92 M. Irsan Nasarudin, dkk, Op.Cit., hlm. 45. Lihat juga dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 154 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Bagi Perseroan
Terbuka berlaku ketentuan Undang-Undang ini jika tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.” Dan Pasal 154 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengecualikan ketentuan Undang-Undang ini
tidak boleh bertentangan dengan asas hukum Perseroan dalam Undang-Undang ini.” 93 94 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 166.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 25
menyebutkan bahwa: “prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten,
Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan
kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau
efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut.” wewenang tersebut adalah OJK dimana hal ini harus dilakukan karena tanpa
adanya pernyataan pendaftaran, maka tidak akan pernah ada penawaran umum.
Ketentuan mengenai kewajiban dalam menyampaikan pernyataan pendaftaran tersebut diatur di dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8
Pernyataan pendaftaran pada dasarnya merupakan sekumpulan dokumen yang memuat prinsip-prinsip keterbukaan yang harus disampaikan oleh emiten
dalam rangka penawaran umum efeknya di pasar modal. Pernyataan pendaftaran ini memberikan detil mengenai penawaran umum perusahaan, menyediakan informasi yang lengkap yang dibutuhkan oleh BAPEPAM (Sekarang OJK), dan
untuk meningkatkan minat dari investor terhadap perusahaan. Kewajiban melakukan disclosure untuk pertama kali (ketika menyampaikan pernyataan pendaftaran ini) harus dilakukan secara menyeluruh dan adil, sehingga biasa disebut full and fair disclosure. Kewajiban yang menjadi bagian terpenting dari pernyataan pendaftaran setelah BAPEPAM (Sekarang OJK) menyatakan efektif
pernyataan pendaftaran emiten ini adalah dokumen yang bernama prospekt pada akhirnya merupakan dokumen utama dalam melakukan penawaran atas efek 96 97 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 47.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 70 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa: “Yang dapat melakukan Penawaran Umum hanyalah emiten yang telah
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam untuk menawarkan atau menjual efek
kepada masyarakat dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah aktif.” Dan Pasal 73 menyebutkan
bahwa: “Setiap Perusahaan Publik wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada
Bapepam.” 98 99 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 47. 100 Asril Sitompul, Op.Cit., hlm. 56.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 26 yang
menyebutkan bahwa: “Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran
tersebut. Prospektus ini harus ada dan dilihat oleh investor sebelum mereka
menyatakan minat untuk melakukan pemesanan atas efek yang ditawarkan.
Namun demikian kewajiban untuk melakukan disclosure ini tidak hanya pada saat penawaran umum tersebut dilakukan, tetapi akan terus berlanjut sepanjang tersebut merupakan perusahaan publik karena memang hanya informasilah yang merupakan materi yang dibutuhkan investor untuk melakukan
keputusan investasinya. Kewajiban selanjutnya setelah pernyataan pendaftaran menjadi efektif baik bagi emiten maupun perusahaan publik adalah keterbukaan yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang pada dasarnya mencakup 2 hal, yaitu keterbukaan yang sifatnya berkala (periodic disclosure) dan keterbukaan yang sifatnya berdasarkan adanya informasi, peristiwa atau kejadian yang dialami oleh emiten (episodic
disclosure ).
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban keterbukaan perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan BAPEPAM (Sekarang OJK). 101 102 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 48-50.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 71 yang menyebutkan
bahwa: “Tidak satu Pihak pun dapat menjual Efek dalam Penawaran Umum, kecuali pembeli atau
pemesan menyatakan dalam formulir pemesanan Efek bahwa pembeli atau pemesan telah
menerima atau memperoleh kesempatan untuk membaca Prospektus berkenaan dengan Efek yang
bersangkutan sebelum atau pada saat pemesanan dilakukan.” 103 104 Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 48-49.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 86 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa: “Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif atau
Perusahaan Publik wajib: a. menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan
mengumumkan laporan tersebut kepada masyarkat; dan b. menyampaikan laporan kepada
Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat
mempengaruhi harga Efek selambat-lambatnya pada akhir kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya
B.
Menurut Undang-Undang-Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merupakan hal yang positif bagi pembangunan ekonomi nasional khususnya perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mengatur kewajiban dari perseroan terbatas termasuk perusahaan publik di dalam 1 (satu) bab yaitu BAB V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memberikan definisi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yaitu komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umum.
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai kewajiban perusahaan termasuk perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
Jika dilihat pada penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya melihat pada bisnis inti (core business) dari perusahaan
tersebut. Walaupun perusahaan tersebut tidak secara langsung melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, maka perusahaan tersebut wajib
melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
C.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan LingkunganPada hakikatnya, hanya manusialah yang mempunyai kewajiban dalam melestarikan lingkungan karena kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari
lingkungan. Namun atas dasar pengertian bahwa perusahaan merupakan 106
Ibid., Penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam” dan “Yang dimaksud
dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya
alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam”. 107 108 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op.Cit., hlm. 95. 109 Ibid.Lingkungan telah menyediakan beragam kebutuhan bagi manusia yang merupakan syarat
mutlak agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Lingkungan menyediakan air, udara, organisasi yang dibentuk oleh manusia dan terdiri dari manusia, maka perusahaan juga memiliki kewajiban dalam perlindungan dan pegelolaan lingkungan hidup.
Perusahaan atau korporasi memiliki kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial bagi masyarakat dan lingkungan hidup di sekitar kegiatan perusahaan
tersebut. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) perlu dibebankan kepada perusahaan-perusahaan karena dalam fakta, tidak terhindari bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan- perusahaan yang mengelola sumber daya alam dan perusahaan yang memiliki dampaknya kepada lingkungan dan sumber daya alam, memberikan gangguan dan
berbagai pengorbanan atas masyarakat dan lingkungan hidup.
Mengenai kewajiban perusahaan termasuk perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang- Undnag Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hukum lingkungan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. Penjabaran kewajiban tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
manusia.. Lingkungan adalah condition sine qua non bagi manusia. Lihat A’an Efendi, Op.Cit.,
hlm. 1. 110 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, (Jakarta: Pancuran Alam, 2008), hlm. 173.
Tabel 1. Kewajiban Bagi Perusahaan di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
BAB Bagian Paragraf Pasal
V Kedua
5 Pasal 22-33 (Pengendalian) (Pencegahan) (Amdal)
6 Pasal 34-35 (UKL-UPL)
7 Pasal 36-41 (Perizinan)
11 Pasal 47 (Analisis Risiko
Lingkungan Hidup)
12 Pasal 48-52 (Audit
Lingkungan Hidup)
Ketiga
Pasal 53 (Penanggulangan)
Keempat
Pasal 54-55 (Pemulihan)
VII Kesatu
Pasal 58 (Pengelolaan (Pengelolaan B3)
Bahan Berbahaya Kedua
Pasal 59 dan Beracun serta (Pengelolaan Limbah
Limbah B3) Berbahaya dan
Beracun)
X Kedua
Pasal 67-68 (Hak, Kewajiban, (Kewajiban) dan Larangan)
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki Amdal. Amdal memiliki 2 fungsi dalam hukum 112
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 113 Dampak penting terhadap lingkungan ditentukan berdasarkan kriteria sebagaimana lingkungan, di satu sisi sebagai bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana dan/atau aktivitas sedangkan di sisi lainnya sebagai syarat atau keharusan
untuk dipenuhi guna memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Tanpa dipenuhinya syarat pembuatan Amdal berupa dokumen Amdal, tentulah izin untuk melakukan usaha dan/atau aktivitas tidak akan diberikan oleh yang
berwenang. Berbeda dengan Amdal, setiap usaha yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Selain itu kegiatan-kegiatan yang tidak wajib UKL dan UPL, wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Amdal dan UKL-UPL tidak lagi menjadi prasyarat untuk memperoleh izin usaha, tetapi sebagai prasyarat untuk memperoleh izin lingkungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebaliknya izin lingkungan merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan sebagaimana ditegaskan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena
dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan
lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang terkena
dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; g. kriteria lain
sesuai dengan perkembangan teknologi. Baca dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di
Indonesia , (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 93. 114 115 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, Op.Cit., hlm. 206. 116 Ibid. 117 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 98.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 35 ayat (1). dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perizinan merupakan salah satu intrumen administratif yang digunakan sebagai sarana di bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dimana sektor-sektor usaha yang paling potensial sebagai sumber pencemaran, antara lain adalah industri dan
pertambangan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat beberapa izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu izin usaha, misalnya izin usaha industri, kuasa pertambangan dan hak pengusahaan hutan, izin gangguan/HO (hinder ordonanntie), izin pengendalian pencemaran air dan
izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan lainnya.
Namun berdasarkan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini ditetapkan.” Izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan dan jika usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, 119 120 Ibid. 121 Ibid., hlm. 127.
Ibid., hlm. 128.
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui lingkungan.
Oleh karena itu, izin lingkungan sebagai instrumen pengendalian wajib dipenuhi terlebih dahulu oleh perusahaan sebelum mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatannya.
Menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan dan/atau kesehatan
dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.” Perbedaan antara Amdal dan analisis risiko lingkungan hidup adalah Amdal merupakan kajian terhadap dampak yang mungkin terjadi akibat berlangsungnya sebuah kegiatan, sedangkan analisis risiko lingkungan hidup merupakan kajian
terhadap peristiwa yang mungkin terjadi akibat suatu kegiatan.
Selanjutnya kewajiban mengenai audit lingkungan hidup. Audit lingkungan adalah alat manajemen yang sifatnya internal yang digunakan oleh suatu organisasi atau aktivitas untuk melaksanakan kewajiban pengelolaan
lingkungan. Penerapan prinsip audit lingkungan hidup pada dasarnya bersifat
sukarela dan bukan merupakan kewajiban. Prinsip ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan “pemerintah mendorong 123 124 Ibid., hlm. 7. 125 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 123. 126 Ibid.
A’an Efendi, Op.Cit., hlm. 85-86. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan
hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.” Namun demikian, berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan
bahwa pelaksanaan audit lingkungan akan menjadi bersifat wajib dalam hal: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Lalu ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan.” Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib melaksanakan audit lingkungan menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini adalah penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria
Pasal 49 ayat (1), jadi tidak semua penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Ketentuan selanjutnya membahas mengenai penanggulangan. Berdasarkan
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan 128 129 Ibid.
Ibid., hlm. 86. penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” Tindakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Tahapan pemulihan yang diatur dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dilakukan dengan cara,
yaitu: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kewajiban pada bagian pemulihan juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal tersebut mengatur bahwa pemegang izin 131
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 53 ayat (2). lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pengaturan mengenai kewajiban pengelolaan B3 dan limbah B3 diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan dalam Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.” Kewajiban yang sama juga diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur kewajiban hukum yang telah diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta megendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” Selanjutnya Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Ketentuan lebih lanjut kewajiban bagi perusahaan termasuk perusahaan publik dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan ketentuan lainnya yang bersangkutan.
D.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Mengenai kewajiban perusahaan publik, maka terdapat keterkaitan yang erat dengan hukum penanaman modal (hukum investasi). Dalam poin ini akan membahas bagaimana kewajiban dari perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebelum membahas mengenai kewajiban bagi perusahaan publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka harus diketahui terlebih dahulu konsep penanaman modal. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah memberikan definisi dari penanaman modal yang menyebutkan bahwa Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Secara umum konsep penanaman modal terbagi atas 2 (dua), yaitu direct
investment (investasi secara langsung) yang dibedakan dengan istilah indirect
investment (investasi secara tidak langsung/investasi portofolio). Namun, Pasal
2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur secara eksplisit dengan membatasi ruang lingkup investasi di wilayah negara Republik Indonesia hanya pada investasi seara langsung dan tidak
termasuk investasi secara tidak langsung atau portofolio. Jadi, yang menjadi contoh dari investasi langsung adalah perseroan terbatas yang merupakan badan usaha berbentuk badan hukum, termasuk perusahaan publik.
Kewajiban perusahaan publik harus mengikuti asas-asas dalam penyelenggaraan penanaman modal khususnya mengenai keterbukaan informasi pada bidang perlindungan dan pengelolaan hidup yang telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu
keterbukaan, akuntabilitas, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa setiap penanam modal 133 134 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 19. 135 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Penjelasan Pasal 2.
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan
Pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan
sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
Selanjutnya hubungan tanggung jawab sosial perusahaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian
lingkungan hidup. Pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengatur secara khusus mengenai kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable) untuk mengalokasikan dana untuk pemulihan lokasi usaha sesuai dengan standar 137 Ibid., Pasal 15 menyebutkan bahwa : “Setiap penanam modal berkewajiban: a.
menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya
kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang- undangan.” 138 Diambil dari artikel hukum berjudul Konsep dan Perkembangan Pemikiran tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, diakses pada tanggal 2 Februari 2015. 139 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 16
menyebutkan bahwa: “Setiap penanam modal bertanggung jawab: a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; b. menanggung dan menyelesaikan kewajiban dan kerugian jika penanam modal
menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan usaha
yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga
kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kelayakan lingkungan hidup yang mengatur kewajiban perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Keseriusan pemerintah dalam mengajak penanam modal untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan memberikan hak berupa fasilitas penanaman modal. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menetapkan kriteria-kriteria bagi penanam modal yang melakukan perluasan usaha atau melakukan penanaman modal baru untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah, yaitu salah
satunya dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
E.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan BatubaraIndonesia beruntung dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Permukaan tanah yang subur dan di dalamnya juga terkandung bahan galian tambang berupa mineral, bijih-bijih, berbagai unsur kimia dan berbagai macam batu-batuan termasuk batu mulia yang dapat diolah untuk
kesejahteraan rakyat. Mineral dan batubara (Minerba) sebagai salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan bagian dari sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat dan dibutuhkan setiap lapisan
masyarakat dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Sebagai sumber daya 140
Ibid., Penjelasan Pasal 17 menyebutkan bahwa: “ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.” 141 142 Ibid. 143 Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 77.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, alam yang strategis dan tidak dapat diperbaharui, mineral dan batubara menjadi komoditas yang sangat vital di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah untuk memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pada dasarnya, setiap orang, kelompok orang atau badan hukum termasuk perusahaan pertambangan memiliki kewajiban memelihara lingkungan hidup dan
mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Saat ini di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di sektor indutri pertambangan batubara diantaranya adalah PT. Kaltim Prima Coal
dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero). Tbk . Untuk Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan mineral berupa tembaga
dan/atau emas diantaranya adalah PT. Freeport Indonesia , PT. Aneka Tambang
Tbk n PT. Newmont Minahasa Raya. Secara umum pertumbuhan pesat 144 145 Ibid.
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia , (Malang, Setara Press, 2013), hlm. 141. 146 PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero). Tbk atau lebih dikenal dengan nama Bukit
Asam adalah perusahaan pertambangan batubara yang berlokasi di daerah Tanjung Enim,
Sumatera Selatan, Indonesia. Pada tanggal 23 Desember 2002, Perseroan tersebut mencatatkan diri
sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode “PTBA”. Diambil dari diakses pada tanggal 3 Februari 2015. 147 PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal asing yang pertama kali
mengusahakan pertambangan mineral dengan menggunakan pola Kontrak Karya (Kontrak Karya
I) yang ditandatangani pada bulan April 1967 dan berakhir bulan 31 Januari 1993. Lihat dalam Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 5. 148 PT. Aneka Tambang Tbk atau yang biasa disebut dengan PT. Antam merupakan
perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan usaha mencakup eksplorasi, penambangan,
pengolahan serta pemasaran dari sumber daya mineral. Komoditas utama Antam adalah bijih nikel
kadar tinggi atau saprolit, bijih nikel kadar rendah atau limonit, feronikel, emas, perak, dan
bauksit. Diambil dar Lihat juga pada
yang menerangkan bahwa saham ANTAM diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia (Indonesia Stock Exchange) serta di Bursa Efek Australia (Australian Securities industri pertambangan di Indonesia berlangsung paralel dengan masalah-masalah lingkungan yang kompleks. Penambangan dan pengoperasian industri pemrosesan telah mengakibatkan gangguan yang serius terhadap ratusan atau ribuan hektar tanah setiap areal penambangan, pencemaran sungai sebagai akibat pembuangan
tailing sebagai efek dari operasi pertambangan.
Secara teoritis, operasi industri tambang dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu open pit (penambangan terbuka) dan under ground (penambangan di
bawah tanah. Dengan operasi industri tambang tersebut, maka dalam kegiatan usahanya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Untuk kedua tipe penambangan ini, batuan sisa merupakan sumber utama yang berpotensi menggangu lingkungan. Praktik-praktik pemrosesan dapat menghasilkan sumber- sumber pencemar lainnya seperti sisa padat (solid waste) yaitu cerih, limbah air
dan cairan terkontaminasi, serta emisi debu. Dewasa ini, banyak kasus-kasus lingkungan hidup yang berasal dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha di sektor pertambangan. Sebagai contoh perusahaan yang sampai saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak dalam kaitannya dengan kewajiban untuk melakukan upaya-upaya perlindungan lingkungan adalah PT. Freeport Indonesia (FI) dan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), yang sampai
saat ini masih dalam kondisi pro kontra. PT. Newmont Minahasa Raya terlibat dalam sebuah kasus pencemaran lingkungan berkaitan dengan pengelolaan
149 150 Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 122. 151 Ibid.
Ibid., hlm. 124.
tailing , yaitu masalah sub-marine tailing disposal (STD), yang biasa disebut oleh
perusahaan pertambangan dengan sub-marine tailing placement (STP).Dihasilkannya bahan sisa (waste) dalam volume yang sangat besar sebagai ciri utama proses penambangan, merupakan salah satu tantangan lingkungan yang sangat besar bagi industri pertambangan, terutama dalam hal pembuangan dan penanganannya. Dalam kegiatan penambangan dan pemrosesan, produk samping yang dihasilkan (by product) juga menimbulkan masalah, bukan karena volumenya yang sangat besar, akan tetapi juga karena bahan tersebut merupakan
substansi kimia yang reaktif, bahkan dapat bersifat radioaktif Pada hakikatnya, kegiatan pertambangan umum dengan proyek obyek utama mineral, batubara dan panas bumi adalah untuk mencari dan mempelajari kelayakannya sampai dengan pemanfataan mineral dan batubara, baik untuk
kepentingan perusahaan, masyarakat sekitar, maupun bagi pemerintah. Jika dilihat dari sifat usahanya, pertambangan mempunyai beberapa karakteristik, yang salah satunya bersifat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable energy). Pertambangan yang memiliki karakteristik ini berisiko lebih tinggi dan pengusahaannya memiliki dampak lingkungan baik fisik maupun sosial yang relatif lebih tinggi pula dibandingkan pengusahaan komoditi pada umumnya.
153 Pembuangan tailing-limbah menyerupai lumpur kental, pekat, dan mengandung logam-
logam berat ke laut dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, anak perusahaan dari Newmont
Indonesia Ltd di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, baca dalam Ibid., hlm. 142. 154 Ibid ., hlm. 124.
Menurut Salim HS, setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1.
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;
2. meningkatkan pendapatan asli daerah; 3. menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Demikian juga dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1.
kehancuran lingkungan hidup; 2. penderitaan masyarakat adat; 3. menurunnya kualitas lingkungan hidup penduduk lokal; 4. meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan, khususnya untuk kewajiban perlindungan lingkungan bagi perusahaan publik yang melaksanakan kegiatan di sektor pertambangan, maka diperlukan landasan hukum yang mengatur kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Koesnadi Hardjosoemantri yang menyatakan bahwa apapun alasannya, karena penambang melakukan kegiatan usaha di Negara Indonesia, maka sudah semestinya apabila mematuhi pula berbagai produk hukum maupun 156
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 57.
peraturan yang telah dibuat pemerintah Negara Republik Indonesia. Hukum positif Indonesia mengenai pertambangan mineral dan batubara terdapat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Perusahaan yang ingin melakukan usaha pertambangan harus memiliki izin terlebih dahulu. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dikenal 2 (dua) tipe izin yaitu Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Untuk IUP
diberikan kepada badan usaha selain koperasi dan perseorangan sedangkan
IUPK diberikan terkhusus kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Swasta.
Pada izin usaha pertambangan baik IUP maupun IUPK, terdapat dua tahap izin yaitu untuk eksplorasi dan operasi produksi. Sebelum perusahaan mendapat
izin tersebut, maka ketentuan-ketentuan izin dari IUP dan IUPK pada tahap 158 159 Nanik Trihastuti, Op.Cit., hlm. 135.
Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 173
ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” 160 161 Ibid., Pasal 35 Ibid., Pasal 1 angka 23 menyebutkan bahwa: “Badan usaha adalah setiap badan hukumyang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 162 163 Ibid., Pasal 38 jo Pasal 75 ayat (2).