Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Suatu Perikatan

(1)

PENERAPAN BATAS-BATAS ANTARA WANPRESTASI

DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

DALAM SUATU PERIKATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DEDY DARMO SARAGIH

040200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN BATAS-BATAS ANTARA WANPRESTASI

DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

DALAM SUATU PERIKATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DEDY DARMO SARAGIH

040200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Perdata BW

Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof.Dr.Tan Kamello,SH,MS NIP.131764556

Pembimbing I, Pembimbing II,

M.Hayat,SH Sunarto Adi Wibowo,SH,M.Hum

NIP.130808994 NIP.130525894

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat dan anugerah, serta karunia-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini berjudul :

PENERAPAN BATAS-BATAS ANTARA

WANPRESTASI DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM SUATU PERIKATAN”

yang bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis berikan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Salmek Saragih, SH.MHb., dan Ibu Rinta Deliana br. Sipayung, yang telah banyak memberi dukungan, semangat, waktu, tenaga, nasehat, dan banyak lagi yang tidak mungkin Penulis sebutkan satu per satu, selama Penulis menyelesaikan studi, sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H,Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH,MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH,MH,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, SH,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof.Dr.Tan Kamello, SH.MS, selaku Guru Besar, Ketua Departemen Hukum Keperdataan, Dosen Hukum Perdata.


(4)

7. Bapak M.Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan nasehat kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik.

8. Bapak Sunarto Adi Wibowo, SH.M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan nasehat kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 9. Bapak Deni Purba,SH.LLM, selaku Dosen Penasehat Akademik yang selama

ini telah memberi nasehat-nasehat kepada Penulis.

10.Dosen-dosen Departemen Hukum Keperdataan, serta staff-staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmunya kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

11.Buat seluruh keluarga yang telah memberi dukungan, doa, dan semangat kepada Penulis, sehingga Penulis dapat meyelesaikan studi dengan baik. 12.Buat teman-teman seluruh stambuk 2004, abang-abang dan kakak-kakak

alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Seperti kata pepatah, “Tak ada gading yang tak retak”, oleh karena itu Penulis menyadari dalam penulisan skripsi masih banyak terdapat kesalahan yang tidak disengaja. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari Pembaca agar dapat menjadi bahan perbaikan. Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2008

Penulis,

DEDY DARMO SARAGIH


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...iii

ABSTRAKSI ... v

BAB.I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan... 7

F. Metode Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB.II. TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI ... 15

A. Pengertian Wanprestasi ... 15

B. Sebab-sebab Wanprestasi ... 16

C. Wujud Wanprestasi dalam Perikatan ... 21

D. Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perikatan dan cara penyelesaiannya ... 23

BAB.III. TINJAUAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM DIPANDANG DARI SUDUT HUKUM PERDATA ... 28

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 28

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 34

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum ... 39

D. Akibat Perbuatan Melawan Hukum ... 42

E. Faktor-faktor yang Menyebabkan Hilangnya Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum ... 43


(6)

BAB.IV. PENERAPAN BATAS-BATAS WANPRESTASI DENGAN

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PERIKATAN... 47

A. Pelaksanaan Pasal 1365 KUH Perdata ... 47

B. Penerapan Batas Antara Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum ... 54

C. Perbedaan Dasar Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum ... 71

D. Cara Pengajuan Gugatan ... 74

BAB.V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan... 84

B. Saran ... 86


(7)

ABSTRAKSI

Perkembangan jaman yang cepat selalu disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Setiap individu pasti akan memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah barang tentu akan melakukan suatu perbuatan-perbuatan hukum. Hal paling mudah dan umum terjadi adalah perikatan. Secara umum membuat perikatan adalah hal yang mudah, tujuan awalnya adalah pemenuhan perikatan tersebut. Namun, seringkali apa yang diharapkan oleh pihak-pihak yang membuatnya perikatan tidak dapat terpenuhi. Baik itu karena suatu pihak yang ingkar janji (wanprestasi) atau adanya suatu perbuatan melawan hukum. Oleh karena pentingnya pengetahuan akan batasan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum maka dapat dirumuskan permasalahan, diantaranya adalah ketentuan akan pemenuhan wanprestasi, ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum, serta penerapan batas-batas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam perikatan. Karena antara keduanya akan selalu menimbulkan efek penyelesaian yang berbeda pula.

Untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini dipergunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. metode penelitian yuridis normatif dipergunakan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta untuk memperoleh data ataupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur perpustakaan (library research), jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet.

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Memang dalam KUH Perdata tidak dijelaskan secara terperinci perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Namun, dari doktrin-doktrin maupun yurisprudensi dapat dilihat perbedaan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Pada umumnya upaya yang dilakukan para pihak apabila terjadi wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum adalah melalui pengadilan demi mendapatkan suatu kepastian hukum (rechtzekerheid). Namun demikian, dalam prakteknya sering terjadi pencampuradukkan gugatan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, yang pada akhirnya akan merugikan penggugat. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap batas-batas suatu perbuatan dalam suatu perikatan, mana yang merupakan wanprestasi dan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum.


(8)

ABSTRAKSI

Perkembangan jaman yang cepat selalu disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Setiap individu pasti akan memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah barang tentu akan melakukan suatu perbuatan-perbuatan hukum. Hal paling mudah dan umum terjadi adalah perikatan. Secara umum membuat perikatan adalah hal yang mudah, tujuan awalnya adalah pemenuhan perikatan tersebut. Namun, seringkali apa yang diharapkan oleh pihak-pihak yang membuatnya perikatan tidak dapat terpenuhi. Baik itu karena suatu pihak yang ingkar janji (wanprestasi) atau adanya suatu perbuatan melawan hukum. Oleh karena pentingnya pengetahuan akan batasan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum maka dapat dirumuskan permasalahan, diantaranya adalah ketentuan akan pemenuhan wanprestasi, ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum, serta penerapan batas-batas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam perikatan. Karena antara keduanya akan selalu menimbulkan efek penyelesaian yang berbeda pula.

Untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini dipergunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. metode penelitian yuridis normatif dipergunakan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta untuk memperoleh data ataupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur perpustakaan (library research), jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet.

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Memang dalam KUH Perdata tidak dijelaskan secara terperinci perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Namun, dari doktrin-doktrin maupun yurisprudensi dapat dilihat perbedaan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Pada umumnya upaya yang dilakukan para pihak apabila terjadi wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum adalah melalui pengadilan demi mendapatkan suatu kepastian hukum (rechtzekerheid). Namun demikian, dalam prakteknya sering terjadi pencampuradukkan gugatan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, yang pada akhirnya akan merugikan penggugat. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap batas-batas suatu perbuatan dalam suatu perikatan, mana yang merupakan wanprestasi dan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangan era-globalisasi yang ditandai dengan meningkat dan

bertambah pesatnya perekonomian rakyat, kebutuhan manusia semakin kompleks,

sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut diantara manusia yang satu dengan

yang lainnya tumbuh keadaan yang memaksa mereka untuk melakukan suatu

hubungan hukum. Hubungan hukum yang terjadi antara subjek hukum yang satu

dengan yang lainnya terjadi dengan adanya suatu perikatan.

Umumnya semua perikatan diakhiri dengan pelaksanaan, dan memang

demikianlah yang seharusnya terjadi. Itu berarti para pihak memenuhi

kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam

suatu perjanjian atau kontrak. Pemenuhan hal-hal yang harus dilaksanakan disebut

dengan prestasi. Dengan terlaksananya prestasi, kewajiban-kewajiban para pihak

berakhir, sebaliknya apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya, maka

disebut melakukan wanprestasi.

Secara sederhana wanprestasi adalah tidak melakukan prestasi, atau

melakukan prestasi, tetapi yang dilaksanakannya tidak tepat waktu dan tidak

sesuai dengan yang seharusnya. Jadi, debitur telah melakukan wanprestasi karena

tidak atau terlambat melaksanakan prestasi dari waktu yang ditentukan, atau tidak


(10)

atau tindakan melawan hukum terhadap hak kreditur, yang lebih dikenal dengan

istilah onrechtmatigedaad1

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya karena suatu perbuatan, peristiwa atau keadaan. Perbuatan misalnya jual beli barang, peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi atau matinya orang, dan keadaan misalnya letak pekarangan yang berdekatan atau rumah yang bergandengan. Karena hal yang mengikat selalu ada dalam kehidupan masyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain menimbulkan suatu hubungan hukum

.

2

“Masing-masing anggota masyarakat tentunya mempunyai berbagai

kepentingan yang beraneka warna. Wujud dan jumlah kepentingan ini tergantung

dari wujud dan sifat kemanusiaan yang berada dalam tubuh para anggota

masyarakat masing-masing

.

Bilamana membicarakan perikatan, maka selalu ada prestasi tertentu atau

setidak-tidaknya dapat ditentukan. Adalah jelas, bahwa suatu kewajiban untuk

melakukan sesuatu yang tidak secara sempurna ditentukan dan kemudian juga

tidak ditetapkan, maka terhadap hal yang demikian tidak dapat diajukan suatu

gugatan.

3

1

I.G.Ray Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting, Teori dan Praktek, (Jakarta : Megapoin, 2003), hal. 77.

2

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 6. 3

Wiryono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung ; Sumur Bandung, 1992) hal. 9.

.”

Berdasarkan fakta dan kenyataan yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari, perikatan yang dilakukan oleh subjek hukum selain

menimbulkan akibat hukum wanprestasi juga menimbulkan adanya suatu


(11)

“Wanprestasi terjadi karena adanya salah satu pihak yang berkewajiban

untuk melakukan sesuatu prestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk

menerima prestasi4.” Dalam kenyataannya, prestasi itu tidak selalu berupa

sejumlah uang walaupun selalu diukur dengan nilai sejumlah uang tetapi juga

meliputi barang misalnya hibah dan tukar-menukar barang5. Prestasi merupakan

kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap perikatan. “Pemenuhan prestasi

adalah hakekat dari suatu perikatan. Dengan demikian wujud prestasi adalah

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu6

“Suatu perbuatan melawan hukum tidak selalu memandang tubuh dan kedudukan dari subjek hukumnya melainkan mengenai perbuatan dari subjek

hukum tersebut

.”

Sejak kapan debitur dikatakan wanprestasi ? hal ini perlu dipersoalkan

karena wanprestasi itu mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur.

Untuk mengetahui sejak saat kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi perlu

diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang pelaksanaan

pemenuhan prestasi atau tidak.

7

sesuatu, apabila sesuatu kewajiban dilimpahkan kepadanya secara bertentangan

langsung dengan kemauannya

”. Suatu perikatan yang bersumber pada perbuatan melawan

hukum, tidak mengadung unsur “janji”, orang tidak dapat dinamakan berjanji hal

8

4

Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal. 7. 5

Ibid, hal. 8. 6

Ibid, hal. 17. 7

Wiryono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung ; Sumur Bandung, 1992) hal. 50.

8

Ibid, hal. 8.


(12)

perbuatan yang langsung melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang

secara langsung melanggar peraturan kesusilaan, agama dan sopan santun9

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dirasa perlu adanya penerapan

batas-batas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yang terdapat

dalam suatu perikatan. Sehingga setelah terjadinya perikatan, pihak debitur harus

segera melaksanakan pemenuhannya

“.

10

9

Ibid, hal. 45. 10

R.Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, (Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1984) hal. 29.

. Perikatan meliputi ruang lingkup

hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan (business

relation). Pihak-pihak yang mengadakan hubungan itu menghendaki supaya

tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara tertib. Namun demikian, mungkin

terjadi bahwa salah satu pihak tidak berprestasi karena kelalaiannya sendiri

ataupun karena keadaan lain. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pihak yang

dirugikan dapat menuntut ganti kerugian. Tetapi jika kerugian itu disebabkan oleh

keadaan memaksa, tak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan.

Hubungan hukum dalam masyarakat yang terjadi karena diperjanjikan

para pihak, sehingga kehendak pihak-pihaklah yang dominan. Hak dan kewajiban

yang timbul pada pelaksanaannya, penafsirannya, dan berakhirnya, ditentukan

para pihak itu sendiri. Namun, jika para pihak tidak menentukan lain, berlakulah

ketentuan hukum perjanjian dalam undang-undang. Undang-undang juga

menentukan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan individu atau

badan hukum menimbulkan perikatan, yang mewajibkan pihak yang bersalah


(13)

Akibat hukum suatu perikatan memang dikehendaki oleh para pihak,

karena memang perjanjian didasarkan pada kesepakatan bersama yaitu

persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat suatu perjanjian. Apabila

atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan

wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan

kewajiban dan pihak yang menderita kerugian. “Apabila tidak ada hubungan

kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang

menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum11

1. Bagaimana ketentuan terhadap pemenuhan wanprestasi dalam suatu

perikatan ?

.”

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu : “Penerapan batas-batas antara

Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum, maka akan diketengahkan

beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi tersebut, antara lain :

2. Bagaimana pula ketentuan mengenai Perbuatan Melawan Hukum dipandang

dari sudut hukum perdata dan apa yang menjadi faktor penyebabnya ?

3. Bagaimana penerapan batas-batas antara wanprestasi dengan perbuatan

melawan hukum dalam perikatan ?

11

Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004) hal. 115


(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan mengenai wanprestasi baik segi

pengertian, sebab-sebab, wujud maupun akibat hukum yang ditimbulkannya.

2. Untuk megetahui ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum dipandang

dari sudut hukum Perdata, meliputi pengertian, unsur-unsur, subjek hukum

dan faktor penyebabnya dalam perikatan.

3. Untuk mengetahui penerapan batas-batas antara wanprestasi dengan

perbuatan melawan hukum di dalam suatu perikatan.

Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Secara teoritis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang

diajukan akan melahirkan pemahaman bahwa betapa penting diberikannya

penerapan batas-batas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum

di dalam suatu perikatan agar tidak terjadi kesalahan. Oleh karena itu pula,

diharapkan agar dengan adanya pembahasan batas-batas wanprestasi dan

perbuatan melawan hukum dalam skripsi ini, maka akan semakin disadari

akan pentingnya diberikan suatu pembatasan sehingga apabila terjadi suatu

kekeliruan dalam perikatan akibat tidak dilakukannya suatu kewajiban dapat


(15)

b. Secara Praktis

Secara Praktis, pembahasan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi

masukan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi kalangan akedemisi

dalam menambah wawasan pengetahuan mengenai pentingnya penerapan

batas-batas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam suatu perikatan,

sehingga dapat ditentukan upaya hukum apabila ada atau tidaknya hubungan

kontraktual.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan dikepustakaan di lingkungan

Universitas Sumatera Utara, belum ada penulisan skripsi yang membahas tentang

“Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum”

sampai dengan penulisan skripsi ini dilakukan. Hal ini juga didasarkan pada

penelitian yang dilakukan pada Kepustakaan Keperdataan khususnya Perdata BW,

sehingga dapat dikatakan bahwa isi penulisan ini adalah asli, dan dapat

dipertanggungjawabkan. Skripsi ini disusun berdasarkan referensi buku-buku,

media cetak maupun elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai pihak.

E. Tinjauan Kepustakaan

Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda

“Verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di


(16)

yang lainnya12

Dari ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut

dapat diketahui bahwa sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang-

undang. Dari uraian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa perikatan adalah

hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam

bidang harta kekayaan

.” Pengaturan Hukum Perikatan terdapat pada buku III Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari 18 bab, tiap-tiap bab

dibagi lagi menjadi beberapa bagian.

13

2. Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan

debitur, debitur tidak bersalah .

Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap

perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakikat perikatan, sehingga wujud prestasi

itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda

wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam

perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang

timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada dua

kemungkinan, yaitu :

“ 1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena

kelalaian;

14

. “

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 5. 13

Ibid, hal. 9. 14


(17)

Istilah perbuatan melawan hukum pada umumnya adalah sangat luas

artinya, yaitu kalau perkataan “Hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya

dan hal perbuatan melawan hukum dipandang dari segala sudut. Hukum adalah

rangkaian peraturan-peraturan yang mengenai tingkah laku orang-orang sebagai

anggota suatu masyarakat, sedang satu-satunya tujuan dari hukum adalah

mengadakan keselamatan dan kebahagiaan sebagai tata tertib dalam masyarakat.

Perbuatan melawan hukum adalah bukan saja perbuatan yang langsung melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum diantaranya peraturan dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun. Sehingga perbuatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun sudah dapat dikatakan perbuatan yang melawan hukum15

15

Wiryono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung ; Sumur Bandung, 1992) hal. 13.

.

Akibat umum dari suatu perbuatan melawan hukum yaitu kekacauan

dalam masyarakat, kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat, atau

dapat dikatakan sebagai suatu keganjilan. Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat

dikatakan melawan hukum walaupun tidak melanggar ketentuan yang terdapat

dalam suatu perjanjian.

Didalam suatu perikatan, perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila

tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian

dan pihak yang menderita kerugian. Apabila pihak yang menimbulkan kerugian

tidak melanggar ketentuan dalam perjanjian, tetapi menimbulkan kerugian pada


(18)

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang

digunakan antara lain :

1. Jenis Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, digunakan metode penelitian yuridis

normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian

dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. Sedangkan

bersifat deskriptif maksudnya penelitian tersebut kadangkala dilakukan dengan

melakukan suatu survei ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat

mendukung teori yang telah ada.

2. Sumber Data

Data Sekunder.

Data sekunder meliputi16

a. Norma/Kaedah dasar, yaitu : Pembukaan UUD 1945 :

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari :

b. Peraturan Dasar :

1). Batang Tubuh UUD 1945;

2). Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

16

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan Keenam, 2003), hal. 113-114


(19)

c. Peraturan Perundang-Undangan :

1). Undang-undang dan Peraturan yang setaraf;

2). Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf;

3). Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf;

4). Keputusan Mentri dan Peraturan yang setaraf;

5). Peraturan-peraturan Daerah.

d. Badan Hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti Hukum Adat;

e. Yurisprudensi.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum Primer, seperti Rancangan Undang-Undang

(RUU) hasil-hasil penelitian atau pendapat para pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau dalam penulisan skripsi ini antara


(20)

artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik,

dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis

kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan

induktif. Metode deduktif ini dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan

membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan

berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga

diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini terbagi dalam beberapa

tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing Bab diuraikan

permasalahannya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling

berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Secara sistematis materi pembahasan ditempatkan keseluruhannya ke dalam 5

(lima) Bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini digambarkan hal-hal yang bersifat umum, yang diikuti

dengan alasan pemilihan judul, kemudian dilanjutkan dengan

permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,

tinjaun kepustakaan dan metode penulisan. Bab ini ditutup dengan


(21)

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI

Sesuai dengan judul yang dikemukakan, maka Bab ini akan

menguraikan mengenai pengertian wanprestasi, sebab-sebab,

wujud wanprestasi serta akibat hukum wanprestasi dalam

perikatan.

BAB III : TINJAUAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM

DIPANDANG DARI SUDUT HUKUM PERDATA

Pada Bab ini penulis memberikan gambaran tentang pengertian,

unsur-unsur yang melingkupi, subjek hukum, akibat hukum, serta

faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya pertanggungjawaban

perbuatan melawan hukum.

BAB IV : PENERAPAN BATAS-BATAS ANTARA WANPRESTASI

DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM

PERIKATAN

Bab ini adalah Bab yang paling sesuai dalam penulisan ini. Dalam

Bab ini diuraikan mengenai pelaksanaan dari pasal 1365

KUHPerdata, cara pengajuan gugatan, perbedaaan-perbedaan

mendasar, serta batasan antara wanprestasi dengan perbuatan

melawan hukum.


(22)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Bab terakhir ini dirumuskan suatu kesimpulan dari

pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan

saran yang diharapkan akan dapat berguna di dalam melakukan

suatu perikatan ataupun hubungan hukum antara para subjek


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI

Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari

perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan

bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan.

Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III

KUH Perdata pasal 1320.

Dalam setiap perjanjian dikenal istilah prestasi. Prestasi adalah sesuatu

yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan sesuai dengan isi dari

perikatan tersebut. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang

telah ditentukan dalam perjanjian tersebut, maka ia dapat dikatakan wanprestasi.

A. Pengertian Wanprestasi

Dalam Bahasa Belanda istilah wanprestasi adalah “wanprestatie” yang

artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik

perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

Undang-Undang.

Tidak terpenuhinya suatu kewajiban itu dapat disebabkan oleh dua

kemungkinan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaannya maupun karena


(24)

2. Karena keadaan memaksa (force majeur), hal ini terjadi diluar kemampuan

debitur.

Pengertian wanprestasi ini sendiri belum mendapatkan keseragaman,

masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi,

sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak

dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat beberapa istilah yaitu :

ingkar janji, cidera janji, melanggar janji dan lain sebagainya.

Dalam membicarakan “wanprestasi”, tidak bisa terlepas dari masalah

“pernyataan lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim). Adapun

pengertian umum mengenai wanprestasi ini adalah pelaksanaan kewajiban yang

tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu

seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia

telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam

melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.

“Menurut Marhainis Abdulhay, pengertian wanprestasi adalah apabila

pihak-pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya.”17

B. Sebab-Sebab Wanprestasi

Seperti diketahui dalam setiap persetujuan tidak selamanya pihak debitur

dapat memenuhi prestasi seperti yang diperjanjikan. Keadaan wanprestasi ini

tidak selalu bahwa tidak dapat memenuhi sama sekali prestasi yang

diperjanjikannya, melainkan dapat juga dalam seorang debitur tidak tepat

17


(25)

waktunya dalam memenuhi prestasinya, akan tetapi tidak dengan baik

sebagaimana dikehendaki oleh pihak kreditur.

Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan wanprestasi meliputi 3 hal,yaitu:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak dengan baik.

Alasan mengapa seorang debitur tidak memenuhi kewajiban seperti yang

diperjanjikan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu :

a. Adanya kesalahan pada diri si debitur;

b. Adanya keadaan memaksa.

ad.a. Adanya kesalahan pada diri si debitur

Pada keadaan ini debitur tidak melaksanakan kewajibannya bukanlah

disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar kekuasaannya, sehingga debitur yang

dalam keadaan tidak membayar ini dikatakan cedera janji (wanprestasi).Lain

halnya pada perjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya

untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari dua meter, maka begitu

debitur membangun tembok yang tingginya lebih dari dua meter sejak itu berada

dalam keadaan wanprestasi. Dalam perjanjian, yang wanprestasinya untuk

memberikan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan

debitur harus memenuhi prestasi itu, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut

debitur harus terlebih dahulu diberikan tegoran (sommatie/Ingebrekestelling) agar

memenuhi prestasi. Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat seketika


(26)

diserahkan sudah ada, maka prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika.

Akan tetapi jika prestasi dalam perjanjian itu tidak dipenuhi seketika, maka

kepada debitur diberikan waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut

(sommatie/Ingebrekestelling) terhadap debitur agar jika debitur tidak memenuhi

tegoran dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam pasal 1238 KUH Perdata yang

ada pada pokoknya menentukan bahwa tegoran itu harus dengan surat perintah

atau akta sejenis.

Yang dimaksud surat perintah dalam pasal 1238 KUH Perdata tersebut

adalah peringatan resmi oleh juru sita sejenis dalam suatu tulisan biasa (bukan

resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberikan

peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam seketika dalam tempo

tertentu.

Terhadap hal ini Subekti mengatakan : “Sekarang sudah lazim ditafsirkan

suatu peringatan bagi atau tegoran boleh juga dilakukan secara lisan,

asal cukup tegas menyatakan desakan siberpiutang supaya berprestasi dilakukan

dengan seketika”.18

18

Subekti. Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa) hal. 46.

Jadi jelasnya yang dimaksud dengan ingebrekestelling atau sommatie

adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi

ketentuan bahwa kreditur, menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam

jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu harus ditagih


(27)

Oleh karena itu Ingebrekestelling itu berfungsi sebagai upaya hukum

untuk menentukan saat kapan mulai terjadinya wanprestasi. Sebagai upaya hukum

Ingebrekestelling itu baru diperlukan dalam hal seorang kreditur akan menuntut

penggantian kerugian atau dalam hal kreditur minta pemutusan perikatan.

(sommatie/Ingebrekestellingen) tidak diperlukan, yaitu dalam hal :

1) Keadaan debitur sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya;

2) Keadaan debitur mengakui kesalahan;

3) Keadaan ditentukan oleh undang-undang.

Ad.b. Adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeur)

Overmacht atau force majeur adalah suatu keadaan yang dapat

menyebabkan seseorang debitur tidak dapat memenuhi prestasinya kepada

kreditur, dimana keadaan itu timbul diluar kekuasaan si berhutang dan keadaan

yang timbul itu juga berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu

perjanjian dibuat19

1) Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dari debitur;

. Keadaan overmacht/ force majeur mengakibatkan hal-hal

sebagai berikut :

2) Debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan oleh karenanya debitur tidak dapat

dituntut untuk mengganti kerugian;

3) Resiko tidak beralih kepada debitur.

KUH Perdata tidak memberitakan rumusan apa yang dimaksud dengan

overmacht atau force majeur, pasal-pasal 1244 KUH Perdata, 1245 KUH Perdata,

19

I.G.Ray Widjaya, Merancang suatu Kontrak,Contract Drafting, Teori dan Praktek, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003),hal.78.


(28)

1444 KUH Perdata, hanyalah menerangkan bahwa apabila seseorang tidak dapat

memenuhi suatu perikatan atau melakukan pelanggaran hukum oleh karena

keadaan memaksa (overmacht atau force majeur), maka orang tersebut tidak

dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Walaupun perngertian force majeur tidak dirumuskan dalam pasal

undang-undang tetapi dengan memakai makna yang terkandung dalam pasal-pasal

KUH Perdata yang mengatur tentang force majeur tersebut, dapat disimpulkan

bahwa overmacht atau force majeur adalah suatu keadaan sedemikian rupa karena

keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi sebagaimana

mestinya dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya.

Keadaan memaksa lazimnya dapat dibedakan atas force majeur yang

bersifat tetap (absolut) dan force majeur yang bersifat relatif.

“Dahulu para sarjana selalu mengartikan overmacht (keadaan memaksa)

sebagai sesuatu yang bersifat mutlak, dalam keadaan mana suatu perikatan tidak

dapat dipenuhi oleh siapapun dan bagaimanapun juga. Pikiran tertuju kepada

bencana-bencana alam atau kecelakaan yang begitu hebat sehingga menyebabkan

orang tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi lambat laun pengertian bahwa overmacht

tidak selamanya bersifat mutlak.

Force majeur yang bersifat tetap (absolut) adalah suatu keadaan dimana

prestasi yang telah diperjanjikan sama sekali tidak dapat dipenuhi, contoh klasik

yang sering dikemukakan para sarjana adalah seseorang menjual sesekor kuda,


(29)

jalan kuda disambar petir hingga mati. Karenanya, si penjual kuda tu

bagaimanapun tidak memenuhi prestasinya.

Force majeur dalam hubungannya dengan pelaksanaan perjanjan dapat

dibedakan antara force majeur yang lengkap dan force majeur yang sementara.

Force majeur yang lengkap adalah keadaan memaksa yang menyebabkan

suatu perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Sedangkan

force majeur yang sebagian adalah keadaan memaksa yang mengakibatkan

sebagian dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan.

Selanjutnya yang disebut force majeur yang tetap adalah adalah keadaan

memaksa yang mengakibatkan suatu perjanjian terus-menerus atau selamanya

tidak mungkin dilaksanakan.

Sedangkan yang disebut force majeur yang sementara adalah force majeur

yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda sampai waktu yang

ditentukan semula dalam perjanjian.

C. Wujud Wanprestasi dalam Perikatan

Dalam suatu perikatan yang dibuat dua pihak yang terikat yaitu debitur

dan kreditur dimana dalam hal ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi para

pihak sesuai dengan apa yang disepakati bersama. Debitur diwajibkan untuk

menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana prestasi berupa memberikan,

berbuat, atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata). Selain itu debitur

juga berkewajiban untuk memberikan harta kekayaannya diambil oleh kreditur


(30)

Adapun wujud atau bentuk wanprestasi itu adalah sebagai berikut20

a. Kerugian yang diderita kreditur;

:

“ 1.Debitur tidak memenuhi perikatan atau sama sekali tidak melaksanakan prestasi;

2.Debitur terlambat memenuhi prestasi/perikatan;

3.Debitur melaksanakan prestasi tetapi tidak baik, atau debitur keliru atau tidak pantas dalam memenuhi perikatan.”

Dari ketiga bentuk wanprestasi tersebut diatas, maka yang menjadi

masalah adalah pada saat mana debitur dikatakan terlambat memenuhi prestasi

dan pada saat mana pula debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Apabila debitur tidak memenuhi perikatan atau melakukan perbuatan

wanprestasi maka dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi atau ongkos

kerugian dan bunga yang dideritanya. Hal ini menurut ketentuan yang diatur

dalam pasal 1246 KUH Perdata bahwa oleh kreditur dapat dituntut :

b. Keuntungan yang seharusnya akan diterima.

Menurut Mariam Darus wujud dari tidak memenuhi perikatan ada 3

macam yaitu :

1) Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan,

2) Debitur terlambat memenuhi perikatan

3) Debitur keliru atau tidak memenuhi perikatan.

Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak

memenuhi perikatan, karena ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak

menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam

perikatan, waktu untuk melaksanakan prestasi ditentukan, sehingga cidera janji

20

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan, (aanvullend Recht), dalam Hukum Perdata, (Jakarta : PT .Raja Grafindo Persada, 2006),hal. 356.


(31)

tidak terjadi dengan sendirinya. Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya,

maka untuk menentukan seseorang itu wanprestasi tergantung kepada waktu yang

diperjanjikan, yang mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu mulai

saat orang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian dan tidak

memenuhi perikatan, maka dikatakanlah wanprestasi.

D. Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perikatan dan Cara Penyelesaiannya

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas

ditagih janjinya, seperti yang telah diterangkan diatas, maka jika tetap tidak

memenuhi prestasi yang diperjanjikan, maka berada dalam keadaan lalai atau alpa

dan terhadap debitur yang lalai dapat dikenakan empat macam sanksi, yaitu :

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi ;

2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian ;

3. Peralihan resiko ;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim.

Sanksi-sanksi tersebut akan dibicarakan satu-persatu dibawah ini.

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur : Biaya (kosten), rugi

(schaden), dan bunga (interesten). Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam

pasal 1248 KUH Perdata sampai dengan 1251 KUH Perdata, yang dimaksudkan

dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah

dikeluarkan oleh suatu pihak. Jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian


(32)

kemudian tidak datang, pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termaksud

biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan

barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.

Sedang yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan

keuntungan yang sudah dibayangkan dan dihitung oleh kreditur.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan

ketentuan tentang apa yang dimaksud dalam ganti rugi tersebut. Boleh dikatakan,

ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut

sebagai ganti rugi. Dengan demikian seorang debitur yang lalai, masih juga

dilindungi oleh undang-undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur.

Pasal 1274 KUH Perdata menentuka : Si berhutang hanya diwajibkan

mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat

diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal itu dipenuhinya perjanjian

itu disebabkan olehnya.

Pasal 1248 KUH Perdata menentukan : Bahkan jika hal tidak dipenuhinya

perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berhutang, penggantian biaya, rugi

dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berhutang,dan

keuntungan yang terhilang baginya yang merupakan akibat langsung dan tidak

dipenuhinya perjanjian.

Persyaratan dapat diduga dan akibat langsung dari wanprestasi erat

hubungannya satu sama lain. Lazimnya apa yang tidak dapat diduga juga bukan


(33)

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam

peraturan mengenai bunga moratoir yaitu bunga yang harus dibayar (sebagai

hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar hutangnya. Besarnya bunga

moratoir menurut ketentuan undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara

tahun 1848 No. 22 ditetapkan sebesar 6 % setahun. Menurut pasal 1250 KUH

Perdata bunga yang dapat dituntut tidak boleh melebihi persenan yang ditetapkan

undang-undang tersebut. Jadi pasal 1247 KUH Perdata, 1248 KUH Perdata, dan

1250 KUH Perdata, yang dibicarakan di atas dapat dipandang sebagai serangkaian

pasal-pasal yang bertujuan membatasi ganti rugi yang dapat dituntut terhadap

seorang debitur yang lalai.

Perihal pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak

kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah

menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan.

Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian pihak debitur ini dalam

KUH Perdata terdapat pengaturannya pada pasal 1266 KUH Perdata yang antara

lain menganggap bahwa syarat batal selamanya dianggap tercantum dalam

perjanjian timbal balik. Meskipun untuk harus dimintakan pembatalannya oleh

hakim.

Jadi, menurut pasal 1266 KUH Perdata diatas, maka pembatalan suatu

perikatan tidak terjadi dengan sendirinya harus dimintakan kepada hakim dan


(34)

Dengan demikian wanprestasi hanyalah sebagai alasan hakim menjatuhkan

keputusannya yang membatalkan perjanjian itu. Karenanya hakim menurut

keadaan berwenang untuk memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk

memenuhi prestasinya.

Dalam memberikan waktu tersebut sudah tentu hakim harus

mempertimbangkan apakah debitur dapat memenuhi prestasinya, dan apakah

prestasi itu masih ada manfaatnya bagi kreditur.

Tenggang waktu yang diberikan untuk memenuhi prestasinya ini disebut

dengan “terme de grace” (jangka waktu pengampunan).

Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam mana pihak debitur harus

memenuhi kewajibannya telah lampau dan debitur masih juga dalam keadaan

wanprestasi, maka hal ini berakibat harta milik debitur akan dieksekusi (dilelang

untuk memenuhi tuntutan dari krediturnya). Apabila ternyata si berhutang ada

menjaminkan sebagian harta bendanya baik dalam bentuk gadai, fiducia,

creditverband, maupun hipotik, maka eksekusinya pertama-tama dilaksanakan

terhadap barang jaminan tersebut.

Sanksi ketiga yaitu peralihan resiko atas kelalaian seorang debitur disebut

dalam pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata. Resiko mempunyai pengertian kewajiban

untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu

pihak, yang menimpa objek barang yang menjadi objek perjanjian.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi

seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,


(35)

HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi perkara


(36)

BAB III

TINJAUAN TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM DIPANDANG DARI SUDUT HUKUM PERDATA

Anggota-anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan satu

dengan yang lainnya yang menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakatan.

Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberi akibat-akibat yang

dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum.

Apabila suatu akibat tidak dikehendaki oleh yang melakukan atau salah

satu dari yang melakukan, maka perbuatan itu digolongkan pada perbuatan

melawan hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kehendak dari yang

melakukan itu tidak ada namun akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu diatur

oleh hukum.

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga

oleh hukum, walaupun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan

perbuatan tersebut. Siapa yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena

perbuatan tersebut. Jadi, dapat dikatakan karena perbuatan melawan hukum maka

timbullah suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita


(37)

Asas ini terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :

Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.

Utrecht, berpendapat bahwa :

Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini mendapat tantangan dari berbagai pihak. Telah diketahui bahwa molengraf-lah yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diteruskan.21

Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal 1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial. Anggapan ilmu hukum ini diterima dalam yurisprudensi tahun 1919.

Dalam sebuah karangan yang ditempatkan di majalah Rechtsgeleerd

Magazine (tahun 1887) oleh Molengraf dikemukakan :

22

21

E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI Jakarta : (Balai Pustaka, 1961), hal.294.

22 Ibid.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa setelah tahun 1919

perbuatan melawan hukum seperti tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata

bukan saja yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan


(38)

Adapun asas yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang

menegaskan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum (melawan

hukum), yang merugikan orang lain, mewajibkan pihak yang merugikan (yang

melakukan) mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan itu.

Selanjutnya dikatakan :

Dalam sejarah hukum perbuatan melawan hukum disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu dan tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu), yang :

1. Melanggar hak orang lain;

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu;

3. Bertentangan dengan kesusilaan, maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain23

Ini merupakan pegangan yang sangat luas bagi hakim untuk menentukan

perbuatan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan : .

“Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga

mengenal hak hukum, seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu

secara bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan dengan itu

merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti rugi.”24

Pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut telah mendapat kekuatan hukum yang pasti didalam Putusan MA No.222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958 sebagai berikut : Hukum adat warisan tentang perbuatan melawan hukum, menurut hukum adat di Jawa Timur setiap sebab yang menimbulkan kerugian yang menjadi akibat dari sesuatu perbuatan atau Menurut Chaidir Ali, bahwa :

23 Ibid. 24

Wrijono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung : Sumur Bandung) hal.17.


(39)

kelalaian seseorang mewajibkan orang yang bersalah tentang timbulnya kerugian itu untuk memperbaiki kerugian itu.25

1. Yang merupakan ketentuan umum;

Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan

kerugian, ada hal-hal tertentu yang membebaskan orang tersebut dari kewajiban

membayar ganti rugi. Hukum adat yang tidak mengenal penyusunan dalam suatu

perundang-undangan tertulis, serta dalam melaksanakan hukum adat tentang hal

ini seorang hakim dapat lebih leluasa untuk meninjau hakekat hukum tersebut dari

sudut manapun dan menurut keyakinannya tentang rasa keadilan yang benar-benar

hidup dimasyarakat.

Dalam KUH Perdata hal perbuatan melawan hukum disistematikakan

dalam 2 bagian yaitu :

2. Yang merupakan ketentuan khusus.

Ad.1 Yang Merupakan Ketentuan Umum

Adalah pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur ketentuan atas

syarat-syarat umum dan berlaku untuk semua perbuatan melawan hukum yang diatur

dalam KUH Perdata dan pasal 1366 KUH Perdata.

Ad.2. Yang Merupakan Ketentuan Khusus

Ketentuan-ketentuan khusus ini pengaturan lebih lanjut tentang :

a. Pertanggungjawaban atas timbulnya perbuatan melawan hukum yaitu :

25


(40)

1. Tanggungjawab orangtua atau wali, guru, atas perbuatan yang dilakukan

oleh orang yang berada dibawah pengampuannya, diatur dalam pasal 1367

KUH Perdata.

2. Tanggungjawab pemilik binatang atas binatang piaraannya, diatur dalam

pasal 1368 KUH Perdata.

3. Tanggungjawab pemilik gedung atas bangunan yang dalam

pemeliharaannya, diatur dalam pasal 1369 KUH Perdata.

b. Beberapa perbuatan melawan melanggar hukum seperti pasal 1370 KUH

Perdata tentang pembunuhan, pasal 1371 KUH Perdata tentang penganiayaan

dan pasal 1380 KUH Perdata tentang penghinaan.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas belum ditemukan pengertian yang

baku dari perbuatan melawan hukum. Memang tidak ditemui baik dalam doktrin,

yurisprudensi tentang pengertian yang baku dari perbuatan melawan hukum,

karena itu para sarjana mempunyai sudut pandang masing-masing yang

berbeda-beda tentang hal ini.

Oleh karena itu dalam putusan 31 Januari 1919, Mahkamah Tinggi

merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, bilamana suatu perbuatan

baik karena sengaja maupun karena kelalaiannya, sehingga perbuatan tersebut

bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan ataupun

keharusan yang diperhatikan dalam peragaulan ditengah-tengah masyarakat


(41)

sehingga akibat perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain,

maka orang tersebut bekewajiban membayar ganti rugi.

Dengan penafsiran luas atas keputusan hogeraad 1919 ini diketahui

tentang rumusan perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk

melindungi pihak yang dituntut agar tidak dijatuhi hukuman semena-mena untuk

membayar ganti rugi atau dengan kata lain untuk membatasi pertanggungjawaban

atas tuntutan ganti rugi yang dianggap terlalu luas. Hal ini disebut dengan

Schutznorm Theorie” atau teori perlindungan. Teori ini didukung oleh Telders,

Vander Griten, Molengraf dan juga hogeraad Belanda. Teori perlindungan atau

Schutznorm Theorie menyatakan bahwa tidak semua orang yang menderita

kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum, berhak menuntut untuk

menerima ganti rugi, dan yang berhak ialah hanya orang-orang yang

berkepentingan yang dilindungi suatu norma yang dilanggar.

Ahli hukum yang lain seperti Meyers, Scholten dan Ribbius menolak teori

Schutznorm ini. Mereka mengatakan dalam prakteknya teori perlindungan ini

sangat sulit untuk diterapkan karena pengertian perbuatan melawan hukum adalah

suatu pengertian yang sangat relatif dan tidak bisa dijadikan pegangan untuk

menerapkan batas ada atau tidaknya onrechtmatigedaad karena mungkin disatu

pihak menyatakan ada sedangkan yang lain menyatakan tidak ada melawan

hukum.

Dan Schutznorm theorie hanya dianggap dapat menolong untuk

memberikan pedoman, apa yang harus dianggap dengan perbuatan positif adalah


(42)

A melempar batu mengenai kaca jendela rumah B dan mengakibatkan kacanya itu

pecah.

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sebagaimana telah dibicarakan diatas bahwa menurut aliran logisme

bahwa perbuatan melanggar hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang

melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan

kewajiban hukum yang ditentukan dalam undang-undang yang tertulis saja.

Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum

maka banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah

perbuatan melanggar hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak digolongkan

dalam onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).

Adapun yang dimaksud dengan penafsiran sempit adalah baru dikatakan

ada onrechtmatigedaad, kalau :

1. Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang;

2. Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan

hukum diperluas. Pengertian perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan

yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepantasan, pertentangan dengan

kewajiban sendiri yang ditentukan undang-undang, bertentangan dengan hak

orang lain.

Dari rumusan ini maka penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum


(43)

Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan

melawan hukum, pasal 1365 KUH Perdata menentukan 4 syarat perbuatan

melawan hukum yang sekaligus merupakan unsur-unsur perbuatan melawan

hukum. Ke-4 unsur itu antara lain :

“ 1. Adanya suatu pelanggaran hukum;

2. Adanya kesalahan;

3. Terjadinya kerugian;

4. Adanya hubungan kausalitas26

M.A. Moegni Djojodirjo, mengatakan .”

Adapun unsur-unusr yang terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata

tersebut, antara lain :

Ad .1.Adanya Suatu Pelanggaran Hukum 27

a. Pertentangan dengan hak orang lain, :

Dengan meninjau perumusan luas dari onrechtmatigedaad maka daad atau Perbuatan haruslah perbuatan melawan hukum apabila :

b. Pertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, c. Pertentangan dengan kesusilaan,

d. Pertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat atau benda.

Yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah

bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang berasal dari

kaedah hukum, hak-hak yang penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak

pribadi, seperti hak atas kebebasan, kehormatan, nama baik dan kekayaan.

26

Moegni Djojodihardjo, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan I, tahun 1979, hal.22. 27


(44)

Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan

sebagai yang didasarkan pada hukum, baik yang tertulis. Menurut rumusan

perbuatan melawan hukum diatas, yang dimaksud dengan kewajiban hukum

adalah kewajiban menurut undang-undang.

Termasuk dalam kategori ini adalah perbuatan pidana yaitu pencurian,

penggelapan, penipuan, dan pengrusakan. Bertentangan dengan kesusilaan sulit

untuk memberikan pengertian kesusilaan, walaupun demikian dapat dijelaskan

sbagai norma-norma moral sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai

norma hukum.

Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lalulintas

masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Itu berarti bahwa setiap manusia

menginsafi bahwa ini merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan

karenanya dalam segala perbuatannya harus memperhatikan segala kepentingan

sesamanya, harus mempertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang

lain dengan mengikuti apa yang dianggap masyarakat sebagai hal yang layak dan

patut. Dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan berupa :

1) Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak.

2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain,

dimana menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.

Ad.2.Terdapat Kesalahan

Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan


(45)

Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, bahwa :

“Bahwa pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan antara kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet dolus) dan kesalahan dalam bentuk kekurang hati-hatian (culpa). Jadi berbeda dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dan kurang hati-hati”28

28

Ibid hal.24.

.

Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan

berat ringannya kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu

sehingga ditentukan ganti rugi yang seadil-adilnya.

Menurut Arrest Hogeraad tanggal 4 Februari 1926 jika orang yang

dirugikan juga mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian maka sebagian dari

kerugian tersebut dibebankan kepadanya. Kecuali jika perbuatan melawan hukum

itu dilakukan dengan sengaja. Seseorang yang menuntut ganti rugi kepada

perusahaan kereta api, karena ditabrak kereta api, dipersilangan rel dengan jalan

usus, lantaran personil perusahaan, tidak seluruhnya dikabulkan Hogeraad karena

juga ada kesalahan yaitu bilamana cukup waspada, maka akan dapat melihat

kereta api berjalan mendekatinya dan dapat menghindarinya.

Dalam kasus yang lain Hogeraad berpendapat bahwa jika kerugian yang

terjadi ialah karena kesalahan yang dilakukan beberapa orang maka setiap orang

bertanggungjawab atas terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk

membayar ganti kerugian seluruhnya.

Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum,

bilamana melakukan perbuatan itu karena keadaan terpaksa (overmacht), keadaan


(46)

Seseorang juga tidak dapat dipertangungjawabkan atas perbuatan melawan

hukum karena melakukan perintah jabatan dan salah sangka yang dapat

dimaafkan. Tetapi yang disebabkan karena perbuatan kesalahan atau kurang

hati-hati maka bertanggung jawab atas kerugian yang menjadi tanggungjawabnya,

barang-barang yang berada di bawah penguasaannya dan binatang-binatang

miliknya.

Ad.3. Terjadi Kerugian

Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dapat

berupa:

a. Kerugian materil

Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya :

kebakaran mobil penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan

si pembuat kerugian itu tidak hanya membayar biaya perbaikan mobil

tersebut, akan tetapi juga bertanggungjawab untuk mengganti penghasilan

mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki

mobil tersebut.

b. Kerugian immaterial

Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum

dapat berupa :

1. Kerugian moral,


(47)

3. Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang,

4. Kerugian non ekonomis.

Untuk menentukan besarnya kerugian yang harus diganti umumnya harus

dilakukan dengan menilai kerugian tersebut. Karena itu pada asasnya yang

dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan yang

sesungguhnya jika tidak terjadi perbuatan melawan hukum.

Ad.4.Adanya Hubungan Kausalitas

Untuk menentukan ganti rugi terhadap orang yang melakukan perbuatan

melawan hukum selain harus ada kesalahan, disamping itu pula harus ada

hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian

tersebut.

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Dalam pergaulan masyarakat setiap ada perbuatan, baik perbuatan

melawan hukum atau perbuatan yang lain maka harus ada pelakunya. Pelaku

inilah yang melakukan perbuatan, dan untuk menilai perbuatan ini baik atau salah

maka diperlukan atau digunakan hukum atau norma. Karena hukum tidak lain

adalah peraturan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam

pergaulan sehari-hari. Anggota masyarakat inilah yang disebut dengan subjek

hukum, dimana subjek hukum itu adalah penanggung hak dan kewajiban. Karena

adanya hak dan kewajiban ini maka subjek hukum mampu mengadakan hubungan


(48)

Salah satu dari perbuatan hukum ini adalah perbuatan melawan hukum.

Jadi yang dimaksud dengan pelaku dalam perbuatan melawan hukum ialah angota

masyarakat atau orang dan badan hukum. Orang atau manusia sebagai pendukung

hak dan kewajiban dalam lalulintas hukum, dapat melakukan hubungan dan

perbuatan hukum, sehingga kalau melakukan kesalahan maka padanya dapat

dimintakan pertanggungan jawab atau perbuatannya tersebut, tidak terkecuali

perbuatan melawan hukum apapun yang dibuatnya.

Perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena

perbuatan yang melawan hukum yang dilakukannya yang mana perbuatan tersebut

menimbulkan kerugian pada orang lain, yang karena kesalahannya orang itu

diwajibkan untuk mengganti kerugian yang diderita orang lain tersebut. Hal ini

sesuai dengan pasal 1365 KUH Perdata. Semua ini tujuannya untuk memenuhi

rasa keadilan dalam masyarakat.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan saja manusiawi tapi badan

hukum juga termasuk didalamnya. Oleh karena badan hukum juga sebagai subjek

hukum maka badan hukum juga dapat melakukan perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) sehingga padanya dapat juga dimintakan

pertanggungjawaban.

Ali Rido, mengatakan :29

1. Adanya harta kekayaan yang terpisah;

Pengertian badan hukum adalah merupakan kumpulan atau asosiasi yang terdiri dari lebih satu orang dan menurut doktrin harus memenuhi syarat-syarat :

2. Mempunyai tujuan tertentu;

29

Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum,Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Alumni : Bandung, 1979), hal.66.


(49)

3. Mempunyai kepentingan tersendiri; 4. Adanya organisasi yang teratur.

Menurut.Wirjono Prodjodikoro :30

a. Badan hukum publik, misal : Negara, Propinsi, Kabupaten, dan sebagainya; “Pengertian badan hukum adalah badan disamping orang/manusia juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan hukum, disertai syarat utama adanya harta yang terpisah dari harta anggota” .

Di dalam pergaulan masyarakat maka badan hukum ini terdiri dari :

b. Badan hukum perdata, misal : Perseroan Terbatas, Yayasan, Firma, dan

lain-lain.

Dalam pembahasan skripsi ini, hanya dibatasi pada badan hukum perdata,

yang turut serta dalam pergaulan hidup masyarakat. Misalnya : dapat melakukan

jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.

Sebagai badan hukum, maka dapat dipertanggungjawabkan dalam

perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Dalam hubungan ini

pertanggungjawaban dalam rangka perbuatan melawan hukum ada 2 macam

tanggungjawab, yaitu :

1) Tanggungjawab langsung

Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh

orang itu sendiri, berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata.

30 Ibid.


(50)

2) Tanggungjawab tidak langsung

Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh

orang lain dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaannya, dan di bawah

pengamanan orang yang bertanggungjawab tadi (pasal 1367 KUH Perdata).\

Pasal 1367 KUH Perdata berbunyi :31

D. Akibat Perbuatan Melawan Hukum

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.

Di atas sudah diuraikan akibat umum dari suatu perbuatan melawan

hukum, yaitu kegoncangan dalam neraca keseimbangan dalam masyarakat, atau

dengan kata lain dapat dikatakan kekacauan. Kekacauan ini dapat mengenai

berbagai hubungan hukum dalam masyarakat. Hubungan hukum yang sering kali

dilanggar dapat mengenai berbagai kepentingan seseorang manusia, misalnya

mengenai harta kekayaan. Pelanggaran kepentingan ini tentunya secara langsung

dirasakan oleh orang yang bersangkutan, yang pada akhirnya menimbulkan

kerugian, sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran suatu kepentingan anggota

masyarakat bagaimanapun kecilnya tentu dapat membuat kekacauan dalam hidup

masyarakat, maka dapat dimengerti bahwa tiap perbuatan melawan hukum

mempunyai akibat terhadap kepentingan masyarakat seluruhnya.

Telah diuraikan pada bab sebelumnya, mengenai substansi perbuatan

melawan hukum, sehingga dari uraian tersebut timbul suatu pertanyaan,

31


(51)

konsekuensi atau akibat apa yang timbul terhadap seseorang yang melakukan

perbuatan melawan hukum ?. Pasal 1365 KUH Perdata yang pada pokoknya

menyatakan bahwa setiap perbuatan ataupun tindakan yang melawan hukum,

yang berakibat timbulnya kerugian pada orang lain menimbulkan kewajiban pada

orang yang telah mengakibatkan kerugian untuk mengganti kerugian itu.

Sehingga secara prinsip, pelaku perbuatan melawan hukum yang telah

melakukan perbuatan yang melawan hukum baik itu sengaja atau tidak

mengakibatkan yang bersangkutan wajib menggantikan kerugian (moril maupun

materiil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan, sebagaimana yang telah

diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

E. Faktor-faktor yang Menyebabkan Hilangnya Pertanggungjawaban

Perbuatan Melawan Hukum

Rasa keadilan pada masyarakat akan tercipta apabila tiap-tiap anggota

masyarakat bertindak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di

masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus menggunakan haknya sesuai dengan

tujuannya.

Anggota masyarakat yang menggunakan haknya tidak sesuai dengan

tujuannya (Misbruik Van Recht) yang menimbulkan kerugian pada orang lain,

maka padanya akan dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang

berlaku.

Dalam praktek, hakim dalam menentukan apakah seorang telah melanggar


(52)

karena perluasan pengertian perbuatan melawan hukum, maka apabila seseorang

melawan kesusilaan dan kepantasan dianggap telah melakukan perbuatan

melawan hukum. Kalau hakim memenuhi kesulitan dalam menentukan ini

otomatis dalam menentukan ganti rugi hakim juga akan menemukan kesulitan.

Walaupun ada pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum

namun ada juga hal-hal yang melenyapkan sifat perbuatan melawan hukum dari

suatu tuntutan, sehingga kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan

melawan hukum dibedakan dalam 2 golongan yaitu :

1. Yang berasal dari undang-undang,

2. Yang berasal dari hukum tidak tertulis

Yang berasal dari undang-undang.

a. Hak pribadi

Sifat melawan hukum lenyap bilamana seseorang dalam melakukan

perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar

perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH Perdata dengan pasal 1358 KUH

Perdata tentang zaakwarneming. Pada umumnya seseorang tidak dapat

membuat sesuatu perjanjian atas nama orang lain tanpa sepengetahuannya,

misalnya, menyewakan barang kepada orang lain atau pihak ketiga. Kalau hal

menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum

semacam itu yaitu kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus


(53)

terlantar seorang tadi berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan

si pemilik barang, inilah yang dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan

pasal 1357 KUH Perdata si pengurus barang tersebut berhak memperjanjikan

pada pihak ketiga yang mengikat si pemilik walau tanpa kuasanya.

b. Pembelaan diri

Dalam hal ini harus ada seorang dari pihak lain baru bisa dilakukan pembelaan

diri. Kalau pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan

hukum, maka sifat melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus diperhatikan

bahwa harus benar-benar ada keadaan yang memerlukan seseorang untuk

membela diri juga harus diperhatikan bahwa pembelaan diri ini tidak berakibat

serangan baru terhadap yang menyerang.

Contoh :

A berniat membunuh B yang sedang berjalan dengan memegang tongkat. Pada

saat A hendak menikam B, B memukul tangan A dengan tongkat sehingga

pisau jatuh dari tangan A. Walaupun perbuatan A adalah perbuatan melawan

hukum, tapi ini adalah perbuatan membela diri.

c. Keadaan memaksa (overmacht)

Menurut Subekti, bahwa :32

Selanjutnya beliau mengatakan :

“Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan manusia dan memaksa. Yang mana kerugian yang timbul akibat keadaan memaksa, kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu di luar kekuasaan manusia”.

33

32

R.Subekti, , Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Intermasa : cetakan XXIV),hal.150. 33


(54)

Keadaan memaksa ini terbagi 2 yaitu : 1). Bersifat mutlak (absolut)

Dalam hal ini tidak mungkin lagi melaksanakan suatu perjanjian. Jadi tidak mungkin lagi untuk menuntut ganti rugi;

2). Bersifat relatif (tidak mutlak)

yaitu berupa keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari pihak yang melakukan kesalahan.

d. Perintah Jabatan

Perintah jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan

yang berlaku dalam lingkungannya.

Yang Berasal dari hukum yang tidak tertulis

Hal yang melenyapkan sifat melanggar hukum yang tidak berasal dari

undang-undang, misalnya : wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar

persetujuan yang berhak. Misalnya : A pemilik seekor anjing, ternyata kemudian

menderita sakit gila. A meminta B yang kebetulan memegang sebuah tongkat

untuk memukul anjingnya tersebut. Atas persetujuan A tersebut, B memukul


(55)

BAB IV

PENERAPAN BATAS-BATAS WANPRESTASI DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PERIKATAN

A. Pelaksanaan Pasal 1365 KUH Perdata

Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang lahir dari

undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang melanggar hukum yang

diatur dalam KUH Perdata. Secara garis besar pengaturan mengenai perbuatan

melawan hukum dapat dilihat dari ketentuan, yaitu pada pasal 1365 KUH Perdata

dan Pasal 1366 KUH Perdata yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1365 : “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian

pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu menggantikan kerugian tersebut”34

Pasal 1366 : “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk

kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang

hati-hatinya”

.

35

Di dalam ketentuan pasal 1365 Perdata ada dikemukakan masalah

“perbuatan” sesuatu yang aktif. Sementara pada pasal 1366 KUH Perdata

memperbandingkan antara “perbuatan” dan “kelalaian” atau “kurang hati-hati”.

Dengan membandingkan kedua pasal tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan .

34

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 35


(56)

bahwa pembuat undang-undang dalam pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang

“tindakan” perbuatan melawan hukum, yang bersifat aktif , sedang dalam pasal

1366 KUH Perdata diatur tentang “perbuatan melawan hukum” yang terjadi

karena kelalaian, jadi yang bersifat pasif atau diam saja, tidak berbuat apa-apa,

atau membiarkan sesuatu berlangsung.

Sebenarnya, untuk peristiwa yang kedua lebih tepat dikatakan “sikap

melawan hukum”, tetapi karena istilah perbuatan melawan hukum sudah populer

maka cukup disepakati saja bahwa yang dimaksud adalah seperti itu. Apalagi

dengan adanya penafsiran luas, keduanya baik itu onrechtmatigedaad yang timbul

karena tindakan aktif maupun pasif telah tercakup dalam pasal 1365 KUH

Perdata.

Pasal 1365 KUH Perdata ini, dalam sejarahnya merupakan konkordansi

dari ketentuan pasal 1401 BW Belanda, yang mengatur ketentuan yang sama,

yaitu tentang onrechtmatigedaad. Pada awal perkembangannya ketentuan pasal

1401 BW (1365 KUH Perdata) ditetapkan secara sangat sempit oleh pengadilan di

negeri Belanda. Suatu tindakan baru dianggap sebagai perbuatan melawan hukum,

hanya apabila ada suatu ketentuan yang mewajibkan dan atau melarang orang

perorangan tertentu untuk melakukan suatu tindakan, salah satu contoh dari

peristiwa perbuatan melawan hukum yang dtafsirkan secara sempit adalah sebagai

berikut :

Diketahui pada waktu dulu di Belanda mayoritas rumah penduduk adalah

berloteng (bertingkat), sehingga orang yang tinggal di bagian bawah dari suatu


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ketentuan terhadap pemenuhan wanprestasi dalam suatu perikatan merupakan hal yang mutlak harus diketahui oleh pihak-pihak yang membuat perikatan. Pada umumnya tujuan setiap perikatan ialah diakhiri dengan pelaksanaan dan memang demikianlah seharusnya. Itu berarti bahwa para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi. Dengan terlaksananya prestasi, kewajiban-kewajiban para pihak berakhir. Sebaliknya, apabila debitur tidak melaksanakannya, disebut melakukan wanprestasi.

Secara sederhana wanprestasi adalah tidak memenuhi prestasi, atau melakukan prestasi tapi tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Jadi, debitur telah melakukan wanprestasi karena ia tidak atau terlambat melakukan prestasi dari waktu yang telah ditentukan, atau tidak sesuai dengan apa yang semestinya, dan ini merupakan suatu pelanggaran hukum atau tindakan melawan hukum terhadap hak kreditur yang lebih dikenal dengan istilah

onrechtmatigedaad .

Akibat yang ditimbulkan, debitur diharuskan membayar ganti rugi, atau pihak kreditur dapat meminta pembatalan perjanjian. Walau demikian, bahwa ketidaklaksanaan debitur terhadap kewajiban yang harus dilakukan olehnya


(2)

dapat terwujud karena kesengajaan maupun kelalaian debitur. Sehingga, tidak selayaknyalah jika seorang debitur yang telah wanprestasi tidak dimungkinkan untuk memenuhi kembali perikatannya.

Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjan suatu pihak (biasanya kreditur/berpiutang), menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur/berutang). Apabila pihak debitur melakukan wanprestasi, maka pihak kreditur yang menuntut/mengajukan gugatan, namun sebelumnya pihak kreditur telah melakukan somattie/Ingebrekestelling kepada debitur. 2. Ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur

dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (pasal 1365 KUH Perdata).

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan undang-undang, tapi juga aturan-aturan hukum yang tidak tertulis,yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan harus disebabkan perbuatan melawan hukum. Antara lain kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya secara langsung. Kerugian itu disebabkan karena kesalahan atau

schuld pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

3. Penerapan batas-batas antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam suatu perikatan tentunya akan menghadapkan pada hal yang


(3)

menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang dinilai sebagai perbuatan melawan hukum merupakan wanprestasi semata. Untuk itu, perlu diingat bahwa wanprestasi hanya dapat terjadi apabila seseorang yang telah ditetapkan atau dibebani dengan prestasi sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan perbuatan melawan hukum dapat terjadi tanpa melalui perjanjian. Dalam hal ini, apabila seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain.

B. Saran

1. Perlu diketahui sebaiknya setiap individu yang melakukan perikatan harus memenuhi perikatan yang dibuatnya sehingga tidak terjadi cidera janji, ingtkar janji, atau wanprestasi. Walaupun sebenarnya wanprestasi adalah hal yang tidak diinginkan terjadi dalam suatu perikatan, namun dalam setiap perikatan yang dibuat haruslah memuat ketentuan-ketentuan mengenai wanprestasi dengan jelas dan tegas. Hal ini tentunya akan lebih memudahkan kedua belah pihak yang melakukan perikatan untuk menentukan seseorang telah melakukan wanprestasi dalam suatu perikatan.

2. Perlu bagi pihak yang melakukan perikatan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan-perbuatan melawan hukum, dengan demikian pihak-pihak yang melakukan perikatan, dapat lebih


(4)

hati-hati dalam memenuhi suatu perikatan, karena walaupun perbuatan yang dilakukannya tidak tergolong dalam suatu perbuatan wanprestasi, namun barangkali memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

3. Perlunya pemahaman mengenai wanprestasi dan perbuatan melawan hukum bagi pelaku bisnis maupun masyarakat awam, karena dengan mengetahui hal ini tentu saja akan memudahkan kreditur untuk meminta ganti rugi dari kerugian yang disebabkan debitur, karena dalam pengajuan gugatan kreditur dapat dengan mudah membedakan yang merupakan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, dan memperkecil kemungkinan terhjadinya salah gugatan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdulhay, Marhainis. Hukum Perdata Materil. Jakarta : Pradnya Paramita. Ali, Chaidir, Yurisprudensi Perbuatan Melanggar Hukum. Bina Cipta,1970. Djojodihardjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan I. 1979.

Hoffmann, L.C., Het Nederlands Verbintenissenrecht, eerste gedeelte Wolters, Noordhoff, N.V.Groningen,1968.

Muhammad,Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1981.

Pitlo,A., Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands BW, N.D.Tjeenk & Zoon, NV : Harlem, 1952.

Prawirohamidjojo, R.Soetojo & Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1984.

Prodjodikoro,Wiryono, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung : Sumur Bandung, 1992.

Ridho, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum,Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf. Alumni : Bandung, 1979.

Satrio, J., Hukum Perikatan, (Perikatan Yang Lahir dari Undang-undang),bagian pertama. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001.

Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta,1977.

Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan Keenam, 2003.

Subekti,R., Hukum Perjanjian, Jakarta : PT Intermasa.


(6)

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI . Jakarta : Balai Pustaka, 1961.

Widjaya,I.G.Ray.Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting, Teori dan Praktek. Jakarta : Megapoin, 2003.

Widjaja Gunawan & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan,Perikatan yang Lahir dari Undang-undang. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003. Widjaja, Gunawan. Memahami Prinsip Keterbukaan, (aanvullend Recht), dalam

Hukum Perdata, Jakarta : PT .Raja Grafindo Persada, 2006.

II. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

II. Internet

Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi, Tanggal 6 September 2001, diakses tanggal 30 April 2008.

JENTERA Jurnal Hukum, Jumat, 18 April 2008.

Secure yang tidak Secure, No. 24, Tahun X, 20 Maret 2006, diakses 18 April 2008.

Media komunikasi & Informasi Konsumen

Indonesia, diakses tanggal 18 April 2008.

Perbuatan Melawan Hukum dalam Kaitannya

dengan Perlindungan Konsumen, oleh Desita Sari / Indah Liza Diana, tanggal 2 Oktober 2003, diakses tanggal 5 Mei 2008.