BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan - Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.
BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan sebagai kontrak adalah sebagai berikut:
“An agreement between two or more person which creates an obligation to do or
not to do to particular thing”
Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak meelakukan sesuatu
4 secara sebagian.
Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad.
Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan Pasal 1313
5 KUHPerdata adalah sebagai berikut : 1.
Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan 4 sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya 5 Salim H. S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 26.
Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada PT. Puri Kencana Mulyapersada di Semarang, Tesis, Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, 2007, hal. 14. dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara pihak- pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus.
Seharusnya dipakai kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
4. Tanpa menyebut tujuan Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat. Ada pula R. Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
6
definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi: 1.
Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu 6 perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
Ibid., hal. 15
2. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313KUH Perdata.
Menurut R. Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
7 Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
”
8 Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian atau definisi dari
perjanjian sangatlah sulit untuk kita dapatkan karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka ada beberapa pendapat yang dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut R. Subekti :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
9 2.
Menurut Sudikno Mertokusumo: “Perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk men imbulkan akibat hukum.”
10 3.
Menurut Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum.” 7 Ibid., hal. 16. 8 Ibid 9 Ibid 10 Ibid Dari pengertian di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian.
Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Dalam praktiknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.
Perjanjian banyak jenisnya, tergantung dari para pihak yang ingin mengikatkan diri satu sama lain mengenai hal apa, antara lain perjanjian pemborongan. Istilah konstruksi dan pemborongan apabila dikaji terdapat perbedaan di antara kedua istilah tersebut, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika dikaitkan dengan istilah hukum atau kontrak konstruksi dan/atau hukum atau kontrak pemborongan. Walaupun begitu sebenarnya istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas daripada istilah konstruksi. Sebab dengan istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya),
11
melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja (procurement). Berdasarkan
Pasal 1601 huruf b KUHPerdata yang dimaksud dengan perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu yaitu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yaitu pihak yang
12 memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
11 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 12. 12 F. X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal.3 Dari definisi yang diberikan oleh KUHPerdata terlihat bahwa Undang-Undang secara keliru memandang kepada kontrak pemborongan sebagai suatu jenis kontrak unilateral, dimana seolah-olah hanya pihak kontraktor yang mengikatkan diri dan harus berprestasi, padahal dalam perkembangannya baik pihak kontraktor maupun pihak bouwheer saling mengikatkan diri dengan masing-masing
13
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Di sini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kualitas/ kuantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Dalam
Black’s Law Dictionary yang dimaksud kontrak konstruksi adalah
“Type of contract which plans and specification for construction for made a part
of the contract itself and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcont ractor and party for whom building is beaing constructed”
Artinya kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari
14 perjanjian itu sendiri.
A.1 Syarat Sah Perjanjian
Subekti membagi syarat sahnya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata ke dalam 2 kelompok, yaitu:
13 14 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 13.
Dinda Ayu Permatasari, Analisis Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dengan CV. Duta Utama Sumatera, Skripsi, Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010, hal. 40.
1. Syarat subyektif merupakan syarat yang menyangkutkan subyek yang mengadakan perjanjian, yaitu pihak yang mengadakan perjanjian yang terdiri dari: a.
Kesepakatan Kedua Belah Pihak Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
15 Persetujuan kehendak di sini
harus benar-benar atas kemauan sendiri tidak ada paksaan dari pihak manapun dalam persetujuan dan tidak ada kekhilafan dan penipuan.
Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
16
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam atau membisu asal dipahami pihak lawan.
Berdasarkan pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas tidak boleh terdapat unsur cacat kehendak antara lain: 1)
Kekhilafan, yaitu sesat dianggap ada apabila pernyatan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan pada gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (eror in persona) maupun objeknya (eror in substansia). 15 Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 33. 16 Ibid
2) Paksaan (dwang), yaitu kekerasan jasmani atau ancaman dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.
Paksaan ini bukan karena kehendaknya sendiri namun adanya paksaan dari pihak lain.
3) Penipuan (bedrag), yaitu pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.
b.
Kecakapan Bertindak Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiaban. Mereka yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perbuatan hukum diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
1) Orang-orang yang belum dewasa yaitu mereka yang dibawah 21 tahun dan/atau belum pernah menikah. Di Indonesia kecakapan seseorang dihadapan hukum telah ditentukan dalam suatu Undang-Undang. Masalahnya adalah Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang mengatur perihal kedewasaan seseorang, sehingga patut dipertanyakan dalam hal kapan seseorang dianggap telah dewasa dihadapan hukum dalam melakukan suatu tindakan hukum. Berdasarkan Pasal 330 ayat (1) dan (2) KUHPerdata yang memberi batasan kedewasaan bila telah mencapai umur 21 tahun. Dasar hukum lainnya adalah Pasal 39 ayat (1) dan pasal 40 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimana sesorang dianggap telah dewasa bila telah mencapai umur 18 tahun dan tidak boleh kurang 1 hari pun. Hal ini berkaitan dengan fungsi Notaris itu sendiri yang membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan hukum seperti perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik dalam setiap perbuatan hukum seseorang. Hal ini hanya berlaku bagi akta-akta notaris yang sifatnya lebih umum yang mana akta tersebut berkaitan langsung dengan pihak dan sangat berperan dalam dunia usaha. Bagi mereka yang belum mencapai usia 18 tahun tetapi telah menikah maka mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan perjanjian walaupun Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur hal tersebut. Berdasarkan asas lex specialis derogat
legi generalis maka mereka tunduk pada Pasal 330 ayat (1) dan
(2) KUHPerdata.2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan (curatele) yaitu mereka yang mengalami ganguan jiwa, sakit ingatannya, suka berjudi, suka mabuk-mabukan, dan pemboros.
3) Perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-
Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Udang- Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun hal ini sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUHPerdata diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tak bolehlah ia mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis dari suaminya.
Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.
Dalam Pasal 110 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya. Selain SEMA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tepatnya Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata. Dengan begitu maka istri termasuk dalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
2. Syarat obyektif yaitu syarat yang meliputi objek perjanjian yang terdiri dari: a.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian.
Dalam suatu kontrak objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak
17 harus jelas. Objek perjanjian tersebut dapat berupa barang atau jasa.
b.
Suatu sebab yang halal Perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan
17 Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 30.
daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian.
Bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Bila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.
A.2 Asas-Asas Perjanjian
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 dihasilkan
18
8 asas-asas perjanjian. Kedelapan asas tersebut antara lain: 1.
Asas kepercayaan Setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
2. Asas persamaan hukum
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, 18 dan kewajiban yang sama dalam hukum.
Salim H. S, hal. 13-14.
Hukum Kontrak : Teori…, Op. Cit.,
3. Asas keseimbangan Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4. Asas kepastian hukum Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral Asas ini di dasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nurani.
6. Asas kepatutan Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.
7. Asas kebiasaan Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan (protection) Para pihak baik kreditur maupun debitur harus dilindungi oleh hukum, namun yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena berada pada pihak yang lemah.
Namun dalam prakteknya asas-asas dalam perjanjian terdiri dari:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of making contract) Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian dengan siapa saja, dengan syarat apa saja, dalam bentuk apa saja, dan tentang apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (beginselen der contrachtsvrjheid atau party autonomy).
2. Asas Konsensualisme Perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir pada saat adanya kata sepakat dari pihak yang membuat perjanjian walaupun belum terjadi penyerahan barang yang diperjanjikan (levering). Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
19 pihak. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
3. Asas Kepastian Hukum (Pacta sunt servanda) Setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan 19 kekuatan tentang perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Ibid., hal. 10.
Undang-Undang, kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Karena itu, Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan
20 intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Asas itikat baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melakukan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi dapat dilihat dengan memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad baik mutlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan dimana di dalamnya dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma
21
yang objektif. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kepribadian (Personalitas) Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya 20 seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk 21 Ibid.
Ibid., hal . 11. dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
A.3 Subjek dan Objek Perjanjian
Subjek perjanjian adalah para pihak yang terdiri dari kreditur yaitu pihak yang berhak atas prestasi dan debitur yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi yang terdiri dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (recht persoon). Objek Perjanjian adalah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Objek perjanjian dapat berupa benda atau jasa. Berdasarkan Pasal 503, 504, 505 KUHPerdata benda (zaak) dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
22 1.
Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken) Benda ini sifatnya dapat dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indera.
Benda bertubuh dapat dibagi lagi, yaitu: a.
Benda bergerak atau benda tidak tetap (roerende zaken) yang dapat digolongkan menjadi: 1)
Benda yang dapat dihabiskan, misalnya minyak, bensin dan lain-lain.
2) Benda yang tidak dapat dihabiskan misalnya mobil, perhiasan dan lain-lain.
b.
Benda tidak bergerak atau benda tetap (onroerende zaken) Misalnya tanah, pabrik, rumah, kapal yang berukuran 20 m3 ke atas, toko, gedung, sawah, kayu di hutan dan barang-barang lain yang 22 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 247-248 sifatnya secara prinsip terpaku atau tertancap di tanah. Termasuk juga hak-hak seperti hak pakai hasil, hak usaha, hak bunga tanah, hak pengabdian tanah, hak pasar yang diakui pemerintah.
2. Benda tak bertubuh atau benda tak berwujud (onlichamelijke zaken)
Benda ini hanya bisa dirasakan oleh panca indera saja dan tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, seperti hak cipta, merek, dan lain- lain. Perjanjian pemborongan diatur dalam beberapa aturan hukum yang berlaku sebagai payung yang melindungi para pihak yang ada di dalamnya demi terciptanya asas kepastian hukum. Dasar hukum perjanjian pemborongan, yaitu: 1.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
2. Pasal 1604 s/d 1617 KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat Pemerintah seperti AV 1941 (Algemene Voorwarden Voor de
uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia ) yang artinya
syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di
23 Indonesia. Tidak adanya ketegasan dalam pasal-pasal KUHPerdata
mengenai kontrak pemborongan ini apakah bersifat hukum memaksa (mandatory law) atau hanya hukum mengatur. Sebagaiman umumnya pasal-pasal dalam buku ketiga KUHPerdata, maka kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur. Jadi
24 umumnya dapat dikesampingkan oleh para pihak.
23 24 F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 3-4.
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 26.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Jasa Konstruksi 6. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1.
Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Syarat sah perjanjian pemborongan bagi pihak swasta tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan bagi pihak pemerintah tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu, karena itu para pihak yang melakukan perjanjian tidak bernama tidak hanya tunduk pada peraturan yang mengaturnya, tapi harus tunduk pula pada ketentuan dalam KUHPerdata. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat
legi generalis. Jika pengaturan khusus tersebut tidak mengatur secara rinci maka dapat dipergunakan peraturan yang bersifat umum.
Pemborong bertanggung jawab dalam jangka waktu tertentu. Pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan. Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 tahun.
B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan
Berdasarkan cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat
25
dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu:
25 Dinda Ayu Permatasari, Op.Cit., hal. 43.
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan.
2. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan.
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas dengan pemborong.
Berdasarkan cara penentuan harganya perjanjian pemborongan dapat
26
dibedakan atas 3 bentuk utama sebagai berikut: 1.
Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price).
Di sini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.
2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum.
Di sini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.
3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price).
Di sini harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan atau jumlah unit.
4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee).
Di sini pihak pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya. Berdasarkan usahanya perjanjian pemborongan dapat dibedakan menjadi 3
27
kelompok, yaitu: 26 Ibid., hal. 44.
1. Kontrak perencanaan konstruksi, yaitu kontrak yang dibuat oleh masing- masing pihak. Salah satu pihak yaitu pihak perencana memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi. Layanan jasa perencanaan ini meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.
2. Kontrak pelaksanaan konstruksi, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pelaksanaan konstruksi.
3. Kontrak pengawasan, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pengawasan konstruksi.
Berdasarkan jangka waktunya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi
28
2 kelompok, yaitu: 1.
Tahun tunggal, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai selama satu tahun.
2. Tahun jamak, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai lebih dari satu tahun.
Berdasarkan cara pembayaran hasil pekerjaan perjanjian pemborongan
29
dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: 1.
Sesuai kemajuan pekerjaan, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan dalam beberapa tahapan dan bisa juga pembayaran dilakukan sekaligus pada saat pekerjaan fisik selesai 27 seluruhnya. 28 Ibid., hal. 43. 29 Ibid., hal. 45 Ibid., hal. 45
2. Pembayaran secara berkala, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan secara bulanan pada setiap akhir bulan.
Berdasarkan obyeknya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2
30
kelompok, yaitu: 1.
Kontrak pengadaan barang, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak yang objeknya berupa barang dan dipergunakan untuk kepentingan pemerintah.
2. Kontrak konsultasi, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak dimana pihak penyedia jasa memberika jasa professional dalam berbagai bidang untuk mencapai sasaran tertentu yang hasilnya berupa piranti lunak. Kontrak jenis ini disusun berdasarkan kepada kerangka acuan kerja yang sistematis yang ditetapkan pengguna jasa.
C. Para pihak Dalam Perjanjian Pemborongan 1.
Pemberi Tugas (bouwheer/ aanbesteder/ owner/ employer/ client/
promoter/ buyer/ kepala kantor/ satuan kerja/ pemimpin proyek/ prinsipal/
yang memborongkan) Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Adapun tugas dan wewenang dari seorang pemberi tugas, yaitu: a.
Memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan pemborong.
b.
Menerima hasil pekerjaan.
31 c. 30 Membayar harga bangunan.
Ibid., hal. 46 d.
Penunjukan arsitek.
e.
Menyerahkan pekerjaan. 31 F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 8. 32 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 19.
b.
Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak.
Tugas pemborong adalah: a.
adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat hubungan kedinasan. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan/atau swasta dengan perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal (perjanjian perencana), sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari pihak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).
Kewenangan dalam hal arbitrase bila terjadi sengketa di kemudian hari.
Kewenangan dalam hal persertifikasian. j.
Kewenangan menetapkan pekerjaan dari kontraktor. i.
h.
Kewenangan dalam hubungannya dengan ganti rugi.
g.
Memberikan lokasi kepada kontraktor.
f.
Wewenang dalam hubungannya dengan asuransi.
32 Hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi tugas
2. Pemborong (kontraktor/ rekanan/ developer/ annamar) Pemborong bisa perseorangan, badan hukum, swasta, maupun pemerintah.
Penunjukan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.
Subkontraktor adalah pihak ketiga yang dilibatkan oleh pihak kontraktor utama untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu yang terbit dari kontrak konstruksi antara pihak bouwheer dengan pihak kontraktor utama, pekerjaan mana
33 dilakukan oleh subkontraktor untuk dan atas nama pihak kontraktor utama.
Secara yuridis hubungan hukum subkontraktor hanya dengan kontraktor utamanya saja. Apabila dilakukan pengangkatan subkontraktor maka kontraktor harus meminta persetujuan dari pengguna jasa serta menyatakan secara rinci jenis pekerjaan yang diberikan kepada subkontraktor. Pihak pemborong tetap bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dalam mensubkontrakkan pekerjaan. Apabila terbukti bahwa pelaksanaan pekerjaan kontraktor tidak sesuai dengan perencanaan, maka kontraktor akan dikenakan sanksi-sanksi yaitu: denda, penangguhkan pembayaran, diadakan pembongkaran atau penggantian, memasukkan nama perusahaan kontraktor ke dalam daftar hitam rekanan dan pemutuskan kontrak dengan kontraktor.
Penunjukan pada pihak subkontraktor dapat dilakukan dengan cara penunjukan sendiri oleh pihak kontraktor utama atau penunjukan subkontraktor dengan partisipasi pihak bouwheer. Pihak bouwheer campur tangan dalam 33 Ibid., hal. 183. menentukan subkontraktor dengan alasan bouwheer hanya percaya pada kemampuan pihak kontraktor semata-mata, ketersediaan keahlian yang cukup pada kontraktor tertentu, dan ketersediaan peralatan yang cukup pada kontraktor tertentu. Apabila pihak subkontraktor gagal memenuhi kewajibannya maka pihak
bouwheer dapat mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak kontraktor, kecuali kontrak yang bersangkutan dengan tegas menentukan sebaliknya.
34 Untuk
menghindari terjadinya kerugian maka kontraktor harus benar-benar memilih subkontraktor yang memilih reputasi yang baik, bertanggung jawab dan memiliki kemampuan yang dapat diandalkan.
3. Perencana (arsitek)
Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan keahliannya memiliki tugas, yaitu: a.
Sebagai penasihat Di sini perencana mempunyai tugas membuat rencana biaya dan gambaran proyek sesuai dengan pesanan pemberi tugas (bouwheer).
b.
Sebagai wakil Di sini perencana bertindak sebagai pengawas dengan tugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan. Perencana juga dapat menunjuk orang lain untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan (ada subsitusi).
35 Sebagai wakil perencana dapat diberhentikan sewaktu-
waktu apabila ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan 34 Ibid., hal. 186-188. 35 F. X. Djumialdji, Op. Cit., hal. 11-12.
pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pengampuannya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata).
4. Pengawas (Direksi)
Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Di sini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu pengawas bertugas untuk mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) untuk pemborongan-pemborongan atau pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil
36
pelelangan dan sebagainya. Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan pemborong, jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal 36 tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang menanganinya.
Ibid.
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan 1.
Pemberi tugas (bouwheer) Hak-hak pihak bouwheer, yaitu : a.
Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang terdapat dalam kontrak sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya.
b.
Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan.
c.
Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak.
d.
Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan.
e.
Berhak untuk memperlakukan subkontraktor dalam pemenuhan kewajiban dan konsep yang sama seperti kontraktor utama, yaitu dalam hal pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh kontraktor utama, subkontraktor juga dianggap tidak dapat melakukannya.
Jika kontraktor mengenai sesuatu hal dianggap tidak berkepentingan untuk melakukannya maka subkontraktor juga dianggap tidak berkepentingan untuk melakukan pekerjaan tersebut.
f. berhak untuk memutuskan perjanjian dengan didahului dengan pemberitahuan secara tertulis apabila denda keterlambatan penyelesaian proyek telah mencapai batas maksimum yaitu 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak.
Kewajiban-kewajiban pihak bouwheer, yaitu : a.
Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya.
b.
Membayar uang maka pekerjaan (down payment) kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong.
c.
Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian.
d.
Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan dengan pekerjaan tersebut.
2. Pemborong (kontraktor)
Hak-hak pihak pemborong,yaitu: a.
Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas.
b.
Hak mendapatkan uang muka (down payment) dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan.
c.
Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong.
d.
Mendapat pengarahan dan bimbingan dari pemberi tugas dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan. e.
Mencari tambahan dana dari pihak ketiga.
f. kontraktor utama berhak untuk memberlakukan syarat-syarat dari perjanjian induk kepada subkontraktor yang berarti mengalihkan beban yang diwajibkan oleh pemberi tugas yang semula berlaku bagi kontraktor utama menjadi berlaku bagi subkontraktor.
g. kontraktor dapat juga berhak atas pembayaran mengerjakan bangunan tersebut jika si pemberi tugas lalai untuk melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan atau bendanya menjadi rusak karena cacat.
Kewajiban-kewajiban pihak pemborong, yaitu : a.
Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan.
b.
Mentaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja.
c.
Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
d.
Pemborong wajib mengasuransikan tenaga kerjanya dan harus melaporkan pada pemberi tugas. e.
Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan pertama dilakukan.
f.
Membuat laporan setengah harian dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan.
g.
Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas.
h.
Jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam gambar bestek, maka pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas . biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas i. Pemborong yang melakukan pekerjaan dan menyediakan material, jika kemudian pekerjaannya musnah sebelum penyerahan pekerjaan maka risiko ada pada pemborong, ini berarti pemborong harus mengerjakan lagi dengan material yang baru kecuali jika si pemberi tugas telah lalai melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan tersebut maka risiko beralih pada pemberi tugas (Pasal 1650 KUH Perdata). j.
Bagi pemborong yang hanya melaksanakan pekerjaan saja, kemudian terjadi kerusakan sebelum pekerjaan diserahkan maka resiko ada pada pemborong yaitu hanya bertanggungjawab terbatas pada kesalahan yang dibuatnya (Pasal 1606 KUHPerdata). Sebagai tambahan pula bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan tidak dapat dihilangkan begitu saja. dalam hal ini masyarakat pun memiliki hak dan kewajibannya. Hak masyarakat berdasarkan
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu: 1. Melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Kewajiban masyarakat berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu:
1. Menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
E. Metode Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan
Dalam tahap awal pelaksanaan perjanjian pemborongan dilakukan
37
kualifikasi perusahaan pemborongan, yaitu: 1.
Golongan C3 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).
37 hal. 14.
Ibid.,
2. Golongan C2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
3. Golongan C1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
4. Golongan B2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
5. Golongan B1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah).
6. Golongan A adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis tinggi atau sangat tinggi bernilai di atas RP 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Setelah tahap pengkualifikasian perusahaan pemborongan selesai lalu lanjut ke
38
tahap selanjutnya, yaitu: 1.
Pelelangan umum 38 ., hal. 19-28.
Ibid Pelelangan umum adalah pelelangan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media masa dan atau pada papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, sehingga masyarakat luas atau dunia usaha yang berminat dapat mengikutinya. Pelelangan umum dilakukan denga cara sebagai berikut: a.
Diadakannya pengumuman kepada yang berminat.
b.