BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Auditing Secara Umum - Pengaruh Etika Profesi, Independensi, Dan Professional Judgment Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Audit Laporan Keuangan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pengertian Auditing Secara Umum

  Auditing menurut Arens, dkk (2008 : 4) adalah sebagai berikut: “Auditing

adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan

melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan.

Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen”.

  2. 1.1.1 Jenis-Jenis Audit

  Arens, dkk (2008 : 16) menjelaskan bahwa audit terdiri dari tiga macam jenis yang diantaranya: a.

  Audit Operasional Audit operasional mengevaluasi efisiensi dan efektivitas setiap bagian dari prosedur dan metode operasi organisasi. Pada akhir audit operasional, manajemen biasanya mengharapkan saran-saran untuk memperbaiki operasi. Sebagai contoh, auditor mungkin mengevaluasi efisiensi dan akurasi pemrosesan transaksi penggajian dengan sistem computer yang baru dipasang (Arens, dkk, 2008:17).

  b.

  Audit Ketaatan atau Kepatuhan “Audit ketaatan atau kepatuhan ini dilaksanakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit mengikuti prosedur, aturan, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi” (Arens, dkk, 2008 : 18). Manajemen bertanggung jawab untuk menjamin bahwa entitas yang dikelolanya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku atas aktivitasnya. Tanggung jawab ini mencakup pengidentifikasian peraturan

  25 memberikan keyakinan memadai bahwa entitas tersebut mematuhi peraturan. Sedangkan dari sisi tanggung jawab auditor adalah menguji dan melaporkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan bervariasi sesuai dengan syarat perikatan. Kriteria yang ditetapkan dalam pelaksanaan audit kepatuhan, misalnya adalah kebijakan, peraturan, persyaratan pinjaman kredit, prosedur yang ditetapkan, Undang-Undang Peraturan Perburuhan dan Undang-Undang Perpajakan. Informasi terukur dalam audit kepatuhan misalnya, data mengenai pelaksanaan kebijakan, peraturan, prosedur, pengangkatan, pengupahan, pemberhentian pegawai, pelaporan SPT pajak dan pelaksanaannya. Hasil audit kepatuhan berupa pernyataan temuan atau tingkat kepatuhan. Hasil audit kepatuhan dilaporkan kepada pemberi tugas yakni pimpinan organisasi karena ia yang paling berkepentingan atas dipatuhinya prosedur dan peraturan yang ditetapkan.

  c.

  Audit Laporan Keuangan “Audit atas laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu. Biasanya, kriteria yang ditetapkan adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum” (Arens, dkk, 2008 : 18). Audit laporan keuangan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, sesuai dengan kriteria tertentu yang mana kriteria tertentu tersebut adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum. Prinsip akuntansi yang berlaku umum di

  26

2.1.1.2 Standar Auditing

  27 yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

  Standar auditing berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu pelaksanaan audit serta dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar ini meliputi pertimbangan kualitas profesional auditor, seperti keahlian dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bahan bukti. “Standar auditing terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan” (Arens, dkk, 2008: 43).

  a.

  Standar Umum 1)

  Audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor. 2)

  Auditor harus mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit. 3)

  Auditor harus menerapkan emahiran professional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan.

  b. Standar Pekerjaan Lapangan 1)

  Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana mestinya. 2)

  Auditor harus memeroleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai resiko salah saji yang material dalam laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat, waktu, serta luas prosedur audit selanjutnya. 3)

  Auditor harus memeroleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit.

  1) Auditor harus menyatakan dalam laporan audit apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

  2) Auditor harus mengidentifikasikan dalam laporan auditor mengenai keadaan di mana prinsip-prinsip tersebut tidak secara kkonsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya.

  3) Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan yang informative belum memadai, auditor harus menyatakannya dalam laporan auditor.

  4) Auditor harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan, atau menyatakan bahwa suatu pendapat tidak bisa diberikan, dalam laporan auditor. Jika tidak dapat menyatakan pendapat secara keseluruhan, auditor harus menyatakan alasan- alasan yang mendasarinya dalam laporan auditor. Dalam semua kasus, jika nama seorang auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, auditor itu harus dengan jelas menunjukkan sifat pekerjaan auditor, jika ada, serta tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor, dalam laporan auditor.

  Standar auditing inilah yang menjadi pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar-standar ini merupakan dan meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka seperti keahlian dan independensi, persyaratan dan pelaporan serta bahan bukti.

2.1.2 Etika Profesi

2.1.2.1 Pengertian Etika Profesi

  Menurut Agoes dan Cenik (2013 : 27), “etika dapat dilihat dari dua hal berikut: a. Etika sebagai praksis; sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat.

  b. Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran/penilaian moral. Etika sebagai pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses penalaran terhadap moralitas tersebut bersifat kritis, metodis, dan sistematis.

  28 Kode etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya.

  Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (Diakses di www.wikipedia.com tanggal 17 Februari 2009).

  Fungsi pokok akuntan publik adalah melakukan pemeriksaan umum atas laporan keuangan perusahaan dan memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan setelah melakukan prosedur audit. “Karena perannya yang sangat strategis maka profesi akuntan publik di samping diawasi oleh organisasi profesi itu sendiri, juga diawasi oleh beberapa institusi pemegang otoritas, seperti : pemerintah (di Indonesia melalui Departemen Keuangan Republik Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), Public

  

Company Accounting Oversight Board (PCAOB) berdasarkan Sarbaney Oxley

Act di Amerika Serikat, dan institusi lain yang terkait” (Agoes dan I Cenik

  Ardana, 2013: 155).

  29 Prinsip etika profesi dalam Kode Etik IAI adalah sebagai berikut:

  1) Tanggung Jawab Profesional

  Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2)

  Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

  3) Integritas

  Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 4)

  Objektifitas Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

  5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

  Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati- hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.

  30

  Kerahasiaan Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.

  7) Perilaku Profesional

  Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.

  Standar Teknis

  8)

  Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas “Seorang auditor yang memegang teguh etika profesi akan lebih

bertanggungjawab, independen, dan objektif dalam mengambil keputusan. Dengan

demikian auditor harus memilki pengalaman dan memegang teguh etika profesi

dalam menjalankan setiap pekerjaan” (I Made dan Ni Made, 2013: 127).

  Auditor yang beretika akan menilai tingkat materialitas secara objektif, jujur, dan berhati-hati agar laporan audit yang dihasilkan dapat diandalkan.

  31

2.1.3.1 Pengertian Independensi

  Menurut Arens, dkk (2008 : 111), “Independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang tidak bias”. Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada pihak lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif, tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.

  Auditor harus independen dari setiap kewajiban atau independen dari pemilikan kepentingan dalam entitas yang diauditnya. Di samping itu, auditor tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap mental independen, tetapi ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya.

  Auditor yang mampu mengambil posisi independen dalam setiap melaksanakan tugasnya dan memiliki kemampuan yang memadai di bidang profesinya disertai dengan etika kerja yang konsisten akan memiliki kinerja yang semakin berkualitas. Hal ini seperti diungkapkan dalam penelitian Kompiang dan Dharma (2013: 48) yang menyatakan bahwa “Independensi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Independensi terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja auditor, yang dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi independensi auditor maka kinerja auditor yang dihasilkan akan semakin lebih baik”.

  32

  33 Ancaman independensi akuntan publik menurut Soekrisno Agoes (2013 : 189) : 1.

  Ancaman kepentingan diri (self-interest). Ancaman kepentingan diri dapat timbul akibat ada kepentingan keuangan, atau ada kepentingan dari keluarga langsung atau keluarga dekat, atau kepentingan lain dari akuntan yang bersangkutan. Kepentingan diri adalah wujud sifat yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga dibandingkan kepentingan publik yang lebih luas.

  2. Ancaman review diri (self-review). Ancaman review diri dapat timbul jika pertimbangan sebelumnya direview ulang oleh akuntan professional yang sama dan yang telah melakukan penilaian sebelumnya tersebut.

  3. Ancaman advokasi (advocacy). Ancaman advokasi dapat timbul bila akuntan profesional mendukung suatu posisi atau pendapat sampai titik di mana objektivitas dapat dikompromikan.

  4. Ancaman kekerabatan (familiarity). Ancaman kekerabatan timbul dari kedekatan hubungan sehingga akuntan profesional menjadi terlalu bersimpati terhadap kepentingan orang lain yang mempunyai hubungan dekat dengan akuntan tersebut.

  5. Ancaman intimidasi (intimidation). Ancaman intimidasi dapat timbul jika kuntan profesional dihalangi untuk bertindak objektif, baik secara nyata maupun dipersepsikan. Menurut pendapat Salehi (2009 : 2) “The auditor‘s independence may be influenced by conscious inaccuracy or by unconscious inaccuracy in the reported information. The conscious inaccuracy may arise out of several factors like, 1.

  Close to his client; 2. Dependency on the client for his livelihood; 3. Driven by a desire of economic and social success; 4. Close relationship with the client’s executive; 5. Blood relationship or marriage relationship with his clients; 6. Acceptances of goods or services from clients directly or through his employees at confessional basis or free basis;

7. Beholden to the Board of Directors for his re-appointment; and 8.

  Competitive in audit market (Sucher and Maclullich, 2004). The unconscious inaccuracy may also arise from several factors as below: 1.

  The auditor may rely on branch manager; 2. Rely on external confirmation while making his opinion on accounts such as confirmation from debtors, creditors, bankers etc; and

2.1.3.3 Pengamanan terhadap Ancaman Independensi

  • Persyaratan pengembangan profesi berkelanjutan.
  • Peraturan tata kelola korporasi • Standar-standar professional.
  • Prosedur pemantauan dan pendisiplinan profesi atau peraturan.
  • Review eksternal oleh pihak ketiga yang berwenang atas laporan, pemberitahuan, komunikasi, dan informasi yang dihasilkan oleh akuntan professional (IFAC, 100.12).

  34 Rely on the management for verification and valuation of assets to a greater extent.

  Menurut pendapat Agoes dan Cenik (2013 : 191) mengenai pengamanan terhadap ancaman independensi, “Ada dua kategori pokok pengamanan terhadap ancaman independensi, yaitu: 1) pengamanan melalui profesi, legislasi dan regulasi; 2) dan pengamanan lingkungan kerja (IFAC, 100.11). Berikut ini merupakan hal- hal yang termasuk dalam pengamanan melalui profesi, legislasi, dan regulasi, namun tidak terbatas pada: • Persyaratan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja.

2.1.4 Professional Judgement

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Profesi adalah pekerjaan dimana dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah untuk hidup, sedangkan profesionalisme dapat diartikan bersifat profesi atau memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan”. Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran. Profesionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang lebih baik dari sekedar mematuhi undang-undang dan peraturan masyarakat yang ada. Profesionalisme juga merupakan elemen dari tugas yang tinggi.

  Menurut Tuanakotta (2011 : 61) “Professional judgement merupakan bagian penting dari critical thinking dalam praktek audit”. ISA 200 (Overall

  

Objective of The Independent Auditor, and the Conduct of an Audit in Accordance

in International Standards on Auditing) dalam Tuanakotta (2011 : 64)

  menjelaskan makna professional judgement sebagai berikut: a.

  Penerapkan pengetahuan dan pengalaman yang relevan, b. Dalam konteks auditing, akuntansi, dan standar etika, c. Untuk mencapai keputusan yang tepat dalam situasi atau keadaan selama berlangsungnya penugasan audit, dan d.

  Kualitas pribadi yang berarti bahwa judgement berbeda diantara auditor yang berpengalaman (tetapi pelatihan dan pengalaman dimaksudkan untuk mendorong konsistensi dalam judgement). (Paragraf A24)

2.1.5 Materialitas

2.1.5.1 Pengertian Materialitas

  Financial Accounting Standard Board dalam Sunyoto (2014 : 141)

  mendefinisikan bahwa, “Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletaan kepercayaan atas informasi tersebut karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut”. Definisi dari materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan pelaporan audit Novanda (2012 : 10) adalah “Suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai

  35

  2012 : 2) “Definisi materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut”.

  Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besarnya salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi dan pertimbangan seseorang yang meletakkan kepercayaan terhadap salah saji tersebut. Standar yang tinggi dalam praktik akuntansi akan memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep materialitas.

  Adapun tujuan dari penetapan materialitas ini menurut Manita, dkk (2011 : 2), “The materiality allows the auditor to determine the extent of the audit works,

  

to evaluate the accounting errors materiality identified by auditors and finally to

express an opinion on the reliability and the sincerity of the accounting

documents ”. Kinanti (2013 : 4) juga menyatakan pendapat “Tujuan penetapan

  materialitas ini adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup”. Jika auditor menetapkan bahwa tingkat materialitas rendah maka akan lebih banyak lagi bukti yang harus dikumpulkan dan begitupun jika tingkat materialitas tinggi maka hanya sedikit bahan bukti yang harus dikumpulkan.

  36 Adapun konsep materialitas yang dapat digunakan dalam pertimbangan laporan keuangan sebagai berikut: 1)

  Jumlah yang tidak material. Jika terdapat salah saji tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai keuangan.

  2) Jumlah yang material tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan. Keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji benar sehingga tetap berguna.

  3) Jumlah yang sangat material sehingga pengaruhya sangat meluas dan kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan laporan keuangan diragukan.

  Menurut Arens dkk (2008 : 319) dalam menetapkan tingkat materialitas ada lima langkah yang dilakukan yaitu:

  1. Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas.

  2. Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke segmen-segmen.

  3. Mengestimasi total salah saji dalam segmen.

  4. Memperkirakana salah saji gabungan.

  5. Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau yang direvisi tentang materialitas.

2.1.5.3 Penggunaan Materialitas

  Tuanakotta (2013 : 292) memaparkan penggunaan materialitas dalam : Perencanaan dan penilaian resiko untuk :

  • Menentukan items dalam laporan keuangan yang harus diaudit;
  • Menetapkan konteks dan rujukan untuk strategi audit menyeluruh

  (overall audit strategy);

  • Merencanakan sifat (nature), waktu pelaksanaan (timing), dan luasnya (extent), prosedur audit tertentu;
  • Menentukan specific materiality untuk jenis transaksi (classes of

  transactions ), saldo akun (account balances), atau disclosures tertentu

  37

  • Menentukan performance materiality untuk setiap tingkat specific
  • Mengevaluasi bukti terakhir untuk menentukan perlu/tidaknya

  • Mengidentifikasi prosedur penilaian resiko (risk assessment procedures ) apa saja yang diperlukan.
  • Menetapkan konteks dan rujukan ketika auditor mengevaluasi informasi yang diperoleh.
  • Menilai besar dan dampak dari resiko yang di/teridentifikasi.
  • Menilai hasil dari prosedur penilaian resiko. Kegunaan materialitas dalam pertemuan tim penugasan
  • Memastikan bahwa anggota tim memahami pemakai laporan yang diidenfikasi dan apa yang layaknya menjadi ekspektasi mereka dalam membuat keputusan ekonomis. Hal ini berguna dalam hal adanya informasi yang diketahui anggota tim, yang memerlukan perubahan angka materialitas dari apa yang ditetapkan pada awalnya.
  • Menyusun strategi audit menyeluruh (overall audit strategy).
  • Menentukan luasnya pengujian sehubungan dengan: a.
  • Mengidentifikasi masalah audit yang gawat (critical audit issues) dan area yang memerlukan perhatian dan penekanan audit.
  • Mengidentifikasi prosedur audit selanjutnya (further audit

  Materialitas dalam pelaksanaan prosedur audit adalah untuk:

  Performance materiality; b. Specific performance materiality.

  Perubahan dalam pemahaman auditor mengenai entitas dan kegiatan usahanya, sebagai hasil dari pelaksanaan prosedur audit selanjutnya, misalnya ketika angka laba sebenarnya berbeda dari angka yang diantisipasi.

  c.

  Informasi baru atau faktor resiko (yang baru diketahui) yang seharusnya berdampak dalam penentuan materialitas awal.

  b.

  Contoh dari hal-hal yang memerlukan perubahan angka materialitas.: a.

  Keputusan melepas bagian yang besar dari bisnis entitas.

  diperlukan, auditor akan merevisi sifat, waktu pelaksanaan, dan luas prosedur sesuai keadaan. Kegunaan materialitas dalam prosedur penilaian resiko

  adjustment atau revisi terhadap tingkat-tingkat materialitas. Jikia

  saldo akun, atau disclosures tertentu, tergantung tingkat resiko yang dikehendaki untuk masing-masing item tersebut;

  materiality , sesuai dengan kebutuhan audit, untuk jenis transaksi,

  atau performance materiality (secara layak) diperkirakan dapat memengeruhi keputusan ekonomis pemakai laporan keuangan;

  38

  procedures ) ;

  • Menentukan item mana yang harus dipilih untuk sampling atau

  testing , dan apakah harus menggunakan teknik sampling;

  • Membantu menentukan banyaknya sampel ;
  • Mengevaluasi representatives sampling errors (RSE) untuk menentukan salah saji yang mungkin ada (“likely”misstatements. RSE adalah salah sampling yang mewakili seluruh populasi (population). “Salah saji yang mungkin ada” ini ditentukan dengan mengekstrapolasikan RSE ke seluruh populasi;
  • Mengevaluasi gambaran seluruh kesalahan (aggregate of total errors) pada tingkat akun sampai ke tingkat laporan keuangan;
  • Mengevaluasi gabungan selruh kesalahan, termasuk dampak neto dari salah saji yang tidak dikoreksi (uncorrected misstatements) yang ada dalam saldo awal retained earnings; • Menilai hasil prosedur audit.

  Materialiastas dalam pelaporan, auditor menggunakan materialitas untuk :

  • Mengevaluasi seluruh gabungan kesalahan pada tingkat akun sampia ke tingkat laporan keuangan;
  • Mengevaluasi gabungan seluruh kesalahan, termasuk dampak neto dari salah saji yang tidak dikoreksi yang ada dalam saldo awal

  retained earnings ;

  • Menentukan apakah prosedur audit tambahan harus dilaksanakan ketika gabungan salah saji mendekati overall materiality atau specific

  materiality ;

  • Meminta manajemen mengoreksi semua salah saji yang ditemukan;
  • Mempertimbangkan untuk memeriksa kembali area dengan salah saji terbanyak ;
  • Memberikan pandangan mengenai sifat dan sensivitas salah saji yang ditemukan, dan juga besarannya;
  • Menentukan apakah laporan auditor harus dimodifikasi (artinya apakah auditor harus member opini yang bukan WTP) karena salah saji yang tidak dikoreksi di mana jjumlah atau sifatnya material.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian terdahulu dengan hasil pengujiannya dapat dilihat dari Tabel 2.1 berikut:

  39

  40 Penelitian Terdahulu

  Peneliti Judul Variabel Penelitian Kesimpulan Penelitian Dita Justiana

  (2010) Pengaruh etika, independensi, pengalaman, dan keahlian auditor terhadap opini audit.

  Keahlian audit, independensi auditor eksternal, tingkat materialitas dalam laporan keuangan

  Variabel etika, dan pengalaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap opini audit, sedangkan independensi dan keahian auditor berpengaruh secara signifikan terhadap opini audit.

  Ni Made Ayu Lestari dan

  I Made Karya Utama (2013)

  Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, Pengalaman, Etika Profesi pada Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Profesionalisme, pengetahuan mendeteksi kekeliruan, pengalaman, etika profesi, dan pertimbangan tigkat materialitas.

  Profesionalisme dan pengetahuan mendeteksi kekeliruan secara parsial berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas, sedangkan pengalaman dan etika profesi secara parsial tidak berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Marfin Sinaga dan Jaka Isgiyarta (2012)

  Analisis Pengaruh Profesionalisme terhadap Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan (Studi Empiris pada Auditor Eksternal di Kota Semarang)

  Pengabdian Pada Profesi, Kewajiban Sosial, Kemandirian, Keyakinan Profesi, Hubungan dengan Sesama profesi, dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Pengabdian pada profesi, kemandirian, dan hubungan dengan sesama profesi berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan materialitas, sedangkan dimensi kewajiban sosial dan keyakinan terhadap profesi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap pertimbangan materialitas.

  41 Kinanti

  Pengaruh Profesionalisme Auditor dan Etika Profesi berpengaruh secara simultan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Profesionalisme Auditor, Etika Profesi, Pengalaman Auditor, dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi dan Pengalaman Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Novanda Friska Bayu Aji Kusuma (2012)

  Keahlian audit berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas, sedangkan independensi auditor eksternal tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas.

  Keahlian Audit, Independensi Auditor Eksternal, dan Tingkat Materialitas

  Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi Auditor Eksternal terhadap Tingkat Materialitas dalam Audit Laporan Keuangan (Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik yang terdapat di Jakarta)

  Muhamad Rosul (2010)

  Profesionalisme Auditor , Etika Profesi, dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

  (2013) Kompetensi, Independensi dan Motivasi Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Suatu Pengauditan Laporan Keuangan

  Pengaruh Profesionalisme Auditor dan Etika Profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Kurniawanda (2013)

  Independensi, profesionalisme, dan etika profesi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik di Bali A.M.

  Independensi , Profesionalisme, Etika Profesi, dan Kinerja Auditor

  Pengaruh Independensi, Profesionalisme, dan Etika Profesi terhadap Kinerja Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Bali

  I.D.G Dharma Suputra (2013)

  Kompiang Martina Dinata Putri dan

  Independensi, Motivasi Auditor, dan Pertimbangan Tingkat Materialitas auditor berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, sedangkan motivasi auditor tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

  Profesionalisme auditor, etika profesi, dan pengalaman auditor mempunyai pengaruh yang signifikan baik secara parsial maupun simultan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas

  42 Prima (2012)

  Profesi, Independensi, dan

  Professional Judgment Auditor

  terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Audit Laporan Keuangan (Studi empiris pada auditor BPK RI perwakilan Provinsi Sumatera Utara, Banten, dan Jawa Barat)

  Independensi,

  Professional Judgment Auditor,

  dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

  Professional Judgment mempunyai pengaruh yang signifikan baik secara parsial maupun simultan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

  Friska Novitasari (2004)

  Analisis Faktor– Faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor

  Ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, Pemberian jasa lain selain audit, Lama hubungan audit, Ukuran KAP, Persaingan antar KAP, Audit fee dan Hubungan keluarga.

  Ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, ukuran KAP, audit fee dan Hubungan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan pemberian jasa lain selain audit, Lama hubungan audit, dan persaingan antar KAP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap independensi auditor

2.3 Kerangka Konseptual

  Menurut Sekaran (1992) dalam Sugiyono (2010 : 88) mengemukakan bahwa, “Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting”. Kerangka konseptual akan menghubungkan secara teoritis antara variabel-variabel penelitian, yaitu antara variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini variabel independen adalah etika profesi, penetapan tingkat materialitas.

  Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya. Oleh karena itu diperlukan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang disebut kode etik. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawanda (2013) menunjukkan bahwa semakin tinggi akuntan publik menaati kode etik maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.

  Independensi merupakan suatu standar auditing yang penting karena opini auditor independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Pemberian opini atas laporan keuangan adalah berdasarkan pertimbangan tingkat materialitas yang telah ditetapkan sebelumnya.

  Hal ini menunjukkan bahwa jika auditor tidak dapat bebas dari gangguan- gangguan yang mengancam independensinya, baik itu gangguan pribadi, ekstern, maupun organisasi maka tingkat materialitas yang ditentukan tidak handal.

  Professional Judgment auditor akan semakin terasah jika auditor tersebut

  mendapat banyak pengalaman yang melibatkan dirinya di dalam situasi yang emosional. Auditor yang berpengalaman membuat judgment lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang auditor yang belum berpengalaman. Demikian halnya dengan kecakapan profesional yang harus dimiliki oleh seorang auditor, semakin banyak pelatihan-pelatihan khususnya dalam bidang akuntansi yang dilakukan oleh auditor akan semakin mendukung proses pertimbangan tingkat materialitas. Tidak hanya itu pengalaman yang memiliki kesan yang kuat juga

  43 mendukung pertimbangan tingkat materialitas. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Etika Profesi (X1) Independensi Pertimbangan Tingkat (X2) Materialitas (Y) Professional Judgement

  (X3)

  X4 Gambar 2.1

Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis merupakan dugaan sementara atau penjelasan sementara yang belum bisa dibuktikan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah dugaan tersebut benar atau salah.

  Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, penelitian terdahulu, serta kerangka konseptual, maka hipotesis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: H1 : Terdapat pengaruh signifikan etika profesi auditor terhadap pertimbangan tingkat materalitas.

  44

  45 tingkat materialitas.

  H3 : Terdapat pengaruh signifikan professional judgement auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

  H4 : Terdapat pengaruh signifikan etika profesi, independensi, professional judgement secara simultan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Etika Profesi, Independensi, Dan Professional Judgment Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Audit Laporan Keuangan

8 94 122

Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi, Motivasi dan Pengalaman Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Medan)

8 63 121

Pengaruh Etika Profesi, Independensi, dan Professional Judgment Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Audit Laporan Keuangan (Studi Empiris pada Auditor BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara, Banten, dan Jawa Barat).

12 127 84

Pengaruh Pengalaman Auditor dan Pengabdian pada Profesi terhadap Tingkat Materialitas dalam Audit Laporan Keuangan

0 1 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Income Smoothing Dengan Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Perkeb

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Auditing 2.1.1 Pengertian Auditing - Peranan Audit Internal Dalam Meningkatkan Sistem Pengawasan Intern Pada PT. Astra International Tbk. – Toyota Sales Operation Auto2000 Cabang Medan Amplas

0 10 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Modal - Pengaruh Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Rasio Arus Kas terhadap Prediksi Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Sektor Industri Dasar dan Kimia yang Terdaftar di Burs

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Pengaruh Tingkat Likuiditas, Solvabilitas dan Efisiensi Terhadap Pertumbuhan Laba pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Pengaruh Kualitas Aset Produktif Terhadap Tingkat Profitabilitas pada bank-bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2012

0 0 20