BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba - Aspek Ekobiologi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangesis) Di Perairan Danau Toba Desa Pangururan Kabupaten Samosir

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau Toba

  Di dalam ekosistem terdapat komunitas, populasi dan individu serta karakteristiknya. Interaksi antar populasi dalam suatu ekosistem, relung dan habitat organisme akan membentuk ekosistem tersendiri. Konsep-konsep ini sangat berperan dalam memahami tipologi ekosistem (Salmah, 2010).

  Danau Toba merupakan ekosistem yang memiliki sumber daya akuatik yang bermanfaat bagi manusia harus diperhatikan kelestariannya. Secara geografis Danau Toba terletak diantara 98ºBT-99ºBT dan 20ºLU-30ºLU dan terletak pada ketinggian 995 meter (Dinas Perikanan, 1993). Luas permukaan danau ini kurang 1.100 km persegi, dengan total volume air sekitar 1.258 km3, merupakan danau paling luas di Indonesia (Barus, 2007).

  Barus (2004) menyatakan bahwa, perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. berdasarkan proses terjadinya danau dikenal danau tektonik (terjadi akibat gempa) dan danau vulkanik (akibat aktivitas gunung merapi). Danau tektonik umumnya sangat dalam sedangkan danau vulkanik umumnya memiliki sumber air atau gas panas.

  Salah satu upaya peningkatan produktivitas perairan umum misalnya danau adalah kegiatan introduksi ikan, yaitu memindahkan atau menebarkan ikan dari suatu perairan ke perairan yang lain dimana jenis ikan yang ditebarkan pada awalnya tidak terdapat di perairan tersebut (Panjaitan, 2010).

  Panjaitan (2008) menyatakan bahwa meningkatnya detritus dan zooplanton juga dapat mendukung pertumbuhan populasi ikan bilih di Danau Toba. Konsentrasi detritus meningkat di perairan Danau Toba disebabkan oleh meningkatnya pemakian pakan di kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA,

2.2 Ikan Bilih

2.2.1 Sistematika Ikan Bilih

  Ikan bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis Bleeker adalah ikan endemik yang hidup di danau Singakarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al. 1993). Secara sistematik ikan bilih dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Kartamihardja dan Sarnita, 2008): Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Sub Famili : Cyprininae Genus : Mystacoleucus Species : Mystacoleucus padangensis Bleeker Synonim : Capoeta padangensis Bleeker

   Puntius padangensis Bleeker Systomus padangensis Bleeker

Gambar 2.1. Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)

  Menurut Azhar (1993), tanda - tanda Mystacoleucus padangensis Bleeker antara lain sebagai berikut: a. Sirip punggung mempunyai jari - jari keras (berduri) yang rebah ke muka, kadang-kadang duri ini tertutup oleh sisik sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras, hanya terdapat 8-9 jari-jari lemah b. Badan bulat panjang dan pipih, tinggi badan 2-3 cm, panjang badan maksimum

  11,6 cm

  c. Sisiknya kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39 baris antara tengah-tengah dasar sirip punggung dan gurat sisi (lateral line).

  d. Tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna kehitam-hitaman.

2.2.2 Biologi ikan Bilih

  Penentuan ukuran ikan diperlukan antara lain untuk mengetahui status kesehatan dan pertumbuhan ikan. Panjang total ikan yaitu ukuran panjang maksimum ikan dari ujung anterior pada keadaan mulut terkatup dan sirip ekor terkatup. Lingkaran tubuh dapat diukur menggunakan pengukur kain atau menggunakan benang yang dilingkarkan ke tubuh selanjutnya ditera dengan penggaris atau meteran biasa. Pengukuran lingkaran tubuh dilakukan pada bagian tubuh yang terlebar dan tergemuk. Pengukuran lingkar tubuh sangat penting untuk melihat status atau kondisi relative ikan . bentuk dasar tubuh eksternal ikan sangat bervariasi: fusiform, membulat, panjang, pipih dorsoventral atau latero-lateral dan dilengkapi beberapa sirip. Ikan memiliki variasi warna menurut spesies, jenis kelamin, perkembangan masa birahi, atau sebagai bentuk penyamaran. Tubuh ikan sebagian besar tertutup oleh sisik, sisik-sisik tersebut merupakan salah satu bentuk proteksieksternal. Diantara spesies-spesies ikan, sisik tubuh memiliki variasi bentuk dan ukuran. Sisik dapat dijumpai pada ikan bertulang rawan maupun bertulang keras. Sisik dapat dengan mudah lepas dari kulit tanpa menyebabkan stress yang berlebihan. Sisik juga dapat menjadi petunjuk umur ikan (Irianto, 2005).

  Umar dan Kartamihardja (2011) menyatakan bahwa, bentuk badan ikan bilih mirip dengan wader, yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan bilih oleh masyarakat sekitar Danau Toba disebutnya ikan pora-pora.

  2.2.3 Ekologi Ikan Bilih

  Secara umum ikan bilih menyukai perairan jernih, suhu perairan rendah

  o

  (26-28 C) dan daerah litoral perairannya berbatu kerikil dan atau pasir. Berdasarkan sifat dan kebiasaan makannya, ikan bilih termasuk ikan benthopelagis, yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan mupun di lapisan tengah dan permukaaan air (panjaitan, 2010).

  Kartamihardja dan Sarnita (2008) dalam Panjaitan (2010) menyatakan bahwa, makanan utama ikan bilih di habitat aslinya Danau Singkarak adalah detritus dan zooplankton sedangkan di perairan Danau Toba makanan utama ikan bilih adalah detritus dan fitoplankton serta makanan tambahannya adalah zooplankton dan seresah. Makanan utama ikan bilih di kedua perairan tersebut hampir sama hanya sedikit berbeda dalam prosentase komposisinya. keberadaan ikan bilih di perairan Danau Toba tidak menunjukan kompetisi makanan yang dilihat berdasarkan indeks kesamaan jenis. Dengan demikian ikan bilih di perairan Danau Toba dapat memanfaatkan jenis makanan alami yang tersedia serta mengisi relung (niche) makanan yang masih kosong.

  2.2.4 Reproduksi Ikan Bilih

  Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina beruaya ke arah sungai dengan kecepatan arus berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan kedalaman antara 10- 20 cm. Habitat pemijahan adalah perairan sungai yang jernih, dengan suhu air relatif rendah, berkisar 24°C - 26°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting. Sesampai di habitat pemijahan, betina melepaskan telur dan bersamaan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi berwarna transparan dan tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau pasir) untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27-

  Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008), pola tingkah laku pemijahan ikan bilih dimanfaatkan nelayan di danau Singakarak untuk menangkap menggunakan alat penangkap dipasang di aliran sungai oleh masyarakat setempat disebut alahan. Alahan ini menangkap ikan bilih yang akan memijah, sehingga jika terus-menerus dilakukan tanpa pengelolaan yang baik, populasi ikan bilih akan menurun dan menjadi langka atau punah. Penangkapan ikan bilih diperparah karena ikan yang sudah terperangkap di alahan tersebut ditangkap menggunakan alat tangkap listrik (setrum). Hal ini menyebabkan kematian induk ikan dan telur-telur yang baru dipijahkan. Pemijahan adalah suatu peristiwa pertemuan antara ikan jantan dan betina yang bertujuan untuk pembuahan telur oleh spermatozoa. Pada ikan umumnya pembuahan berlangsung secara eksternal, yaitu di luar tubuh (Sumantadinata, 1996). Panjaitan (2010) menyatakan bahwa Ikan bilih melakukan pemijahan pada kondisi perairan mempunyai arus jernih, dangkal. Substrat dasar terdiri atas kerikil dan karakal. Suhu perairan berkisar antara 24°C sampai dengan 26°C. Berdasarkan kriteria kondisi perairan tempat ikan bilih memijah, maka dapat dinyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus dan substrat dasar.

  Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Dalam individu terdapat telur yang dinamakan vitellogenesis yaitu terjadi pengendapan kuning telur pada tiap– tiap individu telur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan dalam gonad. Dalam biologi perikanan, pencatatan perubahan atau tahap–tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan–ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak (Effendie, 2002).

  Fekunditas ialah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas demikian dinamakan fekunditas individu atau fekunditas mutlak (Effendie, 1992). Menurut Nicolsky (1963) dalam Effendie (2002) jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total. Oleh karena itu dalam memperhitungkannya harus diikutsertakan semua ukuran telur dan masing–masing harus mendapatkan

2.3 Faktor Fisik Kimia Air

  2.3.1 Suhu

  Perubahan suhu akan mengubah pola sirkulasi, stratifikasi dari gas terlarut sehingga akan memengaruhi kehidupan organisme air (Haryanto et al., 2008). Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan sisa pabrik, misalnya, dapat menyebabkan organisme aquatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).

  2.3.2 pH

  kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksik. Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis (Barus, 2004).

  2.3.3 Arus

  Arus merupakan faktor ekologis yang penting terutama pada perairan yang arusnya cukup tinggi. Arus dapat memengaruhi distribusi gas terlarut, garam, dan makanan serta organisme dalam air. Arus yang cukup tinggi akan memaksa organisme yang hidup di dalamnya melakukan adaptasi untuk dapat bertahan sehingga pada perairan yang berarus cepat mempunyai karakteristik tertentu dengan bentuk yang dikenal streamline guna memudahkan bergerak dengan air dibanding bentuk organisme yang biasa berada di air tergenang (Haryanto et al., 2008).

  2.3.4 Kekeruhan / Turbiditas

  Zat terlarut dalam air sering memengaruhi penetrasi cahaya matahari, yang berakibat penetrasi terbatas akan membatasi organisme air untuk berfotosintesis. Dengan terbatasnya fotosintesis akan menyebabkan kandungan oksigen terlarut rendah. Tetapi jika kekeruhan disebabkan oleh organisme hidup (plankton atau jenis alga tertentu) dapat dipakai sebagai indikasi produktivitas perairan tersebut cukup tinggi (Haryanto et al., 2008).

  2.3.5 Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)

  Sumber oksigen terlarut dalam air adalah udara melalui difusi dan agitasi air, fotosintesis dari makhluk hidup yang terdapat dalam air tersebut (Haryanto, 2008). Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untukproses respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2004).

  2.3.6 BOD (Biochemical Oxygen Demand)

  Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme aerobi dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20 ºC (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terdapat senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga (Barus, 2004).

  2.3.7 COD (Chemical Oxygen Demand)

  Pengukuran terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses

  2

  oksidasi kimia dikenal dengan COD yang dinyatakan dalam O /l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang mengatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak secara biologis (Barus, 2004).