BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.TEKANAN DARAH 2.1.1. Definisi Tekanan Darah - Perbedaan Tekanan Darah Setelah Pemaparan Cold Pressor Test (CPT) Antara Mahasiswa dengan dan Tanpa Riwayat Hipertensi di Keluarga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.TEKANAN DARAH

  2.1.1. Definisi Tekanan Darah

  Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer bertambah, atau keduanya. Tekanan darah adalah tekanan yang digunakan untuk mengedarkan darah dalam pembuluh darah dalam tubuh. Jantung yang berperan sebagai pompa otot mensuplai tekanan tersebut untuk menggerakan darah dan juga mengedarkan darah di seluruh tubuh. Pembuluh darah (dalam hal ini arteri) memiliki dinding-dinding yang elastis dan menyediakan resistensi yang sama terhadap aliran darah. Oleh karena itu, ada tekanan dalam sistem peredaran darah, bahkan detak jantung (Gardner, 2007).

  Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume darah atau penurunan elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah (Ronny dkk, 2008).

  2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

  Menurut Kozier et al (2009), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah, diantaranya adalah :

1. Umur Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg.

  Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, pembuluh arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah.

  2. Jenis Kelamin Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller,2010).

  3. Olahraga Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah.

  4. Obat-obatan Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan darah.

  5. Ras Pria Amerika Afrika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama.

  6. Obesitas Obesitas, baik pada masa anak-anak maupun dewasa merupakan faktor predisposisi hipertensi.

2.1.3. Fisiologi Tekanan Darah

  Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam milimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa merupakan rujukan baku untuk pengukuran tekanan (Guyton, 2007). Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong ke jaringan. Tekanan ini harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup akan tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus.

  Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup (volume darah yang dipompa oleh setiap ventrikel per detik) dan frekuensi jantung. Resistensi merupakan ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh friksi antara cairan yang mengalir dan dinding pembuluh darah yang stationer. Resistensi bergantung pada tiga faktor yaitu, viskositas (kekentalan) darah, panjang pembuluh, dan jari-jari pembuluh. Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroreseptor yang diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta pembuluh darah untuk menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total sebagai usaha memulihkan tekanan darah ke normal. Reseptor terpenting yang berperan dalam pengaturan terus-menerus yaitu sinus karotikus dan baroreseptor lengkung aorta (Sherwood,2001).

  2.1.3.1. Pengaturan Sirkulasi Secara Hormonal Pengaturan sirkulasi secara hormonal merupakan pengaturan oleh zat- zat yang disekresi atau diabsorbsi ke dalam cairan tubuh seperti hormon dan ion. Beberapa zat diproduksi oleh kelenjar khusus dan dibawa di dalam darah ke seluruh tubuh. Zat lainnya dibentuk di daerah jaringan setempat dan hanya menimbulkan pengaruh sirkulasi setempat. Menurut Guyton (2007) faktor-faktor humoral terpenting yang mempengaruhi fungsi sirkulasi adalah sebagai berikut: A.

  Zat Vasokonstriktor 1)

  Norepinefrin dan epinefrin. Norepinefrin merupakan hormon vasokonstriktor yang amat kuat sedangkan epinefrin tidak begitu kuat. Ketika sistem saraf simpatis distimulus selama terjadi stres maka ujung saraf simpatis pada masing-masing jaringan akan melepaskan norepinefrin yang menstimulus jantung dan mengkonstriksi vena serta arteriol. Selain itu, menyebabkan kelenjar ini mensekresikan norepinefrin dan epinefrin ke dalam darah. Hormon tersebut bersirkulasi ke seluruh tubuh yang menyebabkan stimulus yang hampir sama dengan stimulus simpatis langsung terhadap sirkulasi dengan efek tidak langsung. 2)

  Angiotensin II Pengaruh angiotensin II adalah untuk mengkonstriksi arteri kecil dengan kuat. Angiotensin II dihasilkan dari aktivasi Angiotensinogen yang dihasilkan oleh hepar dan berada di plasma. Jika terjadi stimulasi pengeluaran renin, suatu protein yang dihasilkan oleh sel jukstaglomerular pada ginjal, angiotensinogen yang berada di plasma akan diubah menjadi angiotensin I. Kemudian, angiotensin I diubah oleh Aldosteron

  

Converting Enzyme (ACE) menjadi angiotensin II. Angiotensin

  II secara normal bekerja secara bersamaan pada banyak arteriol tubuh untuk meningkatkan resistensi perifer total yang akan meningkatkan tekanan arteri. Selain itu, angiotensin II merangsang korteks adrenal melepaskan aldosteron, suatu hormon yang menyebabkan retensi natrium pada tubulus distal dan tubulus kolektivus yang akan menyebabkan peningkatan osmolalitas sehingga terjadi absorbsi H

  2 O yang akan

  meningkatkan volume cairan ekstraselluler (CES). Hal tersebut akan meningkatkan curah jantung dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. 3)

  Vasopressin Disebut juga dengan hormon antidiuretik yang dibentuk di nukleus supraoptik pada hipotalamus otak yang kemudian diangkut ke bawah melalui akson saraf ke hipofisis posterior tempat zat tersebut berada yang akhirnya di sekresi ke dalam darah. Zat ini merupakan vasokonstriktor yang kurang kuat utama meningkatkan reabsorpsi air di tubulus distal dan tubulus kolektivus renal untuk kembali ke dalam darah yang akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Jika vasopressin meningkat karena suatu hal, maka terjadi peningkatan reabsorpsi H

  2 0 yang akan menyebabkan peningkatan volume

  plasma yang akan meningkatkan curah jantung sehingga tekanan darah meningkat. 4)

  Endotelin Endotelin terdapat di sel-sel endotel pada sebagian besar pembuluh darah. Zat ini berupa peptida besar yang terdiri dari 21 asam amino dan merupakan vasokonstriktor yang kuat di dalam pembuluh darah yang rusak.

  B.

  Zat Vasodilator 1)

  Bradikinin Menyebabkan dilatasi kuat arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler.

  2) Histamin

  Histamin dikeluarkan di setiap jaringan tubuh jika jaringan tersebut mengalami kerusakan atau peradangan dan berperan pada reaksi alergi. Zat ini memiliki efek vasodilator kuat terhadap arteriol dan memiliki kemampuan untuk meningkatkan permeabilitas kapiler dengan hebat sehingga timbul kebocoran cairan dan protein plasma ke dalam jaringan.

  2.1.3.2. Pengaturan Sirkulasi Oleh Saraf Sistem saraf yang mengatur sirkulasi diatur oleh sistem saraf otonom yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Serabut-serabut saraf vasomotor simpatis meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf spinal thoraks satu atau dua saraf spinal lumbal pertama (T1-L3) yang kemudian

  Serabut ini menuju sirkulasi melalui dua jalan, yaitu melalui saraf simpatis spesifik yang mempersarafi pembuluh darah organ visera interna dan jantung dan serabut saraf lainnya mempersarafi pembuluh darah perifer. Hal ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Gambar 2.1. Regulasi Sirkulasi dalam Mengontrol Tekanan Darah Melalui Persarafan Simpatis. (Guyton, 2007)

  Inervasi arteri kecil dan arteriol menyebabkan rangsangan simpatis untuk meningkatkan tahanan aliran darah yang akan menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan. Sedangkan inervasi pembuluh darah besar, terutama vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk menurunkan volume pembuluh darah. Hal ini dapat mendorong darah masuk ke jantung dan dengan demikian berperan penting dalam pengaturan pompa jantung. Inervasi serabut saraf simpatis juga mempersarafi jantung secara langsung yang jika terangsang akan meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan frekuensi jantung dan menambah kekuatan serta volume pompa jantung (Guyton, 2007).

  Aktivitas refleks spinal mempengaruhi tekanan darah, tetapi kendali utama tekanan darah dipengaruhi oleh neuron di medula oblongata yang disebut sebagai pusat vasomotor. Menurut Ganong (2008), neuron yang memperantarai peningkatan pelepasan impuls simpatis ke pembuluh darah dan jantung berproyeksi ke neuron praganglion simpatis dalam kolumna grisea intermediolateralis di medula spinalis. Akson dari badan sel neuron ini berjalan ke dorsal dan medial kemudian turun dalam kolumna lateralis medula spinalis ke intermediolateralis yang jika terstimulasi akan mengeksitasi glutamat. Impuls yang mencapai medula mempengaruhi frekuensi denyut jantung melalui pelepasan impuls vagus ke jantung. Bila pelepasan impuls vasokonstriktor arteriol meningkat, konstriksi arteriol dan tekanan darah juga meningkat. Frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup meningkat akibat akitivitas saraf simpatis yang menuju jantung, serta curah jantung meningkat. Sebaliknya, penurunan pelepasan impuls vasomotor menimbulkan vasodilatasi, penurunan tekanan darah, dan peningkatan simpanan darah dalam cadangan vena akibat stimulasi persarafan vagus di jantung. Hal ini dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 2.2. Skema Jalur yang Terlibat dalam Pengaturan Tekanan Darah oleh Medulla Oblongata. (Ganong, 2008)

  2.1.3.4. Sistem Pengaturan Sirkulasi oleh Baroreseptor Baroreseptor adalah reseptor regang di dinding jantung dan pembuluh darah. Reseptor sinus karotikus dan arkus aorta memantau sirkulasi arteri.

  Reseptor juga terletak di dinding atrium kanan dan kiri pada tempat masuk vena cava superior dan inferior serta vena pulmonalis, juga di sirkulasi paru. Refleks baroreseptor dimulai oleh regangan struktur tempatnya berada sehingga baroreseptor tersebut melepaskan impuls dengan kecepatan tinggi ketika tekanan dalam struktur ini meningkat (Ganong, 2008). Peningkatan menjalarnya sinyal menuju sistem saraf pusat. Selanjutnya, sinyal umpan balik dikirim kembali melalui sistem saraf otonom ke sirkulasi untuk mengurangi tekanan arteri kembali normal (Guyton, 2007). Jadi, peningkatan pelepasan impuls baroreseptor menghambat pelepasan impuls tonik saraf vasokonstriktor dan menggiatkan persarafan vagus jantung yang menyebabkan vasodilatasi, venodilatasi, penurunan tekanan darah, bradikardia, dan penurunan curah jantung. Berikut ini merupakan gambar daerah baroreseptor di sinus karotikus dan arkus aorta :

Gambar 2.3. Daerah Baroreseptor di Sinus Karotikus dan Arkus Aorta. (Ganong, 2008)Gambar 2.4. Bagan Umpan-Balik Negatif dalam Pengaturan Tekanan Darah. (Ronny dkk, 2008)

2.1.4. Pengukuran Tekanan Darah

  Tekanan darah biasanya diukur oleh dokter atau perawat di klinik dengan sfigmomanometer raksa memakai metode auskultasi, caranya : Pasien sebaiknya duduk beberapa menit dalam ruangan sepi pada kursi

  • yang sandarannya nyaman. Penderita duduk dengan lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung. Otot lengan harus dilemaskan dan lengan bawah ditopang dengan lekukan sikut pada aras jantung. Tekanan darah juga dapat diukur pada saat pasien berdiri atau telentang, asal lengan ditopang pada aras jantung.
  • manometer air raksa) pada lengan atas dan dengan menggunakan stetoskop untuk mendengarkan arteri brakhial yang terletak pada sebelah dalam siku

  Tekanan darah diukur dengan meletakkan manset (yang terhubung dengan

  • mmHg yaitu sampai aliran darah akan berhenti singkat. Kemudian manset akan dikempiskan perlahan sehingga aliran darah kembali semula dengan laju kira-kira 2 mmHg. Pada saat udara dalam manset dikeluarkan,pemeriksa akan mengamati ketinggian air raksa yang turun perlahan pada manometer air raksa dan menunggu sampai terdengar bunyi korotkoff memakai stetoskop yang ditempatkan di atas arteri lengan. Angka yang tepat pada saat denyutan pertama yaitu saat bunyi terdengar pertama kali adalah menunjukkan tekanan sistolik. Ketika manset mengempis, ketinggian air raksa akan makin menurun dan saat bunyi denyut jantung terdengar terakhir kali, angka pada manometer air raksa tersebut adalah tekanan diastolik. Tekanan darah sitolik dan diastolik harus diukur sekurang-kurangnya 2 kali selama periode tidak kurang dari 3 menit. Tekanan darah harus diukur pada keadaan pasien berdiri jika diduga terdapat hipotensi postural, dan pada pasien lansia yang mengalami kondisi seperti ini (Padmawinata, 2001).

  Manset akan dipompa penuh sampai pembacaan manometer sekitar 30

Gambar 2.5. Sphygmomanometer Pompa. (Padmawinata, 2001)Gambar 2.6. Pemeriksaan Tekanan Darah dengan Sphygmomanometer Pompa.

  (Padmawinata,2001)

Gambar 2.7. Pengukuran Tekanan Darah dengan Menggunakan Sphygmomanometer. (Ronny dkk, 2008)

2.2. HIPERTENSI

  2.2.1. Definisi Hipertensi

  Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang menetap yang penyebabnya masih tidak diketahui (hipertensi esensial, idiopatik, atau primer) maupun yang berhubungan dengan penyakit yang lain (hipertensi sekunder) (Dorland,2009).

  Hipertensi juga dapat didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri di atas batas normal yang diharapkan pada kelompok usia tertentu (Oxford, 2003).

  Hipertensi adalah suatu keadaan dimana ukuran tekanan darah saat diperiksa menunjukkan angka ≥140 mmHg pada sistol dan atau ≥90 mmHg pada diastol, atau pasien yang mengkonsumsi obat-obatan hipertensi (Wyatt et

  , 2003).

  al

  Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Bare & Smeltzer,2001). Sementara menururt Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal (Hayens, 2003).

  2.2.2. Epidemiologi

  Meskipun penelitian epidemiologi berdasarkan populasi di Amerika Serikat menunjukkan suatu prevalensi hipertensi tak terkontrol yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, prevalensi keseluruhan hipertensi (tak terkontrol ditambah dengan yang berhasil diobati) kurang lebih sama atau sedikit lebih tinggi pada perempuan. Prevalensi hipertensi Amerika-Afrika mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi daripada laki- laki Amerika-Afrika. Risiko penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh hipertensi tampaknya sama atau lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki, diantara subjek yang sebagian besar berkulit putih dalam penelitian Framingham (Harrison, 1999).

  Penyakit hipertensi ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia juga di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari total jumlah 639 juta kasus di tahun 2000, menjadi 1,15 milyar kasus pada tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita saat ini dan pertambahan penduduk saat ini. Data dari The National Health and Nutrition

  

Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000,

  insiden hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.

  Dalam suatu data statistika di Amerika Serikat pada populasi penderita dengan risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner, lebih banyak dialami oleh pria daripada wanita saat masih muda tetapi pada umur 45 sampai 54 tahun, prevalensi hipertensi menjadi lebih meningkat pada wanita. Secara keseluruhan pada penderita wanita prevalensi hipertensi akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia, hanya sekitar 3% sampai 4% wanita pada umur 35 tahun yang menderita hipertensi, sementara >75% wanita menderita hipertensi pada umur

  ≥75 tahun (Frazier et al, 2006).

Gambar 2.8. Distribusi Umur Versus Hipertensi pada Penderita Wanita dan Pria dengan Risiko

  Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner di Amerika Serikat

  Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8,3%. Sedangkan dari survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 12,1% dan pada wanita angka prevalensinya 12,2% pada tahun 2000. Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20% (Depkes, 2007).

2.2.3. Etiologi

  Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu ( Mansjoer, 2001) : a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan, dalam eksresi Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

  b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.

  Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromasitoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.

2.2.4. Faktor Risiko

  Faktor- faktor risiko yang mendorong timbulnya hipertensi adalah :

  1.Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, dan genetik.

  2.Sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal).

  3.Keseimbangan antara modulator, vasodilatasi, dan vasokonstriksi.

  4.Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin, dan aldosteron (Yogiantoro, 2006).

Gambar 2.9. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah.

  Selain itu, menurut Sigarlaki (2006), faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan atas yang tidak terkontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan garam). Akan tetapi, hipertensi ini dipengaruhi oleh faktor risiko ganda, baik yang bersifat endogen seperti neurotransmitter, hormon dan genetik, maupun yang bersifat eksogen seperti rokok, nutrisi dan stres.

2.2.5. Klasifikasi

  Pada tahun 2004, The Joint National Committee of Prevention,

  

Detection, Evaluation and Treatment of The Blood Pressure (JNC-7)

  mengeluarkan batasan baru untuk klasifikasi tekanan darah, <120/80 mmHg adalah batas optimal untuk risiko penyakit kardiovaskular. Didalamnya ada kelas baru dalam klasifikasi tekanan darah yaitu pre-hipertensi. Kelas baru pre-hipertensi tidak digolongkan sebagai penyakit tetapi hanya digunakan untuk mengindikasikan bahwa seseorang yang masuk dalam kelas ini memiliki risiko tinggi untuk terkena hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke, dengan demikian baik dokter maupun penderita dapat mengantisipasi kondisi ini lebih awal, hingga tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih parah. Individu dengan pre-hipertensi tidak memerlukan medikasi, tapi dianjurkan untuk melakukan modifikasi hidup sehat yang penting mencegah peningkatan tekanan darahnya. Modifikasi pola hidup sehat adalah penurunan berat badan, diet, olahraga, mengurangi asupan garam, berhenti merokok dan membatasi minum alkohol (Chobanian et al, 2004).

  Tabel.2.1.Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-7

  TEKANAN (mmHg) KLASIFIKASI SISTOL DIASTOL Normal <120 mmHg <80 mmHg

  120-139 mmHg 80-89 mmHg

  PRE-HIPERTENSI HIPERTENSI : Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg Stadium 2

  ≥160 mmHg ≥100 mmHg

  Sumber : Yogiantoro, 2006

  Sedangkan menurut WHO (World Health Organization) dan

  International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah

  mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat.

  Tabel.2.2.Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah Diastol

  Kategori (mmHg) (mmHg)

  Optimal <120 <80 Normal <130 <85 Normal-Tinggi 130-139 85-89 Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99 Sub-group : perbatasan 140-149 90-94 Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109 Tingkat 3 (Hipertensi Berat)

  ≥180 ≥110 Hipertensi sistol terisolasi

  <90 ≥140

  (Isolated systolic hypertension) Sub-group : perbatasan 140-149 <90

  Sumber : Mansjoer, 2001

2.2.6. Patogenesis

  Menurut Yusuf (2008), tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Di dalam tubuh, terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut. Sistem tersebut ada yang langsung bereaksi ketika terjadi perubahan tekanan darah dan ada juga yang bereaksi melalui baroreseptor, refleks kemoreseptor, respon iskemia susunan saraf pusat, dan refleks yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis, dan otot polos. Sistem lain yang kurang cepat merespon perubahan tekanan darah melibatkan respon ginjal dengan pengaturan hormon angiotensin dan vasopresor.

  Pada hipertensi primer terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi tekanan darah berupa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis, dan sistem renin angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel.

  Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal yang disebabkan peningkatan aktivitas simpatis. Pada tahap selanjutnya, curah jantung menjadi normal sedangkan tahanan perifer yang meninggi karena refleks autoregulasi melalui mekanisme konstriksi katup prakapiler. Kelainan hemodinamik ini juga diikuti dengan perubahan struktur pembuluh darah (hipertrofi pembuluh darah) dan jantung (penebalan dinding ventrikel).

  Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi membran sel dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural. Faktor lain yang berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor. Berbagai promoter pressor-growth bersamaan dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskular akan menyebabkan peninggian tahanan perifer serta tekanan darah.

  Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) dalam Yusuf

  2+ +

  (2008) telah membuktikan adanya defek transportasi ion Na dan Ca untuk melewati membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular.

  • Selain itu, terjadi perubahan intraselular dimana kenaikan Na intraselular

  2+ +

  akibat penghambatan pompa Na akan meningkatkan ion Ca intraselular sehingga menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah maupun konstriksi fungsional yang mengakibatkan peninggian tahanan darah dan tekanan darah

  Sistem renin angiotensin aldosteron juga memegang peranan penting dalam penyakit ini dimana renin akan melepaskan angiotensin I dan akan mengkonversi angiotensin I menjadi

  angiotensin converting enzym

  angiotensinII yang mempunyai efek vasokonstriksi kuat dan angiotensin II

  • juga menyebabkan sekresi aldosteron yang berfungsi meretensi Na dan air.

  Studi pasien Framingham yang dilakukan oleh The National Heart,

  

Lung and Blood Institue (NHLBI) juga melaporkan adanya korelasi antara

  gangguan toleransi glukosa dengan hipertensi. Selain itu, ada juga yang melaporkan bahwa pada pasien hipertensi, kadar insulin darah meningkat setelah dilakukan pembebanan glukosa pada tes toleransi glukosa oral. Pada keadaan hiperinsulinemia, terjadi pengaktifan saraf simpatis, peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubulus proksimal dan gangguan transportasi membran sel berupa penurunan pengeluaran natrium dari dalam sel akibat

  kelainan pada sistem Na /K ATPase dan Na /H exchanger dan terganggunya

  2+

  pengeluaran ion Ca dari dalam sel. Akibatnya, terjadi peningkatan sensitivitas otot polos pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kontraktilitas. Sementara itu, kadar ion

  • H yang rendah dalam sel akan meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah.

  Faktor lingkungan (stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga) juga berpengaruh pada timbulnya hipertensi. Olahraga yang teratur serta isotonik akan menurunkan tahanan perifer sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Selain itu, rokok dan alkohol juga memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi dimana pada orang yang peminum alkohol serta perokok akan lebih mudah menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau meminum alkohol.

  Semua ini mengakibatkan peningkatan tahanan perifer sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah. Paparan yang terus menerus ini akan mengakibatkan seseorang menderita hipertensi. Apabila tidak diobati dan dijaga, orang tersebut akan menderita berbagai komplikasi yang akan

Gambar 2.10. Mekanisme Patofisiologi dari Hipertensi. (Muchid et al, 2006)

2.2.7.Komplikasi

  Penyakit serebrovaskular dan penyakit arteri koroner merupakan penyebab kematian paling sering pada penderita hipertensi (Kumar & Clark, 2005). Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:

  a. Jantung 1) Hipertrofi ventrikel kiri 2) Angina atau infark miokardium 3) Gagal jantung

  b. Otak (strok atau Transient Ischemic Attack)

  c. Panyakit ginjal kronis

  d. Penyakit arteri perifer

  e. Retinopati

  Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ- organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stres oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi

  Transforming Growth Factor (TGF- β).

  Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskular (Yogiantoro, 2006).

2.3. Sistem Saraf Simpatis

  Guyton (2007) menyebutkan bahwa sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh. Serabut sistem saraf simpatis dimulai dari medulla spinalis diantara segmen T-1 dan L-2. Serabut ini berjalan sampai ke jaringan dan organ yang dirangsang oleh saraf simpatis.

  Sifat saraf simpatis yang menonjol yaitu kecepatan dan intensitasnya yang dapat mengubah fungsi viseral dalam waktu singkat. Contohnya, dapat meningkatkan denyut jantung sebesar dua kali lipat dalam waktu tiga sampai dengan lima detik. Sistem saraf simpatis juga memiliki sifat khusus pada serabut-serabut saraf yang berada dalam medula adrenal. Serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin ke dalam sirkulasi darah (Guyton, 2007).

  Rangsangan simpatis dapat timbul bila hipotalamus diaktivasi oleh rasa cemas, takut, atau merasakan nyeri yang berat. Dengan kata lain rangsangan simpatis dapat timbul jika terjadi respon stres. Baik stres fisik maupun stres mental dapat meningkatkan rangsangan simpatis (Guyton,

  Perangsangan serabut simpatis pada berbagai organ tubuh akan menimbulkan suatu efek. Efek yang diperoleh organ tubuh tersebut ditimbulkan secara langsung oleh perangsangan hormon-hormon medula adrenal : epinefrin dan norepinefrin. Salah satu organ yang dapat dikenai efek perangsangan serabut simpatis dan hormon medula adrenal adalah jantung. Perangsangan simpatis pada umumnya akan meningkatkan kerja jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa, yang diperlukan saat bekerja berat. Perangsangan epinefrin akan meningkatkan curah jantung ( Guyton, 2007).

Gambar 2.11. Mekanisme Persarafan Simpatis Terhadap Respon Stres. (Guyton, 2007)

2.4. Cold Pressor Test (CPT)

  Cold Pressor Test (CPT) merupakan uji yang hasilnya dapat

  digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan mengalami hipertensi di masa yang akan datang (Anadhofani dkk, 2012). CPT merupakan suatu tentang kardiovaskular dan stres. CPT berfungsi untuk memberikan paparan dingin dalam waktu singkat kepada subjek penelitian. Paparan dingin pada CPT adalah hasil penggabungan air dengan es batu sehingga diperoleh air dingin bersuhu sekitar 0 -4 C (Saab et al, 1993 ; Duncko et al, 2009).

  CPT pertama kali diperkenalkan oleh Hines dan Brown tahun 1932. Tes ini berdasarkan fakta bahwa dengan dicelupkannya tangan di dalam air yang dicampur dengan es batu akan menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Penelitian ini dirancang untuk mengukur reaktifitas dari tekanan darah terhadap stimulus yang standar atau biasa (Garg et al, 2010).

  CPT dapat diberikan pada tiga bagian tubuh seperti tangan, dahi, dan kaki. CPT pada tangan dilakukan dengan cara merendam tangan ke air dingin. CPT pada dahi dilakukan dengan cara menempelkan kantongan plastik berisi air dingin pada dahi. CPT pada kaki dilakukan dengan cara merendam kaki ke air dingin (Saab et al, 1993).

  CPT juga bisa dilakukan dengan waktu yang berbeda-beda. Ada penelitian yang memberikan CPT selama 1 menit (Menkes et al, 1989). Ada juga peneliti yang memberikan CPT selama 100 detik (Saab et al, 1993). CPT juga dapat diberikan selama 3 menit terhadap subjek penelitian (Duncan et al , 1995).

2.5.Pengaruh Sistem Saraf Otonom Terhadap Tekanan Darah

  Bagian sistem saraf yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh disebut sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri, khususnya korteks limbik, dapat menghantarkan sinyal ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga dengan demikian mempengaruhi pengaturan otonom. Penjalaran sinyal otonomik eferen ke berbagai organ di seluruh tubuh dapat dibagi dalam dua subdivisi utama yang disebut sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis dan parasimpatis terutama menyekresikan salah satu Serabut-serabut yang menyekresikan asetilkolin disebut serabut kolinergik. Sedangkan serabut saraf yang menyekresikan neurotransmitter norepinefrin disebut serabut adrenergik, suatu istilah yang berasal dari kata adrenalin, dan merupakan nama lain dari epinefrin. Asetilkolin disebut neurotransmitter parasimpatis, dan norepinefrin disebut juga sebagai neurotransmitter simpatis. Terdapat dua jenis reseptor utama adrenergik di tubuh, yaitu yang terdiri dari reseptor alfa dan reseptor beta. Norepinefrin dan epinefrin disekresikan ke dalam darah oleh medula adrenal, dan efek dari perangsangannya pada organ spesifik seperti pembuluh darah dan jantung adalah terjadinya vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer yang nantinya akan meningkatkan tahanan perifer. Dengan meningkatnya tahanan pembuluh darah perifer, maka meningkat juga tekanan darah di dalam tubuh, dikarenakan tekanan darah dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu

  cardiac output (curah jantung) dan total peripheral resistance (tahanan perifer pembuluh darah) (Guyton, 2007).