Ketika Indonesia Jadi Malaikat Cuaca Dun

Tanggal
Tayang
: 30/01/2015
Bidang
: Hubungan Internasional | Ekonomi Politik
Penulis&Analis
: Alfi Rahmadi
Lembaga
: INDONESIAN REVIEW (Lembaga media riset dan analisa independen
peristiwa
politik,
ekonomi,
hukum
dan
internasional
|
www.indonesianreview.com)
Jabatan
: Redaktur Pelaksana & Analis Indonesian Review
Contact
: alfirahmadi17@yahoo.com| alfirahmadi@indonesianreview.com

Kata Kunci : BMKG # Diplomasi # WMO # REDD # Iklim
=======================================================
=================

Ketika Indonesia Jadi Malaikat Cuaca Dunia
Perdagangan dalam selimut isu iklim dan lingkungan global

Jumpa pers Kongres WMO Regional Association V 2014 di Jakarta [dok.BMKG]

Sebagai Presiden WMO Regional Asia dan Pasifik Barat Daya, ada 22
negara, termasuk Amerika dan Australia, berada di bawah pimpinan
BMKG. Sayangnya, posisi sentral itu belum mampu menjadi daya
tawar geoekonomi Indonesia. Inilah sentimen perdagangan antar
kawasan, berselimut dalam isu iklim dan lingkungan global.
Permintaan Presiden Joko Widodo agar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) meningkatkan informasi cuaca menyikapi kejadiaan naas
Air Asia QZ8501, semestinya didorong lebih dari itu. Sebab, bukan saja
karena posisi BMKG dalam satu dekade lebih belakangan ini memiliki peran
penting di kancah dunia. Tapi juga ketidakmampuan Indonesia
mengadvokasikan isu meteorologi, klimatologi dan hidrologi tersebut hingga

membentuk isu lingkungan dalam balutan sentiman perdagangan global.

1

Dua periode berturut-turut BMKG Indonesia memang terpilih sebagai
Presiden World Meteorogical Organization (WMO) Regional Association V,
meliputi wilayah Asia dan Pasifik Daya. Yaitu periode 2010-2014 dan 20142018. Ini jadi sejarah baru di lingkungan WMO yang bermarkas di Jenewa itu.
Belum pernah ada negara memecah rekor memimpin regionalnya dua
periode berturut-turut. Tentu ini merupakan pengakuan sekaligus
kepercayaan internasional terhadap Indonesia.
Secara geopolitik, pengakuan itu juga sebetulnya buah dari kiprah aktif
Indonesia dalam kerjasama internasional dalam Executive Council (EC) WMO
selama ini. Di antara 190 negara anggota WMO, Indonesia selalu konsisten
menyikapi isu perubahan iklim global. Konsistensi itu dibuktikan dengan
terpilihnya Indonesia sebagai anggota High Level Task Force of Global
Framework for Climate Services (HLTF-GFCS) atau anggota elit pelayanan
iklim global. Ini juga dua periode berturut-turut, 2010-2015, meskipun
konsistensinya masih nampak terfokus pada isu iklim dan lingkungan global
semata. Seolah-olah menafikan sarat dengan isu perdagangannya.
Kalau ditelusur lagi, pengakuan geopolitik itu sesungguhnya bertolak dari

kontur geografi dan geoekologi Indonesia sebagai comparative advantage
yang unik di dunia. Interaksi air laut Indonesia yang menjadi titik temu
perlintasan Samudera Pasifik dan Hindia pantas disebut Aquarium Laut
Dunia. Proporsi air laut Indonesia mirip dengan proporsi dunia; sama-sama
terdiri dari 70 persen lautan. Itulah kenapa benua maritim Indonesia
memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Guru Besar Meteorologi
Fisik ITB, Bayong Tjasyono, menguatkan, bahwa karakteristik iklim Indonesia
dan kompleksitas atmosfernya punya keunikan tersendiri.
Faktor geografi, topografi dan orografi, struktur kepulauan, orientasi pulau,
dan faktor lingkungan di sekitar Indonesia yang membentuk sistem
peredaran udara, saling berinteraksi. Hingga sistem cuaca Indonesia lengkap
dengan berbagai skala. Mulai dari skala terbesar sampai skala terkecil. Wajar
bila Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, sangat percaya diri mengatakan bahwa
Indonesia adalah pusat semua kejadian yang terjadi di dunia.
Belum lagi faktor sinar matahari yang terus-menerus menyinari. Jadi,
bagaimanapun ekstrimnya skala cuaca yang ada, Indonesia tetap memiliki
siklus penyeimbang yang dikenal dengan iklim tropis itu. Maka wajar pula
Indonesia dijuluki sebagai “Malaikat Cuaca Dunia”.
Sebagai “malaikat” cuaca (geoekologis) sekaligus Presiden WMO Asia dan
Pasifik Daya (politis), ada 22 negara yang dipimpin BMKG. Yaitu: Australia,

Brunei Darussalam, Kepulauan Cook, Fiji, French Polynesia, Kiribati, Malaysia,
Micronesia, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Niue, Papua New Guinea, Filipina,
Samoa, Singapura, Kepulauan Solomon, Timor-Leste, Tonga, Inggris, Amerika
Serikat, dan Vanuatu.
2

Dengan posisi sepenting itu, kedudukan BMKG sebetulnya punya daya tawar
kuat sebetulnya. Tidak hanya sekedar pengatur lalu-lintas meteorologi,
klimatologi dan hidrologi di kancah global. Tapi juga dalam rangka
pemanfaatan ekonomi lingkungan seluas-luasnya. Tapi mari kita tutup semua
kebanggaan itu, walau tidak dikubur dalam-dalam. Karena betapa jengkelnya
kita atas loyonya pejabat republik ini dalam memanfaatkan posisi strategis
geopolitik dan geoekologis itu.
Dalam merebut celah dan nilai ekonomi berbasis lingkungan ini diplomasi
kita berjalan sendiri-sendir dan setengah hati. Baik sebagai Presiden WMO
Asia dan Pasifik Daya; Masyarakat Ekonomi ASEAN; anggota elit iklim global,
anggota WTO, G-20 dan sebagainya. Antar pejabat dan tokoh kita belum
sevisi dalam menegakan kemandirian ekonomi nasional melalui isu tersebut.
Perdagangan dalam Selimut Iklim Global dan Lingkungan
Contoh paling krusial nampak pada ketidakberdayaan Indonesia dalam

menagih dana kompensasi Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Ingat:
dana ini bukanlah pinjaman. Karena sebagai insentif Indonesia sebagai
negara berkembang yang terbukti berhasil mengurangi emisi karbon. Insentif
ini diatur dalam konvensi United Nation Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) melalui mekanisme Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation (REDD) & REDD+.
Berbagai hambatan dalam penagihannya juga tak tertuntaskan; dipicu
dengan tumpulnya data-data yang kita punya. Klaim sebagai negara paruparu dunia, tidak berarti apa-apa. Memang ironis, ini juga karena Indonesia
selalu dihajar dengan isu yang membalikan fakta keberhasilan mengurangi
emisi itu sendiri. Yaitu tuduhan sebagai salah satu negara penyumbang
karbon dioksida terbesar di dunia sebagai biang pemanasan global itu.
Kurang ajarnya, World Resources Institute (WRI) berpusat di Washington, tiap
tahun kerap memprovokasi isu ini. Tahun 2011 contohnya. Lembaga dunia
bidang lingkungan berbasis ekonomi sosial itu merilis Indonesia masuk
dalam jajaran 10 besar negara-negara penyumbang pemanasan global
terbesar dalam 160 tahun terakhir atau setelah revolusi industri 1850,
dengan angka bombastis: 2.053 miliar ton karbon dioksida. Terakhir, pada
2014, Indonesia naik ke peringat enam besar.
Ini sebuah tuduhan yang sangat serius sekaligus menggelikan. Karena lebih
bermotif persaingan bisnis. Inilah isu perdagangan yang menunggang dalam

isu lingkungan dan iklim global. Sadar atau tidak, Amerika dengan Singapura
sebagai kongsi utamanya, sedang menjalankan opini dunia yang jahat.
Bahwa penyumbang pemanasan global satu dekade belakangan telah
bergeser bukan lagi dunia Barat, melainkan di Asia. Karena lebih merupakan
ancaman Barat dalam catur perdagangan global.
3

Indonesia dalam posisi daya tawar yang lemah. Negara Asia lain yang ikut
tertuduh seakan tak berpengaruh. Perdagangan China masih sangat perkasa
walau tak segagah Amerika. Padahal keduanya sama-sama dituduh sebagai
negeri penyumbang karbon dioksida terbesar di dunia. Cina menyumbang
10.26 miliar ton; penyumbang paling besar di dunia. India (2.358 miliar ton)
dan Jepang (1.17 miliar ton). Jepang malah mulus dari cap produk yang tidak
ramah lingkungan itu. Cina yang kena cap, tentu saja terbalaskan dengan
produk industri lain.
Isu negara penyumbang emisi gas rumah kaca itu sejak awal memang
sengaja dihembuskan AS untuk merontokan industri kelapa sawit negeri kita
yang kini menjadi “Saudi-nya” CPO di dunia. Seperti kaset, inilah kisah lama
yang diputar berulang-ulang. Sejak era 1980-an saja di masa awal sawit
mulai menghijau di bumi pertiwi, tuduhan American Soybean Association

sudah macam-macam bentuknya. Mulai dari minyak kelapa sawit
berkolesterol tinggi yang menyebabkan penyakit jantung sampai tuduhan
bahwa sawit adalah mesin penghancur ekologis air dan tanah.
Yang lebih parah: sawit Indonesia dituduh sebagai penyebab deforestasi
yang menghasilkan gas rumah kaca; biangnya pemanasan global. Apa yang
menjadi kegagalan industri sawit Indonesia dan turunannya hari ini tak lepas
dari kesuksesan kampanye AS itu. Uni Eropa sejak 2013 memberlakukan anti
dumping duties untuk biodiesel Indonesia dan Argentina selama lima tahun.
Kebijakan diskriminatif itu melorotkan ekspor CPO kita dalam dua tahun
terakhir.
Aturan main timpang itu sejalan dengan penolakan WTO terhadap usulan
Indonesia memasukan CPO dalam daftar produk ramah lingkungan. Sudah
dua kali ditolak. Terakhir, kita rontok di kandang sendiri, yaitu di Surabaya,
April 2013, dalam forum APEC. Dalam kesempatan itu, produk karet yang
Indonesia usulkan sebagai antisipasi bila CPO kembali ditolak, juga bernasib
sama.
Sekarang ini anggota APEC sedang tancap gas berlomba-lomba
memasukkan produknya ke dalam daftar Environmental Goods (EGs) pada
2015. Semua tahu: di balik aturan main produk ramah lingkungan itu adalah
keistimewaan sebuah negara untuk mendapatkan penurunan tarif bea

antara 0-5 persen. Dan Indonesia terancam tidak memiliki produk satupun
untuk mendapatkan penurunan tarif itu. China masih mendingan. Karena
produk bambunya lolos dalam daftar tersebut.
Yang bikin jengkel, dalam pertemuan APEC di Rusia, September 2012, kurang
lebih 50-an produk milik negara-negara maju yang lolos masuk dalam daftar
produk ramah lingkungan itu. Tau apa produknya? Justeru sebagian besarnya
4

adalah produk manufaktur dan mekanik, yang tentu saja unsur komoditas
agro-nya tidak dominan. Seperti milik Amerika, Jepang, Australia dan
Kanada.
Mereka memang merajai arena perundingan terhadap negara-negara
berkembang. Indonesia terkencing-kencing dibuatnya. Padahal, keempat
negara tersebut juga sama-sama di-black list oleh World Resources Institute
(WRI) yang berpusat di Washington itu sebagai Top Ten Country penyumbang
pemanasan global terbesar di dunia. Kalau ditotal, mereka menyumbang
lebih dari 8 miliar ton di dunia.
Akibat Tunduk dengan Rezim Global
Indonesia nampak cukup jadi anak manis yang diberi “permen” dalam dalam
isu lingkungan dan iklim global yang bertalian erat dengan isu perdagangan

tersebut. Dengan berbagai Konvensi bahwa informasi iklim adalah untuk
kemanusiaan global yang menembus batas etnik, teritori dan kepentingan
negara, Indonesia dengan posturnya malaikat cuaca dunia didikte mengikuti
kehendak negara maju itu.
Data cuaca BMKG misalnya, menggunakan satelit NOAA milik AS. Pemerintah
Indonesia berdalih hal itu sudah jadi aturan internasional dalam WMO.
Belakangan, September 2014, BMKG meluncurkan teknologi baru tampilan
cuaca berupa “With Globe” berlisensi Jepang. Kedengarannya bergengsi,
karena pemasangan With Globe di BMKG adalah unit kedua di dunia setelah
pemasangan sebelumnya oleh Weather News Inc di kantor pusat WMO di
Jenewa.
Atas nama kemanusiaan yang terikat dalam ketentuan internasional WMO,
Indonesia tunduk membagikan informasi cuacanya. Padahal kita tidak
pernah mendapatkan jaminan bahwa informasi yang dibagikan itu pula yang
menguatkan bisnis mereka menjajah Indonesia. Inilah akibat gaya diplomasi
santun dengan menganut prinsip “seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh
terlalu banyak” itu. Padahal, hukum diplomasi paling tua pun masih
menggunakan prinsip membela kepentingan koloninya di atas kepentingan
koloni lain.
Analoginya seperti harga minyak. Melonjaknya harga minyak mentah dunia

beberapa hari setelah Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal
dunia, Jumat (23/1/2015)—menjadi 47.24 US$ per barrel di pasar Asia—
praktis juga berlaku untuk Indonesia. Mana ada diskon, walau kita juga
sedang ditimpa krisis minyak untuk beberapa tahun ke depan. Tak peduli
Indonesia juga didominasi oleh Sunni. Tak peduli pemerintah Indonesia ikut
berkabung dan takziyah langsung ke Kerajaan itu.
Wal-hasil: berbagai peran Indonesia, baik keanggotaan elit maupun tampil
memimpin berbagai organisasi serta forum dunia, tak lebih dari sekedar
5

nama. Berbagai keunggulan komparatif tata ruang Indonesia di kancah
dunia, mirip aquarium semata.
Bila diibaratkan dengan malaikat, pengakuan secara politis dan geografisekologis masyarakat dunia itu, posisi Indonesia nyaris seperti malaikat yang
tidak bisa mencabut nyawa. ***
NOTE: Analisis ini terbuka untuk umum, dengan ketentuan mengutip sumber naskah (nama
penulis/analis, jabatan; lembaga; judul).

6


Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1