Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik. docx

Nama

: Winda Pratami

NIM

: 125030500111003

Mata Kuliah: Kepemimpinan
Kelas

:B
PERAN PEMIMPIN DALAM REFORMASI BIROKRASI
PELAYANAN PUBLIK

Masyarakat dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas dari yang
namanya pelayanan publik. Sejak seseorang lahir bahkan sampai meninggal pasti
membutuhkan pelayanan publik. Disini pemerintah sebagai penyedia layanan publik
dan masyarakat sebagai penikmat layanan tersebut. Namun saat ini layanan yang
diberikan pemerintah selaku pihak penyedia layanan publik masih terbilang
mengecewakan. Birokrasi yang kaku, lambat serta rumit pasti sudah erat kaitannya

dengan pelayanan publik di Indonesia. Motto ‘menuju pelayanan prima’ yang sering
didengung-dengungkan seakan menjadi angin lalu saja tanpa ada upaya pasti untuk
mewujudkannya. Kualitas layanan publik yang demikian bisa dikatakan rendah. Hal itu
sesuai dengan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) pada
2002 yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 oleh Bank Dunia
(Dwiyanto & Kusumasari, 2003)
Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan
masih banyak menunjukkan hal ini. Dalam bukunya Dwiyanto (2003) memaparkan
hasil penelitian dari GDS 2002 yang menemukan tiga masalah penting yang banyak
terjadi di lapangan terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama,
besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi
oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena
semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan
keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya
kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab
munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan
biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas
pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan

ketidakpastian tadi.
Dengan berbagai permasalahan pelayanan publik yang telah dipaparkan
diatas, tuntutan akan perbaikan kualitas layanan oleh masyarakat terhadap pemerintah
semakin tinggi. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, pegawai negeri sipil dituntut
tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan publik biasanya diselenggarakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat

maupun daerah. Kuatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik memaksa
berbagai instansi pemerintah untuk mendorong peningkatan prestasi kerja yang prima.
Apalagi di era otonomi daerah, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif
terhadap kepentingan publik, di mana paradigmanya beralih ke pelayanan yang lebih
fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,
dan sekaligus mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga publik
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah
dibangun bersama. Citra pelayanan di sejumlah lembaga pemerintahan yang terkesan
lambat dan berbelit-belit menjadi perhatian khusus dalam program percepatan reformasi
birokrasi. Oleh karenanya, tuntutan pelayanan publik yang cepat dan inovatif terus
diupayakan sebagai salah satu wujud reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi merupakan sebuah perubahan atau inovasi yang
sengaja disusun dan diadopsi untuk membuat sistem administrasi mampu menjadi agen

perubahan sosial yang efektif dan instrumen yang lebih baik untuk menghasilkan
keadilan poltik, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menciptakan birokrasi yang sesuai dengan
standar pelayanan dan untuk meningkatkan daya saing yang kian kompetitif
diperlukan reformasi birokrasi yang dapat menghasilkan birokrasi profesional dan
ramping yang bebas hambatan.
Perwujudan reformasi birokrasi dalam suatu instansi atau lembaga
pemerintahan maupun suatu daerah tidak bisa lepas dari peran pemimpinnya.
Reformasi birokrasi harus dimulai dari pimpinan tingkat tertinggi sampai dengan
tingkat terendah. Diperlukan kepemimpinan birokrasi yang mampu menangani program
pemerintah lebih baik. Komitmen pimpinan sangat penting, karena pimpinan yang akan
menentukan arah perubahan. Dalam menggerakkan reformasi birokrasi, pemimpin tidak
bisa hanya mengandalkan orang lain. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi era Pak SBY, Azwar Abubakar, “Pemimpin harus turun tangan,
jangan hanya mengandalkan bawahan.Pimpinan harus menjadi role model”. Hal itu ia
utarakan ketika pencanangan pembangunan zona integritas, di lingkungan Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara di Medan pada 19 Maret 2013 lalu.
Si Hampir sama dengan Menpan dan Reformasi Birokrasi, Lembaga
Administrasi Nasional (LAN) mengungkapkan bahwasannya faktor penting dalam
menentukan keberhasilan reformasi birokrasi adalah peran kepemimpinan (leadership).

Kegagalan reformasi birokrasi dalam pelaksanaannya lebih disebabkan oleh kurangnya
komitmen, konsistensi dan kredibilitas para pemimpinnya. Sejalan dengan reformasi
birokrasi, saat ini pemerintah telah banyak melakukan inisiatif untuk mereformasi
birokrasi khususnya perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja, penerapan
disiplin, optimalisasi peningkatan pelayanan publik, upaya mengurangi korupsi dan
peningkatan produktifitas kerja.
Salah satu bukti pentingnya peran pemimpin dalam perwujudan reformasi
birokrasi pelayanan publik dapat dilihat dari program pemerintah daerah Kabupaten
Banyuwangi “Lahir Procot Pulang Bawa Akta” yang dicetuskan oleh Abdullah Azwar

Anas, Bupati Banyuwangi saat ini. Program ini merupakan bentuk reformasi birokrasi
dalam hal pembuatan akta kelahiran. Azwar Anas menilai perlu dilakukannya perbaikan
dalam layanan pembuatan akta kelahiran yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Pembuatan akta biasanya memang membutuhkan waktu yang lama
bahkan hampir sebulan mulai pengajuan hingga akta kelahiran keluar. Berlatarbelakang
itulah, Bupati Banyuwangi menerapkan program “Lahir Procot pulang Bawa Akta”
yang berarti setiap bayi yang lahir di Banyuwangi langsung keluar akta kelahirannya
dalam hitungan jam. Namun keluarnya akta tersebut tidak serta merta langsung,
melainkan harus memenuhi syarat-syarat yg sudah ditentukan sehingga akta akan segera
dicetak dan langsung diantar melalui Kantor Pos ke puskesmas atau rumah sakit tempat

melahirkan.Karena program ini juga merupakan kerjasama dengan PT. Pos. Dengan
keluarnya akta kelahiran tersebut, secara otomatis juga akan terbit Kartu Keluarga (KK)
baru karena ada anggota keluarga baru. Dengan adanya program ini, peerintah mencoba
memotong tali birokrasi pengurusan akta kelahiran yang biasanya ruwet dan lama
penyelesaiannya. Hal ini juga menciptakan birokrasi yang efektif dengan melibatkan
kerjasama dengan Kantor Pos mengingat keberadaan kantor pos sudah agak
terpinggirkan dengan adanya email dan jasa pengiriman barang oleh pihak swasta.
Dengan kata lain, Azwar Anas ini mencoba memberdayakan keberadaan Kantor Pos
program kerjanya.
Inovasi dari Bupati Banyuwangi ini terbilang cukup efektif dala
mewujudkan reformasi birokrasi dalam upaya peningkatan kualitas pelayan publik di
daerahnya. Masyarakat yang lokasi tempat tinggalnya jauh atau berada di pelosok tidak
perlu repot-repot lagi pergi ke kota untuk mengurus akta kelahiran. Karena masyarakat
cukup mengambil akta kelahiran yang sudah jadi di puskesmas atau rumah sakit dimana
sang ibu melahirkan. Apalagi program ini akan diperluas kerjasamanya tidak hanya
dengan puskesmas atau rumah sakit melainkan dengan bidan-bidan yang ada di pelosok
daerah Banyuwangi.
Program “ Lahir Procot Pulang Bawa Akta”
Inovasi pelayanan publik yang dilakukan kabupaten yang dipimpin
Abdullah Azwar Annas ini baru pertama kalinya terjadi di Indonesia Best

practices (praktek baik) pelayanan public pemerintah daerah