Demokrasi dalam Konsep Islam. pdf

Makalah

Dem
Demokrasi
Dalam Konsep Islam
(Mencari
Mencari bentuk ideal Demokrasi Islam melalui Syura, Ijma’, Maslaha
Maslahah dan Ijtihad)
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.
Oleh:
Maksum
NIM: 13913013

Konsentrasi Ekonomi Islam
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014

A. Pendahuluan

Demokrasi dalam hubungannya dengan Islam pada dasarnya mempunyai
berbagai macam penafsiran. Para cendekiawan Muslim membahas hubungan
Islam dengan demokrasi melalui dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada
dataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut
pandang ajaran Islam. Sementara pada dataran empiris, mereka menganalisis
implementasi demokrasi dalam praktek politik dan ketatanegaraan.1
John L. Esposito dan James P. Piscatori mengatakan bahwa Islam bisa
digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktaroran, republikanisme
maupun monarki, sehingga pernyataan ini dapat mengidentifikasikan tiga
pemikiran. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura’,
ijtihad, dan Ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua,
menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini,
kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini bertentangan dengan prinsip equality dalam demokrasi. Ketiga,
sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu
diakui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan.2
Menurut Maududi hal ini dinamakan “Kerajaan Tuhan”, yang disebut juga
sebagai Teokrasi. Tetapi teokrasi Islam berbeda dengan teokrasi yang pernah

menjadi pengalaman pahit di Eropa. Teokrasi Islam tidak dikuasai oleh golongan
tertentu, namun oleh seluruh umat muslim bahkan rakyat jelata. Maududi
menyatakan bahwa dalam sistem ketiga ini, “setiap muslim yang mampu dan
memenuhi syarat untuk memberikan pendapat yang benar dalam permasalahan
1
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 222.
2
Tabrani.
ZA.
Al-Asyhi,
Antara
Islam
dan
Demokrasi,
dikutip
dari
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Antara-Islam-dan-Demokrasi.html pada hari Selasa, 9
Desember 2014, jam 13.20 WIB.


2

hukum Islam, berhak menafsirkan hukum Tuhan bilamana tafsir itu dibutuhkan.
Dalam pengertian ini pemerintahan Islam merupakan pemerintahan demokrasi.
Akan teapi, ia bisa dikatakan juga sebagai pemerintahan teokrasi dalam arti
bahwa tidak seorangpun, bahkan seandainya seluruh umat Islam dijadikan satu,
berhak mengubah perintah Tuhan yang sudah jelas.”3
Dalam tulisan ini hubungan antara Demokrasi dan Islam yang menjadi topik
pembahasan adalah kesesuaian antara demokrasi dan Islam. Pembahasan
diarahkan kepada dasar-dasar demokrasi yang sesuai dengan konsep Islam
seperti Syura (consultation), Ijma’ (Community Consensus), Maslahah (Public
Interest), dan Ijtihad.
B. Konsep Demokrasi
Herodotus memperkenalkan istilah demokrasi sekitar 3000 tahun yang lalu di
Mesir Kuno, dan kemudian dikembangkan oleh para pemikir Yunani Kuno pada
masa klasik. Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari kata Demos (rakyat)
dan Kratos (kekuasaan/pemerintahan), yang berasal dari bahasa Yunani. Dalam
sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, yang merupakan
respon terhadap pengalaman buruk sistem monarki dan kediktatoran di negaranegara kota Athena (Yunani Kuno). Ketika itu demokrasi dipraktikkan sebagai
sistem dimana seluruh warga negara membentuk lembaga legislatif.

Dalam perkembangannya, ide-ide demokrasi berkembang dengan ide-ide dan
lembaga dalam tradisi pencerahan yang dimulai pada abad ke-16. Pertama
dirintis oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527) dengan ide-ide sekulerisme,
kemudian ide Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan
tentang konstitusi negara liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif

dan

lembaga

federal

oleh

John

Locke

(1632-1704),


yang

disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), ide-ide tentang
kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques
3

John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1
(Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 28.

3

Rousseau (1712-1778). Ide-ide tersebut merupakan respon terhadap monarki
absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan
kekuasaan gereja yang teokrasi. Ide-ide demokrasi saat ini muncul sejak revolusi
Amerika pada tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789.4
Pada abad ke-19 dan ke-20 pusat institusi demokrasi berkembang melalui
perwakilan di parlemen dengan pemilihan yang bebas, dan di berbagai negara
demokrasi diibaratkan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan supremasi
hukum.5 Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Elliott demokrasi
adalah sebuah masyarakat atau kelompok dimana masyarakat benar-benar
memerintah diri mereka sendiri, dimana semua partisipasi diatur dalam membuat
keputusan yang mempengaruhi mereka semua. Oleh karena itu, esensi demokrasi
adalah partisipasi dalam suatu kelompok pemerintahan oleh anggota kelompok
tersebut.6
Dalam sebagian literatur tentang demokrasi menegaskan bahwa konsep dan
praktik demokrasi sesungguhnya tidak tunggal. Unsur-unsur dasar atau ”family
resemblances” demokrasi itu dipengaruhi, dibentuk, dan diperkaya oleh kultur
dan struktur sosiologis dan budaya masyarakat setempat. Dalam setiap negara
manapun, nilai-nilai demokrasi akan berkembang sesuai dengan bengunan sosialbudaya masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk, tingkat
dan kualitas demokrasi di Amerika Serikat berbeda dengan konsep dan praktik

4

Saifullah, “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap Demokrasi”, Al-Fikr
Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011, hlm. 529.
5
Tauseef Ahmad Parray, “Islamic Democracy or Democracy in Islam: Some Key Operational
Democratic Concepts and Notions”, World Journal of Islamic History and Civilization, 2 (2): 66-86,

2012, ISSN 2225-0883, hlm. 68.
6
M.O. Adeniyi, “An Islamic Approach to The Sustainability of Democracy”, Shopia, Vol. 43,
No. 2, October 2004, hlm. 95.

4

demokrasi yang berkembang di Asia Timur (seperti Jepang) atau Eropa Barat
(seperti Swedia, Itali dan sebagainya).7
Dalam sejarah permulaan demokrasi di Yunani sampai revolusi inggris,
amerika dan prancis dan dari abad ke-19 sampai akhir abad ke-20, demokrasi
berkembang dalam berbagai bentuk yang berindikasi bahwa konsep demokrasi
berubah dan berkembang mengikuti perkembangan sosial, politik dan ekonomi.
Fakta ini memperlihatkan bahwa tidak ada definisi pasti dari model demokrasi.
Sebagaimana W. B. Gallie menyebut demokrasi sebagai “Essensially Contested
Concept”. Jadi di bagian dunia manapun, para pemikir dan masyarakat umum
secara aktif terlibat dalam upaya menciptakan struktur demokrasi yang lebih
efektif. Hal ini juga berlaku di dunia muslim di belahan dunia manapun. Para
pemikir muslim sampai saat ini berusaha untuk mendefinisikan, menafsirkan dan
membangun demokrasi dengan konsep-konsep Islam seperti konsep khilafah,

syura, Ijma’, ijtihad, baiat, dan lainnya.8
C. Prinsip-prinsip Politik Kenegaraan dalam Al-Quran
Islam mengajarkan manusia tidak hanya hal-hal spiritual (ibadah), namun juga
masalah akhlak dan muamalat manusia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
dan pengisian negara termasuk dalam pengertian modern negara-bangsa, alQuran memberikan pesan-pesan yang lebih substansial yaitu menawarkan nilai
etik dan moral daripada bersifat formal yaiu menekankan benuk negara atau
format politik.9 Menurut Yusdani, Prinsip-prinsip kenegaraan yang terdapat
dalam al-Quran antara lain10 bahwa:

7

Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”, dalam
M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed) Agama dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. .90.
8
Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 68.
9
Yusdani, Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, Cet. 1 (Yogyakarta: Amara
Books, 2011), hlm. 63.
10

Ibid., hlm. 64

5

1. Kekuasaan sebagai Amanah

ْ ‫ﺎس أَن ﺗَ ۡﺤ ُﻜ ُﻤ‬
ْ ‫إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ﯾَ ۡﺄ ُﻣ ُﺮ ُﻛﻢۡ أَن ﺗُ َﺆ ﱡد‬
‫ﻮا‬
ِ َ‫وا ٱ ۡﻷَ ٰ َﻣ ٰﻨ‬
ِ ‫ﺖ إِﻟَ ٰ ٓﻰ أَ ۡھﻠِﮭَﺎ َوإِ َذا َﺣ َﻜﻤۡ ﺘُﻢ ﺑَ ۡﯿﻦَ ٱﻟﻨﱠ‬
ٗ ‫ﺼ‬
٥٨ ‫ﯿﺮا‬
ِ َ‫ﺑِﭑ ۡﻟ َﻌ ۡﺪ ۚ ِل إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ﻧِ ِﻌ ﱠﻤﺎ ﯾَ ِﻌﻈُ ُﻜﻢ ِﺑ ۗ ِٓﮫۦ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻛﺎنَ َﺳ ِﻤﯿ ۢ َﻌﺎ ﺑ‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: 4.58)
2. Musyawarah sebagai Dasar Pengambilan Kekuasaan


ْ ‫ُﻮا ﻟِ َﺮﺑﱢ ِﮭﻢۡ َوأَﻗَﺎ ُﻣ‬
ْ ‫َوٱﻟﱠ ِﺬﯾﻨَﭑ ۡﺳﺘَ َﺠﺎﺑ‬
‫ﻮا ٱﻟ ﱠ‬
‫ﺼﻠَ ٰﻮةَ َوأَﻣۡ ُﺮھُﻢۡ ُﺷﻮ َر ٰى ﺑَ ۡﯿﻨَﮭُﻢۡ َو ِﻣ ﱠﻤﺎ َر َز ۡﻗ ٰﻨَﮭ ُۡﻢ‬
َ‫ﯾُﻨﻔِﻘُﻮن‬

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka. (QS 42:38)
3. Keadilan Harus ditegakkan

ْ ُ‫ﻮا ُﻛﻮﻧ‬
ْ ُ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ‬
‫ﻮا ﻗَ ٰ ﱠﻮ ِﻣﯿﻦَ ﺑِﭑ ۡﻟﻘِ ۡﺴ ِﻂ ُﺷﮭَ َﺪ ٓا َء ِ ﱠ ِ َوﻟَ ۡﻮ َﻋﻠَ ٰ ٓﻰ أَﻧﻔُ ِﺴ ُﻜﻢۡ أَ ِو‬
ۚ ِ‫ٱ ۡﻟ ٰ َﻮﻟِﺪ َۡﯾ ِﻦ َوٱ ۡﻷَ ۡﻗ َﺮﺑ‬
ٓ ٰ ‫ُﻮا ٱ ۡﻟﮭَ َﻮ‬
ْ ‫ﯿﺮا ﻓَﭑ ﱠ ُ أَ ۡوﻟَ ٰﻰ ِﺑ ِﮭ َﻤ ۖﺎ ﻓَ َﻼ ﺗَﺘﱠ ِﺒﻌ‬
ٗ ِ‫ﯿﻦَ إِن ﯾَ ُﻜ ۡﻦ َﻏﻨِﯿًّﺎ أَ ۡو ﻓَﻘ‬

‫ى أَن‬
ْ ‫ﻮا َوإِن ﺗَ ۡﻠ ٓ ُﻮۥ ْا أَ ۡو ﺗُ ۡﻌ ِﺮﺿ‬
ْ ۚ ُ‫ﺗَ ۡﻌ ِﺪﻟ‬
ٗ ِ‫ُﻮا ﻓَﺈ ِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻛﺎنَ ِﺑ َﻤﺎ ﺗَ ۡﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒ‬
‫ﯿﺮا‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu keMaslahahtannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu

6

memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4:135)

ْ ُ‫ﻮا ُﻛﻮﻧ‬
ْ ُ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ‬
ُ َ◌◌ٔ َ‫ﻮا ﻗَ ٰ ﱠﻮ ِﻣﯿﻦَ ِ ﱠ ِ ُﺷﮭَ َﺪ ٓا َء ﺑِﭑ ۡﻟﻘِ ۡﺴ ِۖﻂ َو َﻻ ﯾَ ۡﺠ ِﺮ َﻣﻨﱠ ُﻜﻢۡ َﺷﻦ‬
‫ان‬
ْ ُ‫ﻮا ھُ َﻮ أَ ۡﻗ َﺮبُ ﻟِﻠﺘﱠ ۡﻘ َﻮ ٰ ۖى َوٱﺗﱠﻘ‬
ْ ُ‫ﻮا ٱ ۡﻋ ِﺪﻟ‬
ْ ۚ ُ‫ﻗَ ۡﻮ ٍم َﻋﻠَ ٰ ٓﻰ أَ ﱠﻻ ﺗَ ۡﻌ ِﺪﻟ‬
‫ﻮا ٱ ﱠ ۚ َ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﺧ ِﺒﯿ ۢ ُﺮ ِﺑ َﻤﺎ‬
٨ َ‫ﺗَ ۡﻌ َﻤﻠُﻮن‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 5:8)
4. Adanya Prinsip Persamaan

ُ‫ھُ َﻮ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾ ُِﺮﯾ ُﻜﻢۡ َءا ٰﯾَﺘِ ِﮫۦ َوﯾُﻨَ ﱢﺰ ُل ﻟَ ُﻜﻢ ﱢﻣﻦَ ٱﻟ ﱠﺴ َﻤﺎٓ ِء ِر ۡز ٗﻗ ۚﺎ َو َﻣﺎ ﯾَﺘَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮ إِ ﱠﻻ َﻣﻦ ﯾُﻨِﯿﺐ‬

Artinya: Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)Nya dan menurunkan untukmu rezeki dari langit. Dan tiadalah mendapat
pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). (QS 40:13)
5. Pengakuan Terhadap HAM

ْ ُ‫َو َﻻ ﺗَ ۡﻘﺘُﻠ‬
‫ﺲ ٱﻟﱠﺘِﻲ َﺣ ﱠﺮ َم ٱ ﱠ ُ إِ ﱠﻻ ﺑِﭑ ۡﻟ َﺤ ۗ ﱢ‬
‫ﻮﻣﺎ ﻓَﻘَ ۡﺪ َﺟ َﻌ ۡﻠﻨَﺎ ﻟِ َﻮﻟِﯿﱢ ِۦﮫ‬
ٗ ُ‫ﻖ َو َﻣﻦ ﻗُﺘِ َﻞ َﻣ ۡﻈﻠ‬
َ ‫ﻮا ٱﻟﻨﱠ ۡﻔ‬
ٗ ‫ﺼ‬
‫ﻮر‬
ُ ‫ﺳ ُۡﻠ ٰﻄَ ٗﻨﺎ ﻓَ َﻼ ﯾ ُۡﺴ ِﺮف ﻓﱢﻲ ٱ ۡﻟﻘَ ۡﺘ ۖ ِﻞ إِﻧﱠ ۥﮫُ َﻛﺎنَ َﻣﻨ‬

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS 17:30)

7

‫ﺖ‬
ِ َ‫َوﻟَﻘَ ۡﺪ َﻛﺮﱠﻣۡ ﻨَﺎ ﺑَﻨِ ٓﻲ َءا َد َم َو َﺣ َﻤ ۡﻠ ٰﻨَﮭُﻢۡ ﻓِﻲ ٱ ۡﻟﺒَ ﱢﺮ َوٱ ۡﻟﺒَ ۡﺤ ِﺮ َو َر َز ۡﻗ ٰﻨَﮭُﻢ ﱢﻣﻦَ ٱﻟﻄﱠﯿﱢ ٰﺒ‬
ٰۡ
‫ﻀ ٗﯿﻼ‬
ِ ‫ﯿﺮ ﱢﻣ ﱠﻤ ۡﻦ َﺧﻠَ ۡﻘﻨَﺎ ﺗ َۡﻔ‬
ٖ ِ‫َوﻓَﻀﱠﻠﻨَﮭُﻢۡ َﻋﻠَ ٰﻰ َﻛﺜ‬
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS 17:70)
6. Perdamaian

ۚ
ْ ُ‫َو ٰﻗَﺘِﻠ‬
َ‫ﻮا ﻓِﻲ َﺳﺒِﯿ ِﻞ ٱ ﱠ ِ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﯾُ ٰﻘَﺘِﻠُﻮﻧَ ُﻜﻢۡ َو َﻻ ﺗ َۡﻌﺘَﺪ ُٓو ْا إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻻ ﯾ ُِﺤﺐﱡ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﻌﺘَ ِﺪﯾﻦ‬

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (2:190)

ْ ‫َوإِن َﺟﻨَﺤ‬
‫ُﻮا ﻟِﻠﺴ ۡﱠﻠ ِﻢ ﻓَﭑ ۡﺟﻨ َۡﺢ ﻟَﮭَﺎ َوﺗَ َﻮ ﱠﻛ ۡﻞ َﻋﻠَﻰ ٱ ﱠ ۚ ِ إِﻧﱠﮫۥُ ھُ َﻮ ٱﻟ ﱠﺴ ِﻤﯿ ُﻊ ٱ ۡﻟ َﻌﻠِﯿ ُﻢ‬

Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 8:61)

ۡ َ‫ك ﺑِﻨ‬
َ‫ﺼ ِﺮ ِۦه َوﺑِﭑ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣﻨِﯿﻦ‬
َ ‫ي أَﯾﱠ َﺪ‬
َ َ‫ك ﻓَﺈ ِ ﱠن َﺣ ۡﺴﺒ‬
َ ‫َوإِن ﯾ ُِﺮﯾ ُﺪ ٓو ْا أَن ﯾَ ۡﺨ َﺪ ُﻋﻮ‬
ٓ ‫ﻚ ٱ ﱠ ۚ ُ ھُ َﻮ ٱﻟﱠ ِﺬ‬

Artinya: Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya
cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan
pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS 8:62)
D. Konsep Demokrasi dalam Islam
Kenyataan bahwa Islam mengajarkan etika politik yang bersesuaian dengan
prinsip-prinsip demokrasi, dapat dikatakan bahwa kurangnya pengalaman
demokratis sebagian besar negara Islam tidak ada hubungannya dengan dimensi
“interior” ajaran Islam. Secara teologis, barangkali dapat diisyaratkan bahwa
kegagalan politik yang demokratis antara lain disebabkan oleh adanya pandangan
yang legalistik dan formalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik.
Karenanya, adalah pendekatan substansialistik terhadap ajaran Islam diharapkan
8

dapat mendorong terciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara Islam
dan Demokrasi.11
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam,
Esposito mengatakan bahwa kesesuaian demokrasi dengan Islam dapat
dikembangkan melalui beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Seperti banyak konsep dalam tradisi politik barat, istilah-istilah ini tidak selalu
dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam
wacana Muslim dewasa ini. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang
mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu konsep
syura, Ijma’, Maslahah, dan ijtihad.12 Hubungan antara Islam dan demokrasi
seperti berikut:
1. Syura dalam Konsep Demokrasi
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ﻣﺸﺎورة‬. Ia adalah masdar dari kata
kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra, dengan
pola fa’ala. Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada
mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah
juga dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Karenanya, kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu
dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.13
Secara historis, konsep syura dalam sejarah Islam telah ada jika
menunjuk pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi Muhammad wafat.
11

Bahtiar Effendy, Islam, hlm. 100.
John L. Esposito, Islam, hlm. 32
13
Sohrah, “Musywarah vs Demokrasi”, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011, hlm. 34-35.

12

9

Menurut Fazlur Rahman kejadian itu sebagai pelaksanaan prinsip syura yang
pertama. Kejadian ini kemudian diikuti dengan pidato pelantikan Abu Bakar
sebagai khalifah pertama. Dalam pidatonya pelantikannya itu, secara
kategoris ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima mandat dari rakyat
yang memintanya melaksanakan al-Quran dan Sunnah. Abu Bakar juga
menyatakan bahwa ia melaksanakan ketentuan al-Quran dan Sunnah, ia
perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka
ia harus diturunkan. Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga
berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat
Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku atau kota menjalankan
urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang kemudian
didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan
dasar yang dilakukan al-Quran adalah mengubah syura dari sebuah institusi
suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah
dengan hubungan iman.14
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan
politik utama dalam al-Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam
kehidupan modern sekarang, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi
adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia tidak terlalu
identik dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad
Iqbal yang menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik
Iqbal terhadap demokrasi bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi
dalam praktek pelaksanaannya. Kohesi antara Islam dan demokrasi terletak
pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam dimanifestasikan
oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam kehidupan
sosio-politik umat Islam.15

14
15

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran, hlm. 224.
Ibid.,, hlm. 223

10

Perlunya

musyawarah

merupakan

konsekuensi

politik

prinsip

kekhalifahan manusia. “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam
tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Karena semua
muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah
khalifah (agen) Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada
penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani
permasalahan negara”. Ayatullah Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa
musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah Allah berhak
mengurus persoalan mereka sendiri aas dasar prinsip musyawarah” dan ini
termasuk “pembentukan majlis yang para anggotanya adalah wakil-wakil
rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur
operasional

yang menentukan dalam

hubungan

antara

Islam dan

demokrasi.16
Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena
menempatkan semua masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di
Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura dimana
setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan
tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di
dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat
atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah
masalah.
Namun akan berbeda ketika wakil rakyat yang telah dipilih tersebut
tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya.
Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-benar mewakili setiap
kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika wakil rakyat hanya
mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari konsep demokrasi itu
sendiri.
16

John L. Esposito, Islam, hlm. 33

11

Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama
dalam sejarah pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat
bahwa prinsip syura adalah sumber etika demokrasi Islam. Mereka
menyamakan konsep syura dengan konsep demokrasi modern.17
2. Ijma’ dalam Konsep Demokrasi
Secara etimelogi Ijma’ mengandung arti kesepakatan atau konsensus.
Ijma’ juga dapat diartikan sebagai al Azmu ‘alassyai’ atau ketetapan hati
untuk melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh
beberapa ahli diantaranya: menurut Al Ghazali Ijma’ adalah kesepakatan
umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini
mengindikasikan bahwa Ijma’ tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw,
sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan Ijma’.
Sedangkan menurut Al Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal
‘aqdi atau para ahli yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi
Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.18
Ijma’ atau konsensus telah lama diterima sebagai konsep pengesahan
resmi dalam hukum Islam, terutama di kalangan kaum Muslim Sunni.
Namun, hampir sepanjang sejarah Islam pada konsensus sebagai salah satu
sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan,
sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna kurang begitu
penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam pemikiran modern,
potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya
mendapat saluran yang lebih besar.
Dalam pengertian lebih luas, konsensus dan musyawarah sering
dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang
mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer menyatakan
17
18

Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 73.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997)

12

bahwa dalam sejarah Islam karena tiedak ada rumusan yang pasti mengenai
struktur negara dalam al-Quran, legitimasi negara bergantung pada sejauh
mana organisasi dan kekuasaan negara mencerminkan kehendak umat.
Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh para ahli hukum klasik,
legitimasi pranata-pranata negara tidak berasal dari sumber-sumber tekstual,
tetapi didasarkan pada prinsip Ijma’. Atas dasar inilah konsensus dapat
menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi Islam.19
3. Maslahah dalam Konsep Demokrasi
Secara

etimologis,

arti

al-Maslahah

dapat

berarti

kebaikan,

kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata alMaslahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya
dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan.
Secara terminologis, Maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa
ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w.505 H), misalnya, mengatakan bahwa
makna genuine dari Maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan
atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘
al-madarrah). Menurut

al-Gazâli, yang dimaksud Maslahah, dalam arti

terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum
Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan,
dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang
dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal
tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang
dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai
sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang

19

John L. Esposito, Islam, hlm. 34.

13

dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut
dikualifikasi sebagai Maslahah.20
Dalam konsep demokrasi, Maslahah menjadi bagian yang penting
ketika dihadapkan dengan kebebasan individu dan persamaan HAM. Konsep
Maslahah memberikan penilaian yang lebih obyektif tentang bagaimana
kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan pribadi. Perwujudan
Maslahah dan mafsadah dalam pelbagai situasi dan kondisi memerlukan
standar yang jelas dan berterusan untuik digunakan oleh para mujtahid.
Apabila mafsadah dan Maslahah tidak mampu dipertemukan maka
hendaklah dilakukan pentarjihan di antara kedua posisi dengan dipilih salah
satu dari dua posisi yang lebih dominan. Bahkan ketika terjadi kontradiksi
antara Maslahah dengan Maslahah, mafsadah dengan mafsadah dalam
kategori yang sama seperti daruriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.21
Akan tetapi, terdapat kemungkinan muncul pihak-pihak yang
menyalahgunakan dalil/metode Maslahah memang tidak bisa dipungkiri.
Mereka menggunakan Maslahah sebagai dalil/metode untuk menetapkan
hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku.
Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan/kekacauan dalam menetapkan
hukum Islam, dan pada gilirannya melahirkan keresahan di kalangan
masyarakat. Dalam konteks ini, kehadiran institusi ijtihâd jamâ‘iy (ijtihad
kolektif) seperti MUI, Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah,
dan

Dewan

Hisbah

Persis,

menjadi

urgen

dalam

mengeliminasi

kemungkinan penyalahgunaan dalil/metode Maslahah oleh aktivitas ijtihâd
fardiy sehingga konsepsi dan aplikasi Maslahah dalam proses ijtihad tersebut

20
Asmawi, “Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, Makalah,
dipresentasikan pada Workshop Tafsir Asnaf Zakat Kontemporer, diselenggarakan oleh Institut
Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012, hlm. 1-2.
21
Ridzwan Ahmad, “Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa”
Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008, hlm. 108.

14

terhindar dari salah paham dan salah kaprah. Meskipun demikian, ini tidak
berarti menutup rapat rapat pintu ijtihâd fardî.22
Maslahah merupakan konsep bahwa kepentingan publik harus
diutamakan dari kepentingan individu. Dalam hal ini, penggusuran dalam
rangka normalisasi sungai (seperti yang dilakukan di Jakarta, Indonesia)
yang dilakukan oleh pemerintah sudah selayaknya diterima oleh masyarakat
bahkan tanpa disediakan tempat untuk pindah, masyarakat wajib
mematuhinya. Pemerintah hanya perlu mengganti biaya ganti rugi dari
masyarakat tersebut tanpa harus membelinya, dan masyarakat harusnya juga
memahami bahwa untuk kepentingan umum, pengorbanan yang dilakukan
akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
4. Ijtihad dalam Konsep Demokrasi
Konsep operasional yang terakhir adalah ijtihad, atau pelaksanaan
penilaian yang ilmiah dan mandiri. Bagi banyak pemikir muslim, upaya ini
merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat
atau waktu.23
Ijtihad diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tercakup
oleh Al-Qur'an dan Sunnah, tidak dengan taqlid, atau dengan analogi
langsung (qiyas). Ijtihad dianggap, oleh banyak pemikir Muslim, sebagai
kunci untuk pelaksanaan kehendak Allah dalam waktu dan tempat tertentu.24
Hampir semua reformis dan intelektual Muslim abad 20 menunjukkan
antusiasme dalam konsep Ijtihad kontemporer, Muhmmad Iqbal, Khurshid
Ahmad, Taha Jabir al 'Alwani dan Altaf Gauhar menjadi beberapa dari
mereka.25
Bentuk demokrasi menurut Fazlur Rahman dapat berbeda-beda
menurut kondisi yang ada dalam suatu masyarakat. Untuk dapat memilih
22

Asmawi, Memahami, hlm. 8-9.
John L. Esposito, Islam, hlm. 34-35.
24
Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 74.
25
Ibid.
23

15

suatu bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan suatu masyarakat Islam
tertentu, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan.26
Pemimpin Islam Pakistan, Khurshid Ahmad, memparkan hal ini
dengan jelas. “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan
memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut
dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya. Melalui
ijtihad itulah masyarakat dari setiap zaman berusaha menerapkan dan
menjalankan petunjuk Ilahi guna mengatasi masalah-masalah zamannya.
Ijtihad selalu menjadi konsep yang kontroversial mengingat bahaya
penyalahgunaannya. Adalah mungkin bahwa tindakan kaum muslim itu akan
didukung oleh kaum sekular dan Muslim abangan, yang akan membuka
lebar-labar pintu ijtihad dan menafsirkan ijtihad sedemikian rupa sehingga
dapat dimanfaatkan untuk membenarkan akibat-akibatnya tanpa peduli
apakah aturan itu didasarkan atas kriteria fiqh atau tidak. Namun makna
penting ijtihad ditekankan oleh Iqba yang berharap bahwa ijtihad yang benar
akan memungkinkan
“para ilmuwan sosial muslim untuk menelaah fenomena sosial dengan
kerangka dan paradigma epistemologi Islam dan selanjutnya memulai
proses pembangungn kembali peradaban Islam atas dasar pemahaman
terhadap ilmu-ilmu sosial itu. Dekonstruksi yang disambung dengan
rekonstruksi inilah yang dibutuhkan umat Islam jika ingin menjadi
penengah bagi bangsa-bangsa lain sebagaimana tersurat dalam alQuran”.27
Ijtihad saat ini menjadi tren pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan
muslim kontemporer. Mati surinya ijtihad selama beberapa abad silam
memang membuat dunia Islam menjadi jalan ditempat. Ijtihad memberikan
jalan alternatif dari perbagai permasalahan dalam dunia modern saat ini.
26
27

M. Syafi’ Anwari, Pemikiran, hlm. 224.
John L. Esposito, Islam, hlm. 36.

16

E. Kesimpulan
Islam dan demokrasi pada hakikatnya merupakan hal yang sesuai
(compatible). Islam mengatur segala permasalahan manusia mulai dari ibadah,
akhlak sampai muamalah. Pertanyaan Islam sesuai dengan Demokrasi
sebenarnya merupakan pertanyaan yang kurang sesuai, pertanyaan yang
sebenarnya adalah bagaimana muslim memahami Islam yang sesuai dengan
demokrasi. Karena Islam dapat digunakan dalam segala bentuk pemerintahan
mulai dari demokrasi maupun kediktaroran, republikanisme maupun monarki.
Sampai saat ini, dekade kedua dari abad ke-21 tidak ada bentuk yang menjadi
kesepakatan umum dari umat Islam dalam sistem pemerintahan seperti bentuk
monarki konservatif Arab Saudi, Iran dengan teokrasinya, Sudan dan Pakistan
dengan pemerintahan militer dan Taliban Afganistan. Bahkan peristiwa terbaru
ketika Tunisia, Mesir, dan Libya serta Bahrain mencoba untuk membuat sintesa
baru tentang konsep demokrasi yang sesuai dengan Islam dan kondisi sosial di
negera tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa modern ini negaranegara muslim masih mencari bentuk yang sesuai dalam sosiopolitik
pemerintahannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan
mengamalkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin di masa modern
ini.

17

DAFTAR PUSTAKA
Adeniyi, M.O.. 2004. “An Islamic Approach to The Sustainability of Democracy”,
Shopia, Vol. 43, No. 2, October 2004.
Ahmad, Ridzwan. 2008. “Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum
Islam Semasa” Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008.
Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
Asmawi. 2012. “Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah,
Makalah, dipresentasikan pada Workshop Tafsir Asnaf Zakat Kontemporer,
diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012.
Effendy, Bahtiar. 1996.

“Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang

Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed) Agama
dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, Jakarta: Paramadina.
Esposito, John L. dan John O. Voll. 1999. Islam and Democracy, alih bahasa
Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Penerbit Mizan.
Parray, Tauseef Ahmad. 2012. “Islamic Democracy or Democracy in Islam: Some
Key Operational Democratic Concepts and Notions”, World Journal of Islamic
History and Civilization, 2 (2): 66-86, 2012, ISSN 2225-0883.
Saifullah. 2011. “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap
Demokrasi”, Al-Fikr Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011.
Sohrah. 2011. “Musyawarah vs Demokrasi”, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei
2011.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu
Tabrani.

ZA.

Al-Asyhi,

Antara

Islam

dan

Demokrasi,

dalam

http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Antara-Islam-danDemokrasi.html diakses pada hari Selasa, 9 Desember 2014, jam 13.20 WIB.
Yusdani. 2011. Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, Cet. 1
Yogyakarta: Amara Books.

18