Aspek Aspek Hukum Internasional Dalam Pa

ASPEK-ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM PASUKAN PEMELIHARA PERDAMAIAN
Oleh:
Imam Mulyana*

“Peace-Keeping is not soldier`s job,
But only a soldier can do it”
(C.C. Moskos Jr)**
A. Pendahuluan
Hubungan internasional diantara negara-negara di dunia telah membawa banyak
perubahan ke arah yang lebih positif. Kerjasama –baik secara bilateral maupun
multilateral- yang lebih memberikan jaminan terhadap kepentingan membuat hubungan
antar negara menjadi semakin pesat. Akan tetapi, seiring dengan pesatnya perkembangan
hubungan tersebut, sengketa diantara negara-negara di dunia juga menjadi semakin
kompleks. Perbedaan yang menimbulkan sengketa diantara negara-negara pada
umumnya dapat diselesaikan dengan cara-cara damai, akan tetapi ada kalanya
penyelesaian sengketa berakhir dengan cara kekerasan.
Salah satu organisasi internasional yang mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa adalah PBB. Selain menggunakan penyelesaian sengketa dengan
cara-cara damai, PBB juga mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan
kolektif yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu sengketa, terlebih lagi apabila

sengketa itu dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Kekuasaan yang lebih luas untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia
diserahkan kepada Dewan Keamanan sehingga badan ini akan menyelesaikan kebijakan
PBB secara cepat dan tegas. Dewan Keamanan pada umumnya bertindak terhadap dua
sengketa yaitu1:
1. sengketa-sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan nasional
2. kasus-kasus yang mengancam perdamaian atau melanggar perdamaian, atau tindakantindakan agresi
*

Staf Magang pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Robert C.R. Siekmann, National Contingents in United Nations Peacekeeping Forces, Martinus Nijhoff
Publishers, 1991, hlm 12
1
J.G. Starke, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth, London 1989, hlm 517
**

Dewan Keamanan telah dijadikan suatu organ eksekutif yang dilengkapi dengan
kewenangan terutama di bidang pelaksanaan Bab VII Piagam. Sejumlah pasal dibuat
khusus sehingga memungkinkan Dewan Keamanan bertindak secara cepat dan efisien
mencegah maupun menghentikan sengketa-sengketa bersenjata. Dewan Keamanan

pulalah yang mengambil semua tindakan yang diperlukan mulai dari pemutusan
hubungan hingga penggunaan pasukan bersenjata bila perdamaian dunia sudah terancam.
Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan senjata yang
ditempuh PBB adalah pembentukan pasukan pemelihara perdamaian. PBB pada
hakikatnya tidak membentuk angkatan bersenjata internasional yang bebas dari negaranegara asalnya dan diletakan di bawah komando langsung Dewan Keamanan. Hal ini
dikarenakan Pasal 43 Piagam mengatur bahwa negara-negara anggota membantu Dewan
Keamanan dengan menyerahkan pasukan bersenjata yang diperlukan atas dasar
kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Dewan Keamanan. Ini berarti yang ada
hanyalah himpunan dari pasukan berbagai negara yang dikoordinasikan oleh Dewan
Keamanan.
Sebagai bagian dari PBB, tentu saja pasukan pemelihara perdamaian mempunyai
kelebihan-kelebihan dibanding dengan pasukan reguler biasa. Kenyataan lain mengenai
bahwa pasukan pemelihara perdamaian terdiri dari kontingen yang berasal dari berbagai
negara juga membuat mereka mempunyai pengaturan tersendiri yang berbeda dengan
pasukan reguler biasa. Meskipun belum ada instrumen hukum internasional yang secara
khusus mengatur mengenai keberadaan pasukan pemelihara perdamaian, akan tetapi
keberadaan mereka sebagai sebuah entitas internasional tidak terlepas dari beberapa
cabang rezim hukum internasional yang sekarang ini berlaku.

B. Pasukan Pemelihara Perdamaian

Istilah pasukan pemelihara perdamaian (peace keeping force) sebenarnya tidak
tercantum secara eksplisit dalam Piagam PBB. Istilah ini menurut sejarah lahir dari
resolusi Majelis Umum PBB (988-ES-I) 4 Nopember 1956 yang meminta Sekretaris
Jendral untuk segera membentuk Pasukan Internasional Darurat dengan tugas
menghentikan pertikaian antara Israel dan Mesir. Resolusi ini lahir sebagai reaksi dari

invasi Israel ke wilayah Mesir sebagai akibat nasionalisasi terusan Suez pada tanggal 26
Juli 1956, hingga lahirlah UNEF (United Nations Emergency Force). Beberapa tahun
kemudian setelah pembentukan UNEF tepatnya tahun 1960, dibentuk juga ONUC
(Opĕration des Nations Unies au Congo) oleh Dewan Keamanan PBB.2
Kegiatan pasukan pemelihara perdamaian sering dinamakan operasi pemeliharaan
perdamaian, istilah ini selanjutnya banyak dipakai untuk segala macam kegiatan
operasional PBB dalam rangka memelihara keamanan. Namun demikian, karakteristik
dari pasukan pemelihara perdamaian ternyata memiliki beberapa perbedaan dengan
pasukan PBB yang bertindak dibawah Pasal 42 Piagam PBB (enforcement action).
Penjelasan ini terdapat dalam definisi pasukan pemelihara perdamaian seperti yang
tercantum dalam Review on the United Nations Peacekeeping yaitu3:
“an operational involving military personel, but without enforcement powers,
undertaken by the United Nations to help maintain or restore international peace
and security in areas of conflict. These operations are voluntary and are based on

consent and cooperation. While they involve the use of military personnel, they
achieve their objectives not by force of arms, thus contrasting them with the
‘enforcement action’ of the United Nations under Article 42”
Dari definisi yang dikemukakan dalam Review on the United Nations
Peacekeeping ada beberapa prinsip dasar yang kemudian senantiasa dipegang teguh oleh
PBB dalam menjalankan misi-misinya, prinsip tersebut yaitu4:
a. Operasi yang disepakati
Walaupun diputuskan secara unilateral dan dilaksanakan secara bebas oleh PBB,
operasi pemeliharaan perdamaian dan keamanan sama sekali tidak bersifat
semena-mena. Bahkan sebaliknya, keseluruhan proses pembentukan dan
kegiatannya mengharuskan kesepakatan semua pihak yang berkepentingan.
Prinsip kesepakatan ini juga berisikan kesediaan tuan rumah memberikan
sejumlah jaminan terutama mengenai kebebasan bergerak di seluruh wilayah
nasional atau zona operasi, kebebasan berkomunikasi di samping kekebalankekebalan yang diperlukan bagi pelaksanaan fungsi suatu organ internasional.
2

Robert C.R. Siekmann, op cit, hlm 4
N.D. White, Keeping the Peace, Manchester University Press, Manchester 1997, hlm 207
4
Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T.

Alumni, Bandung, 2003 hlm 561, Bandingkan dengan N.D. White, op cit, hlm 232-244

3

b. Operasi tanpa kekerasan
Prinsip tanpa menggunakan kekerasan adalah salah satu ciri pokok pasukan
pemelihara perdamaian. Dari segi militer, pasukan pemelihara perdamaian tidak
boleh menggunakan senjata untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan
demikian juga tidak boleh mengambil prakarsa untuk menggunakan senjata dalam
kontak-kontak yang terjadi. Pasukan PBB hanya dapat menggunakan senjata
dalam hal bela diri terutama untuk mempertahankan posisi yang ditempati bila
ada serangan untuk mengambil posisi tersebut.
c. Operasi Konservasi dan Netral
Karakteristik lainnya dari pasukan perdamaian PBB adalah sifat pemeliharaannya.
Yang dimaksud dengan sifat pemeliharaan ialah bahwa tujuan keberadaan
pasukan PBB tidak lain dari mempermudah penghentian permusuhan, menjaga
gencatan senjata, dan menurunkan ketegangan di wilayah tertentu. Selain itu,
pasukan PBB harus selalu bersifat netral baik di bidang politik maupun hukum.
Pasukan PBB harus bertindak netral baik di bidang politik maupun di bidang
hukum. Pasukan PBB harus bertindak dalam netralitas total dan menjauhkan diri

dari semua keadaan terutama yang bersifat intern dan tidak boleh mencampuri
urusan dalam negeri tuan rumah.

Sejak diluncurkannya hingga saat ini, pasukan pemelihara perdamaian PBB telah
mengalami perubahan karakteristik yang cukup signifikan. Pada garis besarnya,
perubahan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok masa yaitu masa
perang dingin dan pasca perang dingin. Secara ringkas, perkembangan dan perubahan
karakteristik pasukan dibawah bendera PBB adalah sebagai berikut5:
1. Operasi pemeliharaan perdamaian tradisional (generasi pertama)
Pasukan-pasukan pemelihara perdamaian yang terbentuk sebelum berakhirnya
perang dingin, pada umumnya dapat diberi nama operasi pemelihara perdamaian
tradisional atau operasi pemelihara perdamaian generasi pertama. Dinamakan
demikian karena tugas operasinya lebih bertujuan menjaga kemanan perbatasan,
memisahkan pasukan-pasukan yang bersengketa sambil memberi kesempatan
5

Ibid, hlm 575

kepada juru runding untuk mencari penyelesaian atas sengketa dari negara-negara
yang terlibat.

2. Operasi pemeliharaan perdamaian multidimensi (generasi kedua)
Dengan berakhirnya perang dingin, konsensus dan kerjasama telah muncul dan
menggantikan sikap konfrontasi di forum dewan Keamanan, khususnya di antara
negara-negara anggota tetap. Situasi dan kondisi yang baru ini telah memberikan
dorongan bagi masalah-masalah yang berkaitan dengan perdamaian dan kemanan
internasional, termasuk lebih mudahnya tercapai konsensus dalam pembentukan
operasi-operasi pemelihara perdamaian PBB. Selain itu, kesukaran-kesukaran
yang dialami rezim-rezim tertentu setelah negara-negara adidaya menarik
dukungannya, lembaga-lembaga negara yang lemah, perekonomian yang merosot,
bencana alam, sengketa etnis, atau agama yang melanda berbagai negara telah
merupakan pula penyebab kehadiran misi-misi PBB untuk ikut menyelesaiakan
permasalahan.
Tugas-tugas operasi pemelihara perdamaian PBB karenanya telah bergeser dari
tugas untuk memelihara perdamaian menjadi operasi yang memiliki sejumlah
dimensi kegiatan dalam mengatasi konflik internal. Operasi pemelihara
perdamaian miltidimensi atau disebut juga sebagai generasi kedua ini tidak hanya
memiliki dimensi militer sebagaimana halnya generasi pertama, tetapi juga
dimensi politik, ekonomi, sosial, kemanusiaan dan bahkan lingkungan hidup.
Operasi multidimensi tersebut mencakup pula bantuan dalam rangka pemilihan
umum, pelatihan bagi kepolisisan setempat, rekonstruksi pasca konflik,

perlindungan konvoi bantuan kemanusiaan, perlindungan hak-hak asasi manusia,
dan pembersihan ranjau darat.
3. Operasi pemelihara perdamaian dengan kekuatan militer (generasi Ketiga)
Dalam suatu konflik internal, pertikaian seringkali melibatkan berbagai kekuatan
bersenjata di suatu negara, baik antara pasukan pemerintah melawan gerilyawan
bersenjata, atau antara faksi-faksi bersenjata yang saling memperebutkan
kekuasaan melalui kekerasan. Dalam mengatasi konflik-konflik internal, pasukan
operasi pemelihara perdamaian PBB seringkali digelar disuatu negara atau
wilayah yang tidak atau belum terdapat perdamaian.

Pada dasarnya, pasukan pemelihara perdamaian PBB yang digelarkan di wilayah
manapun dibekali peace rationale dengan pengertian bahwa misi mereka adalah
untuk memelihara perdamaian hingga tercapainya penyelesaian politik atas
konflik yang tengah terjadi. Namun, dalam konflik-konflik internal tertentu,
pasukan PBB bertugas pula untuk memulihkan perdamaian yang belum tercipta,
dan mereka dihadapkan pada pertikaian bersenjata antara faksi-faksi yang
dilandasi oleh war rationale yaitu upaya untuk saling mengalahkan pihak lawan
melalui perjuangan bersenjata. Menghadapi situasi seperti ini, operasi pemelihara
perdamaian PBB dinilai akan sulit mencapai keberhasilan yang diharapkan jika
hanya bersandar pada upaya-upaya politik dan diplomatik untuk membawa pihakpihak yang bertikai duduk di meja perundingan. Oleh karena itu, PBB mulai

menyusupkan unsur peace enforcement rationale dalam operasi-operasi
pemelihara

perdamaian

dalam

menghadapi

situasi

konflik

sejenis

itu.

Pertimbangan pokoknya adalah bahwa pihak yang bertikai dinilai tidak akan
secara sukarela melakukan dialog dan perundiangan damai, sehingga perdamaian
perlu dipaksakan oleh PBB melaui tekanan oleh kekuatan militer pasukan operasi

pemelihara perdamaian. Selain itu, kekuatan militer tersebut diperlukan guna
melindungi para pasukan PBB yang seringkali dijadikan sasaran tindak kekerasan
oleh salah satu faksi yang bertikai. Dengan demikian, 3 prinsip dasar pergelaran
operasi pemelihara perdamaian yaitu persetujaun pemerintah atau pihak terkait,
netralitas dan tidak menggunakan kekuatan militer kecuali membela diri, mulai
ditinggalkan karena sudah menggunakan kekuatan militer dalam mengupayakan
tercapainya perdamaian.
4. Operasi pemelihara perdamaian oleh Pasukan Multinasional
Dalam melaksanakan misinya yang berlandaskan pada kekuatan militer atas dasar
bab VII Piagam PBB (generasi ketiga), operasi pemelihara perdamaian lebih
sering mengalami kegagalan daripada keberhasilan dalam mengemban mandat
yang diberikan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, khususnya dalam
mengatasi konflik internal di suatu negara seperti UNOSOM di Somalia dan
UNAMIR di Rwanda. Beberapa sebab kegagalannya antara lain adalah kurang
memadainya jumlah kontingen, peralatan pasukan, logistik, sumber dana dalam

menjalankan misinya. Hambatan tersebut terutama dikarenkan sulitnya mencari
negara-negara penyumbang pasukan pasukan yang bersedia sepenuhnya
mengirimkan personilnya ke negara lain dengan misi melaksanakan perdamaian
melalui kekuatan militer.

Hambatan-hambatan dalam operasi dengan kekuatan militer tersebut akhirnya
mendorong PBB, dalam hal ini dewan Keamanan, untuk mengambil kebijakan
baru yaitu dengan memberikan kewenangan kepada negara-negara anggota PBB
atai organisasi regional untuk membentuk suatu operasi pemelihara perdamaian
oleh pasukan multinasional, apabila misi yang akan dijalankan memerlukan
penggunaan kekuatan militer.
Perbedaan utama dari operasi pemelihara perdamaian PBB dan pasukan
multinasional terdapat pada jalur komando dan kontrol pasukan yang digelar.
Dalam operasi pemeliharaan PBB, setiap tindakan dilapangan berada dibawah
komado Sekjen PBB atas dasar kewenangan yang diberikan Dewan Keamanan
PBB. Sedangkan dalam pasukan multinasional, setiap tindakan dilakukan atas
dasar komando satu atau lebih negara anggota PBB yang tergabung dalam koalisi
pasukan tersebut. Kewenangan memberikan komando tersebut didasarkan pada
mandat yang diberikan Dewan Keamanan PBB kepada pasukan multinasional
untuk menggunakan kekuatan militer guna mencapai tujuan-tujuan sesuai dengan
yang tertuang dalam resolusi Dewan Keamanan terkait. Perbedaan lainnya adalah
bahwa jika dalam operasi pemelihara perdamaian PBB, semua pasukan
menggunakan baret dan bendera nasionalnya masing-masing. Selain itu, biaya
bagi pasukan PBB dibebankan pada anggaran PBB sementara pasukan
multinasional dibiayai oleh dana dari negara-negara penyumbang pasukan dan
sering pula ditambah dari sumbangan negara-negara anggota PBB secara sukarela
(trust fund).

Sejak tahun 1948 hingga 1999, sebanyak 48 operasi pemelihara perdamain telah
digelar oleh PBB di berbagai penjuru dunia yang mencakup lebih dari 750.000 pasukan.6

6

United Nations Handbook 1999, New Zealand Ministry of Foreign Affairrs and Trade Wellington, 1999,
p. 59 dalam Boer Mauna, ibid, hlm 563

Personil militer, polisi dan sipil yang bertugas dalam pasukan pemelihara perdamaian
PBB tersebut berasal dari 110 negara termasuk Indonesia. Setelah melaksanakan misinya
selama 40 tahun, pasukan pemelihara perdamaian PBB memperoleh hadiah Nobel
Perdamaian pada tanggal 29 September 1988. Pemberian hadiah Nobel tersebut didasari
atas keberhasilan dan dedikasi pasukan pemelihara perdamaian dalam melaksanakan misi
yang berbahaya dan yang menuntut keterampilan khusus demi tercapainya perdamaian. 7
Meskipun istilah pasukan pemelihara perdamaian tidak terdapat dalam Piagam
PBB, namun demikian tidak berarti kita dapat mengasumsikan bahwa keberadaannya
tidak sesuai dengan semangat PBB terutama dalam hal menjaga perdamaian dan
keamanan internasional. Secara praktik, pasukan pemelihara perdamaian PBB telah
memberikan kontribusi nyata dalam hal memelihara perdamaian dan keamanan
internasional.
Satu hal yang jelas, hingga sekarang belum ada instrumen hukum internasional
yang mengatur secara khusus mengenai keberadaan pasukan pemelihara perdamaian,
bahkan dapat dikatakan bahwa kodifikasi hukum internasional mengenai pengaturan
pasukan pemelihara perdamaian PBB masih sangat kurang. Negara-negara Amerika Latin
seperti Brazil pernah mengusulkan agar pengaturan mengenai keberadaan pasukan
pemelihara perdamaian dimasukan didalam Piagam PBB, dalam “Bab 6 1/2” ditempatkan
diantara metode penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI) dan metode penyelesaian
sengketa dengan menggunakan kekuatan bersenjata (Bab VII).8
Sarjana hukum terkemuka seperti Merrills, berpendapat bahwa pasukan
pemelihara perdamaian telah menjadi subjek dari berbagai cabang ilmu hukum
internasional9. Selanjutnya pembahasan mengenai pasukan pemelihara perdamaian akan
kita fokuskan kedalam kaitan pasukan pemelihara perdamaian dengan beberapa rezim
cabang hukum internasional yang berlaku. Sekurang-kurangnya ada tiga cabang hukum
internasional yang relevan apabila dikaitkan dengan pasukan pemelihara perdamaian;
pertama hukum penyelesaian sengketa internasional, kedua hukum organisasi
internasional dan yang ketiga hukum humaniter internasional.
7

Departemen of Public Information, United Nations Security Council, New York, 1989, p.18 dalam Boer
Mauna, ibid, hlm 564
8
Robert C.R. Siekmann, op cit, hlm 4
9
J.G. Merrills, International Dispute Settlement, Third Edition, Cambridge University Press, 1998, hlm
238

1. Aspek Hukum Organisasi Internasional dalam Pasukan Pemelihara Perdamaian
Suatu organisasi internasional yang dibentuk melalui suatu perjanjian dengan
“instrumen pokok” apa pun akan memiliki suatu personalitas hukum dalam hukum
internasional. Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan organisasi
internasional itu dapat berfungsi dalam hubungan internasional, khususnya kapasitas
untuk melaksanakan fungsi hukum seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan
suatu negara atau mengajukan tuntutan dengan negara lainnya.
Guna mencapai tujuannya sebagai suatu kesatuan internasional, organisasi
internasional harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan semua tugasnya secara
optimal, hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran kenapa organisasi
internasional semisal PBB harus memiliki personalitas hukum, termasuk mempunyai
kekebalan dan keistimewaan.
Dalam hal pembentukan organisasi internasional seperti PBB pada waktu
merumuskan Piagam dalam konfrensi Internasional mengenai Organisasi Internasional di
San Fransisco pada bulan April 1945, tidak secara khusus dicantumkan masalah
personalitas hukum kecuali termuat dalam Pasal 104 Piagam PBB, yaitu bahwa badan
PBB jika perlu dapat memiliki kapasitas hukum di wilayah setiap negara anggotanya
dalam rangka melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan badan tersebut.10 Dalam
hubungannya dengan keistimewaan dan kekebalan dari badan PBB, Piagam dalam Pasal
105 (1) menyatakan bahwa PBB memiliki personalitas secara terpisah. Kekebalan dan
keistimewaan tersebut dinikmati karena benar-benar diperlukan dalam rangka
melaksanakan tujuan-tujuan PBB, sedangkan Pasal 105 (2) mencantumkan bahwa para
wakil-wakil negara anggota akan menikmati keistimewaan dan kekebalan yang
diperlukan untuk melaksanakan fungsi mereka secara bebas dalam hubungannya dengan
PBB.
Perkembangan selanjutnya mengenai kekebalan dan keistimewaan PBB terdapat
dalam General Convention on Privileges and Immunities of the United Nations 1946.
General Convention 1946 adalah hasil kerja keras Majelis Umum dalam hal merinci
keistimewaan dan kekebalan PBB. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan mengenai
10

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, UI PRESS, Jakarta 1990, hlm 105

kekebalan milik dan aktiva lainnya terhadap proses hukum, tidak diganggu gugatnya
gedung-gedung dan arsip-arsip, hak untuk membekukan dana, membuka giro dan
memindahkan dana secara bebas, pembebasan pajak langsung, bea cukai dan pembatasan
impor serta ekspor barang-barang untuk keperluan dinas, pelayanan bagi komunikasi
resmi, dan hak menggunakan jasa kurir. Selain itu diatur pula kesitimewaankeistimewaan khusus seperti imunitas dari penangkapan dan kebebasan untuk bergerak
termasuk perlindungan hukum atas tindakan yang dilakukan dan perkataan yang
diucapkan dalam kapasitas jabatannya.
Selanjutnya sebagaimana kita ketahui bersama, PBB terdiri dari badan-badan
utama seperti Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan
Perwalian, Mahkamah Internasional dan Sekretariat, semuanya mempunyai wewenang
sendiri dan tiap-tiap badan tersebut juga mempunyai sub-sub badan yang disebut badan
subsider.11 Pasukan pemelihara perdamaian yang merupakan bagian dari PBB (biasanya
lahir dari Resolusi

Dewan Keamanan dan berada dibawah pengawasan Sekretaris

Jenderal) secara otomatis akan menikmati kekebalan dan keistimewaan sebagaimana
yang diatur dalam General Convention 1946.

Permasalahan yang selanjutnya

mengemuka adalah pengaturan mana dalam General Convention 1946 yang selanjutnya
menjadi justifikasi bahwa pasukan pemelihara perdamaian mendapatkan kekebalan dan
keistimewaan yang sama dengan badan subsider PBB lainnya? Pertanyaan ini penting
karena General Convention 1946 sendiri tidak pernah menyebutkan Pasukan Pemelihara
Perdamaian masuk kedalam kategori pihak yang mendapat kekebalan dan keistimewaan
PBB, meskipun ketika beroprasi dilapangan pasukan pemelihara perdamaian selalu
mendasarkan kekebalan dan keitimewaan yang dimiliknya dijamin oleh General
Convention 1946.
Jawaban dari pertanyaan tadi akan kita dapat dengan membandingkan antara
General Convention 1946 dengan UNEF I SOFA12 (United Nations Emergency Forces I
Status of Forces Agreements). General Convention 1946 membedakan pihak-pihak yang
11

loc cit
Robert C.R. Siekmann, op cit, hlm 8, SOFAs adalah sebuah acuan kerja (frame work) yang berbentuk
perjanjian antara PBB dengan negara penerima, PBB dengan negara-negara pengirim pasukan, termasuk
mengenai ketentuan-ketentuan untuk mengatur pasukan dilapangan (Force Regulation). Pada
perkembangannya Sekertaris Jenderal telah membuat sebuah Model SOFAs yang menjadi acuan bagi
setiap pembentukan pasukan pemelihara perdamaian (UN Doc. A 45/594 of 9 October 1990)

12

berhak mendapatkan kekebalan dan keistimewaan kedalam tiga kategori yaitu: ‘The
Representatives of Members’ (Pasal IV), ’Officials’ (Pasal V) dan ’Experts on Missions
for the United Nations’ (Pasal VI). Kategori yang pertama (‘The Representatives of
Members’) tidak berkaitan dengan masalah yang sedang kita bahas, yang dimaksud
dengan ‘The Representatives of Members’ pada kategori pertama adalah perwakilan dari
badan utama atau badan subsider PBB ketika berada dalam suatu Konferensi
internasional.
Kategori yang kedua ‘Officials’, Pasal V (17) General Convention 1946 mengatur
bahwa Sekretaris Jendral wajib melaporkan nama-nama warga negara dari negara
anggota yang namanya menjadi ‘Officials’ PBB kepada pemerintah negara yang
bersangkutan secara berkala termasuk memberikan laporan kepada Majelis Umum PBB.
Sekretaris Jendral juga wajib mengeluarkan UN laissez-passer kepada para ‘Officials’
agar diterima oleh para penguasa di Negara anggota sebagai dokumen yang sah.
Selain mendapat kekebalan dari jurisdiksi perdata dan pidana, beberapa
keistimewaan ’Officials’ diatur dalam Pasal V (18) yaitu:
a. pengecualian pajak terhadap pendapatan yang bersumber dari PBB
b. kekebalan dari pembatasan imigrasi
c. keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing dalam
kapasitas mereka sebagai perwakilan dari negara pengirim yang sedang berada di
negara penerima
d. keistimewaan untuk mengimpor perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk
melakukan tugas mereka tanpa melalui bea cukai
e. kebebasan untuk melakukan perjalanan dan keistimewaan dari pengaturan passport
dan visa
Meskipun demikian, keistimewaan dan kekebalan yang diberikan oleh General
Convention 1946 hanya dipergunakan untuk kepentingan para ”Officials” sepanjang
berkaitan dengan tugas mereka sebagai representasi dari PBB dan melarang dengan tegas
penggunaan keistimewaan dan kekebalan untuk kepentingan pribadi.
Pengaturan mengenai kategori yang ketiga ”Experts on Mission for the United
Nations” terdapat didalam Pasal VI (s-f), beberapa keistimewaan yang mereka miliki
diantaranya:

1. tidak boleh diganggu gugatnya dokumen-dokumen
2. hak untuk menggunakan kode PBB dan hak korespondensi
3. fasilitas yang sama mengenai mata uang, kebebasan berkomunikasi sepanjang
diperuntukan demi kelancaran tugas mereka dalam kapasitasnya sebagai ahli PBB
4. kekebalan dan keistimewaan yang diperuntukan bagi barang-barang bawaan, tas
pribadi yang diperlakukan sama seperti perwakilan diplomatik
Sama dengan pengaturan kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada ”Officials”,
pengaturan mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada ”Experts on
Mission for the United Nations” juga hanya diperuntukan bagi kelancaran tugasnya dan
tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi.
Dari beberapa penjelasan

mengenai ketentuan diatas, selanjutnya kita akan

melihat juga pengaturan pasukan perdamaian PBB yang terdapat dalam UNEF I SOFA,
pengaturan tersebut diantaranya menyebutkan bahwa pasukan pemelihara perdamaian
PBB mendapatkan keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1. pengecualian pajak terhadap pendapatan (selain berasal dari PBB pendapatan
kontingen nasional pasukan pemelihara perdamaian juga berasal dari negara asalnya)
2. kekebalan dari pembatasan imigrasi
3. keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing dalam
kapasitas mereka sebagai perwakilan dari negara pengirim yang sedang berada di
negara penerima
4. keistimewaan untuk mengimpor perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk
melakukan tugas mereka tanpa melalui bea cukai
5. kebebasan untuk melakukan perjalanan dan keistimewaan dari pengaturan passport
dan visa
Setelah

memperbandingkan

pengaturan-pengaturan

yang

terdapat

dalam

instumen-instrumen hukum internasional tersebut, kita melihat bahwa ada perbedaan
yang sangat signifikan antara Pasal V dan Pasal VI dalam General Convention 1946
(pengaturan mengenai kekebalan dan keistimewaan antara ”Officials” dan ”Experts on
Mission for the United Nations”). Kesamaan diantara keduanya hanya terdapat pada
pengaturan bahwa kekebalan dan keistimewaan yang diberikan hanya dipergunakan
dalam kapasitasnya untuk melakukan tugas dan tidak untuk kepentingan pribadi.

Perbandingan berikutnya adalah antara Pasal V General Convention 1946 dengan
UNEF ’I’ SOFA pada bagian pengaturan mengenenai keistimewaan, tampak terlihat
sekali bahwa pengaturan keistimewaan pada Pasal V General Convention 1946
diterapkan pada keistimewaan yang terdapat dalam pasukan pemelihara perdamaian
secara mutatis mutandis. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tendensi yang kuat yang
menyamakan pasukan pemelihara perdamaian kedalam kategori kedua pihak yang
mendapat kekebalan dan keistimewaan dalam General Convention 1946, yaitu
”Officials”.
Dalam perkembangan berikutnya pengaturan mengenai keistimewaan yang
terdapat dalam UNEF ’I’ SOFA ini telah diterima bahkan ditiru dan dijadikan model bagi
operasi-operasi pemelihara perdamaian berikutnya (misalnya UNFICYP SOFA`s). Rezim
hukum organisasi internasional telah meletakan pasukan pemelihara perdamaian sebagai
bagian dari ”Officials” PBB dan berhak mendapatkan keistimewaan dan kekebalan.13

2. Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional dalam Pasukan Pemelihara
Perdamaian
Sebagaimana diketahui tujuan utama PBB adalah untuk memelihara perdamaian
dan keamanan internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut PBB akan mengambil
langkah-langkah bersama secara efektif guna mencegah dan menghindari ancaman
terhadap perdamaian di samping untuk menghentikan tindakan agresi atau pelanggaran
lainnya terhadap perdamaian dan mengusahakan penyelesaian melalui cara-cara damai,
sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan hukum internasional.
Untuk mewujudkan tujuan itu, PBB diberikan kewenangan sesuai dengan Bab VII
Piagam untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu, termasuk membentuk
pasukan internasional apabila penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai tidak
berhasil. Perkembangan pengaturan pasukan dibawah bendera PBB ini telah mengalami
banyak perubahan sejak pasukan pemelihara perdamaian generasi pertama, hingga
lahirnya pasukan multinasional sebagai suatu bentuk solusi penyelesaian sengketa
internasional dengan penggunaan senjata. Hukum internasional sendiri, di dalam
keadaan-keadaan tertentu memberi hak kepada suatu negara untuk melakukan intervensi
13

Ibid, hlm 131

kepada negara lain. Keadaan ini memang merupakan pengecualian dan keadaan-keadaan
itu diantaranya:14
1. intervensi kolektif sesuai dengan piagam PBB;
2. untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan, serta keselamatan jiwa
warga negaranya di luar negeri;
3. pembelaan diri, jika intervensi diperlukan untuk melenyapkan bahaya serangan
bersenjata yang nyata dan mengancam
4. dalam menangani urusan sebuah protektorat yang berada di bawah dominionnya
5. jika negara yang mengalami intervensi itu telah jelas melakukan pelanggaran
terhadap hukum internasional terutama menyangkut negara yang melakukan
intervensi, misalnya jika negara itu sendiri melakukan intervensi dengan
mengenyampingkan kaidah-kaidah hukum internasional.

Pelaksanaan hak-hak khusus untuk melakukan intervensi dalam menyelesaikan
sengketa ini haruslah ditempatkan di bawah kewajiban utama negara-negara sesuai
ketentuan dalam Piagam PBB. Dengan demikian, kecuali Piagam PBB memberi izin,
intervensi yang dilakukan tidak sampai ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara manapun15
Dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional untuk
menyelesaikan suatu sengketa, PBB memiliki empat kelompok tindakan, secara umum
empat kelompok tindakan tersebut adalah:16
1. Preventive Diplomacy
Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa
di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan
suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis
Umum, atau oleh organisasi-organisasi regional bekerja sama dengan PBB.
2. Peace Making
14

J.G. Starke, op cit, hlm 91
Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB mewajibkan semua anggotanya untuk menjauhkan diri dari tindakan
mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara lain
dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan PBB
16
Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York: United Nations, 1992, hlm 12 dalam Huala
Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2004, hlm 95-97
15

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk
saling sepakat, khususnya melalui cara-cara damai seperti terdapat dalam Bab VI Piagam
PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada di antara tugas menvegah konflik dan menjaga
perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba membawa para
pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara-cara damai.
3. Peace Keeping
Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam memelihara
perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB
mengirimkan personel militer, polisi PBB, dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya
militer, namun mereka bukan pasukan perang atau angkatan bersenjata (angkatan perang)
4. Peace Building
Peace Building adalah tindakan mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur yang
ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan
berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik.

Menurut Bab VII Piagam, Dewan Keamanan dapat menjatuhkan sanksi kepada
negara-negara anggota PBB dalam 3 hal, yaitu : Pertama, jika suatu negara melakukan
tindakan yang mengancam perdamaian; Kedua, jika suatu negara melanggar perdamaian;
dan Ketiga, jika suatu negara melancarkan agresi terhadap negara lain. Selanjutnya
Dewan Keamanan memutuskan bahwa ada suatu tindakan negara yang mengancam
perdamaian, melanggar perdamaian, dan agresi, Dewan Keamanan dapat mengambil
tindakan-tindakan pemaksaan sebagaimana ditentukan dalam Bab VII Piagam, mulai dari
penjatuhan sanksi ekonomi sampai dengan penjatuhan sanksi militer.
Menurut pasal 41 Piagam, Dewan Keamanan PBB dapat menentukan langkahlangkah tanpa menggunakan kekuatan militer agar keputusannya dapat dijalankan, dan
dalam hal ini Dewan Keamanan juga dapat menyerukan kepada semua anggota PBB
untuk menentukan langkah-langkah, antara lain; pemutusan hubungan ekonomi,
komunikasi udara, laut, kereta api, radio dan komunikasi lainnya baik sebagian maupun
seluruhnya serta pemutusan hubungan diplomatik. Selanjutnya apabila sanksi yang
diberikan dirasakan masih belum memadai, tidak efektif ataupun masih tidak ditaati,
maka Dewan Keamanan dapat mengambil tindalan militer baik melalui darat, laut dan

udara jika dipandang perlu demi terpeliharanya serta pulihnya perdamaian dan keamanan
internasional. Tindakan tersebut dapat berupa demonstrasi, blokade dan operasi militer
baik melalui udara, laut, dan darat yang dilakukan oleh negara-negara anggota
sebagimana ditentukan dalam Pasal 42 Piagam yaitu:
“Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41
would be in adequate or have proved to be inadequate, it may take such action by
air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international
peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other
operations by air, sea or land forces of Members of the United Nations”
Jadi Pasal 42 Piagam memberi kemungkinan penggunaan kekuatan bersenjata
oleh Dewan keamanan untuk menegakan keputusannya. Untuk dapat melakukan tindakan
penggunaan kekuatan bersenjata terlebih dahulu harus dibentuk Armed Force (pasukan
bersenjata). Upaya yang ditempuh oleh Dewan Keamanan PBB selanjutnya adalah
membentuk pasukan pemelihara perdamaian.
Meskipun sampai saat ini penyelesaian sengketa melalui kekuatan bersenjata
masih menjadi perdebatan, akan tetapi fakta mengenai keberadaan pasukan pemelihara
perdamaian sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa internasional tidak
terbantahkan.

3. Aspek

Hukum

Humaniter

Internasional

dalam

Pasukan

Pemelihara

Perdamaian
Aspek hukum internasional terakhir yang terkait dengan keberadaan pasukan
pemelihara perdamaian menurut penulis adalah hukum humaniter internasional. Alasan
mengapa hukum humaniter internasional sangat berkaitan dengan keberadaan pasukan
pemelihara perdamaian adalah bahwa dalam melaksakan tugasnya, pasukan pemelihara
perdamaian tidak jarang diterjunkan pada suatu kondisi pertikaian

bersenjata yang

menuntut mereka untuk mengangkat senjata (berperang). Terlebih lagi untuk beberapa
pertikaian bersenjata yang melibatkan banyak aspek (multidimensi), pasukan pemelihara
perdamaian terkadang harus merubah karakternya dari pasukan yang bersifat ”defensif”
menjadi pasukan yang bersifat ”ofensif” dan ketika itu perang menjadi suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter selanjutnya mencoba untuk mengatur agar
suatu perang dilakukan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Menurut Jean Pictet, hukum humaniter adalah:17
”International humanitarian law in the wide sense is constitusional legal
provision, whether written and costumary, ensuring respect for individual and his
well being”
Sedangkan Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional
dengan mengadakan pembedaan antara:18
The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan:
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian
b. Pendudukan wilayah lawan
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;
Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup:
a. Metode dan sarana berperang
b. Status kombatan
c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil

Hukum humaniter internasional mengenal beberapa prinsip atau asas penting, satu
diantaranya adalah prinsip pembeda (distinction principle). Prinsip ini membedakan atau
membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam
konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yakni Kombatan (Combatant) dan Penduduk
Sipil (Civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang
tidak turut dalam permusuhan.19
Perlunya pembedaan sangat penting ditekankan, dikarenakan prinsip ini ditujukan
sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik
bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota
angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata.20

17

Jean Pictet, The Principles of International Law, dalam Haryo Mataram, Hukum Humaniter, C.V.
Radjawali, Jakarta, 1994, hlm 15
18
Arlina Permanasari et.,al., Pengantar Hukum Humaniter, International Committee Of The Red Cross,
Jakarta, 1999, hlm 9
19
Haryo Mataram, op cit, hlm 63
20
Arlina Permanasari et.,al., op cit, hlm 74

Konvensi Jenewa 1949 tidak secara rinci menjabarkan mengenai siapa-siapa saja
yang menjadi kombatan dan siapa-siapa saja yang menjadi penduduk sipil. Konvensi
hanya memberikan ciri-ciri umum yang kemudian dipergunakan untuk mengkategorikan
mana Kombatan dan mana Penduduk Sipil. Ciri-ciri dari Kombatan menurut Konvensi
Jenewa 1949 yaitu:21
1. Memiliki pemimpin yang bertanggungjawab atas bawahannya
2. Mengenakan tanda tertentu yang dapat dikenali dari jarak jauh
3. Membawa senjata secara terbuka
4. Dalam beroperasi mematuhi hukum dan kebiasaan perang

Selanjutnya pasukan pemelihara perdamaian dapat saja digolongkan kedalam
kategori kombatan karena mereka telah memenuhi semua ciri diatas. Alasan pasukan
pemelihara perdamaian dapat dikategorikan kedalam kombatan adalah:
1. Memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya
Dalam menjalankan misi perdamaian, pasukan pemelihara perdamaian PBB selalu
dibentuk dengan memperhatikan hierarki struktur yang ada pada sebuah struktur militer
pada umumnya. Pasukan pemelihara perdamaian biasanya dipimpin oleh seorang Special
Representative/Commander

yang

ditunjuk

oleh

Sekertaris

Jendral.

Special

Representative/Commander ini kemudian akan mengkordinasikan semua kegiatan
pasukan pemelihara perdamaian dilapangan termasuk memberikan laporan secara berkala
kepada sekretaris jenderal dan dewan keamanan PBB.
2. Mengenakan tanda tertentu yang dapat dikenali dari jarak jauh
Dalam melaksanakan tugasnya, pasukan pemelihara perdamaian berhak menggunakan
tanda-tanda dan bendera PBB. Tanda ini harus terlihat secara jelas pada anggota pasukan
termasuk juga pada kendaraan-kendaran PBB. Tanda ini kemudian membuat pasukan
pemelihara perdamaian PBB dikenal juga sebagai ”blue helmet”. Penjelasan mengenai
tanda tertentu yang dapat dikenali dari jarak jauh terdapat juga dalam penjelasan
mengenai pasukan pemelihara perdamaian yang dijelaskan oleh Profesor Diehl, yaitu:22

21
22

Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 I dan II
N.D. White, op cit, hlm 239

“Millitary members of the UN Peacekeeping, including vehicles, vessels and
aircraft of the UN Peacekeeping operation shall carry a distinctive United
Nations identification, which shall be notified to the Government”
3. Membawa senjata secara terbuka
Peacekeeping forces also have the distinguishing feature of being lightly armed. A
typical peacekeeping soldier is equipped only with a rifle 23
Konvensi Jenewa 1949 tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai senjata dengan jenis dan
spesifikasi seperti apa yang harus dimiliki oleh Kombatan, karena jika disebutkan
membawa senjata secara terbuka, meskipun hanya senjata ringan, maka pasukan
penelihara perdamaian juga telah memenuhi salah satu kriteria ini. Meskipun demikian
pada perkembangan selanjutnya, pasukan pemelihara perdamaian tidak saja membawa
senjata ringan, tetapi mereka juga dilengkapi dengan senjata berat dan kendaraankendaraan perang, semua itu ditujukan semata-mata untuk menegakan perdamaian dan
keamanan internasional.
4. Dalam beroperasi mematuhi hukum dan kebiasaan perang
Dalam beroperasi, pasukan pemelihara perdamaian juga diharuskan mematuhi hukum
dan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada saat berperang. Meskipun pasukan pemelihara
perdamaian tersusun dari kontingen militer beberapa negara, akan tetapi mereka juga
mempunyai kewajiban untuk menghormati ketentuan-ketentuan hukum internasional
terkait dengan kegiatan mereka dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan
internasional. Pada bulan November 1961 ICRC mengirimkan memorandum kepada
semua negara peserta Konvensi Jenewa 1949 dan kepada semua negara anggota PBB
terkait dengan pembentukan kekuatan bersenjata oleh PBB yang menegaskan bahwa
ketentuan-ketentuan mengenai hukum humaniter harus diaplikasikan oleh negara-negara
yang terlibat dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB:
“…expressed that the provisions of humanitarian law were applied by all
contingents and by the UN Command (‘United Command’) 24
Penjelasan lain mengenai penggolongan kombatan juga terdapat dalam instrumen hukum
humaniter yang lain yaitu Protokol Tambahan 1977 Pasal 43 yaitu:

23
24

loc cit
Robert C.R. Siekmann, op cit, hlm 129

1. The armed forces of a Party to a conflict of organized armed forces, groups and
units which are under a command responsible to that Party and units which are
under a command responsible to that Party for the conduct of its subordinates,
even if that Party is represented by a government or an authority not recognized
by an adverse party. Such armed force shall be subject to an internal disciplinary
system which, inter alia, shall enforce compliance with the rule of international
law applicable in armed conflict
2. Members of the armed forces of a Party to a conflict (other than medical personel
and chaplains covered by Article 33 of the Third Convention) are combatants,
that is to say, they have the right to participate directly in hostilities
3. Whenever a Party to a conflict incorporates a paramilitary or armed law
enforcement agency into its armed forces it shall so notify to the other Parties to
the conflict
Ketentuan Pasal 43 diatas secara tegas menentukan bahwa mereka yang dapat
digolongkan sebagai Kombatan adalah mereka yang termasuk kedalam pengertian armed
forces (angkatan bersenjata), dan mereka yang termasuk kedalam pengertian angkatan
bersenjata itu adalah “mereka yang memiliki hak untuk berperan serta secara langsung
dalam permusuhan”. Mereka terdiri atas: angkatan bersenjata yang terorganisasi
(Organized armed forces), kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah
suatu komando yang bertanggung jawab atas tingkah laku bawahannya kepada Pihak
yang bersangkutan, meskipun Pihak tersebut diwakili oleh suatu penguasa yang tidak
diakui oleh pihak yang menjadi lawannya, dengan ketentuan bahwa angkatan bersenjata
itu harus tunduk kepada suatu disiplin internal yang berisikan, antara lain, pelaksanaan
ketentuan yang berlaku dalam konflik bersenjata. Ketentuan Protokol Tambahan 1977 ini
menjadi suatu perkembangan yang revolusioner Karen atidak lagi ada pembedaan
perlakuan antara tentara reguler, tidak ada lagi ketentuan khusus yang berlaku bagi
mereka yang tergolong bukan tentara reguler.25
Penjelasan mengenai pengaturan pasukan pemelihara perdamaian yang juga
menjadi objek yang diatur oleh hukum internasional sangatlah penting, ini dikarenakan
hokum humaniter internasional selanjutnya akan memberikan sejumlah hak yang akan
mereka terima dan sejumlah kewajiban yang harus mereka kerjakan. Pembatasan hak dan
kewajiban ini akan menjadi ketentuan yang mengatur pasukan pemelihara perdamaian
dalam melakukan tugas-tugasnya dilapangan.
25

Arlina Permanasari et.,al., op cit, hlm 86

C. Kesimpulan dan Saran
Keberadaan pasukan pemelihara perdamaian sebagai sebuah cara untuk
menyelesaikan sengketa dewasa ini telah mengalami berbagai macam perkembangan.
Meskipun belum ada instrumen hukum internasional yang secara jelas mengatur mereka,
akan tetapi sebagai sebuah pasukan yang tersusun dari kontingen yang terdiri dari
berbagai macam bangsa mereka tetap terikat dengan beberapa rezim hukum
internasional.
Meskipun pasukan pemelihara perdamaian bukan pasukan supra nasional, akan
tetapi sebagai bagian dari PBB, maka dalam melaksanakan tugasnya mereka dilengkapi
dengan sejumlah keistimewaan dan kekebalan. Urgensi dari pemberian keistimewaan dan
kekebalan ini tidak lain berdasarkan pertimbangan untuk mempermudah dan melindungi
mereka ketika bertugas dilapangan. Pasukan pemelihara perdamaian juga diwajibkan
untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum humaniter
internasional, tegasnya mereka juga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
Selanjutnya dirasakan perlu adanya suatu instrumen hukum internasional yang
secara khusus mengatur mengenai keberadaan pasukan pemelihara perdamaian. Hal ini
dimaksudkan agar terdapat sebuah peraturan yang jelas mengenai batasan hak dan
kewajiban termasuk dalam hal pemberian kekeblan dan keistimewaanmereka ketika
bertugas dilapangan. Selain itu, instrumen hukum khusus ini juga dirasakan perlu
dikarenakan resolusi-resolusi yang melahirkan pasukan pemelihara perdamaian dapat
menimbulkan beberapa permasalahan hukum seperti mengenai batasan mandat dan
kewenangan pasukan dalam menjalankan tugasnya dilapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Arlina Permanasari et.,al., Pengantar Hukum Humaniter, International Committee Of
The Red Cross, Jakarta, 1999
Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2003
Haryo Mataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2004
J.G. Merrills, International Dispute Settlement, Third Edition, Cambridge University
Press, 1998
J.G. Starke, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth, London 1989
N.D. White, Keeping the Peace, Manchester University Press, Manchester 1997
Robert C.R. Siekmann, National Contingents in United Nations Peacekeeping Forces,
Martinus Nijhoff Publishers, 1991
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, UI PRESS, Jakarta 1990

Dokumen:
Charter of the United Nations 1945
General Convention on Privileges and Immunities of the United Nations 1946.
United Nations Emergency Forces “I” Status of Forces Agreements 1956
Konvensi Jenewa 1949 & Protokol Tambahan 1977