KELEMAHAN SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM TERH

KELEMAHAN SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP BURUH MIGRAN IMPLIKASINYA DENGAN
TERJADINYA TRAFFICKING
(Kajian Socio-Legal Maraknya Trafficking di Kalimantan Barat)
Yenny AS, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak
Abstract
In general, Indonesian labors who are working in a broad are getting angry easily, because they
have less education and do not understand what their rights. Because of these problems,
Indonesian labors are easily exploited as victim of human trafficking like doing dirty works and
getting mininntm pay. Illegal labors who did not have any document which are needed for
working in a broad would get less protection in law.
Key words: Labors, trafficking, illegal, document.
A. PENDAHULUAN
Keterpurukan dan krisis ekonomi telah mendorong arus migrasi Tenaga Kerja Indonesia
ke luar negeri. Ketika krisis ekonomi berlangsung, perusahaan-perusahaan yang bergantung pada
modal asing pun berjatuhan dan terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibatnya terjadi
gelombang PHK besar-besaran dan tingkat pengangguranpun kian melambung.
Untuk berkelit dari kemiskinan dan proses pemiskinan semacam itu, sebagian orang yang
memilih tetap tinggal di pedesaan mengembangkan pekerjaan baru di luar bidang pertanian,
seperti pedagang kecil, penjahit, sopir dan kernet angkutan pedesaan, tukang ojek, dan lain-lain.

Sebagian lainnya, melakukan migrasi ke kota-kota besar untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) di luar negeri. Kaum migran, baik yang mengisi sektor informal di perkotaan maupun
yang menjadi TKI, disamping kemudian mengalirkan nilai bahkan ekonomi kepedesaan,
sesungguhnya mereka juga meninggalkan banyak persoalan berupa perubahan sosial yang tidak
selalu berdimensi positif di desa asal mereka.
Demikian halnya di Kalimantan Barat, secara geografis merupakan daerah yang
berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, sehingga Kalimantan Barat menjadi salah satu
wilayah tempat tujuan transit unruk bekerja ke luar negeri bagi masyarakat Indonesia, baik
penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan, maupun penduduk yang berasal dari luar
Kalbar, umumnya yang didatangkan dari berbagai daerah di Jawa.
Bertumpuknya pengangguran di dalam negeri, membuat harga buruh migran Indonesia di
pasar tenaga kerja menjadi semakin murah. Mereka pada akhirnya hanya menjadi bulan-bulanan
kekuasaan modal dan majikan. Upah murah, jam kerja panjang, kondisi kerja buruk, PHK
sewenang-wenang, kekerasan, pelecehan seksual, berbagai bentuk eksploitasi, dan trafficking
menjadi issu yang mencuat.
Realitas menunjukkan, dalam melakukan migrasi tersebut tidak selalu Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) mendapatkan apa yang mereka harapkan, bahkan dapat dikatakan seringkali
terjadi eksploitasi terhadap mereka baik selama masih ada di Indonesia maupun setelah di negara
tujuan dan juga setelah sampai kembali di tanah air. Eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia bukan
merupakan hal yang baru. Kasus-kasus perburuhan (pelanggaran kontrak kerja, upah di bawah


standar, upah tidak dibayar), kasus kekerasan fisik, psikis dan seksual, tenaga kerja yang tak
berdokumen, dan sebagainya, seperti tak pernah berhenti dialami Tenaga Kerja Indonesia.
Praktek perdagangan manusia (trafficking) terjadi mulai awal perekrutan di daerah asal,
persiapan pemberangkatan di penampungan, selama berada di luar negeri, sampai pulang
kembali ke daerah asal, berdasarkan amatan hal ini dipengaruhi faktor-faktor pendorong dan
penarik. Faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan trafficking ini adalah akibat dari
berbagai tekanan ekonomi yang dialami berbagai kelompok masyarakat, adanya akibat karakter
masyarakat sosial yang susah untuk dirubah, sehingga menjadikan psi mereka bahwa orang yang
berada di luar negeri dapat me rai penghasilan tinggi dan m< .pi kebutuhannya. Faktor lain itu
pendidikan yang rendah, ga menjadikan posisi buruh migr, Lm kondisi rentan dan menjadi an
trafficking.
Mencuatnya eksploitasi ap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) rut menandakan kebijakan atau
‘Isi pemerintah selama ini kurang I ak kepada Tenaga Kerja In ia. Padahal sumbangan devis,, KI
tidaklah sedikit. Peran TK ng signifrkan secara ekonomi t it, tidak diimbangi oleh peran huh ng
responsif terhadap ap perkembangan seputar perim an TKI.
Oleh karena itu kebijak; an pengaturan yang responsif dan rif dalam rangka mengak< :si
kepentingan perlindungan r ‘ap Tenaga Kerja Indonesia yang is ke luar negeri mutlak dil n.
Regulasi hukum yang ya mengedapan ketertiban as memperhatikan upay; va perlindungan bagi
para TKI ra empinik akan banyak m ui rintangan, bahkan terkesan mane

Hingga saat ini, arah ke m pemerintah yang berkenaan m penanganan TKI masih belun s,
khususnya dalam hal perlindunl m advokasi terhadap TKI yang bei di luar negeri. Masih banyak
kas :I yang meninggal dunia dan d hukuman mati, korban tra, dengan berbagai bentuk
memperlihatkan kinerja yang lamban dari diplomasi dan advokasi perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri.
Di tingkat peraturan, regulasi yang dilahirkan lebih banyak mengatur kelancaran
mekanisme operasional ketimbang upaya perlindungan. Dalam posisi tersebut, Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) sebagai institusi swasta yang bekerja langsung pada operasional
penempatan, memanfaatkan kondisi tersebut dengan melakukan proses perekrutan dan
penempatan yang tidak terkontrol. Hal ini terus menerus terjadi karena mekanisme pengawasan
dan evalusi dari Depnakertrans tidak berlangsung secara efektif.
Ironisnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indoensia di Luar Negeri juga terbukti mandul. Padahal undang-undang tersebut
sangat diharapkan oleh para TKI untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Eksploitasi
terhadap TKI seperti upah di bawah standar, gaji tak dibayar, tidak ada waktu libur dan
mengalami berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan, eksploitasi seksual dan korban
trafficking masih terus berlangsung bahkan beberapa diantaranya sampai ada yang meninggal
dunia.
Problematika yang dihadapi Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tersebut
di atas memerlukan penelaahan secara kritis. Bagaimana mekanisme perlindungan hukum bagi

para buruh migran yang bekerja di luar negeri, dalam kaitan dengan implikasinya terhadap
terjadinya trafficking yang semakin marak terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Oleh
karenanya perlu pengkajian mendalam apakah hukum telah menunjukkan peran dan fungsinya
dalam mengatasi persoalan yang menimpa buruh migran tersebut.
Hukum yang baik dan efektif adalah hukum hidup sebagai “inner order” dalam
masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Fenomena itulah yang
membuktikan bahwa penegakan hukum yang baik itu tidak sekedar ditentukan oleh “substansi

perundang-undangannya” nya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh “kultur hukum” warga
masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya.
Selama ini, kita hanya dapat memamerkan rancangan-rancangan (substance), tetapi lebih
banyak berakhir sebagai retorika belaka. Padahal hukum bukan hanya peraturan, tetapi juga
perilaku (dan struktur sosial), sehingga Nonet dan Selznick membenarkan bahwa di dalam
masyarakat transisional seperti Indonesia, tipe hukum yang cenderung dominan adalah tipe
hukum yang otonom yang selalu menonjolkan “prosedural” ketimbang substansi dan rasa
keadilan masyarakat.
B. PERMASALAHAN
Masalah yang hendak dikupas dalam tulisan ini adalah; “Bagaimanakah pelaksanaan
sistem perlindungan hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam
hubungannya dengan maraknya Trafficking di Kalimantan Barat? “

Secara khusus penelitian ini akan mengkaji permasalahan mengenai:
1) Bagaimanakah dimensi masalah yang dihadapi para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di
luar negeri?
2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi belum optimalnya mekanisme perlindungan
hukum terhadap buruh migran dan implikasinya dengan maraknya trafficking ?
3) Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan dalam optimalisasi perlindungan hukum
terhadap buruh migran dan korban trafficking ?

C. ASPEK HUKUM PENTINGNYA PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH MIGRAN
Hingga saat ini, arah kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan penanganan TKI
masih belum jelas, khususnya dalam hal perlindungan dan advokasi terhadap TKI yang bekerja
di luar negeri. Masih banyak kasus TKI yang meninggal dunia dan diancam hukuman mati,
korban trafficking dengan berbagai bentuk. Melandasi pemikiran tersebut, maka Pemerintah
Republik Indonesia melakukan kebijakan formulasi dengan menerbitkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar
Negeri.
Undang-Undang tersebut pada intinya mengamanatkan kepada Pemerintah untuk
memberikan perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat
pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan
penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan

tenaga kerja baik fisik, moral dan martabatnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, disebutkan bahwa ;
“Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu dengan menerima upah”.
Ketentuan tersebut mengisyaratkan untuk dapat dikatakan sebagai TKI adalah harus
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri, yaitu adanya job order dengan negara penerima

dan dilakukan dalam waktu tertentu dengan menerima upah. Kejelasan dalam penempatan TI di
luar negeri menjadi penting dan hal yang prnsip, sebab dalam kenyataan banyak dijumpai
praktek agen-agen tenaga kerja yang sengaja mempekerjakan TKI di tempat-tempat yang tidak
sesuai dengan perjanjian. Penempatan TKI ini penting untuk dipahami, sebagaimana dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, sebagai berikut “Penempatan TKI adalah
kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan
pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keselutuhan proses perekrutan, pengurusan dokumen,
pendidikan dan pelatihan, penampungan persiapan pemberangkatan ke negara tujuan dan
pemulangan dari negara tujuan”.
Oleh karenanya dalam melakukan perekrutan dan penyaluran TKI ke luar negeri setiap

talon TKI perlu mendapatkan perlindungan. Hal mana tertuan di dalam UU. 39/2004 pada Pasal
1 butir 4 nya, bahwa “Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan
calon TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan baik sebelum, selama maupun sesudah bekerja”.
Berkenaan upaya perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri tersebut, maka
menjadi penting di sini adalah terpenuhinya hak-hak TKI, sebagaimana terumuskan di dalam
ketentuan Pasal 8 UU. 39/2004 sebagai berikut :
Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
a. Bekerja di luar negeri.
b. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur
penempatan TKI di luar negeri.
c. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penematan di luar negeri.
d. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.
e. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan.
f. Memperoleh hak, kesempatan dan perlakuan yang sama diperoleh tenaga kerja asing lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan.
g. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas
tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar

negeri.
h. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat
asal.
i. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.
Di samping jaminan perlindungan hak-hak terhadap TKI, UU no 39/2004 juga
mengisyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap calon TKI/TKI, sebagaimana
terumuskan di dalam Pasal 9 nya sebagai berikut :
Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :
a. Menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan.
b. Menaati dan melaksanakan pekerjaannyasesuai dengan perjanjian kerja.
c. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
d. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan dan kepulangan TKI kepada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai
dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat dan kemampuan. Penempatan TKI tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, Penempatan TKI
tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, perlindungan
hukum, pemerataan kesempatan kerja dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan

kepentingan nasional.
Sebelum melakukan penempatan calon TKI/TKI maka diantaranya terlebih dahulu
dilakukan kegiatan pengurusan Surat Izin Pengerahan, proses perekrutan, pendidikan dan
pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji kompetensi,
pembekalan akhir pemberangkatan; dan pemberangkatan.
Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI, sekurangkurangnya tentang tatacara perekrutan, dokiunen yang diperlukan, hak dan kewajiban calon
TKI/TKI, situasi, kondisi dan resiko di negara tujuan dan tata cara perlindungan bagi TKI.
Untuk dapat menjadi TKI yang bekerja di luar negeri, harus memenuhi persyaratan,
diantaranya persyaratan umum sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Nomor 3 9/2004 antara
lain :
a. Ben (del, calo pad< seku (dua Seh, c. Tidacalo:d. Berp lulus Pert: sede Sela,
mengatuditempat harusmeliputi a Kart pent atau
b. Sura perk men nika Sura isterid. Serti
e. Sura; hasil psikc
f. Pasp Kant
g. Visa
h. Perja perja penei calon kewa dalar nega unda.sekurang-kurangnya 18 )elas) tahun kecuali
bagiyang akan dipekerjakan .;ngguna perseorangan