Puasa Dan Hidup Dalam Keharmonisan Denga (1)

Tobat dan Hidup Harmoni Dengan Alam
*Oleh Yakobus Sila*
Gereja Katolik Indonesia menggagas tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2008 di
bawah tema:” Kesejatian Hidup dalam Pemberdayaan Lingkungan”. Tema ini lahir
sebagai tanggapan dan sikap keberpihakan Gereja terhadap realitas kerusakan lingkungan
yang semakin memprihatinkan. Sikap tanggap gereja ini menunjukkan adanya
penghargaan gereja terhadap alam ciptaan. Bencana alam berupa gempa bumi, tsunami,
banjir, tanah longsor, gelombang laut yang tinggi, angin kencang, dan lain-lain menjadi
bukti disharmonisasi alam-lingkungan. Isu perubahan iklim global melahirkan problem
yang mendesak bagi umat manusia untuk segera mengatasinya.
Menurut laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), dampak
pemanasan global terjadi per satu derajat Celsius, dan kenaikan rata-rata suhu dunia
dalam rentang 1-5 Derajat Celsius. Untuk Indonesia, antara tahun 1970 sampai dengan
tahun 2004 terjadi kenaikan rata-rata antara 0,2-1 derajat Celsius. Kenaikan suhu tersebut
dapat mengkaibatkan; pertama, penurunan produksi pangan yang mengakibatkan
kelaparan. Kedua, peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai. Ketiga,
peningkatan kasus gizi buruk dan diare. (www.pelangi.or.id/press.php?persid =80).
Kenyataan ini menuntut tanggapan serius dari manusia sebagai penghuni bumi yang
sering bertindak ‘tidak ramah’ terhadap lingkungan.
Relasi Manusia dan Alam
Kerusakan lingkungan tidak terlepas dari tindakan manusia. Realitas penebangan

pohon secara liar (illegal logging) merupakan faktor yang turut menentukan terjadinya
bencana alam. Karena itu manusia mesti membaharui relasinya dengan alam.
Hemat saya, ada dua relasi yang mesti diperbaiki dan dibangun kembali. Pertama,
relasi dominasi atas alam. Dalam relasi ini manusia melihat alam sebagai objek yang
mesti dieksploitasi. Manusia berperan sebagai subyek yang berkuasa. Dengan
menggunakan sarana teknologi yang diciptakan, manusia telah menghancurkan alam
kehidupannya sendiri. Kedua, pengabaian terhadap ke-sakral-an alam. Dalam relasi ini
manusia tidak menghiraukan kesakralan alam sebagai kosmos yang teratur. Dalam
kehidupan masyarakat pra-modern, alam sungguh dipandang sesuatu yang sakral, sebagai
rekan (partner). Bahkan manusia pra-modern mengatur ‘jadwal’ hidupnya sesuai dengan
keadaan alam, atau hidup selaras alam. Alam dipandang sebagai ibu yang melahirkan dan
menyediakan makanan bagi anak-anaknya. Kehidupan manusia pra-modern sangat
ditentukan oleh keadaan alam. Manusia pra-modern sungguh menghormati alam dan
memandangnya sebagai sesuatu yang sakral. Karena itu, untuk menebang pohon di hutan,
mereka mesti membuat ritus. Ritus dibuat untuk memohon persetujuan dari sang
‘pemiliki’ yang menghuni hutan tertentu. Permintaan melalui ritus mau menunjukkan
penghargaan mereka terhadap sesuatu yang sakral, pemilik dan penghuni hutan tersebut.
Di sini, alam tidak dipandang hanya sebagai kumpulan benda-benda, benda organis dan
anorganis yang dengan mudah ditindas. Alam dalam masyarakat pra-modern dipandang
sebagai yang memiliki penghuni yang tak kelihatan. Alam itu sesuatu yang sakral.

Mereka merasakan kehadiran sang pemilik kehidupan itu. Dia memang tak kelihatan
tetapi dapat dirasakan.

Rasionalitas orang modern dalam konteks ini menemui jalan buntu, ketika bencana
bertubi-tubi ‘menghantam’ dunia huniannya. Manusia modern dengan peralatan yang
serba canggih tidak sanggup ‘membatalkan’ bencana yang datang silih-berganti. Dunia
manusia menjadi tempat yang tidak lagi menjadi ‘home’, lingkup hidup yang aman dan
damai. Dunia kemudian menjadi tempat yang paling menakutkan. Bencana alam berupa
banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami menjadi ketakutan tersendiri bagi manusia
yang sudah merasa berdosa di hadapan alam. Dengan demikian, hemat saya manusia
modern mesti lebih mengandalkan kearifan lokal (local genius) dalam melihat dan
memperlakukan alam.
Puasa menjadi kesempatan bagi orang-orang katolik untuk bertobat. Ajakan untuk
bertindak ramah terhadap lingkungan berlaku bagi semua orang, karena semua kita
menghuni bumi yang sama. Manusia yang sudah lama ‘berdosa’ terhadap alam mesti
mengambil jarak (distansi). Pengambilan jarak ini memungkinkan manusia untuk melihat
serentak menata kembali relasinya dengan alam yang kian tidak harmonis. Usaha
membaharui hubungan manusia dengan alam, mesti dilakukan melalui beberapa sikap.
Pertama, penyadaran (konsientisasi) dalam ranah konseptual. Manusia modern sering
memakai konsep ‘dominasi atas alam’ sebagai dasar yang melegitimasi tindakannya

terhadap alam. Di sini alam melulu dilihat sebagai objek yang mesti diperas dan
dihabiskan. Tindakan seperti ini hanya akan merendahkan martabat alam yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Kedua, melakukan
tindakan konkret. Setelah manusia menyadari eksistensi alam, manusia mesti mengambil
langkah-langkah konkret untuk mengatasi kerusakkan lingkungan. Gerakan menanam
seribu pohon yang sudah dimulai mesti menjadi langkah maju untuk mengatasi
perubahan iklim global. Namun kegiatan itu mesti melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, terutama warga yang belum memahami dampak dari perbuatannya
(baca:merusak lingkungan). Ketiga, langkah konkret di atas dapat berjalan dengan baik
bila pemerintah lebih proaktif. Sikap pemerintah yang proaktif akan menjadi suatu ajakan
yang sangat berarti bagi masyarakat. Sikap proaktif ini merupakan sikap pemerintah yang
sanggup menyadarkan masyarakat, karena tidak sedikit masyarakat yang belum sadar
lingkungan. Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya sosialisasi menjadi faktor yang
turut mengaburkan pemahaman masyarakat akan pentingnnya lingkungan hidup.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari keharmonisan hubungannya dengan alam.
Keempat, Merekonsiliasi relasi dengan alam. Bagaikan seorang pendosa dan pelaku
kejahatan, manusia mesti memulihkan hubungannya dengan alam. Karena itu, tobat dan
puasa tidak hanya menjadi kesempatan memulihkan hubungan dengan Tuhan dan sesama
tetapi juga relasi dengan alam. Kelima, manusia mesti memandang bumi sebagai kosmos
yang teratur. Kosmos adalah suatu keteraturan yang sudah ditetapkan sejak awal.

Keserakahan manusia telah mengganggu dan ‘membuat tidak seimbang’ alam yang
harmoni itu. Alam yang harmonis itu sudah menjadi tidak seimbang lagi.
Ketidakharmonisan itu berakibat pada terjadinya bencana alam. Alam tidak lagi bergiat
sebagaimana mestinya. Alam menjadi tidak harmonis lagi. Gangguan ini telah
menimbulkan perubahan musim, bencana banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Bagaimana Harus Bertobat?
Manusia mesti bertobat dari perbuatannya terhadap alam, karena alam sudah
menunjukkan ‘kemarahannya’ terhadap manusia, lewat berbagai bencana alam yang

terjadi. Pertobatan manusia mesti berawal dari rasa bersalah. Manusia mesti merasa
bersalah setiap kali ia bertindak tidak ramah terhadap alam. Manusia mesti merasa
bersalah, pada setiap kali ia menebang pohon dan menggundulkan hutan. Perasaan
bersalah inilah yang mengganggu manusia. Perasaan bersalah ini penting karena perasaan
itu lahir dari kesadaran nurani manusia. Hanya manusia yang bernurani yang sanggup
merespons setiap perasaan bersalah. Namun bagi mereka yang sudah imun dengan
tindakan kekerasan terhadap alam, perasaan itu mesti disadarkan dan ditumbuhkan
kembali. “Dalam tobat yang benar orang tidak lagi berorientasi ke masa
lampau, tidak lagi mengharapkan batalnya kejahatan atau kesalahan
yang telah terjadi, tetapi mengambil keputusan untuk masa depan.
Seseorang baru bertobat jika dia dengan kesadaran penuh

memutuskan untuk tidak lagi melakukan kesalahan atau kejahatan
sejak saat dia memutuskan untuk bertobat. Tanpa keputusan itu, dan
tanpa tekad untuk melaksanakan keputusan itu, tobat belum terjadi,
meski seorang meratapi perbuatannya selama berhari-hari”. (bdk.
Ignas Kleden, Fenomenologi Tobat dan Politik, Kompas, 13 maret
2007).
Pertobatan yang datang dari nurani manusia itu penting karena ia dapat menyadarkan
manusia untuk tidak lagi ‘berbuat dosa’ terhadap alam. Pertobatan dari dalam hati nurani,
akan menghasilkan efek yang kuat pada kelestarian lingkungan. Orang akan semakin
mencintai lingkungan karena ia sadar betapa pentingnya lingkungan bagi hidupnya.
Setiap orang yang tidak bertobat dan tidak merasa bersalah akan mengulangi
perbuatannya lagi. Kerusakan lingkungan akan bertambah parah, ketika setiap orang
tidak pernah merasa bersalah terhadap setiap tindakannya terhadap alam. Karena itu
bertobat dan merasa bersalah sangat penting dalam usaha manusia memulihkan hubungan
dengan alam. Pada masa tobat ini, orang Katolik tidak hanya memulihkan relasinya
dengan Tuhan dan sesama tetapi juga dengan alam. Bukankah tobat dan rasa bersalah
adalah salah satu cara penanggulangan terhadap bencana alam termasuk ‘bencana
korupsi’?
* Penulis, anggota Kelompok Menulis di Koran Ledalero (KMKL).
Mahasiswa STFK Ledalero.

Tinggal di wisma Rafael.