PEMBANGUNAN NIR HISTORIS Dinamika Rakyat

PEM BANGUNAN NI R-H I STORI S:
Dinamika Rakyat dan Relasinya Dengan Tanah di Papua
Oleh: I Ngurah Suryawan
Abstract

The introduction of development uprooted the Papuans from
their ‘land tied’ culture. Development is which is identical to
modernisation swept away the ‘land tied’ culture of the Papuans
because the culture is considered as primitive. The Papuans
experience transformation when development cut off their
historical relations to the land. This article is meant to elaborate
how the process has caused the Papuans to lose their confidence
and their strength to participate in the social transformation
process. W ithin the context of Papua, their attitudes and lives
reflect their philosophy about land as their source of lives. To
reveal the Papuans’ social transformation process, this article is
based on ethnography and indegenous people’s history research.
Kata kunci: pembangunan, nirhistoris, masyarakat adat, transformasi

“Tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!”
(Tania Murray Li 2010)


Pendahuluan

Dalam perjalanan mengunjungi sebuah kampung di Distrik Arguni
Bawah Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan pelajaran berharga dari
sebuah diskusi di para-para (tempat berkumpul) kampung bersama 4 paitua
(bapak) yang menemani saya ke kebun mereka yang saling berdekatan.
Seorang paitua (bapak) mengungkapkan, “Orang Papua itu belum mampu
kelola hidup. Hutan itu yang hidupi orang Papua. Orang Papua tidak bisa
kelola tanah yang tandus. Bagaimana tong (kita) mau kelola hutan kalau
hutan su (sudah) dijual ke pengusaha.”
M ereka belajar dari pengalaman saudaranya di Aroba, Tofoi,
Furwata dan Tanah M erah Kabupaten Teluk Bintuni yang berbatasan
dengan Kabupaten Kaimana. Hutan-hutan yang terbentang antara Aroba,
Furwata sampai Teluk Arguni Atas sudah habis ditebang karena masuknya

136

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua


perusahaan kayu dan kelapa sawit. M ereka tidak lagi mempunyai hak atas
hutan yang menjadi sumber penghidupan. Pengalaman pahit dari saudara
mereka itulah yang membuat mereka kini berhati-hati menjaga hutan agar
tidak lepas dari kepemilikan adat mereka. “Tong (kita) sekarang tra (tidak)
sembarang jual hutan dan tanah. Bagaimana tong pu (kita punya) generasi
selanjutnya?” tanya seorang paitua (bapak) sambil menunjukkan ke arah
ujung bukit yang mereka sebut dengan jaindab (lokasi matahari turun). 1
Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak kepemilikan
terhadap hutan mereka diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Hal ini
tidak terlepas dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menetapkan
hutan adat adalah hutan negara. Jauh sebelumnya, jika melacak genealogi
kepemilikan tanah di Indonesia dimulai kira-kira pada abad 19, selalu saja
terjadi kontestasi (baca: pertarungan sekaligus negosiasi) antara negara dan
masyarakat. Penetrasi dari perusahaan-perusahaan Trans National
Corporation (TNC) dan gurita kuasa kapital yang bekerjasama dengan
rezim otoritarian dan kapitalistik Orde Baru menggerus jutaan hektar
hutan dan tanah-tanah milik masyarakat adat. Intinya, yang diperlukan
oleh rezim kapitalistik negara yang bekerjasama dengan otoritas negara
hanyalah tanah saja, bukan manusia yang menempati tanah tersebut.

Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua menunjukkan pada
tahun 2006 saja ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4
juta hektar (ha). Dari 65 perusahaan tersebut hanya 15 HPH yang bertahan.
Dengan demikian, sejak awal perusahaan tersebut masuk tentunya melalui
pembebasan lahan dari masyarakat. Eksploitasi atas tanah adat Papua
berlangsung hingga hari ini dan meminggirkan eksistensi masyarakat
Papua. Yermias Degei dalam sebuah artikelnya mengungkapkan bahwa
penduduk Papua, khususnya Suku Amungme dan Kamoro yang berada di
M imika dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial
budaya, politik, dan religious. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel
di daerah Kabupaten M imika yang merupakan daerah keramat orang
Amungme dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena
kepentingan emas, perak, dan tembaga demi sebuah investasi. Sementara di
wilayah adat M alamoi, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain
eksploitasi kayu. Kini hutan alam yang secara turun-temurun menjadi
sumber kehidupan justru menjadi sumber malapetaka yaitu banjir dan

1

Catatan lapangan Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana, 19 Mei 2013.


137

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

longsor.2 Kondisi eksploitasi dan peminggiran eksistensi masyarakat lokal
secara tajam dilihat oleh Tania M urray Li saat menjadi pembicara utama
dalam pertemuan European Association of Asian Studies di Gothenburg
(Swedia) 2010 dengan mengungkapkan: “tanah dibutuhkan, tapi orang
tidak!” dan “sumberdaya manusia dari Jawa didatangkan tanpa pelayaran
balik” (Ramstedt, 2011:42).
Namun kini, orang yang berada di atas tanah/hutan seolah
mendapat angin segar. Akhirnya, perjuangan masyarakat adat yang dikawal
Aliansi M asyarakat Adat Nusantara (AM AN) bersama dua komunitas adat
anggotanya, tercapai. M K (M ahkamah Konstitusi) mengabulkan judicial
review atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini artinya
masyarakat adat memiliki kewenangan atas hutan adat dan tidak ada lagi
status hutan adat adalah hutan negara. Putusan M K itu dibacakan oleh
pimpinan sidang, pada hari Kamis, 16 M ei 2013 di gedung M K, Jakarta.
Dalam keputusannya, M K mengatakan bahwa UU No. 41 tahun 1999

tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. “Hutan adat adalah
hutan yang berada dalam wilayah hukum adat,” tegas Akil.3
Ini tentu saja berita yang sangat mengembirakan. Namun persoalan
baru justru akan muncul seiring dengan berlangsungnya proses
pendaftaran, pemetaan, dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas
wilayah-wilayah hukum adat masing-masing di seluruh Indonesia.
Dinamika dan kompleksitas internal masyarakat adat tentu adalah salah
satu poin penting yang harus dicermati. Politisasi adat untuk kepentingan
para agen atau elit-elitnya susah terbantahkan. Dinamika Otonomi Khusus
dan pemekaran daerah menjadi pentas para elit-elit lokal Papua untuk
memanfaatkan kesempatan ekonomi politik demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Timmer (2007) menunjukkan bagaimana pemekaran sebagai
proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada kontestasi para
pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal menjadi
tuan di atas tanahnya sendiri. Di samping itu perangai elite politik yang
haus kekuasaan semakin menjadi-jadi. Bayangan dari otsus dan pemekaran
daerah adalah melahirkan posisi-posisi baru untuk pegawai negeri,
Lihat artikel Yermias Degei, “Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua” (artikel
tanpa tahun). Yermias Degei adalah sekretaris Lembaga Pendidikan Papua-Education of
Papua Spirit (edPapaS).


2

Lihat juga “Hore!!! Pernyataan Hutan Adat Sebagai Hutan Negara Adalah Inkonstitusional”
http://suaraagraria.com/detail-902-hore-pernyataan-hutan-adat-sebagai-hutan-negaraadalah-inkonstitusional.html#.UfZgf6z67E0 (diakses 29 Juli 2013)
3

138

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

peluncuran anggaran dan proyek semakin menguatkan keinginan dari
pejabat lokal untuk mendukung pemekaran. Akhirnya yang terjadi adalah
arena pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di kalangan
pemerintahan (birokrasi) dan juga sumberdaya alam yang melibatkan
identitas-identitas lokal di tanah Papua. Sisi lain dari Otsus dan pemekaran
menjadikan nasionalisme rakyat Papua semakin subur. Sisi laten dari
nasionalisme Papua adalah pengalaman orang Papua di bawah pemerintah
Indonesia—seperti banjir pendatang, marginalisasi ekonomi, dan tindakan

brutal oknum militer dan politik kepada rakyat Papua—semakin hadir di
depan mata melalui kebijakan Otsus dan pemekaran (Chauvel, 2008;
Laksono, 2009).
Argumen memendekkan rentang kendali pelayanan pemerintah
adalah argumen yang diajukan oleh para elite lokal Papua. Dalam hal ini
ada proses pendekatan oleh politisi lokal Papua kepada pihak pusat di
Jakarta melalui DPR. Dengan diam-diam mereka menerima sogokan uang
dalam jumlah besar, dan kemudian menerbitkan undang-undang
pembentukan unit-unit daerah yang baru. Desentralisasi dan Otsus
memang membuka peluang terjadinya praktik-praktik pemburuan rente
ekonomi-politik yang dipraktikkan oleh sesama elit lokal Papua.
Perpecahan di antara sesama Papua diekspresikan dengan istilah “komin
tipu komin” untuk menunjukkan sesama orang Papua yang baku tipu
(saling menipu) untuk memperebutkan keuntungan ekonomi politik demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya yaitu komunitas adat atau marganya
(Suryawan, 2011). Oleh karena itulah komunitas adat dan kebudayaannya
juga salah kaprah jika dianggap “murni” dari polusi-polusi pengaruh
interkoneksi global yang menyasar kampung-rakyat dengan tempat
(tanah/hutannya) (Laksono 2002).
Artikel ini 4 mendalami bagaimana program-program pembangunan

yang hadir secara massif di Tanah Papua secara pelan tapi pasti
menyingkirkan masyarakat tempatan. Kesatuan masyarakat adat yang
mempunyai relasi historis dengan tanahnya dipaksa menepi karena

Artikel ini sebelumnya adalah makalah dengan judul “Tanah Dibutuhkan tapi Orang
Tidak: Transformasi Masyarakat Adat dalam Perspektif Etnografi dan Sejarah Sosial” yang
dipresentasikan pada Lokakarya “Perwujudan dan Menggagas Kebijakan untuk Pengakuan,
Perlindungan dan Penghormatan Hak-Hak Masyarakat Adat Papua atas Tanah dan
Sumberdaya Alam Berbasiskan pada Pengetahuan dan Hak-Hak Masyarakat Adat Papua”
yang dilaksanakan JESOIL (Jaringan Sosial dan Lingkungan) Manokwari Papua Barat
bekerjasama dengan PUSAKA Jakarta di Manokwari, 5-6 Agustus 2013. Dilakukan berbagai
revisi dan penambahan dalam beberapa bagian.

4

139

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

kehadiran investasi global yang masuk hingga ke rumah tangga mereka.

Banyak kisah tentang masyarakat adat yang kehilangan hutan dan tanah
ulayat mereka karena digunakan oleh perusahaan untuk mencari
keuntungan. Guna memahami relasi antara tanah dengan keberadaan suatu
komunitas, artikel ini mengajukan pendekatan yang memadukan etnografi
dan sejarah kerakyatan. Pendekatan ini memfokuskan perhatian kepada
dinamika dan transformasi yang dialami oleh rakyat dan relasinya dengan
tanahnya dalam usaha mengkonstruksi sejarah dan kebudayaannya.

Pembangunan yang M elumpuhkan

Keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sering diukur dengan
terbentuknya DOB (Daerah Operasional Baru) melalui pemekaranpemekaran daerah. Keyakinannya adalah dengan memekarkan daerah
maka wewenang untuk mengatur wilayahnya sendiri akan lebih besar.
Proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi lebih besar
bagi komunitas-komunitas Papua dan institusi-institusinya. Gagasan lain
dari pemekaran Papua dari Freddy Numberi dan JRG Djopari dalam Pokokpokok Pikiran tentang Pemekaran Provinsi Papua adalah untuk
memudahkan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, peningkatan pelayanan dan pembinaan
kemasyarakatan dan terutama meningkatkan kesejahteraan rakyat
(Hommers, 2003: 18). Tak kalah penting adalah Otsus dan pemekaran

menawarkan bagian yang lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari
proyek-proyek penyerapan sumber daya di Papua, termasuk 70% dari
industri minyak dan gas dan 80% dari usaha-usaha pertambangan. Selain
itu, Otsus melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitaskomunitas pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun (Sumule, 2003; Timmer,
2007: 605). Dengan adanya pemekaran diharapkan pembangunan semakin
berjalan dengan lancar karena rentang kendali pemerintahan sudah
semakin pendek. Pemerintahan baru diharapkan mampu menjadi pelayan
masyarakat untuk menghasilkan perubahan sosial karena introduksi
pembangunan.
Suasana demam pemekaran dan penentuan posisi-posisi penting
dalam birokrasi telah dimulai di 2 kabupaten baru hasil pemekaran
Kabupaten M anokwari, Provinsi Papua Barat yaitu Kabupaten M anokwari
Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak. Para pegawai negeri sipil dan
kelompok elit yang “merasa” berasal dari kedua kabupaten itu berlomba140

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

lomba untuk kembali ke daerah asalnya. Pemetaan dan identifikasi diri
suku-suku “asli” sebagai tuan di daerahnya sendiri pun juga dilakukan pada

masing-masing kabupaten. Elit pemerintahan di kota M anokwari, juga
ramai membicarakan siapa tokoh-tokoh yang berpeluang menjabat sebagai
caretaker bupati dan posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan
pada kedua daerah pemekaran.5 Perdebatan antara para elit ini tentunya
berdasarkan pemahaman bahwa pemekaran adalah untuk “masyarakat
pemilik tanah” sebagai “suku asli” yang menjadi tuan di tanah kelahirannya
sendiri.
Suasana keputusasaan dalam keterhimpitan ekonomi secara
gamblang terlihat di tengah gelimang kekayaan alam yang terus menerus
dieksploitasi. Dana pembangunan puluhan triliyun rupiah dalam skema
Otonomi Khusus seakan tidak berdampak sama sekali terhadap
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan fisik dalam bentuk
gedung-gedung memang terjadi dengan massif. Namun demikian, kualitas
hidup dasar dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masih
sangat memprihatinkan.
Ketika menginjakkan kaki di Kampung W osimo, Distrik Naikere,
Kabupaten Teluk W ondama Provinsi Papua Barat, saya menjumpai kondisi
gedung Sekolah Dasar Inpres Yukuyeda sangat memprihatinkan. Ruang
guru hanya diikat dengan tali bambu dan kursi-kursipun sudah mulai
lapuk. Yang lebih mencengangkan saya adalah sudah hampir 2 bulan, 4
guru yang bertugas tidak kembali untuk mengajar anak-anak Kampung
W osimo yang sebelumnya dikenal dengan nama W ombu. Beberapa anakanak saya temui menghabiskan waktu dengan bermain. M ereka yang saya
temui menceritakan bahwa temannya ikut orang tua bekerja di kebun.
Bangunan Pustu (Puskesmas Pembantu) yang jaraknya tidak jauh
dari SD Inpres Yukuyeda setali tiga uang. Jalan menuju Pustu ditumbuhi
rerumputan yang tinggi. Bangunan Pustu pun tampak lengang. Sama sekali
tidak tampak pelayanan kesehatan. Bangunan dibiarkan kosong dan
masyarakat hanya berharap mendapatkan pelayanan kesehatan jika turun
ke kota W asior. “Pustu ini su lama tra dipakai. Katanya pindah ke tempat
lain,” ungkap seorang warga Kampung W osimo. Sementara sekolah dan
Pustu tidak berfungsi, kehadiran perusahaan kayu yang membelah Distrik

Lihat “Diusul jadi Caretaker, Dominggus Mandacan: Itu bukan Rahasia Lagi” dalam Tabura
Pos, 2 Februari 2013 dan “I su Pergantian Caretaker Pegaf dan Mansel, Keliru “ dalam
Tabura Pos, 7 Februari 2013.

5

141

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

Naikere dengan pembangunan jalan-jalan berlangsung dengan massif.
Pelabuhan lokasi perusahaan dipenuhi dengan kayu-kayu besar dan alatalat berat yang sudah membabat habis hutan masyarakat adat. 6
Pembangunan dan investasi yang masuk ke kampung jelas
memerlukan tanah untuk mendirikan infrastruktur fisik sebagai salah satu
wujud pembangunan selain pembangunan sumber daya manusia di lokasi
pembangunan itu sendiri. Hadirnya pembangunan tentu membawa
kesadaran dan pemahaman baru bagi masyarakat lokal. Bertemunya ide
baru pembangunan dengan kehidupan masyarakat lokal mendatangkan
berbagai implikasi. Cara pandang program pembangunan terhadap
masyarakat bertemu dengan cara pandang masyarakat melihat
pembangunan. Dalam bahasa Laksono (2002:383), perspektif pembangunan
yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru adalah sebagai perubahan yang
dikehendaki dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan
tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai
“keterbelakangan”. Salah satu hal yang dianggap keterbelakangan dan
dipandang sebagai penghalang proses pembangunan atau modernisasi
adalah kebudayaan tradisional komunitas tempatan. Dengan demikian,
pembangunan itu identik dengan kesadaran baru yang hadir dan diterima
lepas dari budaya tempatan.
Pembangunan yang ditanamkan oleh negara merasuk dalam
kesadaran masyarakat tempatan bukan sebagai sintesa proses historis
budaya-budaya tempatan, tetapi lewat daya pikat citra sukses
pembangunan di negara-negara industri maju yang didukung kekuatan
modal. Lambat laun tapi pasti, tergusurnya masyarakat tradisional tidak
semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian budaya tradisional
masyarakat tempatan, tetapi juga merupakan soal hilangnya pribadi dan
rasa percaya diri masyarakat tempatan dan juga masyarakat Indonesia pada
umumnya (Laksono 2002:384).
Dalam konteks Tanah Papua, Giay (1996) dengan tajam merinci
berbagai asumsi-asumsi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan
di tanah Papua. Ia menjelaskan munculnya anggapan bahwa orang Papua
tidak punya kebudayaan sehingga harus diberikan “adat” dan kebudayaan
baru. Perspektif seperti ini terdorong dari rezim kolonisasi yang berniat
menguasai tanah jajahan bersama dengan seluruh sumberdaya yang berada
Catatan lapangan di Kampung W osimo, Distrik Naikere, Kabupaten Teluk W ondama,
Provinsi Papua Barat, 6-7 September 2013.

6

142

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

di dalamnya. Di tanah Papua, rezim kolonial Belanda datang dan membuka
lahan-lahan baru sebagai tempat orang Belanda untuk menetap. M ereka
menganggap tanah Papua ini luas, subur, dan juga kosong karena
penduduknya tidak memiliki tanah ulayat. Rezim kolonial ini bebas
menguasai tanah dan menempatkan orang-orangnya hidup tanpa mengakui
hak-hak bangsa pribumi yang telah hidup bersama tanah dan leluhur
mereka jauh ssebelum kedatangan mereka.
Dari perspektif bangsa pribumi, hadirnya penjajah kolonial Belanda
dianggap sebagai penyerbu ke daerah leluhur mereka. Hal inilah yang
kemudian melahirkan gerakan-gerakan perlawanan seperti gerakan “Pamai
Jacadewa” di sekitar Jayapura (Kamma, 1995; Giay, 1996). Konteks ini
secara jelas menunjukkan bahwa sebelum masuknya agama samawi
(Kristen, Katolik, dan Islam) yang perkembangannya pesat di Papua telah
terdapat “agama lokal” yang dianut dan dipercayai masyarakat dalam
bentuk penyembahan terhadap para leluhur dan roh-roh yang diwujudkan
dalam bentuk patung-patung dan benda-benda keramat. M asuknya agama
akhirnya menghilangkan “agama lokal” ini dan juga memberangus bendabenda penyembahan yang dianggap oleh agama sebagai penyembah
berhala dan faham animisme. Ungkapan “zaman kegelapan” sering dipakai
oleh para penyebar agama untuk menunjukkan belum hadirnya agama dan
kehidupan “beradab” pada masyarakat Papua karena banyak terjadi Honge
(perang suku) dan pelenyapan satu manusia dengan manusia yang lain.
M asuknya injil ke tanah Papua juga menafikan kepercayaan lokal
yang ada sebelumnya dan dipercayai oleh masyarakat setempat. Para
penginjil datang ke sebuah daerah dengan dengan membawa agama baru
mengkotbahkan Allah sang pencipta dan melihat dari cara pandang mereka
bahwa masyarakat setempat berada dalam “kegelapan” dan harus diterangi.
Namun dalam kenyataannya masyarakat setempat mengira bahwa para
penginjil (orang barat) datang ke daerah mereka untuk “mencari Sang
Pencipta yang telah menjadi objek penyembahan suku mereka dan bukan
mengkotbahkan Sang Pencipta sebagaimana yang diyakini oleh para
penginjil ini (Giay, 1995). Ini dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat
setempat telah mempunyai kepercayaan sebelumnya yang “ditiadakan”
oleh para penginjil. Namun dari perspektif mereka, kepercayaan tersebut
harus diganti dengan agama.
Begitu juga yang terjadi dengan pandangan dan sikap politik. Giay
(1995, 1996) mengungkapkan salah satu pandangan yang dominan pada

143

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

tahun 1960-an adalah munculnya organisasi perlawanan rakyat Papua yang
disimplifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi OPM (Organisasi Papua
M erdeka) karena pengaruh dari Belanda. Namun kenyataannya, sejarah
perlawanan orang Papua telah berperang melawan penjajah Belanda.
Orang M ee di Paniai memberontak dan menentang penjajah beberapa kali
mulai dengan Pemberontakan Kebo tahun 1938, Perang Agadide tahun
1953, dan Perang Obano tahun 1956. Hal ini secara jelas menunjukkan
bahwa sejarah perlawanan Orang Papua jauh ada sebelum OPM berdiri dan
dilakukan untuk menentang penjajahan Belanda. Perlawanan ini
dilanjutkan dengan perlawanan terhadap kekerasan yang dipraktikkan oleh
aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua.
Berbagai ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hadirnya “rezimrezim baru” dalam berbagai wujudnya di Tanah Papua sering kali
mengabaikan atau alpa mengakui pengetahuan dan sejarah masyarakat
lokal yang telah mempunyai ikatan sejarah dengan tanah, lingkungan,
sosial budaya, dan berbagai nilai dan norma yang lahir dan hidup bersama
kehidupan mereka. Kehadiran pembangunan sebagai kesadaran baru justru
membuat kesadaran untuk bermimpi tentang keberhasilan dan
kesejahteraan yang dilihat dari wilayah-wilayah lain, bukan dari kampung
sendiri. Hal yang muncul selanjutnya adalah ketergantungan masyarakat
terhadap program-program pembangunan hingga mereproduksi budayabudaya masyarakat untuk kepentingan ekonomi politik. M asyarakat
tempatan membayangkan kesuksesan pembangunan di wilayah lain yang
seringkali terpisahkan dengan konteks historis dan sosial budaya di
wilayahnya sendiri. Hal lain yang terjadi adalah praktik kolonisasi
kebudayaan yang dipraktikkan oleh kuasa investasi modal beserta
jejaringnya yang menyingkirkan kebudayaan dan masyarakat tempatan.

Kapitalisasi Tanah Adat dan Fragmentasi

M asyarakat tempatan di Tanah Papua mempunyai filosofi dan
pemahaman tentang tanah yang jauh berbeda dengan tanah yang dianggap
sebagai modal (capital) yang bisa diperjualbelikan. Orang M ee yang
menyebut diri mereka “manusia utama” memaknai tanah (M aki) sebagai
mama (Akukai) yang memberikan kehidupan dari tanah maupun manusia.
Jika tanah tidak diperhatikan, maka hubungan manusia, Tuhan, dan alam
itu tidak akan ada. Orang M ee sering menyebut para penjual tanah dengan
Dimi Beu (orang gila atau orang yang tidak mempunyai pikiran). Tanah
144

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

menurut orang M ee juga memiliki klasifikasinya sendiri yaitu tanah yang
sakral, tanah untuk mata pencaharian, dan tanah untuk umum.7
Tanah dalam bahasa M aybrat disebut dengan Tabam. Filosofi tanah
menurut orang M aybrat menggambarkan alam semesta, termasuk di
dalamnya kehidupan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa M aybrat: “Tabam Fo
M saka Ra Msikowah Fe, Anu Ra Oh Bsikowah Bo To” (Dunia/alam semesta
itu tidak merusak manusia tetapi manusialah yang merusak). Oleh karena
itu, kehidupan atau tingkah laku manusia di dunia digambarkan dalam
filosofi tanah (Tabam). 8
Filosofi dari pengetahuan lokal itu sangat berbeda dengan filosofi
pembangunan yang justru melakukan kapitalisasi terhadap tanah. Dalam
konteks yang lebih problematik, pembangunan juga telah menjadi pemicu
perpecahan dan sikap pragmatis—salah satunya terhadap tanah—yang
telah menjalar di tengah masyarakat Papua dan juga Indonesia secara
umum. Berbagai program pembangunan melalui proyek-proyek
berlangsung. Kontraktor-kontraktor pun bermunculan di kampungkampung guna mengakses proyek yang ditawarkan oleh Pemerintah
Daerah. Ini belum termasuk berbagai program-program pembangunan dari
pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dengan berbagai nama
bertajukkan pemberdayaan masyarakat kampung. Masyarakat di kampung
dihadapkan pada situasi banyaknya program pembangunan yang masuk ke
daerah mereka dengan berbagai tawaran dana-dana yang tidak sedikit
jumlahnya.
Suatu hari di pertengahan M ei 2013, di sebuah kampung
pegunungan Distrik Teluk Arguni Bawah Kabupaten Kaimana Papua Barat,
sekelompok masyarakat berkumpul di balai kampung membahas masuknya
program pemerintah bertajuk pemberdayaan masyarakat kampung. Dana
yang akan masuk untuk pembangunan kampung berjumlah ratusan juta
rupiah. M asyarakat mengetahui adanya dana tersebut dari sosialisasi
program pemberdayaan yang dilakukan oleh pendamping distrik dan
fasilitator kabupaten. “Tong pu pikiran “barang ini” (baca: program
pembangunan) masuk su ada dana jadi,” ujar seorang warga mengawali
pembicaraan. M asyarakat berpikir bahwa ketika program-program
pembangunan masuk ke kampung disertai dengan dana, maka pikiran
7
8

W awancara 30 Juli 2013.
W awancara 29 Juli 2013.

145

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

utama adalah bagaimana memanfaatkan dana yang masuk itu sebagai
pekerjaan untuk dibagi-bagi kepada anggota masyarakat. 9
Dalam konteks yang lebih luas di Tanah Papua, keterpecahan
merupakan implikasi yang serius dari intervensi negara (baca: pemerintah
dan aparatusnya) melalui berbagai program pembangunan dan kebijakan
ekonomi politik lainnya. Analisis Broek (1998) mengungkapkan bahwa
fragmentasi (baca: keterpecahan) yang terjadi di tengah masyarakat Papua
mulai mengarah pada kelumpuhan melakukan inisiatif gerakan sosial
keluar dari situasi keputusasaan yang membelenggu. Perbedaan sudut
pandang yang kuat mengarah pada polarisasi (keterpecahan) dalam
masyarakat sehingga memunculkan kubu-kubu yang akan saling
menyalahkan satu dengan yang lainnya.
Secara kasar terdapat tiga kubu yang bertentangan secara keras dan
sangat potensial menimbulkan perpecahan. Pertama adalah kelompok
masyarakat yang ingin mengungkit kembali segala penderitaan selama
bertahun-tahun sehingga menjadi perhatian serius pihak yang berwajib
(kubu HAM ). Kedua, kelompok masyarakat yang terbuka melihat
kemungkinan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya untuk menjadi
jawaban atas aspirasi-aspirasi yang sudah terungkap oleh masyarakat (kubu
otonomi). Ketiga, kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak mau bicara
lagi dan menuntut saja haknya untuk mengatur diri sendiri secara total
(kubu Kemerdekaan).
Kubu otonomi pun mengalami fragmentasi dengan munculnya
kembali
kelompok-kelompok
masyarakat
yang
terus-menerus
memperjuangkan pemekaran daerah. Dengan demikian, inisiatif gerakan
sosial yang semestinya dibangun berdasarkan kesadaran untuk merubah
nasib sendiri akhirnya mengarah kepada motivasi memanfaatkan
kepentingan-kepentingan pragmatis (baca: ekonomi politik) yang
ditawarkan oleh Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran daerah. Otsus
telah memberikan peluang kepada masyarakat Papua untuk (sebenarnya)
memperoleh akses yang besar terhadap peningkatan kehidupan ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan menduduki jabatan posisi-posisi penting dalam
pemerintahan. Pemekaran daerah juga memberikan peluang sangat besar
kepada masyarakat lokal Papua untuk mengambil peranan penting dengan
tujuan utama: penegakan identitas dan martabat rakyat Papua sekaligus
kualitas hidup mereka. Namun, tentu yang terjadi adalah jauh dari harapan
9

Catatan lapangan Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana, 20 Mei 2013.

146

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

memberikan harkat dan martabat kepada masyarakat. Situasi keterpecahan
dan praktik yang dimainkan oleh para elit Papua telah meminggirkan spirit
penegakan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.
Situasi keterpecahan ini salah satunya juga disebabkan oleh gesekan
antara masyarakat adat dan kuasa investasi global. Inilah yang oleh Tsing
(2005) disebut dengan friksi (friction). Di ruang friksi ini terjadi pertemuan
kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam
dan sumber daya manusia di garis depan (frontier) yang mengacu wilayahwilayah terdepan pertemuan kepentingan masyarakat dan eksploitasi
sumber daya yang dilakukan kuasa kapitalisme global. Pertemuan di ruangruang frontier itulah yang menuntut masyarakat tempatan memanfaatkan
peluang, bersiasat dan sekaligus berpolitik. Di dalamnya dijumpai fragmenfragmen yang menunjukkan interkoneksi yang aneh, tak terduga, kreatif,
dan tak stabil. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan,
direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan
pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi
terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat
(berpolitik) yang tiada henti (Suryawan 2011; Laksono 2009).
J.B M angunwijaya (1987; Laksono 2002: 380) dengan sangat tajam
pernah menggambarkan bagaimana baku tikam (saling tikam) terjadi saat
desa kecil dibumi-hanguskan oleh desa besar yang takluk pada kesultanan.
Sementara kesultanan ditelan oleh kekuatan dagang global yang kemudian
menyatu dalam kekuatan negara penjajah. Dalam ungkapan M angunwijaya
dengan kasus M aluku, hubungan sosial yang berkembang seperti hubungan
antara ikan-ikan hiu, ido, dan homa, ikan besar yang memangsa yang lebih
kecil. Ikan hiu adalah ‘gambar miring’ penjajah yang ganas. Sementara ikan
ido atau tuna adalah penguasa pribumi yang tega memangsa homa atau teri
yang sesungguhnya rakyatnya sendiri serta menyerahkan dirinya dimangsa
hiu.

Etnografi dan Sejarah Kerakyatan: M emahami Transformasi M asyarakat
Adat

Untuk menangkap dinamika rakyat Papua dan relasinya dengan
tanahnya sendiri, saya mengajukan pendekatan etnografi dan sejarah
kerakyatan untuk menangkap suara-suara dan bahasa-bahasa masyarakat
adat dengan berbagai macam kompleksitasnya. Kedua pendekatan ini

147

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

menyasar kepada proses pembentukan kebudayaan dan adat (pusat
reproduksi makna) yang dialami dalam keseharian masyarakat. Dalam
usaha pemetaan hak-hak masyarakat adat dan penegakan identitas budaya
masyarakat adat, kedua pendekatan ini sangat tepat dilakukan karena
perpaduan observasi partisipatif dan menggali sejarah sosial (baca:
kerakyatan) masyarakat adat sendiri. Yang jauh lebih penting adalah
keduanya bisa membaca dinamika internal masyarakat adat dan
kompleksitas transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat adat.
Ada baiknya kita memeriksa kembali cara kita memandang
masyarakat adat dan relasinya dengan tanah, hutan dan sumber daya alam.
M eminjam perspektif Scott (1995; Zakaria dan Lounela 2002:7), negara
seringkali melakukan penyederhanaan-penyederhanaan dalam mengelola
dan menetapkan regulasi (aturan) terhadap tanah dan hutan.
Penyederhanaan inilah yang disebut dengan “simplifikasi negara” (state
simplifications) dalam memandang heterogenitas kebudayaan dan
masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah. Proses
penyeragaman atau membuat heterogenitas itu tidak berarti sebagai sebuah
usaha meredam gerakan-gerakan rakyat yang dilakukan oleh negara yang
berkolaborasi dengan kuasa kapital global.
Sejarah relasi historis masyarakat adat dengan tanahnya, dan
hutannya itulah yang harus direkognisi (diakui), digali pengetahuanpengetahuan lokal yang tersimpan di dalamnya, dan direvitalisasi dalam
konteks perubahan sosial yang dialami masyarakat adat sehingga berguna
untuk dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat adat saat ini. M enangkap
kompleksitas relasi historis masyarakat adat dengan tanah/hutannya serta
transformasi sosial yang menimpa masyarakat adatsaat ini, perspektif
penyederhanaan (simplifications) yang dilakukan oleh negara melalui
pendekatan “pembangunanisme” terancam kekurangan bahasa untuk
menangkap “isi hati” masyarakat dan semangat perubahan sosial yang
mereka inginkan.
Saya menawarkan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan
untuk memahami kompleksitas masyarakat adat dalam pemetaan wilayahwilayah adatnya. Pendekatan sejarah kerakyatan yang memulai
argumentasi dari suara-suara rakyat ini mengawali dialognya dengan ilmuilmu sosial bahwa sejarah memerlukan antropologi dan sudah tentu
etnografi untuk mempertajam analisisnya. M embaca ranah kultural,
antropologi dan etnografi menjadi hal yang mutlak untuk diperdalam. Pada

148

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

titik inilah pertemuan terjadi antara sejarah kerakyatan dan etnografi. Hal
lainnya yang juga sangat penting adalah bahwa sejarah kerakyatan
membicarakan suatu peristiwa dari bawah. M enulis sejarah dari bawah
berarti mengisahkan kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang selama ini tidak pernah dijamah oleh sejarah resmi.
Sejarah kerakyatan juga mengangkat derajat aktivitas sehari-hari orang
biasa yang tampak sepele menjadi sejajar dengan kisah-kisah perang besar
dan keputusan-keputusan yang diambil di bangsal agung keraton-keraton
dunia. Secara institusional, sejarah kerakyatan berkembang di luar institusi
resmi pendidikan di universitas, meski ada beberapa sejarawan akademik
yang mulai melek menggunakan sejarah jenis ini. 10
Arti penting keterkaitan sejarah kerakyatan dan etnografi lainnya
adalah seperti yang pernah diperbincangkan oleh Santikarma (2008). Ia
memandang bahwa jejak-jejak kesilaman (sejarah) masih berada di antara
kita sebagai sumber makna sekaligus kendala. Bagi masyarakat, “sejarah”
muncul dalam pengalaman sehari-hari mereka saat membaca dan
menegosiasikan kekuasaan. Kadang sejarah digeser jauh dan kadang juga
sejarah didekatkan sebagai alat perlawanan, tapi tidak pernah begitu saja,
bergerak lurus seiring perjalanan sang waktu. Sebagian dari kita melakukan
kritik terhadap “sejarah resmi” dengan argumentasi sejarah terlalu terlibat
dengan relasi kekuasaan yang menentukan siapa yang berhak bersejarah,
dan narasi kelampauan mana yang diresmikan sebagai kebenaran.
Konstruksi bangunan “sejarah” kadang kala terbangun tanpa
memperhatikan tujuan etis dan politis karena masih terperangkap dengan
bangunan “sejarah” yang dirancang oleh negara. Perspektif sejarah seperti
ini beresiko gagal melihat tragedi kekerasan, seperti misalnya pembantaian
pasca-1965 atau sejarah kekerasan rakyat Papua, teror yang dilakukan tidak
hanya mendiamkan tetapi menciptakan bahasa tersendiri, yang tidak
keluar begitu saja dalam ruang umum, tetapi melekat pada tubuh sosial
atau habitus seseorang. Ekspresinya akan muncul pada saat bernegosiasi
sosial, beperilaku dalam ritual, dan praktik lainnya yang melewati ruang
lingkup bahasa. Ia menciptakan bahasanya sendiri. M elihat situasi yang
sangat kompleks ini, pendekatan sejarah resmi yang lebih mementingkan
dokumen tertulis dan narasi para tokoh-tokoh di pusaran kekuasaan sangat
Saya mengelaborasi perspektif tentang sejarah kerakyatan dari artikel B. Hari Juliawan,
“Sosiologi dan Sejarah: Suatu Jawaban untuk Satu Teka-Teki” (artikel tidak dipublikasikan)
dan beberapa bagian tentang sejarah kekerasan dan penderitaan (memoria passionis) di
buku saya, I Ngurah Suryawan, Jiwa yang Patah (Yogyakarta: Kepel Press dan Pusbadaya
UNI PA, 2012).

10

149

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

besar kemungkinannya gagal menangkap bahasa keseharian para rakyat
yang melekat dalam keseharian dan praktik sosial yang mereka lakukan.
Etnografi menawarkan ruang yang bebas untuk memahami bahasa
dan ingatan rakyat jelata melalui keterlibatan langsung dalam kehidupan
rakyat. Pendekatan etnografi menawarkan kemungkinan yang sangat besar
untuk melihat bagaimana para survivor kekerasan membaca, menulis, dan
hidup dengan “sejarah”. Etnografi identik dengan menggali ingatan rakyat
yang dimaknai sebagai ruang pembebasan dan “sejarah” sebagai alat
kekuasaan. M enggunakan etnografi dalam mengakrabi kekerasan dalam
keseharian rakyat, kita akan tertantang untuk menembus celah-celah
bagaimana teks “sejarah” yang telah diciptakan sebelumnya tidak bisa
dibaca hanya sebagai cermin masa lalu, tetapi harus juga dilihat sebagai
suatu rintangan yang menghalangi dan sekaligus juga membuka makna.
Kelampauan mengambil bentuk tidak hanya dalam bahasa (baca: narasi),
tapi juga tersimpan dalam jejak-jejak dalam lingkungan sosial, sebuah site
of memory yang sudah tentu berbeda dengan monumen-monumen
pahlawan di ruas-ruas jalan yang dibangun oleh negara (Santikarma 2008).
Sejarah dalam menerangkan sebuah peristiwa harus lebih jauh dan
mendalam memperhatikan bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi
sosial, ekonomis, politik, dan kulturalnya. Hanya menceritakan belum
memberikan eksplanasi (penjelasan) secara tuntas dan lengkap. Sejarah
adalah ilmu yang subjektif merupakan suatu konstruk (bangunan,
bentukan) yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sementara
sejarah sebagai suatu yang objektif merujuk kepada kejadian atau peristiwa
itu sendiri (Kartodirdjo 1993). Sementara antropologi adalah ilmu yang
memahami bagaimana manusia berkomunitas dan mereproduksi
(menciptakan) dan membentuk makna-makna yang disebut dengan
kebudayaan.
Kedekatan kerja akademik kedua ilmu ini mendorong terjadinya
kolaborasi yang justru akan memperkaya temuan sekaligus juga membuka
horizon pemikiran pelaku-pelakunya dan tidak terjebak dalam
parokialisme keilmuan (baca: egosentrisme keilmuan). Ada beberapa
perspektif yang saya catat dari tali-temali etnografi dan historiografi ini:
Pertama, konteks dan detail. Sejarah sangat ketat dengan waktu dan
kronologi (urutan peristiwa). Ini hal yang penting untuk antropologi agar
proses kebudayaan yang diteliti tidak ada dan datang dengan sendirinya,
tapi mempunyai konteks sejarah yang panjang. Antropologi dengan

150

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

detailnya, catatan akan fenomena kontemporer yang terjadi, akan
memberikan konfirmasi kepada studi sejarah. Kedua, kekuatan observasi
partisipasi (baca: catatan lapangan/fieldnote) dan oral history (sejarah
lisan). Kedua metode ini sebenarnya saling menguatkan. Antropologi bisa
belajar bagaimana menggali data dengan menggunakan metode sejarah
lisan untuk membuat “sejarah kehidupan” (life history) seseorang dan
meletakkan perannya dalam sebuah pembentukan kebudayaan. Sejarawan
akan mendapatkan data yang kaya dengan melakukan observasi partisipasi
pada jejak-jejak terkini dari penelitian sejarah yang dilakukannya, misalnya
dengan melihat field-site (lokasi peninggalan sejarah) atau melakukan oral
history pelaku sejarah dan memperhatikan kondisi lapangan yang terjadi
sekarang. Ketiga, meletakkan masyarakat sebagai subyek yang bergerak
(dinamis), tidak statis dan menjadi objek. Antropolog dan sejarah secara
bersama-sama membagi alat pengetahuannya (ilmunya) untuk menjadi
media proses transformasi dan gerakan sosial masyarakat.

Kesimpulan

M embaca transformasi sosial rakyat Papua dan relasinya dengan
tanah, perspektif etnografi dan sejarah kerakyatan menjadi penting
peranannya dalam menangkap suara-suara yang berkembang di tengah
masyarakat. Perspektif sejarah kerakyatan mengutamakan narasi-narasi
dari arus bawah rakyat biasa, sedangkan etnografi berusaha untuk
memahami seluk-beluk dinamika yang terjadi dalam masyarakat melalui
observasi yang dilakukannya. Dalam konteks relasi rakyat Papua dengan
tanahnya, ada beberapa catatan yang setidaknya perlu didiskusikan dan
dijadikan kajian lebih lanjut dan dipikirkan untuk selanjutnya melakukan
langkah-langkah praksis (baca: advokasi):
Pertama, dalam konteksnya dengan tanah, orang Papua
memandang bahwa tanah itu adalah kehidupan orang Papua itu sendiri.
Jika tanah dijual atau hilang, maka “terjual” dan “hilang” pula kehidupan
orang Papua. M emang mereka masih bisa hidup dalam keseharian, tapi
relasi historis terhadap tanah yang (dulu) pernah mereka miliki menjadi
hilang. Implikasi yang lebih serius adalah terkait dengan masa depan
kehidupan berkomunitas dan relasinya dengan konstruksi kebudayaan
yang secara total akan berubah. Pada momen inilah transformasi sosial
terjadi dengan hadirnya kuasa eksternal bernama investasi global yang
memutus relasi historis masyarakat tempatan dengan tanahnya. M asyarakat
151

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 136-153

adat adalah pemilik tanah yang secara etnografis dan sejarah membentuk
kebudayaan bersama tanah yang turun temurun ditempati dan mengelola
sumber dayanya secara teratur. Dalam konteks inilah pembangunan
menjadi nir-historis.
Kedua, pemahaman tanah sebagai kapital (modal) adalah hasil dari
proses modernisasi (pembangunan). M omen ini dimanfaatkan oleh aktoraktor lokal dalam masyarakat adat yang berkolaborasi dengan negara dan
investor untuk menipu masyarakat adat agar menyerahkan tanahnya untuk
kepentingan negara atau investor. Tidak jarang, kasus-kasus sengketa
pertanahan mengakibatkan konflik dan kekerasan yang berujung kalahnya
masyarakat adat. Kasus konflik pertanahan bermula dari proses klaim
negara terhadap tanah-tanah rakyat sehingga tanah ulayat diserahkan
kepada negara. Kondisi seperti ini jelas merugikan rakyat yang tidak bisa
mendaku tanah dimana mereka dilahirkan.
Ketiga, mengembalikan tanah kepada rakyat dalam bentuk
pemetaan, pengakuan, dan pengelolaan tanah ulayat harus dipikirkan
dengan matang. Transformasi sosial dan siasat pragmatisme yang melanda
masyarakat adat berpeluang menimbulkan keterpecahan pada tingkat
internal masyarakat adat sendiri. Usaha pemetaan dan kajian atas tanahtanah ulayat masyarakat adat bisa dilakukan dengan pendekatan etnografi
dan sejarah kerakyatan. M elalui 2 pendekatan ini, akan terbaca
kompleksitas internal dan tantangan-tantangan perubahan sosial yang
dihadapi masyarakat adat. Dalam konteks advokasi dan kajian lanjutan,
sangat penad untuk mengajukan pendekatan etnografi dan sejarah
kerakyatan dalam menangkap dinamika relasi rakyat Papua dengan
tanahnya. Pembangunan nir-historis seharusnya diganti dengan
pembangunan yang merekognisi konteks sejarah dan kebudayaan rakyat
dengan tanahnya. Usaha-usaha advokasi setelah melakukan pemetaan dan
kajian didasarkan pada prinsip bahwa gerakan masyarakat adat harus
diarahkan menjadi gerakan-gerakan berbasis isu kelas daripada etnisitas
(Henley dan Davidson 2010:54). Isu-isu kelas maksudnya adalah
melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok gerakan sosial baru
lainnya yang memperjuangkan kelompok minoritas.

Referensi

Broek OFM, Drs. Theo van den. (1998) “Agenda Rekonsiliasi Irian Jaya” dalam
Suara Pembaharuan, 17 September 1998.

152

Pembangunan Nir-Historis:
Dinamika Rakyat Dan Relasinya Dengan Tanah Di Papua

Broek OFM, Drs. Theo van den. (2002) Mengatasi Keterpecahan yang
Melumpuhkan, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura dan LSPP Jakarta,
2002.
Giay, Benny. (1995). “Zakheus Package and His Communities”. Amsterdam: PhD
Thesis Vrije Universiteit
Giay, Benny. (1996). “Pembangunan Irian Jaya dalam Perspektif Agama, Budaya,
dan Antropologi” makalah dalam Simposium Masyarakat dan
Pembangunan di daerah Irian Jaya yang dilaksanakan BPC GMKI
Jayapura.
Henley, David, Jamie Davidson dan Sandra Moniaga (editor). (2010). Adat dalam
Politik Indonesia, Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.
Juliawan, B. Hari, (tanpa tahun). “Sosiologi dan Sejarah: Suatu Jawaban untuk Satu
Teka-Teki” artikel tidak dipublikasikan
Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta: Gramedia.
Laksono, P.M (2002). “Tanpa Tanah, Budaya Nir-Papan, Antropologi Antah
Berantah” dalam Lounela, Anu dan R. Yando Zakaria (editor). (2002).
Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung,
Yogyakarta: Insist, Jurnal Antropologi Indonesia dan Karsa.
Laksono, P.M. (2009). “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu:
Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Oktober 2009.
Lounela, Anu dan R. Yando Zakaria (editor). (2002). Berebut Tanah: Beberapa
Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Yogyakarta: Insist, Jurnal
Antropologi Indonesia dan Karsa.
Ramstedt, Martin dan Fadjar Ibnu Thufail (editor). (2011). Kegalauan Identitas:
Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada masa Pasca-Orde Baru,
Jakarta: PSDR LIPI, Max Planck Institute for Social Anthropology dan
Grasindo.
Scott, James C. (1995). State Simplifications, Some Applications to Southeast Asia.
Amsterdam: CASA.
Suryawan, I Ngurah. (2012). Jiwa yang Patah, Yogyakarta: Pusbadaya Unipa dan
Kepel Press
Suryawan, I Ngurah. (2011). “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika
Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua” dalam Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Volume 15, Nomor 2, November 2011 (140153)
Suryawan, I Ngurah (2013), “Lantunan Spirit Dimi Gai bagi Bangsa Papua” dalam
John Giyai, Memahami Papua: Dinamika Politik Identitas dan Kearifan
Lokal Bangsa Papua. Jakarta: Cermin Papua kerjasama Emudai.
Tsing, A.L. (2005). Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton and
Oxford: Princeton University Press.

153