PERBEDAAN TINGKAT STRES PENGASUHAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL DITINJAU DARI STRATEGI COPING.

(1)

PERBEDAAN TINGKAT STRES PENGASUHAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL DITINJAU DARI

STRATEGI COPING

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu

(S1) Psikologi (S.Psi)

Nafidhotul Khusnah NIM. B07209072

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara tingkat stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak retardasi mental ditinjau dari strategi coping yang digunakan. Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada orang tua yang memiliki anak retar dasi mental dengan berjumlah responden sebanyak 39 orang yang memenuhi syarat dan bersedia tuk menjadi subjek dari penelitian ini. Penelitian ini menggunakan statistik uji-t dengan teknik analsis anova dengan bantuan program SPSS 16for windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara tingkat stres dan strategi coping (Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping) orang tua yang memiliki anak retardasi mental, dimana nilai rata-rata PFC sebesar 77,20 dan EFC sebesar 87,875. Perbedaan nilai rata-rata PFC tersebut relatif rendah dari nilai rata-rata EFC atau terdapat perbedaan stres pengasuhan pada PFC dan EFC. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji independent sample t test, yang menunjukkan nilaihitung yang dihasilkan sebesar -2,318 dengan nilai signifikansi 0,027 (p<0,05)sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang artinya terdapat perbedaan stres pengasuhan ditinjau dari strategi coping (PFC dan EFC).


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

ABSTRAK... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Stres Pengasuhan 1. Pengertian Stres ... 10

2. Pengertian Stres Pengasuhan... 10

3. Penyebab & Akibat Stres Pengasuhan ... 11

4. Aspek-Aspek dalam Pengasuhan ... 13

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan ... 17

B. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping ... 20

2. Bentuk-Bentuk Strategi Coping ... 20

3. Aspek-Aspek Strategi Coping ... 22

4. Faktor-faktor yang MempengaruhI Strategi Coping ... 23

C. Retardasi Mental 1. Pengertian Retardasi Mental ... 25

2. Kriteria Diagnosa Retardasi Mental ... 26

3. Faktor-faktor penyebab Terjadinya Retardasi Mental ... 26

4. Karakteristik Retardasi Mental ... 29

5. Klasifikasi Retardasi Mental ... 30

D. Perbedaan Tingkat Stres dan Coping Stres Ibu yang Memiliki Anak RM ditinjau dari Streategi Coping ... .... 31


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Variabel & Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian ... 36 2. Definisi Operasional ... 36 B. Subjek Penelitian

1. Populasi ... 38 2. Tehnik Sampling ... 39 C. Tehnik Pengumpulan Data

1. Blue Print Strategi Coping ... 42 2. Blue Print Stres Pengasuhan ... 42 D. Uji Validitas

1. Validitas ... 43 2. Reabilitas ... 57 E. Analisis Data

1. Ui Normalitas ... 60 2. Uji Homogenitas ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

1. Tempat Penelitian ... 64 2. Persiapan Penelitian... 64 a. Pelaksanaan Penelitian ... 67 B. Deskripsi Hasil Penelitian ... ٦8 C. Hasil Penelitian ... 79 D. Pembahasan ... ٨ ٢

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 8٩ B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam kehidupan berumah tangga, setiap pasangan tentu mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan serta puncak pemenuhan dari kebutuhan pernikahan mereka (Gargiulo, 1985). Kehadiran anak akan menjadi kebahagiaan ditengah-tengah keluarga dan membawa beragai perubahan bagi keluarga. Perubahan yang mendasar berkaitan dengan status baru sebagai orangtua yang memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mengasuh anak (Akbar, 2008). (Mangungsong Dkk. 1998) mengelompokkan reaksi-reaksi orang tua sebagai berikut: Selain itu hubungan dalam sebuah rumah tangga menjadi semakin komplek karena interaksi tidak hanya terjadi antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak.

Memiliki anak yang terlahir sehat baik secara fisik maupun mental dengan masa depan gemilang merupakan impian dari setiap orang tua. Sebagai calon penerus bagi keluarga, setiap oang tua mendambahkan anaknya memiliki potensi dan prestasi yang bisa membuat kedua orang tuanya bangga, akan tetapi pada kenyataanya tidak semua keluarga dikaruniai anak yang normal. Anak dengan retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.


(10)

2

Fungsi intelektual umum dibawah normal. 2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial. 3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun. Melly Budhiman (dalam markum dkk 1991). Menyatakan fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau skor IQ. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi intelektual berada dibawah normal apabila skor IQ dibawah 70. Anak dengan ciri-ciri tersebut tidak bisa mengikuti pendidikan sekolah biasa karena cara berfikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Penyandang retardasi mental di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Populasi anak dengan retardasi mental menempati angka paling besar dibandingkan jumlah anak dengan keterbatasan lainya. Prevalensi retarsdasi mental. Saat ini diperkirakan 1-3 % dari jumlah penduduk indonesia (sako dan hapsare 2006).

Konsep pemikiran orang tua tentang anak idaman yaitu keturunan yang sehat fisik maupun mental mempengaruhi reaksi orangtua terhadap anak retardasi mental. Reaksi umum yang terjadi pada orangtua pertama kali adalah merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau marah-marah karena sulit untuk mempercayai kenyataan retardasi mental anaknya. Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orangtua. Wall (1993) berpendapat bahwa fenomena dalam masyarakat


(11)

3

masih banyak orang tua yang menolak kehadiran anak yang tidak normal. Orang tua yag demikian akan cenderung menyangkal keberadaan anaknya, dengan menyembunyikan si anak yag mengalami retardasi mental dari lingkungan sosial.

Perasaan stres yang dirasakan orang tua sebagai figur terdekat dalam mengasuh anak retardasi mental akan memaksa orang tua untuk belajar menguasai keadaan atau tekanan yang dirasakannya. Proses yang dilakukan individu dalam rangka penguasaan tekanan dan penyesuaian diri terhadap perubahan serta respon terhadap situasi yang mengancam itula yang dinamakan strategi coping. (keliat, 1999). Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai perubahan kognitif dan perilaku yang berlangsung secara terus menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal atau internal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimiliki oleh individu tersebut.

Menurut Blacher & Baker (dalam Martin & Colbert, 1997) orangtua yang merasa terstigma oleh keterbatasan anak, mengalami kelelahan karena tuntutan pengasuhan tambahan, terisolasi secara sosial, dan terbebani biaya finansial pengasuhan mungkin mengalami kesulitan yang lebih besar. Kondisi seperti inilah yang berpotensi memunculkan stres.

Anak yang mengalami retardasi mental tidak bisa menempuh pendidikan disekolah biasa karena kemampuan intelegensi mereka yang


(12)

4

pengawasan khusus karena kemampuan motorik dan sosial mereka juga mengalami gangguan (Lambert & Wilcox, dalam Larasati 2005). Lebih lanjut Hutt (dalam Larasati 2005) mengatakan bahwa masalah yang juga merisaukan atau menyusahkan orangtua adalah ketika anak tersebut berperilaku mencederai diri sendiri, seperti membenturkan kepalanya, menggingit jarinnya, mengamuk dan mengalami gangguan tidur.

Stres yang dialami oleh figur orangtua dalam mengasuh anak yang berkebutuhan khusus disebut stres pengasuhan, yang didefinisikan sebagai kecemasan dan ketegangan berlebihan yang secara khusus terkait dengan peran orangtua dan interaksi orangtua dengan anak (Abidin, dalam Ahern, 2004). Beban yang merupakan stres ini diperbesar dengan kondisi anak yang mengalami retardasi mental. Menurut Prasadio (1976), keberadaan anak retardasi mental membawa stres tersendiri bagi kehidupan keluarga, termasuk didalamnya trauma psikologik, masalah dalam pengasuhan anak, beban finansial, dan isolasi sosial.

Beban fisik penyebab stres pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat orangtua khususnya ibu harus selalu membantu dan mendampingi anaknya, sedangkan beban psikis yang dirasakan orangtua berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak serta tidak adanya


(13)

5

dukungan dari keluarga. Ditambah dengan beban sosial dengan respon negatif dari masyarakat membuat orangtua yang memiliki anak retardasi mental menjadi menarik diri dari lingkungan sosial (Mawardah, dkk, 2012). Oleh karena itu Prasadio (1976), anak retardasi mental merupakan sumber stres yang cukup besar bagi suatu keluarga, terutama orangtua.

Dalam menghadapi situasi yang stressful, ibu yang memiliki anak retardasi mental perlu mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan atau menghilangkan stressor yang ditimbulkan dari berbagai masalah yang dihadapi. Para orangtua yang memiliki anak retardasi mental membutuhkan perilaku coping yang sesuai, sehingga mereka akan dapat berbuat yang terbaik bagi anak maupun dirinya sendiri. Menuruut Nurhayati (2005) kemampuan setiap individu dalam memilih strategi coping dan mengguanakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus memakai strategi coping yang diperlukan.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa strategi coping yang merupakan respon individu terhadap tekanan yang dihadapi secara garis besar dibedakan atas dua klasifikasi yaitu: problem focused coping (PFC)dan emotional focused coping ( EFC). Problem focused coping atau yang biasa disebut


(14)

6

merupakan usaha yang dilakukan oleh individu dengan cara menghadapi secara langsung sumber penyebab masalah. emotional focused coping atau yang disebut strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada emosi merupakan prilaku yang diarahkan pada usaha untuk menghadapi tekanan-tekanan emosi atau stres yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapi.

B. Rumusan masalah

Apakah ada perbedaan tingkat stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak retardasi mental ditinjau dari strategi coping.

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara tingkat stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak retardasi mental ditinjau dari strategi coping.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi orang lain khususnya bagi pembaca hasil penelitian, antara lain:

a. Manfaat secara Teoritis

Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya psikologi klinis. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber acuan atau bahan pembanding bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa.


(15)

7

b. Manfaat secara Praktis

1. Bagi orang tua

Diharapkan akan memberikan sumbangan kepada orangtua yang memiliki anak retardasi mental untuk berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak dapat dirubah sebagai anugerah yang ditakdirkan tuhan.

2. Bagi peneliti

Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui secara langsung pada objek yang diteliti didalam dengan teori yang diperoleh selama dibangku kuliyah untuk menambah dan memperluas pengetahuan sehingga pengetahuannya dapat diterapkan dalam keadaan konkrit atau nyata.

3. Bagi pihak lain (masyarakat)

Sebagai tambahan pengetahuan, wawasan, dan referensi bagi yang ingin mengembangkan penelitian ini, dan sebagai sumbangan pemikiran dalam menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.

E. Keaslian penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Dwii Widya Ningrum tentang

“Hubungan Antara Optimisme dan Coping Stres pada Mahasiswa yang

sedang menyusun skripsi”. Pada penelitian ini, menggunakan metode


(16)

8

diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil pengolahan data, diketahui bahwa secara umum terdapat hubungan positif tinggi dan signifikan antara optimisme dengan coping stress pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Artinya semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi coping stress, begitu pula sebaliknya rendah optimisme mahasiswa maka semakin rendah coping stress.

Penelitian yang dilakukan oleh Meita Anggraini tentang

“Hubungan antara perilaku coping stres dengan kematangan emosi pada

remaja akhir”. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian

kuantitatif dengan teknik analisa data yang digunakan adalah tehnik korelasi product moment. Dari hasil analisis data penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara perilaku coping stres dengan kematangan emosi pada remaja akhir. Semakin tinggi kematangan emosi maka perilaku coping stresnya semakin efektif. Sebaliknya, semakin rendah kematangan emosi semakin tidak efektif perilaku coping stressnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Bima Adi Prasa tentang “ stres

dan coping orangtua dengan anak retardasi mental”. Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, subjek penelitian adalah orangtua yang berbeda karakter dan latar belakang namun sama-sama memiliki anak retardasi mental. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa coping yang muncul dalam penelitian ini adalah mencari dukungan sosial, pemecahan masalah


(17)

9

yang terencana, kontrol diri, menjauh, penilaian positif, dan menerima tanggungjawab. Yang artinya dalam penelitian ini orangtua lebih banyak menggunakan strategi coping PFC dari pada EFC. dengan adanya tingkat stres yang berbeda maka akan berbeda pula dalam penggunaan atau pengambilan strategi coping yang akan digunakan.

Perbedaan dua penelitian sekarang dengan penelitian yang

terdahulu yakni yang berjudul “hubungna antara optimisme dan coping stres pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi” dan “hubungan

antara perilaku coping stres dengan kematangan emosi pada remaja

akhir”. Terdapat pada subjek penelitian dimana pada penelitian

terdahulu subjek penelitian yang sekarang adalah mahasiswa dan remaja akhir, sedangkan subjek penelitian yang sekarang adalah orangtua yang memilih anak retardasi mental. Untuk kedua penelitian terdahulu tehnik analisa data yang digunakan adalah tehnik korelasi produk moment. Hal ini berbeda dengan penelitian yang akan saya lakukan karena penelitian ini tehnik analisa data yang digunakan adalah Uji-t. Selain itu perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian terletak pada tempat penelitian, penelitian terdahulu dilakukan di Universitas sedangkan penelitian sekarang dilakukan di SLB.


(18)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Stres pengasuhan

1. Pengertian Stres

Muhammad Surya (2001) berpendapat bahwa stres merupakan keadaan dimana seseorang yang mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi dirinya. Dalam bukunya Psikologi Klinis Ardani (2007) stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan.

Maramis (2009) menyatakan bahwa stres adalah segala masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu merasa terganggu keseimbangan hidupnya.

Jadi stres adalah kondisi dimana individu mengalami ketegangan yang desebabkan oleh tekanan internal maupun ekstrenal sehingga individu merasa terganggu keseimbangan hidupnya.

2. Pengertian stres pengasuhan

Menurut patterson. Debarryshe & Ramsey (Ahern, 2004), stres pengasuhan yaitu stres memberikan peranan dalam gangguan praktek pengasuhan dan tidak berfungsinya manajemen keluarga. Sedangkan menurut Deater–Deckard (Lestari, 2012) mendefinisikan stres pengasuhan sebagai serangkaian proses yang


(19)

11

membawa pada kondisi psikologi yang tidak disukai dan reaksi psikologi yang muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orangtua.

Menurut Abidin (Ahern, 2004) stres pengasuhan digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi antara orangtua dengan anak. Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) juga memberikan perumpamaan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtua terhadap anak, pada intinya menjelaskan ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka.

Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres pengasuhan adalah tidak berfungsinya peran orangtua dalam pengasuhan dari interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak berkebutuhan khusus yang menghambat dalam kelangsungan hidupnya.

3. Penyebab dan akibat stres pengasuhan

Ditinjau dari penyebab dan akibat stres pengasuhan, terdapat dua pendekatan yang utama, yakni teori P-C-R (parent-child-relationship) dan teori daily hassles. Dari sudut pandang teori P-C-R, stres pengasuhan bersumber dari tiga komponen yaitu ranah


(20)

12

pihak orang tua): ranah anak (C, yaitu segala aspek stres pengasuhan yang muncul dari perilaku anak) dan ranah hubungan orangtua-anak (R, yaitu segala aspek pengasuhan yang bersumber dari hubungan orangtua-anak) (Lestari , 2012).

Karakteristik orangtua tertentu dapat memicu stres pengasuhan, misalnya mudah mengalami simtom depresi, kelekatan terhadap anak, kekakuan dalam menjalankan peran orangtua, merasa tidak kompeten, terisolasi sosial, hubungan dengan pasangan yang kurang harmonis, dan kesehatan yang buruk. Sebaiknya karakteristik anak juga yang rendah, kurang penerimaan terhadap orangtua, suka menuntut dan menyusahkan, suasana hati yang buruk, mengalami kekacauan pikiran dan kurang memiliki kemampuan untuk memperkuat orangtua. Adapun dimensi relasi orangtua anak yang memicu stres pengasuhan adalah derajat konflik yang muncul dalam interaksi orang tua-anak (Lestari 2012). Ketiga ranah stres pengasuhan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kemrosotan kualitas dan efektivitas perilaku pengasuhan. Penurunan kualitas pengasuhan ini pada gilirannya akan meningkatkan problem emosi dan perilaku anak, misalnya perilaku agresi, pembangkangan, kecemasan, dan kesedihan yang kronis. Dengan demikian pendekatan P-C-R memperlihatkan adanya saling mempengaruhi antara orangtua dan anak atau disebut dua arah (Lestari, 2012).


(21)

13

Dari sudut pandang teori daily hassles, stres pengasuhan merupakan tipikal stres yang sering terjadi sehari-hari atau mingguan. Teori ini tidak menentang P-C-R. Namun memperluas dan melengkapi. Stres pengasuhan yang tipikal ini masih bersifat normal, belum sampai menimbulkan gangguan psikologi. Orangtua hanya perlu beradaptasi untuk mengatasi stres yang demikian ini. (Lestari, 2012).

4. Aspek-aspek dalam stres pengasuhan

Model stres pengasuhan abidin (Ahern, 2004) memberikan perumpamaan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtua terhadap anak, pada intinya menjelaskan ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Model ini tentang pengasuhan orangtua yang dicerminkan dalam aspek-aspeknya meliputi:

a. The Parent Distress

Stres pengasuhan disini menunjukan pengalaman stres orangtua sebagai sebuah fungsi dari faktor pribadi dalam memecahkan personal stres lain yang secara langsung dihubungkan dengan peran orangtua dalam pengasuhan anak. Tingkat stres pengasuhan ini berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan. Indikatornya meliputi:


(22)

14

kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan orangtua dalam hal perkembangan anak dan keterampilan menejemen anak yang sesuai.

2) Social isolation: yaitu orangtua merasa terisolasi secara sosial dan ketidakhadiran dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan tidak berfungsinya pengasuhan orangtua dalam bentuk mengabaikan anaknya. 3) Restrictin imposed by parent role: yaitu adanya pembatasan pada kebebasan pribadi, orangtua melihat dirinya sebagai hal yang dikendalikan dan yang dikuasai oleh kebutuhan dan permintaan anaknya. Berhubungan dengan hilangnya penghargaan terhadap identitasnya diri yang diekspesikan. Seringkali, adanya kecewaan dan kemarahan yang kuat yang dihassilkan oleh frustasinya. 4) Relationship with spouse: yaitu adanya konflik antar

hubungan ornagtua yang mungkin menjadi sumber stres utama. Konflik utamanya mungkin melibatkan ketidakhadiran dukungan emosi dan material dari pasangan serta konflik mengenai pendekatan dan strategi manajemen anak.


(23)

15

5) Health of parent : yaitu sampai taraf tertentu, efektivitas proses pengasuhan orangtua terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua.

6) Parent depression: yaitu orangtua mengalami beberapa gejala depresi ringan hingga menengah dan rasa bersalah (kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat melemahkan kemampuannya untuk menangani tanggung jawabnya terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara khas dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi keluhan hilangnya energi.

b. The Difficult Child

Stres pengasuhan disini digambarkan dengan menghadirkan perilaku anak yang sering terlibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih mempersulit karena orangtua merasa anaknya memiliki banyak kerakteristik tingkah laku mengganggu. Indikatornya meliputi:

1) Child adaptability:yaitu anak menunjukkkan karakteristik perilaku yang membuat anak sulit untuk diatur. Stres orangtua berhubungan dengan tugas pengasuhan orangtua yang lebih sulit dalam ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan lingkungan.


(24)

16

2) Child demands: yaitu anak lebih banyak permintaan terhadap orangtua berupa perhatian dan bantuan. Umumnya anak-anak sulit melakukan segala sesuatu secara mandiri dan mengalami hambatan dalam perkembangannya.

3) Child mood: yaitu orangtua merasa anaknya kehilangan perasaan akan hal-hal positif yang biasanya merupakan ciri khas anak yang bisa dilihat dari ekspresinya sehari-hari.

4) Districtability: yaitu orangtua merasa anaknya menunjukkan perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah.

c. The parent Child Dysfunctional Interaction

Stres pengasuhan disini menunjukkan interaksi antara orangtua dan anak yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak terhadap orangtua serta tingkat harapan orangtua terhadap anak. Indikatornya meliputi:

1) Child reisfored parent: yaitu orangtua merasa tidak ada pengetahuan yang positif darri anaknya. Interaksi antara orangtua dengan anak tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap anaknya.


(25)

17

2) Acceptability of child to parent: yaitu stres pengasuhan orangtua karena karakteristik anak seperti intelktual, fisik, dan emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua sehingga lebih besar dapat menyebabkan penolakan orangtua.

3) Attachmen: yaitu orangtua tidak memiliki kedekatan emosional dengan anaknya sehingga mempengaruhi perasaan orangtua.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres pengasuhan

Menurut Johnston dkk (2003)faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sebagai faktor penentu stress pengasuhan yaitu:

a) Chil behavior problemsdan dukungan sosial

Perilaku yang bermasalah berhubungan dengan stress pengasuhan yaitu perasaan keibuan yang meliputi aspek kemampuan, penerimaan ibu serta perasaan terisolasi.

b) Family cohesion

Menekankan pada berbagai rasa tanggung jawab dan dukungan interpersonal di rumah.

c) Family income

Meliputi status sosial ekonomi, dukungan keluarga dan sumber daya coping yaitu coping skills.


(26)

18

d) Maternal psychological well being

Kesejahteraan psikologis meliputi aspek perasaan erisolasi dan penerimaan. Jika seorang ibu sedang menderita permasalahan psikologis, ibu mungkin tidak memiliki sumber daya pribadi yang cukup tersedia untuk orang lain atau anaknya, dengan demikian meningkatnya perasaan terisolasi dan pengurangan perasaan akan kemampuan dalam keterampilan pengasuhan juga, sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikoligis.

Menurut Lestari, 2012. Faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya stress dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

1) Individu

Pada tingkatan individu, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari pribadi orangtua maupun anak. Kesehatan fisik orangtua dapat menjadi faktor yang mendorong timbulnya stres pengasuhan. Misalnya, sakit yang dialami orangtua dan berlangsung dalam jangka panjang. Selain kesehatan fisik, kesehatan mental dan emosi orangtua yang kurang baik juga dapat mendorong timbulnya stres. Sebaliknya, dari pihak anak faktor-faktor individu yang dapat mendorong stres pengasuhan dapat berupa masalah fisik dan problem perilaku. Adapun stres pengasuhan yang terjadi sehari-hari sering kali menyebabkan oleh problem


(27)

19

perilaku anak. Apalagi pada anak-anak yang tergolong sebagai anak yang sulit. Anak-anak seperti ini biasanya sangat sulit diatur, suka membangkang, sering menimbulkan kekacauan bahkan kerusakan. Orangtua menghadapi anak yang demikian akan mudah mengalami stres pengasuhan.

2) Keluarga

Pada tingkatan ini masalah keuangan dan struktur keluarga merupakan faktor-faktor yang mendorong timbulnya stres pengasuhan. Aspek ini juga dapat berupa pengasuhan anak yang dilakukan sendri tanpa keterlibatan pasangan atau karena menjadi orangtua tunggal. Selain itu hubungan yang penuh dengan konflik, baik antar pasangan maupun antara orangtua anak, sangat berpotensi menimbulkan stres pengasuhan.

3) Lingkungan

Kondisi stres dapat berlangsung dalam jangka pendek, situasional atau aksidental, bila sumber stres pengasuhan lebih dominan pada situasi lingkungan. Namun, bila tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung dalam jangka panjang juga.


(28)

20

B. Strategi Coping

1. pengertian strategi coping

Strategi coping didefinisikan sebagai suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah domain kognitif dan atau perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan atau tekanan internal maupun eksternal yang diprediksi akan mampu membebani dan melampaui kemampuan serta ketahanan individu yang bersangkutan (lazarus&folkman dalam boeman and stern, 1995).

Secara umum Stone dan Neale (dalam Folkman,dkk) berpendapat bahwa strategi coping merupakan tingkah laku seseorang dalam menghadapi masalah atau tekanan. Chaplin (2004) mengartikan perilaku coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau permasalahan. Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau menegangkan.


(29)

21

2. bentuk-bentuk strategi coping

Lazarus dan Folkman (aldwin dan revenson 1987). Mengklasifikasikan strategi coping yang digunakan menjadi dua yaitu:

a. Problem focused coping.Digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi antara individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan tindakan langsung. Problem focused coping dapat diarahkan pada lingkungan maupun pada diri sendiri. Folkman (1984) menyatakan bahwa poblem focused coping juga dapat berupa pembuatan rencana tindakan, melaksanakan, dan mempertahankan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

b. Emotion focused coping. Emotion focused coping merupakan strategi untuk merendahkan emosi individu yang ditemukan oleh stresor, tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stress secara langsung.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping dibagi dalam dua bentuk yaitu problem focused coping yang lebih mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung, dapat diarahkan pada lingkungan maupun pada diri sendiri, bentuk strategi lainya adalah emotion focused coping yang lebih berorientasi pada emosi yang merupakan usaha untuk


(30)

22

merendahkan atau mengola stress yang muncul ketika individu berinteraksi dengan lingkungan.

3. aspek-aspek strategi coping a. Problem focused coping

Suatu studi dilakukan oleh Folkman (dalam Smet 1994), problem focused coping terdiri atas tiga variasi,yaitu:

1. Instrumental action (tindakan secara langsung). Seseorang melakukan usaha dan menetapkan langkah-langkah yang mengarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.

2. Cautiousness (kehati-hatian). Individu berfikir dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan sebelumnya.

3. Negotiation (negoisasi). Beberapa usaha individu yang dilakukan dan ditunjukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.

b. Emotion focused coping

Emotion focused coping menurut Aldwin dan Ravenson (dalam Tjiptorini, 2013) adalah:


(31)

23

1. Escapism (pelarian diri dari masalah), cara individu mengatasi stress dengan berkhayal atau membayangkan hasil yang akan terjadi atau mengandaikan dirinya berada dalam situasi yang lebih baik dari situasi yang dialaminya saat ini.

2. Minimization (meringankan beban masalah), cara individu mengatasi stress dengan menolak memikirkan masalah dan menganggapnya seakan-akan masalah tersebut tidak ada dan membuat masalah menjadi ringan.

3. Self blame (menyalahkan diri sendiri), cara individu mengatasi stress dengan memunculkan perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas tekanan masalah yang terjadi. Strategi ini bersifat pasif dan intropinitive yang ditunjukan dalam diri sendiri.

4. Seeking meaning (mencari arti), cara individu mengatasi stress dengan mencari makna atau hikmah dari kegagalan yang dialaminya dan melihat hal-hal yang penting dalam kehidupan.

4.Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping

Mc. Crae (1984) menyatakan bahwa perilaku menghadapi tekanan adalah suatu proses yang dinamis. Hal ini mengindentifikasikan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam


(32)

24

a. Kepribadian .

Carver, dkk (1989) mengkarakteristikkan kepribadian berdasarkan tipenya. Tipe A dengan ciri-ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri, tidak sabaran, melakukan pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama, mudah marah dan agresif akan cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi, sedangkan seseorang dengan tipe kepribadian B memiliki ciri-ciri suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah, berbicara dan bersikap tenang, serta lebih suka untuk memperluas pengalaman hidup cenderung menggunakan strategi coping yang berorientasi pada masalah.

b. Jenis kelamin

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Folkman dan Laarus, ditemukan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan bentuk coping Imotion focused coping dan problem focused coping. Namun menurut pendapat Billing dan Moss (1984), wanita lebih cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi sedangkan pria cenderung menggunakan strategi coping yang berorientasi pada tugas dalam mengatasi masalah.

c. Konteks lingkungan dan sumber individual

Menurut Folkman dan lazarus (1985). Sumber-sumber individu seseorang meliputi pengalaman persepsi, kemampuan


(33)

25

intelektual, kesehatan, situasi yag dihadapi, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan proses atau penerimaan suatu stimulus yang kemudin dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman.

d. Dukungan sosial

Pramadi dan Lazarus (2003) dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasehat verbal maupun non verbal. Jenis dukungan sosial ini meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan maupun dukungan informatif. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dukugan sosial yang tinggi akakn menimbulkan strategi coping sedangkan tidak ada atau rendahnya dukungan sosial yang diterima tidak akan menimbulkan strategi coping.

C. Retardasi mental

1.pengertian retardasi mental

Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan intelegensi yang kurang sejak masa perkembangan. Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala yang utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligfrenia (oligio: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (maramis:2005).


(34)

26

jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya kendala keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial(Maslim, 2001).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa retardasi mental atau tuna grahita ialah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap dan muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) yang ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.

2. kriteria diagnosa retardasi mental

Reterdasi mental didiagnosis berdasarkan tiga kriteria (APA, dalam Nevid, 2005), diantaranya adalah:

a. Skor rendah pada intelegensi formal (skor IQ kira-kira 70 atau dibawahnya)

b. Adanya bukti hendaya dalam melakukan tugas sehari-hari dibandingkan dengan orang lain yang seusia.

c. Perkembangan gangguan terjadi sebelum usia 18 tahun.

3. faktor-faktor penyebab terjadinya retardasi mental

Menurut pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa ke-1 (maramis:2005) faktor-faktor penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut:


(35)

27

a. Infeksi dan atau intoksikasi

Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat buruk pada perkembangan janin, yaitu rusaknya jaringan otak. Begitu juga dengan terjadinya intoksinasi, jaringan otak juga dapat rusak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental.

Infeksi dapat terjadi karena masuknya rubella , sifilis, toksoplasma, dll, kedalam tubuh ibu yang sedang mengandung.

Begitu pula halnya dengan intoksinasi, karena masuknya”racun”

atau obat yang semestinya dibutuhkan.

b. Terjadinya rudapaksa dan atau sebab fisik lain.

Rudakpaksa sebelum lahir serta trauma lainya, seperti hiper radiasi, alat kontrasepsi, dan usaha melakukan obortus dapat mengakibatkan kelainan berupa retardasi mental.

Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami tekanan sehingga menimbulkan pendarahan dalam otak. Mungkin juga karena terjadi kekurangan oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya degenerasi sel-sel korteks otak yang kelak mengakibatkna retardasi mental.

c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi

Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya, gangguan metabolisme karbohidrat dan protein), gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk


(36)

28

berlangsung lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangna otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan seperti ini dapat diperbaiki dengan memberikan gizi yang cukup sebelum anak berusia 6 tahun, sesudah itu biarikan anak tersebut sangat sukar untuk ditingkatkan.

d. Penyakit otak yangn yata (postnatal)

Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, yang bersifat degenerative, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif. Penyakit otak yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat menyebabkan penderita mengalami keterbelakangan mental. e. Penyakit atau pengaruh prenatal

Keadaan ini dapat diketahui sudah ada sejak dalam kandungan, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomaly cranila primer dan defek congenital yang tidak diketahui sebabnya.

f. Kelainan kromosom

Kelainan kromosom mungkin terjadi sejak pada aspek jumlah maupun bentuknya. Kelainan pada jumlah kromosom menyebabkan sindroma down yang dulu sering disebut mongoloid.


(37)

29

g. Prematuritas

Retardasi mental yang termasuk retardasi mental yang berhubungan dengan keadaan bayi yang pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan atau dengan masa kehamilan kurang dari 38 minggu.

h. Akibat gangguan jiwa yang berat

Retardasi mental juga terjadi karena ganggguan jiwa yang berat pada masa kanak-kanak.

i. Deprivasi psikososial

Deprivasi artinya tidak terpenuhi kebutuhan. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikososila awal-awal perkembangan ternyata juga dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental pada anak.

4. karakteristik retardasi mental

Retardasi mental banyak ditemukan pada anak-anak uberusia 5 dan 6 tahun, puncaknya pada golongan remaja umur 15 tahun. Selama masa kanak-kanak awal, mereka yang menderita retardasi ringan tampak normal. Kekurangan mereka baru tampak sesudah masuk sekolah, yaitu antara umur 5 atau 5 tahun sampai umur belasan tahun (Supratiknya, 1995). Menurut kaplan (1997) retardasi mental atau keterbelakangan mental merupakan masalah multirasional yang menyangkut beberapa aspek di baawah ini yakni:


(38)

30

a. aspek medis, yaitu adanya perubahan-perubahan dasar dalam otak, misalnya perubahan unsur-unsur yang penting didalam otak, perubahan metabolisme sel-sel otak dan kurangnya kapasitas tranmisi antar neuron.

b. aspek psikologis, yaitu adanya gangguan perkembangan fisik, intelegensi dan emosi pada bayi sampai anak prasekolah timbulnya rasa rendah diri akibat kemapuannya lebih rendah daripada anak normal.

c. aspek pendidikan , yaitu kesukaran menangkap pelajaran pada anak-anak retardasi mental yang mulai bersekolah, sehingga perlu pendidikan khusus yang disebut sekolah luar biasa.

d. aspek perawatan, yaitu tidak jarang anak dengan retardasi mental jenis yang berat atau sangat berat tak mampu mengurus kebutuhannya sendiri seperti makan, minum, mandi, sehingga perlu perawatan khusus.

e. aspek sosial, yaitu kurangnya kemampuan daya belajar dan daya penyesuaian diri sosial dengan permintaan masyarakat, sehingga penempatan anak dalam masyarakat selalu kurang memuaskan, baik bagi masyarakat, keluarganya maupun anak itu sendiri.

5. klasifikasi retardasi mental.

DSM mengklarifikasikan retardasi mental berdasarkan tingkat kerahannya. Sebagian besar anak dengan retardasi mental yang berada pada taraf ringan 85%, sebanyak 10% dalam taraf sedang,


(39)

31

taraf berat 3-4%, dan dalam taraf sangat berat sebanyak 1-2% (Nevid, 2005). Menurut maramis (2005), mengklasifikasikan retardasi mental sebagai berikut:

a. retardasi mental taraf perbatasan (IQ = 68-85) b. retardasi mental ringan (IQ = 52-67)

c. retardasi mental sedang (IQ = 36-51) d. retardasi mental berat (IQ = 20-35)

e. retardasi mental sangat berat (IQ = kurang dari 20).

D. Perbedaan Tingkat stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak retardasi mental ditinjau dari strategi coping

Orangtua anak berkebutuhan khusus memiliki berbagai tanggung jawab lebih dibandingkan orangtua dengan anak normal. Kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus membuat orangtua mengalami kekhawatiran misalnya masalah finansial, kesempatan yang terbentang didepan anaknya serta realitas yang akan dihadapi anak pada saat dewasa kelak.

Berbeda dengan anak normal yang mampu untuk meningkatkan kemandirian sering dengan perkembangan mereka, anak berkebutuhan khusus mungkin tidak memiliki koordinasi ataupun kekuatan yang dibutuhkan unutuk mengurus diri, dimana bagi orangtua dapat diartikan sebagia tahun demi tahun yang penuh dengan kekhawatiran dan kelelahan (Martin& Colbert, 1997).


(40)

32

Kehadiran anak retardasi mental yang termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus yang membawa pengaruh di dalam kehidupan keluarga terutama ibu sebagai figur terdekat anak. Menurut Prasadio (1979), keberadaan anak retardasi mental membawa stress tersendiri bagi kehidupan keluarga, termasuk didalamnya trauma psikologik, masalah dalam pengasuhan anak, beban finansial, dan isolasi sosial. Stres yang dialami ibu ini disebut dengan stres pengasuhan. Stres pengasuhan digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampaui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi anara orangtua dengan anak. (dalam Ahern, 2004). Ibu sebagi figur terdekat anak seringkali merasa khawatir dengan masalah emosional yang akan muncul dalam kemampuan menyediakan kebutuhan untuk anaknya. Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus akan lebih berpotensi mengalami stres pengasuhan dibandingkan dengan ibu yang mimiliki anak normal.

Banyak ibu yang merasa takut akan kelangsungan hidup anaknya dalam waktu dekat maupun yang akan datang. Keraguan yang dapat dilihat adalah tentang penepatan sekolah bagi anak dan kesehatan anak retardasi mental. Keraguan orangtua akan merasa masa depan anaknya juga meliputi keemampuan orangtua dalam mengasuh anaknya, kemampuan anak utnuk menjadi mandiri dan mencari uang.

Oleh sebab itu dalam menghadapi situasi yang stressful, ibu yang memiliki anak retardasi mental perlu mengambil langkah-langkah


(41)

33

untuk meminimalkan atau menghilangkan stressor yang ditimbulkan dari berbagai masalah yang dihadapi. Para ibu yang memiliki anak retardasi mental membutuhkan perilaku coping yang sesuai, sehingga mereka akan dapat berbuat yang terbaik bagi anak maupun dirinya sendiri.

Ketika individu menggunakan strategiemotional focused coping (coping yang berpusat pada emosi), maka strategi tersebut hanya berfungsi untuk meregulasi respon emosional terhadap masalah. Strategi coping ini sebagian besar terdiri dari proses-proses kognitif yang ditujukan pada pengukuran tekanan emosional dan strategi yang termasuk didalamnya adalah:

a. penghindaran, peminiman atau pembuat jarak b. perhatian yang selektif

c. memberikan penilaian yang positif pada kejadian negative

Artinya bahwa Emotional Focused Coping hanya berfungsi sebagai regulator respon emosional dan bersifat sementara waktu.

Sebaliknya strategi Problem Focused Coping (coping yang berpusat pada masalah) seperti yang dikemukakan oleh Folkman dan Lazarus, yang berfungsi untuk mengatur dan merubah masalah penyebab stres. Strategi coping termasuk didalamnya adalah :

a. mengintensifikasikan masalah


(42)

34

d. memilih alternatif terbaik e. mengambil tindakan

Artinya orangtua yang menggunakan strategi coping Emotional Focused Coping stres yang dialami semakin tinggi karena tidak berpusat pada masalah dan penyelesaian sebaliknya orangtua yang menggunakan strategi coping Problem Focused Coping stres yang dialaminya semakin rendah karena berpusat pada menyelesaian masalah. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kim dkk (dalam Cheng, 2001) yang menyatakan bahwa Problem Focused Coping secara umum merupakan strategi adaftif dalam mengurangi stres sedangkan strategi coping Emotional Focused Coping umumnya merupakan bentk maladaptive coping dalam usahanya memecahkan stres dan distres karena dengan menngunakan Emotional Focused Copingbersifat seentara bukan menyelesaikan masalah.

Menurut Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994) individu cenderung menggunakan strategi Problem Focused Coping ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. Problem Focused coping pada dasarnya ialah keberanian individu menghadapi masalah

Gayton & Walker (Clifford et al, 1986) menyebutkan kebutuhan orangtua anak retardasi mental adalah adanya informasi yang akurat lebih awal untuk mengurangi kemungkinan kecemassan dan lebih mempersiapkan diri dengan perasaan bahwa mereka dapat melakukan


(43)

35

sesuatu untuk dapat mengatasi hal tersebut. Berbagai usaha dan perencanaan serta penilaian yang berbeda tentang anak retardassi mental akan membuat orangtua lebih dapat memiliki pemikiran positif terhadap kemampuan orangtua dalam merawat dan membesarkan anaknya sehingga menjadi lebih optimis terhadap anak retardasi mental dengan bimbingan orangtua dan tenaga profesional akan bisa berfungsi dengan baik dalam kehidupannya

E. Kerangkah teoritik

Menurut Abidin (Ahern, 2004) stres pengasuhan digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orang tua dan interaksi antara orang tua dengan anak. Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) juga memberikan perumpamaan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtua terhadap anak, pada intinya menjelasskan ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka.

Menurut Nurhayati (2005) kemampuan setiap individu dalam memilih strategi coping dan menggunakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus memakai strategi coping yang diperlukan.


(44)

36

Dari kerangka teoritik diatas secara ringkas dapat dijelaskan bahwa adanya strategi coping dikarenakan adanya stresor yang berupa stres. Faktor yang mempengaruhi strategi coping itu sendiri adalah kepribadian, jenis kelamin, konteks lingkungan, dukungan sosial dan tingkat pendidikan. Strategi coping sendiri dibagi menjadi dua macam diantaranya:

1. Problem Focused Coping

 Instrumental action (tindakan secara langsung)  Cautiousness (kehati-hatian)

Orang tua yang memiliki anak retardasi mental

Faktor yang mempengaruhi strategi coping Kepribadian, jenis kelamin, konteks lingkungan, dukungan sosial, tingkat pendidikan.

Strategi Coping

Emotion focused coping • Escapism

• Minimazation • Self blame • Seeking meaning Problem focused coping

• Instrumental action • Contiousness • negotiation


(45)

37

 Negotiation (negoisasi) 2. Emotion Focused Coping

 Escapism (pelarian diri dari masalah)  Minimization (meringankan beban masalah)  Self blame (menyalahkan diri sendiri)  Seeking meaning (mencari arti)

F. Hipotesis

Menurut Sugiono, 2004. Hipotesis adalah jawaban sementara

terhadap rumusan penelitian “berdasarkan uraian dalam kajian pustaka

tersebut diatas, maka dapat disimpulkan suatu hipotesis, yaitu: ada perbedaan tingkat stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental ditinjau dari strategi coping.


(46)

36

BAB III

METODE PENENLITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel dependen dan variabel independent. Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan. Dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Sedangkan variabel independen (bebas) adalah variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel dependen dan mempunyai hubungan yang positif ataupun yang negatif bagi variabel dependen lainya (kuncoro, 2009).

a) Variabel Bebas : Strategi Coping b) Variabel Tergantung : Stres Pengasuhan

2. Definisi Operasional

1. Strategi Coping

Strategi coping adalah suatu usaha dinamis dari suatu pola tingkah laku dimana individu melakukan usaha kognitif dan behavior dalam menghadapi situasi yang menekankan ataupun tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan) dengan tujuan untuk menurunkan, meminimalisai, menahan dan juga


(47)

37

menyelesaikan. Bentuk strategi coping ada dua macam yaitu 1. problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. 2. Emotion focused coping (EFC) adalah bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavior dan kognitif. Seseorang melakukan usaha dan menetapkan langkah-langkah yang mengarahkan pada penyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya. Aspek dalam strategi coping ini meliputiinstrumen action(tindakan secara langsung), cautiousness (kehati-hatian), negotiation (negoisiasi), escapism (pelarian diri dari masalah), minimization (meringankan beban masalah), self blame (menyalahkan diri sendiri), dan seeking meaning(mencari arti).

2. Stres Pengasuhan

Stres pengasuhan adalah tidak berfungsinya peran orangtua dalam pengasuhan dan interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak berkebutuhan khusus yang menghambat kelangsungan hidupnya. Model stres pengasuhan orangtua yang


(48)

38

Distress, The Difficult Child, dan The Parent Child Dysfunctional Interaction. Dalam skala ini, semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi pula stres pengasuhan dan semakin rendah skor yang diperoleh subjek, maka semakin rendah pula tingkat stres pengasuhan.

B. Subjek Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan. (Sugiyono. 2012).

Populasi bukan hannya sekedar jumlah yang ada pada obyek ataupun subyek yang dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh kerakteristik atau sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek itu.

Dalam penelitian ini, populasi dalam penelitian ini adalah orangtua yang memiliki anak retardasi mental yang disekolahkan di SLB gedangan yang berjumlah 59 orang yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan karakteristik orangtua yang memiliki anak retardasi mental yang disekolahkan pada lembaga SLB Gedangan dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dan dari 59 subjek penelitian kebanyakan berjenis kelamin perempuan (seorang ibu).


(49)

39

Semua subjek yang memenuhi kriteria diatas dijadikan sebagai subjek penelitian, sehingga penelitian ini adalah penelitian populasi.

2. Teknik Sampling

Pengolahan data atau analisis data merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam kegiatan penelitian, terutama bila diinginkan generalisasi atau kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Hal ini disebabkan data kurang mempunyai banyak arti apabila disajikan dalam bentuk mentah.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti yang telah dirumuskan, dan data yang dikumpulkan, teknik analisis data yang digunakan adalah rumus statistik uji-T dua sampel saling bebas (Independent Sampel T-test). Uji-T untuk sampel saling bebas (Independent Samples T-test) merupakan prosedur uji-t untuk kelompok sampel bebas dengan membandingkan rata-rata dua kelompok kasus.

C. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket. Metode angket merupakan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawa.(sugiyono. 2012).

Sebagai instrumen penelitian ini, peneliti menggunakan skala likert yang terdiri dari beberapa aitem pernyataan dan ditunjukan dengan skor kuantitatif, skala yang memiliki 4 alteratif yaitu


(50)

40

setuju). Ini memiliki skor tiap aitem yang bergerak dari nilai minimal yaitu 1 hingga maksimal yaitu 4. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka tingkat stres yang dialami semakin tinggi dan sebaliknya jika semakin rendah skor subjek maka semakin rendah stres yang dialami oleh subjek.

Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala untuk mengungkap tingkat stres pengasuhan dan coping stres orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

1. Skala Coping Stres Pengasuhan pada Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental

Aspek yang digunakan dalam skala strategi coping ini meliputi instrumental Action (tindakan secara langsung), Cautiousness (kehati-hatian), Negotiation (negoisasi), Excapism(pelarian diri dari masalah), Minimization (meringankan beban masalah), Self Blame (menyalahkan diri sendiri), danSeeking meaning(mencari arti).

2. skala stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental.

Aspek-aspek yang digunakan dalam skala stres pengasuhan meliputi The Parent Distress, The Difficult Child, dan The Parent Child Dysfunctional Interaction.

3. Alat Ukur (Blue Print)

Skala strategi coping dan stres pengasuhan yan digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan dua variasi yaitu pernyataan positif


(51)

41

(favourable) dan pernyataan negatif (unfavourable). Pernyataan positif adalah pernyataan yang mendukung adanya suatu variabel, sedangkan pernyataan negatif adalah suatu pernyataan yang tidak mendukung adanya suatu variabel.

Skala ini bersifat tertutup yang setiap aitem disediakan 4 pilihan jawaban. Sistem penilaian mulai drai 1, 2, 3, dan 4 , sedangkan aternatif jawaban adalah sangat setuju, setuju, tidak setuju, ragu-ragu dan sangat tidak setuju.

Penilaian yang diberikan untuk pernyataan positif (favourable) adalah :

Skor 4 = SS (sangat setuju) Skor 3 = S (setuju)

Skor 2 = TS (tidak setuju)

Skor 1 = STS(sangat tidak setuju)

Begitu pula sebaliknya untuk pernyataan negatif (unfavourabel) penilaian yang diberikan adalah :

Skor 1 = SS (sangat setuju) Skor 2 = S (setuju)

Skor 3 = TS (tidak setuju)

Skor 4 = STS(sangat tidak setuju)

Jumlah butir item skala strategi coping dapat dilihat pada tabel berikut:


(52)

42

Tabel 3.1

Blue Print Strategi Coping

T a b

Variabel Jenis Indikator No. Item

F UF

Coping stres

Problem Focused coping

Instrumental action

Contiousness Negotiation

4,5,7,8 2,9,15 14,16

1,24,25 17 19,13

Emotion focused coping

Escapism Minimazation Self blame Seeking meaning

3,23, 21, 30 12,26,29 10

6,29 20,27


(53)

43

tabel 3.2

Blue print Skala Stres Pengasuhan

Variabel Aspek Indikator No. Item

F UF

Stres

pengasuhan

The parent distress

Feeling of competence Social isolation

Restriction imposed by parent role

Relationship with spouse Health of parent

Parent depression

6, 26 16

5 3, 33

7 4

8, 34 12

17, 19 30 13, 32

The difficult child Child adaptability Child demand Child mood Distractibility 24, 25 31 18

23, 27 28 10, 20 9 The parent

child

disfunctional interaction

Child reinforced parent Acceptability of child to parent

Attachment

2, 21

22, 35 1, 29 11, 14


(54)

44

D. Uji Validitas dan Reabilitas 1. Validitas

Validasi adalah sejauh mana kecermatan dan ketepatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Uji validasi dikatakan mempunyai validasi tinggi tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan juga akurat (Azwar, 1997). Sedangkan Anastasi dan Urbina (1997) menyatakan bahwa validitas sebuah tes menyangkup apa yang diukur tes dan seberapa baik tes itu bisa mengukur.

Uji validitas skala Strategi coping dan stres pengasuhan menggunakan bantuan komputer program Statistical Package For Sosial Science(SPSS) veri 16 for windows.

Syarat bahwa item-item tersebut valid adalah nilai korelasi (r-hitung) harus positif dan lebih besar atau sama dengan r tabel (Azwar, 1997). Beberapa kaidah yang digunakan dalam menilai validasi adalah:

a. jika hargacorrected item total correlation bertanda positif dan < r tabel, maka aitem tersebut dinyatakan valid.

b. jika hargacorrected item total correlationbertanda negatif dan < r tabel, maka item tersebut dinyatakan tidak valid.

c. jika hargacorrected item total correlationbertanda negatif dan > r tabel, maka item tersebut dinyatakan tidak valid.


(55)

45

d. jika harga corrected item total correlation bertanda positif > r tabel, maka item tersebut dinyatakan valid.

Berdasarkan uji validitas yang telah dilakukan pada variabel strategi Copingdan Stres pengasuhan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3.3

Uji Validitas Variabel Strategi Coping dimensi 1

No. Item corrected Item r tabel keterangan kesimpulan

Total correlation

Item 1 0,635 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 2 -0,027 0,3 r positif tidak valid

r hitung > r tabel

Item 4 0,638 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 5 0,495 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel


(56)

46

Item 7 0,353 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 8 0,543 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 9 0,479 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 14 0,692 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 15 0,389 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 16 0,006 0,3 r positif tidak

r hitung > r valid

tabel

Item 17 0,666 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel


(57)

47

r hitung > r tabel

Item 24 0,488 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 25 0,333 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 30 0,443 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa 15 item yang ada pada dimensi ke-1 terdapat 13 aitem yang valid yaitu item nomor 1, 4, 5, 7, 8, 9, 14, 15, 17, 19, 24, serta 25, dan 2 item yang dinyatakan yang tidak valid yaitu nomor 2 dan 1

Tabel 3.4

Uji Validitas Variabel Strategi Coping dimensi 2

No. Item Corrected Item r tabel keterangan kesimpulan total correlation

r tabel


(58)

48

tabel

Item 6 0,692 0,3 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 10 0,472 0,3 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 11 0,649 0,3 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 12 0,477 0,3 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 13 0,130 0,3 r positif tidak r hitung > r valid tabel

Item 18 0,488 0,3 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 20 0,653 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel


(59)

49

r hitung > r tabel

Item 22 0,680 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 23 0,390 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 26 0,547 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 27 0,444 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 28 0,692 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel

Item 29 0,353 0,3 r positif valid

r hitung > r tabel


(60)

50

11, 12, 18, 20, 21, 22, 23, 26, 27, 28, dan 29. Sedangkan 1 item lainnya yang tdak valid yaitu nomor 1.

Tabel 3.5

Uji Validitas Variabel Stres Pengasuhan dimensi 1

No. Item Corrected item r tabel keterangan kesimpulan total correlation

Item 3 -0,074 0,254 r positif tidak r hitung > r valid tabel

Item 4 0,461 0,254 r positif valid r hitung > r

tabel

Item 5 0,512 0,254 r positif valid r hitung > r tabel

Item 6 0,515 0,254 r positif valid r hitung > r tabel

Item 7 0,503 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 8 0,318 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 12 0,683 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel


(61)

51

B e r d a s a r k a n

Berdasarkan tabel diatas bahwa 13 item yang ada pada skala stres pengasuhan dimensi 1 terdapat 14 item yang 11 aitem yang valid yakni 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 16, 17, 19, dan 30. Sedangkan 2 item lainnya tidak valid yaitu item 3 dan 26.

Item 13 0,346 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 16 0,619 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 17 0,421 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 19 0,490 0,254 r positif Valid r hitung > r tabel

Item 26 0,032 0,254 r positif

r hitung > r tabel

Tidak Valid

Item 30 0,499 0,254 r positif

r hitung > r tabel


(62)

52

Tabel 3.6

Uji Validitas Variabel Stres Pengasuhan dimensi 2 No item Corrected

item total correlation

r tabel keterangan Kesimpulan

Item 9 0,539 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 10 0,543 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 18 -0,114 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Tidak valid

Item 20 0,579 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 23 0,300 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 24 0,469 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 25 0,372 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 27 0,325 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 28 0,542 0,3 r positif

r hitung > r tabel


(63)

53

Item 31 0,541 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa 9 item yang ada pada dimensi ke-2 terdapat 9 item yang valid yaitu item nomor 9, 10, 20, 23, 24, 25, 27,28, dan 31. Sedangkan 1 item lainnya tidak valid yakni item nomor 18.

Tabel 3.7

Uji Validasi variabel Stres pengasuhan dimensi 3 No. item Corrected

item total correlation

r tabel keterangan Kesimpulan

Item 1 0,556 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 2 0,643 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 11 0,524 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 14 0,380 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 15 -0,490 0,3 r positif

r hitung > r tabel


(64)

54

B e r d a

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa 9 item yang ada pada dimensi ke-3 terdapat 8 item yang valid yaitu item nomor 1, 2, 11, 14, 21, 22, dan 29. Sedangkan 1 item lainnya tidak valid yakni nomor 15.

Dari keseluruhan tabel diatas, maka dapat disimpulkan dari 2 dimensi yang terdapat pada skala strategi coping, terdapat 3 item yang gugur atau dinyatakan tidak valid dari 30 item. Sedangkan pada skala stres pengasuhan terdapat 4 item yang gugur atau dinyatakan tidak valid dari 31 item. Berikut ini adalah rangkuman validasi aitem.

Tabel 3.8

Rangkuman Hasil Validitas Item Skala Strategi Coping

Jenis Indikator item Keterangan

Problem Focused

Coping

Intrumental action 4 Valid

5 Valid

7 Valid

Item 21 0,627 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 22 0,519 0,3 r positif

r hitung > r tabel

Valid

Item 29 0,593 0,3 r positif

r hitung > r tabel


(65)

55

8 Valid

24 Valid

25 Valid

Contiousness 2 Tidak valid

9 Valid

15 Valid

17 Valid

1 Valid

Negotiation 14 Valid

16 Tidak valid

19 Valid

30 Valid

Emotion focused coping

Escapism 3 Valid

21 Valid

23 Valid

Minimazation 10 Valid

12 Valid

26 Valid

29 Valid

Self blame 6 Valid

13 Tidak valid


(66)

56

Seeking meaning 11 Valid

18 Valid

22 Valid

28 Valid

Tabel 3.9

Skala Stres Pengasuhan

Aspek Indikator Item keterangan

The Parent distress

Feeling of competence 6 Valid

16 Valid

26 Tidak valid

Social isolation 3 Tidak valid

5 Valid

Restriction

Imposed by parent role

4 Valid

7 Valid

Relationship with spouse

8 Valid

12 Valid

Health of parent 17 Valid

19 Valid

30 Valid

Parent depression 13 Valid

The difficult child

Child adaptability 24 Valid


(67)

57

Child demand 18 Tidak valid

31 Valid

Child mood 23 Valid

27 Valid

28 Valid

Distractability 9 Valid

10 Valid

20 Valid

The parent child disfunctional interaction

Child reinforced parent 2 Valid

21 Valid

Acceptability of child to parent

1 Valid

22 Valid

29 Valid

Attachment 11 Valid

14 Valid

15 Tidak valid

2. Uji Reabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran tinggi rendahnya ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reabilitas (Azwar, 1997).


(68)

58

untuk mencari reliabilitas alat ukur skala Strategi Coping dan Stres Pengasuhan digunakan rumus alpha. Tehnik yang digunakan untuk menganalisa hasil reabilitas skala Strategi coping dan Stres Pengasuhan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 16 for windows yang mana rumus yang dipakai adalah rumusAlpha. Rumus Koofiien Alpha.

α =

keterangan :

α = Koefisien reliabilitas Alpha Cronbach k = Jumlah Item Pertanyaan yang diuji∑ sx² = Variansi Skor-skor (Seluruh item K)

Perhitungan reabilitas pada penelitian ini menggunakan uji Alpha dan pengukuran reabilitasnya dengan menentukan besar r tabel sebesar 0.7. Beberapa hal yang digunakan dalam menilai reabilitas suatu data adalah:

1. jika r alpha bertanda positif dan < r tabel, maka variabel tersebut dinyatakan tidak valid.

2. jika r alpha bertanda negatif dan < r tabel, maka variabel tersebut dinyatakan tidak valid.

3. jika r alpha bertanda negatif dan > r tabel, maka variabel tersebut dinyatakan tidak valid.


(69)

59

4. jika r alpha bertanda positif dan > r tabel, maka variabel tersebut dinyatakan valid.

Tabel 3.10

Reabilitas Statistik Skalatry outStrategi Coping Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha N of Item

.910 30

Berdasarkan hasil uji reabilitas yang telah dilakukan pada skala try out Strategi Coping diperoleh harga nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,910 > 0,7, maka dapat dijelaskna bahwa instrument try out StrategiCopingtersebut reliabel. Artinya semua item tersebut reliabel sebagai instrument pengumpulan data.

Tabel 3.11

Reabilitas Statistik Skala Strategi Coping Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha N of Item

.850 27

Berdasarkan hasil uji reliability yang telah dilakukan pada skala Strategi Coping diperoleh harga nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,850 > 0,7, maka dapat dijelaskan bahwa


(70)

60

instrument Strategi Coping tersebut reliabel. Artinya semua item tersebut reliabel sebagai instrument pengumpulan data.

Tabel 3.12

Reabilitas statistik skala try out stres pengasuhan Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha N of Item

.897 31

Berdasarkan hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan pada skala try out stres pengasuhan diperoleh harga nilai Cronbach’s Alphasebesar 0,897>7, maka dapat dijelaskna bahwa instrument strategi coping tersebut reliabel. Artinya semua item tersebut reliabel sebagai instrument pengumpulan data.

Tabel 3.13

Reabilitas Statistik Skala Stres Pengasuhan Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha N of Item

.850 27

Berdasarkan hasil uji reabilitas yang telah dilakukan pada skala stres pengasuhan diperoleh harga nila Cronbach’s Alpha sebesar 0,850>0,7, maka dapat dijelaskan bahwa


(71)

61

instrument strategi Coping tersebut reliabel. Artinya semua item tersebut reliabel sebagai instrument pengumpulan data.

E. Analisis Data

Sebelum analisis data dilakukan perlu dilakukan uji prasyarat yaitu :

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah data dalam setiap variabel penelitian yang akan dianalisis dapat membentuk distribusi normal (Sugiyono, 2008). Model statistik yang digunakan untuk uji normalitas adalahKolmogorov-Smirnov.

Hasilnya apakah normal atau tidak. Kaidah yang digunakan adalah jika p>0,05 maka dikatakan normal dan sebaliknya jika p<0,05 maka dikatakana tidak normal. Berikut ini hasil uji normalitas pada variabel stres pengasuhan, PFC dan EFC.

Tabel 3.14 Hasil Uji Normalitas

Variabel penelitian Kolmogorov smirnov Tingkat signifikan Stres pengasuhan

PFC EFC

0,845 1,066 1,328

0,473 0,206 0,059


(72)

62

Sedangkan pada variabel PFC dan EFC dapat diketahui tingkat signifikan masing-masing sebesar 0,206 dan 0,059 yang lebih besar 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel berdistribusi normal.

Hasil uji normalitas sebaran Skala strategi coping dan skala stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental dengan teknikKolmogorov-Smirnovdiperoleh nilai statistik 0,473.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas variansi digunakan untuk membuktikan bahwa variansi tiap-tiap kelompok akan dianalisa yang memiliki kesamaan dari segi statistik. Dikatakan variansi homogen jika taraf signifikansi (p)<0,05 berarti variansi tidak homogen.

Jika dalam mengujian homogenitas menunjukan bahwa kedua variansi sama, maka dalam pengujian t-test harus pula menggunakan asumsi bawa variansi sama (Equal Variance Assumed). Sedangkan jika pada pengujian homogenitas menunjukan bahwa variansi tidak sama, maka dalam pengujian t-test harus pula menunjukan hasil data dengan asumsi variansi tidak sama ( Equal Varians Not Assumed). (Syahri, 2003). Adapun hasil uji homogenitas pada penilitian ini adalah sebagai sebikut:


(73)

63

Tabel 3.15 Uji Homogenitas

F-hitung Sig

0,098 0,756

Berdasarkan tabel di atas tampak nilai F-hitung sebesar 0,098 dengan tingkat signifikan 0,756 yang lebih dari 5% yang berarti HO yang artinya varians kedua kelas adalah homogen, sehingga asumsi independent sample t testterpenuhi. Dengan demikian pengguna uji t nantinya akan menggunakan equal variance assumed (diamsusikan kedua varian sama).


(74)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

1. Tempat Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti menentukan tempat mana yang akan dijadikan lokasi penelitian, setelah peneliti menentukan tempat mana yang akan dijadikan penelitian yaitu berada di SLB Gedangan, selanjutnya peneliti mencoba untuk mencari data atau mencari banyaknya populasi yang ada disekolah luar biasa tersebut yang sesuai dengan karakteristik yang diinginkan dalam penelitian, pencarian dan populasi subyek dilakukan di SLB Gedangan.

Populasi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang duduk dibangku TK dan SD sebanyak 59 orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Sedangkan untuk sampel penelitian yang diambil adalah 39 orang tua yang memiliki anak retardasi mental, dan 20 orang tua lainnya sebagai sampel penelitian uji coba skala (Try out).


(75)

65

1. Profil SLB Negeri Gedangan

SLB Negeri Gedangan berada di Jl. Sedati KM.2 Gedangan. Desa Wedi, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Sekolah ini didirikan sejak tahun 1997 dan beroperasi ditahun yang sama. Status akreditasi dari sekolah SLB Negeri Gedangan ini

adalah “B”.

Tabel 4.1

Profil Sekolah SLB Negeri Gedangan

Nama sekolah SLB Negeri Gedangan

Alamat Jl. Sedati uKm.2 Gedangan

Nama Kepalah Sekolah Drs. Suhermanto, M.pd

Nomor Identitas Sekolah 282000

Nomor Statistik Sekolah 831050216035

Jenis Ketunaan A, B, C, C1, D, D1, E, G

Jenjang Pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB,

SMALB

Status Tanah Hak Pakai

Jumlah Guru 36 orang

a) visi

Terwujudnya lulusan yang berbudi pekerti, siap bekerja dan bermasyarakat sesuai dengan kapasitasnya.

b) Misi

• Menanamkan nilai-nilai keimanan dan budi pekerti.


(1)

88

untuk anak mereka. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa kebanyakan orangtua meminimalisir dari stres yang dialaminya yaitu stres pengasuhan dengan siap mencari bantuan dari anggota keluarga maupun dukungan dari sesama orangtua yang memiliki anak gangguan perkembangan.


(2)

89

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang penulis lakukan di SLB Gedangan dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara tingkat stres pengasuhan dan strategi coping orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Analisis yang digunakan Independent sample t-test bahwa tampak adanya perbedaan nilai rata-rata PFC sebesar 77,20 dan EFC sebesar 87,875. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji Independent sample t-test, yang menunjukkan nilai thitung

yang dihasilkan sebesar -2,318 dengan nilai signifikansi 0,027 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang artinya terdapat perbedaan stress pengasuhan ditinjau dari strategicoping(PFC dan EFC).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti menyarankan kepada :

1. Bagi Subjek Penelitian

Bagi subjek penelitian ini diharapkan strategi coping

yang tinggi setidaknya dua aspek penting yang terbukti mempengaruhi stres pengasuhan pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Strategi copingini sangat


(3)

90

penting dalam membantu mengelola stres pengasuhan

yang dialami orangtua agar dapat mengontrol

permasalahan yang sedang dihadapi sehingga tidak menyebabkan tingkat stres pengasuhan yang tinggi.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Bagi penelitian selanjutnya yang tertarik dan ingin mengkaji tema stres pengasuhan pada orangtua yang

memiliki anak retardasi mental diharapkan

mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti social suport, self efficacy, persepsi, serta variabel lainya. Diharapkan dengan semakin terungkapnya variabel-variabel tersebut maka akan memperkaya referensi mengenai stres pengasuhan terutama pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Selain itu diharapkan pula bagi peneliti selanjutnya untuk menggunakan significant person anak retardasi mental lainya sepertinya seperti kakek-nenek sebagai pengasuh, ayah, guru, ibu, dan lain-lain. Penelitian dengan metode lain seperti kualitatif dan menggunakan metode analisis yang mendetail seperti studi kasus juga bisa dilakukan jika ingin menggunakan variabel yang sama.


(4)

Daftar Pustaka

Ahern, S. L. 2004. Psychometric Properties of The Parenting Stress Index-Short Form. Thesis . releigh : Faculty of Psychology North Carolina State University. Anak Cerdas Dan Sehat. Yogyakarta : Kata Hati.

Aldwin, C.M.&Revenson, T.A. 1987. Does coping help.a rexamination of the relation between coping and mental health. Journal of personality and social psychology. Vol 53, no 2,337-348.

Ardani, Tristiardi A. Sholichatun, Yulia, Rahyu, Iin Tri. 2007. Psikologi Klinis.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

Anam Choirul & Acmad T. Himawan. 2005. Peran Emotion-Focused Coping Terhadap Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder para Karyawan yang Menyaksikan Peledakan Bom di Depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004. Humanitas: Indonesia Psycjological Journal Vol. 2 No. 2. 112-118.

Anastasi, A. dan Urbina, S. 1997. Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 1. Alih Bahasa : Imam, R.H. jakarta : Prenhallindo.

Azwar, Syaifuddin. 1997.Reabilitas dan Validitas.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Billing, D.W. dan Moss R.H. 1984. Coping stress and social research among. Adelt

with unipolar depression. Jurnal.Vol. 46.no.2.277-291. Chaplin, J.P. 2004.Kamus lengkap psikologi.Jakarta : rajawali press.

Clifford et al. 1986. Mental Reterdation a Life Cycle Approach. Columbus : Merril Publishing Company.

Jaengsawang, Thammanananthika, Sanprasit, Yongyut., Thummapun, Polrapee. 2007. The Influence of job Stress and Coping Strategies on the Work


(5)

Efficiency of Call Center Employees at Telecommunication Company, The journal of Behavioral Science. Vol. 2 No.1 11-12

Johnston, C. 2003. Factor associated with parenting stress in mothers of childrenwith fragile x syndrome. Developmental and behavioral pediatric, august,vol 24, no. 4, 267-275.

Kaplan, Harold I. Sadock, Benjamin J. Grebb, Jack A. 1997.Sinopsis psikiatri jilid 2 Edisi Ketuju. Jakarta. Binarupa Aksara.

Kartono. Kartini. (1987). Kamus Psikologi.Bandung : Pioner Jaya.

Lazarus, R.S dan Folkman. 1984. Stres appraisal and coping.new york. Mc.grawhill. inc

Lestari, Sri. 2012.Psikologi keluarga.Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Li-Tsang, et al. 2001. Sucess In Parenting Childern With Developmental

Disabilitie:Some Characteristics. Attitudes and Adaptive Coping Skill. The British Jornal of Developmnetal Disabilities.VOL. 47, No. 93, 61-71

Maramis, Willy F. & dkk. 1998. Psikologi dan pendidikan anak luar biasa.Jakarta: Lembaga Pengembangan Sasaran Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.

Martin, CK & KK. Colbert (1997). Parenting A life Span Perspective. New York: The McGraw-Hill Companies.

Mangungsong, F & dkk. 1998. Pdikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa.Jakarta : Lembaga Pengembangan Sasaran Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.

Maslim, Rusdi 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


(6)

Mu’tadin.Z.2002.Strategicoping.http://www.e.psikologi.com/remaja/220702.htm ( 13 April 2013)

Nevid, Jeffrey S, Ratus, Spencer A. Greene, Breverly. 2005. Psikologi Abnormal

Jilid 2 Edisi Kelima. Jakarta. Erlangga.

Pramadi, A dan Lasmono, H.K. 2003. Coping Stres pada Etnis Bali Jawa dan Sunda. Anima Indonesian Psychological Journal. Vol 18. No : 4,326-340

Prasadio, T. 1976. Gangguan Psikiatri pada Anak-anak dengan Retardasi Mental.

Surabaya: Airlangga Universitas Press.

Smet, B. 1994.Psikologi Kesehatan. jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Supratiknya. 1995.Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta : Knisius. Surya, Muhammad. 2001.Bina Keluarga.Semarang : Aneka Ilmu.

Sumadi Suryabrata. 2000.Pengembangan Alat Ukur Psikologi Edisi 1 . yogyakarta : Penerbit Andi Yogyakarta.

Tjiptorini, Sitawaty. 2013. Psikologi umum II: Model X Coping & Stres. Pusat pengembangan bahana ajar. http://kk.mercubuana.ac.id/filed/61005-10-871396871459.doc ( diakses tanggal 27 April 2016)