Strategi coping pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

(1)

Titut Esti K. (2008). Strategi Coping Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental karena kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga mengakibatkan munculnya perubahan dan keadaan baru yang menimbulkan situasi stres sehingga orangtua berusaha untuk beradaptasi dengan mengatasi dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dialami tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian yang berjumlah tiga pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi kepada subjek kemudian data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menghadapi anak retardasi mental, subjek menggunakan strategi problem-focused coping yang berupa active coping dengan menyekolahkan anak di sekolah khusus seperti SLB atau YPAC dan restraint coping dimana subjek menunda rencana yang dibuat seperti membuka usaha dagang untuk anak ataupun memeriksakan keadaan fisik anak hingga adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Subjek juga menggunakan strategi emotion-focused coping yaitu berupa tindakan turning to religion dengan cara meningkatkan kepercayaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, positive reinterpretation and growth dimana subjek mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi stres melalui belajar untuk lebih banyak bersyukur, acceptance yaitu pasrah menerima kenyataan yang telah terjadi dan menjalani keadaan secara ikhlas, mental disengagement yaitu dengan bersikap santai dan mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan lain, dan behavioral disengagement misalnya dengan tidak melanjutkan lagi usaha pengobatan bagi anak. Strategi yang juga digunakan subjek adalah strategi seeking social support yang berupa tindakan seeking emotional social support, yaitu mencoba mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati melalui sharing atau berbagi cerita dengan orang-orang terdekat. Subjek juga memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, antara lain kondisi kesehatan yang baik, keyakinan dan sikap positif, kemampuan dan dukungan sosial yang dimiliki, serta tingkat pendidikan dan standar kehidupan yang tinggi.


(2)

Koeswardani, T. E. (2008). Parents’ Coping Strategy who Have Mental Retarded Children. Yogyakarta: Department of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research was purposed to describe the coping strategy which is used by the parents who have mental retarded children because their presence in the family cause a new situation that can affect stress. Therefore, the parents try to adapt it by exceed and minimize the negative effect of this situation.

This research was a qualitative descriptive research with the subjects were three parents who have mental retarded children. The data was collected by interviewing and observing the subjects, then the data was analized based on its content through data organizing sistematically, coding and interpreting so that the data more could be understood.

The result showed that handle mental retarded children, the subjects use problem-focused coping. There are active coping by sent them to special schools such as SLB or YPAC, and restraint coping which postpone their plans like opening a business for the children or checking the children’s physical condition until an appropriate time and opportunity. The subjects also use emotion-focused coping, such as turning to religion by increase their belief and turn to the God, then positive reinterpretation and growth by take the positive advantages from the stressful situation pass through learn to be more grateful, acceptance by accept the fact has occured with whole heart, mental disengagement by try to relax and distract the attention to do something else, and behavioral disengagement such as stop the children’s medical check up. The other strategy is seeking social support by seeking emotional social support, that is try to get moral support, attention and sympathy by share the stories with the closest person. Subjects also use the coping resources to handle their stress. Those are well health, faith and positive attitude, skill and social support, and also high education and standard of living.


(3)

YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Titut Esti Koeswardani 039114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Titut Esti Koeswardani 039114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008


(5)

STRATEGI COPING PADA ORANGTUA YAI\IG MEMILIKI ANAK RDTARI}ASI MENTAL

SkriPsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Pembimbing

ML. Anantasari, S.Psi., M.Si. Yogyakarta, 22 Fsbruari 2008

ffi%

# S " , % "

ffiffiF


(6)

(7)

“ Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau,

Janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;

Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;

Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang

membawa kemenangan...” (Yesaya 41:10)

Dalam hening mengepakkan sayap doa 

Jiwaku membubung menuju takhta; 

Dan kutemukan pengharapan kekuatanku 

Saat hatiku berpadu dengan hatiMu...(anonymous) 


(8)

Sebuah karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

™

My Lord, Jesus Christ sumber pengharapanku

™

Mama dan Papa terkasih

™

My brother ‘n my sister in law

™

My big soul

™

All my big family

™

All my friends


(9)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Titut Esti Koeswardani

No. Mahasiswa : 039114006

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Strategi Coping Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhamra hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian penryataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 28 Maret 2008 Yang Menyatakan

(Titut Esti Koeswardani)


(10)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah dituliskan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

Titut Esti Koeswardani


(11)

Titut Esti K. (2008). Strategi Coping Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental karena kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga mengakibatkan munculnya perubahan dan keadaan baru yang menimbulkan situasi stres sehingga orangtua berusaha untuk beradaptasi dengan mengatasi dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dialami tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian yang berjumlah tiga pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi kepada subjek kemudian data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menghadapi anak retardasi mental, subjek menggunakan strategi problem-focused coping yang berupa active coping dengan menyekolahkan anak di sekolah khusus seperti SLB atau YPAC dan restraint coping dimana subjek menunda rencana yang dibuat seperti membuka usaha dagang untuk anak ataupun memeriksakan keadaan fisik anak hingga adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Subjek juga menggunakan strategi emotion-focused coping yaitu berupa tindakan turning to religion dengan cara meningkatkan kepercayaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, positive reinterpretation and growth dimana subjek mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi stres melalui belajar untuk lebih banyak bersyukur, acceptance yaitu pasrah menerima kenyataan yang telah terjadi dan menjalani keadaan secara ikhlas, mental disengagement yaitu dengan bersikap santai dan mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan lain, dan behavioral disengagement misalnya dengan tidak melanjutkan lagi usaha pengobatan bagi anak. Strategi yang juga digunakan subjek adalah strategi seeking social support yang berupa tindakan seeking emotional social support, yaitu mencoba mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati melalui sharing atau berbagi cerita dengan orang-orang terdekat. Subjek juga memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, antara lain kondisi kesehatan yang baik, keyakinan dan sikap positif, kemampuan dan dukungan sosial yang dimiliki, serta tingkat pendidikan dan standar kehidupan yang tinggi.


(12)

Koeswardani, T. E. (2008). Parents’ Coping Strategy who Have Mental Retarded Children. Yogyakarta: Department of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research was purposed to describe the coping strategy which is used by the parents who have mental retarded children because their presence in the family cause a new situation that can affect stress. Therefore, the parents try to adapt it by exceed and minimize the negative effect of this situation.

This research was a qualitative descriptive research with the subjects were three parents who have mental retarded children. The data was collected by interviewing and observing the subjects, then the data was analized based on its content through data organizing sistematically, coding and interpreting so that the data more could be understood.

The result showed that handle mental retarded children, the subjects use problem-focused coping. There are active coping by sent them to special schools such as SLB or YPAC, and restraint coping which postpone their plans like opening a business for the children or checking the children’s physical condition until an appropriate time and opportunity. The subjects also use emotion-focused coping, such as turning to religion by increase their belief and turn to the God, then positive reinterpretation and growth by take the positive advantages from the stressful situation pass through learn to be more grateful, acceptance by accept the fact has occured with whole heart, mental disengagement by try to relax and distract the attention to do something else, and behavioral disengagement such as stop the children’s medical check up. The other strategy is seeking social support by seeking emotional social support, that is try to get moral support, attention and sympathy by share the stories with the closest person. Subjects also use the coping resources to handle their stress. Those are well health, faith and positive attitude, skill and social support, and also high education and standard of living.


(13)

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan berkah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini takkan terwujud tanpa bantuan, bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Jesus Christ, yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya serta yang

tiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penulisan ini.

3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di dalam maupun di luar kelas.

4. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, masukan, kritik, saran dan dukungan moral yang telah membuat penulis siap secara mental selama mengerjakan skripsi ini.


(14)

Terima kasih telah menjadi dosen pembimbing yang senantiasa membantu penulis mengenai masalah akademik.

6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi di Fakultas Psikologi ini. Terima kasih atas bimbingan dan arahannya selama ini.

7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi penulis di Fakultas Psikologi.

8. Mama dan papa tercinta yang selalu mendoakan, mensupport dan percaya

dengan segala keputusan yang penulis ambil di setiap langkah kehidupan ini sehingga membuat penulis belajar untuk mandiri dan lebih dewasa menyikapi sesuatu. Terima kasih atas setiap sarana dan kemudahan yang selalu disediakan walaupun mama dan papa sedang dalam kesulitan. Thanks a lot to

my parents...

9. Mas Nanu, mas-ku satu-satunya...thanks buat perhatian dan rasa sayangnya

yang gak pernah diungkapkan secara langsung...I like the way you love

me...However you are, you are the best brother for me....

10. Mba Rina, my sister in law, thanks buat setiap masukan dan cerita-ceritanya...

Mba Dwi, makasi sudah jagain mama dan papa di Palembang....

11. All my big family....simbah, budhe-budhe, pakdhe-pakdhe, mas-mas,

mbak-mbak dan keponakan-keponakanku...makasi atas doa, dukungan, perhatian, keakraban dan keceriaan yang diberikan ke aku...


(15)

hidupku...setiap proses yang sudah kita lalui selama ini menjadikan aku sebagai wanita yang sangat berarti dan kaya akan rasa....Doa, kepercayaan dan dukunganmu memberi kekuatan bagiku....maaf lo sering ngerepotin dirimu.... 13. Semua “yang pernah hadir” dalam hidupku...thanks buat semua proses

pembelajaran yang sudah dilalui bersama....

14.Teman seperjuanganku, Grisna...yang selalu mengingatkan dan memperhatikanku selama di Yogya....thanks for all process ya Gris...

15.Teman-teman terbaikku, Oied, Prima-poke, Otics, Dee2, Nana, Sari...dinamika akademik dan dinamika kehidupan mendewasakan pribadi kita masing-masing....Perkenalan dan kedekatan dengan kalian memberikan warna tersendiri dalam hidupku...

16. Teman-teman satu bimbingan Bu Ari....mba Dewi, Tanti “tante”, Bayu, Suster, Bona dan teman-teman yang lain...terima kasih buat semua proses dan dukungan yang memberi semangat dan kekuatan....

17.Teman-teman Kost Manunggal, Qnoy dan CingHe yang bersedia membantuku untuk melengkapi skripsi ini secara teknis sekaligus temen paling asyik buat keluar malem bersama Doddy ataupun cuma buat nongkrong di AJP atau burjo bersama Yoki dan Ratna...Adi yang mensupportku dengan

sindiran-sindirannya...Happy yang sering membuatku takut dengan tatapan kosongnya...Lina yang bisa diajak join masak...dan teman-teman lain yang

bersedia berbagi apapun di kos...Makasi atas perhatian, canda tawa dan lelucon-lelucon kalian selama ini...


(16)

selama ini yang membuatku jadi belajar banyak karakter...

19. Keluarga Pak Ismed, Pak Ngatimin dan Pak Effendi, terima kasih atas kesediaan dan keakraban yang diberikan sehingga sangat membantu kelancaran penulis selama proses penyelesaian skripsi ini....

20. Angkringan “Agung”, McD dan burjo...keberadaan kalian membantuku dalam menyelesaikan masalah kelaparan di tengah malam...

21. Semua pihak yang belum kusebutkan satu per satu di sini....terima kasih atas dukungan dan perhatian kalian...

22. The last, thanks to the reader yang rela meluangkan waktu untuk membaca

karya tulis ini....

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran dari pembaca yang bisa menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca...That’s all...

Penulis,

Titut Esti Koeswardani


(17)

HALAMAN JUDUL . . . . . . . . .. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. . . . ii

HALAMAN PENGESAHAN. . . .. iii

HALAMAN MOTTO. . . iv

HALAMAN PERSEMBAHAN. . . . . . .. . v

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Iilmiah Untuk Kepentingan Akademis. . . ... . . . .. . . ... . vi

Pernyataan Keaslian Karya. . . .. . . .. .. . . .. .. . . vii

Abstrak. . . . . . .. . viii

Abstract. . . . . . . .. . . .. . . ix

Kata Pengantar. . . . . . . x

Daftar Isi. . . . . . .. . xiv

Daftar Tabel. . . . . . .. xviii

Daftar Gambar. . . . . . xix

Daftar Lampiran.. . . . . . . xx

BAB I. PENDAHULUAN. . . . . . .. 1

A. Latar Belakang Masalah . . . . . . .. 1

B. Rumusan Masalah. . . . . . 7

C. Tujuan Penelitian.. . . . . . 7

D. Manfaat Penelitian. . . . . . 7


(18)

BAB II. LANDASAN TEORI. . . . . . 9

A. Stres. . . . . . .. . . .9

1.Pengertian Stres. . . . . . 9

2.Penyebab Stres (Stressor) . . . . . . 10

B. Strategi Coping. . . . . . 11

1.Pengertian Strategi Coping.. . . . . . 11

2.Bentuk-bentuk Strategi Coping. . . . . . 12

3.Sumberdaya Coping. . . . . . 16

C. Retardasi Mental. . . . . . 18

1.Pengertian Retardasi Mental. . . . . . 18

2.Jenis-jenis Retardasi Mental. . . . . . 19

D. Orangtua. . . . . . .. . . 21

1.Definisi Orangtua. . . . . . 21

2.Peranan Orangtua dalam Keluarga. . . . . . .22

E. Strategi Coping pada Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . . . . 24

F. Pertanyaan Penelitian. . . . . . 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. . . . . . 30

A. Jenis Penelitian. . . . . . 30

B. Identifikasi Variabel. . . . . . 30


(19)

D. Subjek Penelitian. . . . . . 31

E. Metode Pengumpulan Data. . . . . . 32

F. Analisis Data. . . . . . .. 35

G. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data. . . . . . 36

H. Prosedur Pengumpulan Data. . . . . . 39

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. . . . . . 41

A. Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian. . . . . . 41

B. Subjek Penelitian. . . . . . 43

C. Analisa Data Hasil Penelitian. . . . . . 44

D. Pembahasan Penelitian. . . . . . 53

1. Gambaran Dinamika Psikologis Strategi Coping Masing-masing Subjek. . . . . . 54

a.Subjek 1 (Ayah) . . . . . . 54

b.Subjek 1 (Ibu) . . . . . . 62

c.Subjek 2 (Ayah) . . . . . . 68

d.Subjek 2 (Ibu) . . . . . . 73

e.Subjek 3 (Ayah) . . . . . . 78

f.Subjek 3 (Ibu) . . . . . . 83

2. Dinamika Psikologis Strategi Coping Tiap Pasangan Subjek yang Memiliki AnakRetardasi Mental. . . . . . 88

a.Pasangan Subjek 1. . . . . . 88


(20)

c.Pasangan Subjek 3. . . . . . 109

3. Gambaran Menyeluruh tentang Strategi Coping Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . . . . .. 120

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. . . . . . 130

A. Kesimpulan. . . . . . .. . 130

B. Saran. . . . . . .. . . 132

DAFTAR PUSTAKA. . . . . . .. . . 133 LAMPIRAN

SURAT PERNYATAAN PENELITIAN


(21)

Tabel 1. Panduan Wawancara. . . . . . 33

Tabel 2. Panduan Observasi. . . . . . 34

Tabel 3. Pelaksanaan Konfirmasi Data Kepada Subjek. . . . . . 38

Tabel 4. Pelaksanaan Wawancara Dengan Subjek. . . . . . 42

Tabel 5. Data Subjek Penelitian. . . . . . 43

Tabel 6. Ringkasan Analisis Hasil Wawancara Subjek 1, Subjek 2 dan Subjek 3. . . . . . .. . . 45


(22)

Gambar 1. Jenis Strategi Coping. . . . . . .. . 16

Gambar 2. Strategi Coping Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental. . . 28

Gambar 3. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek I (Ayah). . . . . . . 61

Gambar 4. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek I (Ibu). . . 67

Gambar 5. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek II (Ayah). . . 72

Gambar 6. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek II (Ibu). . . . . . . . . . 77

Gambar 7. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek III (Ayah). . . . . . . . . . .82

Gambar 8. Dinamika Psikologis Strategi Coping Subjek III (Ibu). . . . .. . . . .. . . 87

Gambar 9. Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek I. . . .. . . . . . . 99

Gambar 10.Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek II. . . . . . . . 108

Gambar 11.Dinamika Psikologis Strategi Coping Pasangan Subjek III. . . . .. . . . .. 119

Gambar 12.Gambaran Menyeluruh Strategi Coping Orangtua yang Memiliki

Anak Retardasi Mental. . . . . . 129


(23)

Lampiran 1. Hasil Wawancara Subjek 1 (Bapak). . . . . . . . . 136 Lampiran 2. Koding Hasil Wawancara Subjek 1 (Bapak). . . . . . . . . . . . 160 Lampiran 3. Hasil Wawancara Subjek 1 (Ibu). . . .. .. . .. . . . 166 Lampiran 4. Koding Hasil Wawancara Subjek 1 (Ibu). . .. . . 185 Lampiran 5. Hasil Wawancara Subjek 2 (Bapak). . . . . . .. . . .. 189 Lampiran 6. Koding Hasil Wawancara Subjek 2 (Bapak). . . .. . . 199 Lampiran 7. Hasil Wawancara Subjek 2 (Ibu). . . 202 Lampiran 8. Koding Hasil Wawancara Subjek 2 (Ibu). . . . .. . . .. . 214 Lampiran 9. Hasil Wawancara Subjek 3 (Bapak). . . .. . . 227 Lampiran 11. Hasil Wawancara Subjek 3 (Ibu). . . .. . . .. . . . . . .. . 230 Lampiran 12. Koding Hasil Wawancara Subjek 3 (Ibu). . . .. 240


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepasang suami istri yang memutuskan untuk menikah dan membangun sebuah keluarga tentu mengharapkan kehadiran seorang anak untuk dapat melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Kehadiran seorang anak dalam keluarga adalah salah satu harapan terbesar orangtua dan merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan yang bisa mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Mereka tentunya juga berharap anak mereka kelak dapat lahir dengan selamat tanpa adanya kekurangan baik secara fisik maupun mental.

Suatu hal yang wajar ketika orangtua mengharapkan anak mereka dapat tumbuh secara sehat dan normal seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud karena ada anak yang dilahirkan secara normal dan sehat dan ada pula anak yang dilahirkan dengan memiliki keterbatasan pada fisik maupun mental. Hal ini memberi peluang bahwa tidak setiap orangtua pada akhirnya bisa memiliki anak yang tumbuh secara normal dan sempurna. Suatu kenyataan yang tidak diharapkan tersebut akan menjadi mimpi buruk dalam kehidupan ketika anak mereka menderita retardasi mental atau keterbelakangan mental yang akan mengalami hambatan proses perkembangan dalam fase-fase kehidupannya.


(25)

Kehadiran anak retardasi mental ini akan menimbulkan berbagai reaksi dari orangtua, yaitu dari menerima seluruhnya keterbelakangan mental anaknya hingga melakukan penolakan terhadap kehadiran anak tersebut. Semua bentuk kondisi dan situasi yang menghambat proses perkembangan anak secara baik dan normal serta kenyataan yang harus diterima orangtua bahwa anak mereka menderita retardasi mental akan menambah beban dan menyebabkan stres pada mereka (Prasadio, 1978).

World Health Organization (dalam PPDGJ III, 1993) mendefinisikan

retardasi mental sebagai suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap yang terlihat selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Dalam retardasi mental, individu tidak mampu mengembangkan aneka keterampilan sampai pada taraf yang cukup yang dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan secara memadai dan mandiri.

Retardasi mental bisa dikelompokkan dalam beberapa subtipe, yaitu retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Dalam penelitian ini dipilih orangtua yang memiliki anak yang menderita retardasi mental berat karena penderita retardasi mental berat merupakan dependent retarded.

Penderita dengan retardasi mental berat akan sangat tergantung pada pertolongan orang lain dalam kehidupannya karena penderita juga akan mengalami gangguan perkembangan motor, pengindraan, dan gangguan bicara sehingga para orangtua pun harus memberikan perhatian dan dukungan


(26)

yang lebih kepada penderita retardasi mental berat daripada anak-anak normal lainnya (Supratiknya, 1995).

Prasadio (1978) menyebutkan bahwa pada umumnya orangtua akan memiliki perasaan sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan, merasa bersalah, bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika memiliki anak yang menderita retardasi mental. Menurut Malony dan Holt (dalam Prasadio, 1976), tiga reaksi inti orangtua ketika berhadapan dengan anak yang menderita retardasi mental adalah depression, denial, dan

displacement. Keadaan depresi timbul karena orangtua merasa malu, kecewa,

kehilangan harga diri, dan perasaan negatif lainnya yang pada akhirnya akan membawa mereka kepada suatu keadaan yang tertekan. Reaksi denial atau

tidak mau mengakui kenyataan menyebabkan orangtua mengharapkan adanya suatu keajaiban penyembuhan dan hal ini mengakibatkan orangtua mengabaikan saran-saran yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Reaksi displacement berarti orangtua cenderung menyalahkan dokter/psikiater yang

membuat diagnosa retardasi mental dan kemudian peka terhadap segala bentuk kritik serta bersikap berlebihan terhadap anak.

Menurut Ingalls (1978), memiliki anak yang menderita retardasi mental merupakan kenyataan yang sangat berbeda dengan harapan mereka sehingga hal tersebut menjadi suatu peristiwa yang mengejutkan dan menyedihkan dalam kehidupan mereka. Prasadio (1978) menguraikan bahwa orangtua akan merasa cemas, frustrasi dan merasa berdosa ketika menghadapi kenyataan bahwa anak mereka menderita retardasi mental sehingga hal


(27)

tersebut akan menambah beban dalam keluarga dan orangtua akan semakin sulit menerima kenyataan dengan baik. Jika hal tersebut berlangsung secara terus-menerus maka bisa membuat orangtua menjadi tertekan atau stres. Orangtua harus belajar untuk menerima keadaan anak tersebut dengan baik dan mengerti bagaimana menerima suatu kondisi dan perubahan-perubahan yang ada karena mereka dipaksa untuk berhadapan dengan pengalaman yang berbeda dengan para orangtua lainnya dalam merawat anak. Orangtua juga dituntut untuk berlatih menjadi individu yang dewasa dan sabar untuk melakukan berbagai penyesuaian diri dengan keadaan anak mereka seperti memberikan perawatan, pendidikan, dukungan, dan perhatian ekstra tanpa terlalu bersikap berlebihan atau overprotection kepada anak.

Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi karena persoalan retardasi mental tidak bisa dilepaskan dari sikap dan kesadaran masyarakat terhadap arti dari retardasi mental itu sendiri. Soutter (dalam Prasadio, 1976) mengemukakan, masyarakat dahulu beranggapan bahwa retardasi mental memiliki hubungan dengan penyakit kutukan, moral

deficiency, kejahatan, dan keturunan sehingga anak retardasi mental biasanya

menjadi bahan tertawaan, dianggap sebagai individu yang aneh, konyol, dan idiot. Oleh karena itu, masyarakat cenderung menghindari interaksi dengan orangtua yang memiliki anak retardasi mental sehingga orangtua akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan masyarakat karena adanya stigma negatif yang tumbuh dalam masyarakat tersebut.


(28)

Kehadiran anak yang menderita retardasi mental ini membawa berbagai perubahan dalam kehidupan orangtua dan membawa mereka pada keadaan baru. Sarason & Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986) menyatakan bahwa transisi atau perubahan dalam kehidupan ini menimbulkan keadaan yang menekan (stres) karena dalam kehidupan terdapat berbagai kejadian-kejadian utama yang membawa seseorang dari suatu keadaan yang nyaman ke keadaan baru yang menimbulkan berbagai perubahan-perubahan yang penting dan menimbulkan tuntutan-tuntutan baru yang harus dipenuhi dalam kehidupan (dalam Sarafino, 1990). Keadaan baru bagi orangtua yang memiliki anak retardasi mental akan menimbulkan stres karena orangtua mengalami perubahan-perubahan penting dalam hidup dan harus memenuhi berbagai tuntutan baru, antara lain melakukan berbagai penyesuaian diri dengan keadaan anak retardasi mental serta tuntutan dalam menghadapi dan menerima stigma yang tumbuh dalam masyarakat tanpa harus mengisolasi diri dari kehidupan sosial.

Lazarus (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi atau perasaan yang dialami individu ketika individu merasa bahwa kebutuhan atau tuntutannya melebihi sumberdaya individu dan sosial yang bisa digunakan (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997). Menurut Zautra (2003), stres bisa didefinisikan sebagai respon terhadap suatu peristiwa yang ditandai dengan munculnya emosi-emosi negatif (dalam Passer dan Smith, 2004). Sarafino (1990) menyebutkan bahwa ketika berhadapan dengan suatu peristiwa yang menimbulkan stres, seseorang akan berusaha untuk melakukan


(29)

suatu tindakan untuk mengendalikan, bertoleransi, mengurangi ataupun meminimalkan stres tersebut. Tindakan tersebut biasa dikenal dengan coping

stres yang menurut Lazarus dan Launier (1978) coping stres ini selanjutnya

akan diwujudkan dalam bentuk strategi coping yang mengarah pada usaha

kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan internal maupun eksternal dan konflik-konflik yang muncul dalam situasi stres (Taylor, 1999).

Passer dan Smith (2004) mengemukakan tiga bentuk umum strategi coping yaitu emotion-focused coping yang merupakan suatu usaha untuk

mengatur respon-respon emosional yang muncul akibat situasi yang menimbulkan stres, problem-focused coping yaitu suatu usaha untuk

menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres tersebut atau faktor-faktor yang menyebabkan stres, dan seeking social support berupa

usaha pengelolaan stres dengan berpaling pada orang lain untuk memperoleh bantuan dan dukungan emosional pada situasi stres, yang dapat berupa bimbingan, dukungan emosional, dukungan moril, atau bantuan materi seperti uang.

Berdasarkan uraian di atas, maka penting dilakukan penelitian untuk mengetahui dan memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi coping pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Hal ini

dikarenakan mereka harus berhadapan dengan keadaan dan tuntutan baru yang menimbulkan situasi stres sehingga orangtua harus memilih bentuk strategi coping yang sesuai dengan diri mereka agar usaha tersebut dapat membantu


(30)

mengatasi, mengurangi dan menurunkan efek negatif dari situasi stres yang dialami tersebut.

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi coping pada orangtua yang memiliki anak

retardasi mental dengan menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif sehingga menghasilkan pemahaman mengenai strategi coping yaitu segala

upaya dan tindakan yang dilakukan oleh orangtua dalam mengatasi stres yang dialami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana gambaran strategi coping pada orangtua yang memiliki anak

retardasi mental.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan strategi coping

yang digunakan oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis :

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi


(31)

klinis mengenai strategi coping yang digunakan oleh orangtua yang

memiliki anak retardasi mental. 2. Manfaat praktis :

a. Bagi orangtua

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai strategi coping yang digunakan oleh

orangtua dalam mendampingi anak mereka yang menderita retardasi mental sehingga bisa menjadi referensi bagi orangtua lain yang mengalami kasus serupa.

b. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat untuk menambah wacana dalam menyikapi kehadiran anak retardasi mental.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Stres menurut Selye adalah respon-respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997). Selye (1956) memandang bahwa stres bukanlah sesuatu yang tidak baik, semua tergantung pada bagaimana seseorang memaknai peristiwa yang menimbulkan stres tersebut.

Lazarus (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi atau perasaan yang dialami individu ketika individu merasa bahwa kebutuhan atau tuntutannya melebihi sumberdaya individu dan sosial yang bisa digunakan (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997).

Stres menurut Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004) bisa didefinisikan sebagai respon terhadap suatu peristiwa yang ditandai dengan munculnya emosi-emosi negatif.

Jadi, stres merupakan respon individu terhadap suatu peristiwa yang ditandai dengan munculnya emosi-emosi negatif ketika individu merasa bahwa tuntutan dari peristiwa tersebut melebihi sumberdaya yang dimiliki dan semua tergantung pada persepsi individu terhadap situasi tersebut.


(33)

2. Penyebab Stres (Stressor)

Sarason & Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986) mengemukakan bahwa situasi stres dapat disebabkan oleh adanya transisi atau perubahan hidup dari satu kondisi ke kondisi lain dalam kehidupan individu sehingga menghasilkan perubahan yang penting dan menimbulkan tuntutan baru yang harus dipenuhi (dalam Sarafino, 1990). Dengan kata lain, stressor merupakan segala sesuatu yang menyebabkan

perubahan dalam hidup sehingga dapat menimbulkan stres.

Passer dan Smith (2004) mengemukakan bahwa penyebab stres atau stressor merupakan suatu jenis stimulus tertentu, baik bersifat fisik

maupun psikologis, yang mengakibatkan suatu tuntutan yang mengancam kesejahteraan dan menuntut seseorang untuk beradaptasi dengan cara tertentu. Van Praag dan Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004) menguraikan stressor dapat dibedakan berdasarkan intensitasnya, yaitu :

a. Microstressor yang bisa berupa masalah-masalah yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Major negative events atau peristiwa-peristiwa negatif yang besar yaitu

masalah-masalah yang sangat membebani kita dan menuntut usaha yang besar untuk mengatasi masalah tersebut.

c. Catastrophic events yaitu berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi

secara tidak terduga dan berpengaruh terhadap sejumlah besar masyarakat.


(34)

Seperti yang telah diuraikan di atas, semua penyebab stres tersebut berhubungan dengan perubahan yang menimbulkan stres sehingga muncul kebutuhan untuk beradaptasi agar dapat mempertahankan keadaan yang dirasakan nyaman. Penyebab stres sendiri dapat dibedakan menjadi microstressor yaitu berupa masalah yang terjadi sehari-hari, major

negtaive events yaitu masalah yang sangat membebani dan menuntut

usaha untuk mengatasi masalah tersebut, dan catastrophic events yaitu

peristiwa yang terjadi secara tidak terduga dan berpengaruh terhadap sejumlah besar masyarakat.

B. Strategi Coping

1. Pengertian Strategi Coping

Sarafino (1990) menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan stres, individu akan mencoba melakukan usaha-usaha tertentu untuk beradaptasi dengan situasi tersebut untuk mengatasi stres. Adaptasi ini dilakukan dengan coping yang selanjutnya diwujudkan

dalam bentuk strategi coping, yaitu suatu usaha kognitif dan perilaku yang

dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan internal maupun eksternal dan konflik-konflik yang timbul dalam situasi stres, serta dinilai mengganggu atau di luar batas kemampuan individu (Lazarus dan Launier, 1978; dalam Taylor, 1999).


(35)

Menurut Fleming et al. (1984), strategi coping adalah suatu usaha

atau strategi yang dipilih dan digunakan oleh seseorang untuk mengurangi efek negatif dari stres (dalam Terry dan Gloria, 1998).

MacArthur dan John (1998) mengartikan strategi coping sebagai

suatu usaha yang spesifik, baik perilaku maupun psikologis, yang digunakan seseorang untuk mengontrol, bertoleransi, mengurangi atau menurunkan situasi stres.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa strategi coping

merupakan suatu usaha yang spesifik berupa pikiran dan perilaku yang digunakan individu dalam menghadapi situasi stres yang diharapkan dapat membantu individu untuk mengatasi, bertoleransi, mengurangi atau menurunkan efek negatif dari situasi stres yang dialami.

2. Bentuk-bentuk Strategi Coping

Untuk mengatasi stres tersebut, banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi stres yang dialami, seperti membicarakan permasalahan yang dialaminya kepada orang lain, mengambil tindakan langsung dan meningkatkan berbagai aktivitas yang dapat membantu mengatasi stres yang dialami. Menurut Passer dan Smith (2004), tiga bentuk umum upaya mengelola stres adalah :

a. Problem-focused coping, yaitu strategi coping yang berusaha untuk

menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres tersebut atau faktor-faktor yang menyebabkan stres. Tindakan yang termasuk di


(36)

dalamnya adalah perencanaan, penanganan secara aktif dan pemecahan masalah, mengurangi aktivitas yang bersifat persaingan dan melatih cara menahan diri.

b. Emotion-focused coping, yaitu strategi coping yang berusaha untuk

mengatur respon-respon emosional yang muncul akibat situasi yang menimbulkan stres dan tindakan yang bisa dilakukan adalah melakukan interpretasi ulang terhadap suatu situasi secara positif, penerimaan, penyangkalan, represi, melarikan diri-menghindar, berkhayal (wishful thinking) dan mengontrol perasaan.

c. Seeking social support, yaitu suatu upaya coping dengan berpaling

pada orang lain untuk memperoleh bantuan dan dukungan emosional pada situasi stres, antara lain dengan mencari bantuan dan bimbingan dari orang lain, mencari dukungan emosional, dukungan moril dan bantuan materi seperti uang.

Carver, Scheier, & Weintraub (1989) juga mengemukakan limabelas jenis tindakan berdasarkan tiga bentuk umum strategi coping

yang diungkapkan oleh Passer dan Smith, yaitu (dalam MacArthur dan John, 1998) :

a. Active coping (coping aktif); mengambil tindakan langsung (aktif) atau

melakukan usaha untuk menghilangkan atau menghindari stressor.

b. Planning (perencanaan); merencanakan tindakan-tindakan secara aktif

dengan cara memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi stres.


(37)

c. Suppression of competing activities (mengurangi aktivitas pesaing);

mengurangi perhatian atau mengesampingkan aktivitas lain agar lebih berkonsentrasi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi. d. Restraint coping (pengekangan/menahan diri); melakukan coping

secara pasif dengan menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak melakukan coping dan individu juga

mempertimbangkan saran dari orang lain sebelum bertindak.

e. Turning to religion (agama); meningkatkan kepercayaan keagamaan

dan meningkatkan keterlibatan dalam tindakan-tindakan keagamaan untuk mendapatkan kekuatan dan berpikir positif.

f. Positive reinterpretation and growth (melakukan interpretasi ulang

yang positif dan berkembang); mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi tersebut dan memandang secara positif situasi tersebut.

g. Acceptance/resignation (penerimaan); pasrah menerima kenyataan

bahwa kejadian penyebab stres memang telah terjadi dan nyata.

h. Focus on and venting of emotions (lebih fokus dan menyalurkan

emosi); meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan melakukan usaha untuk menyalurkan atau melampiaskan perasaan-perasaan tersebut (katarsis emosi).

i. Denial (penyangkalan); suatu usaha untuk meniadakan atau

menyangkal kenyataan dari masalah stres itu untuk membuat emosi stabil.


(38)

j. Mental disengagement (pelepasan secara mental); pelepasan secara

psikologis terhadap masalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak memikirkan masalah itu lagi seperti melamun, berkhayal, tidur, atau pengalihan.

k. Behavioral disengagement (pelepasan dalam perilaku); menyerah

terhadap keadaan atau mengurangi dan menghentikan usaha untuk menghadapi masalah.

l. Alcohol/drug use (penggunaan alkohol atau obat-obatan); beralih pada

penggunaan alkohol atau obat-obatan lain sebagai cara melepaskan diri dari stressor.

m. Humor; membuat lelucon tentang stressor.

n. Seeking instrumental social support (mencari bantuan dukungan

sosial); perilaku yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan sosial seperti mendapatkan dukungan, nasehat, informasi atau saran tentang hal yang harus dilakukan.

o. Seeking emotional social support (mencari dukungan emosional);

individu berusaha mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati dari orang lain (teman, keluarga dan lingkungan sekitarnya).

Kelimabelas jenis tindakan tersebut secara skematis diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk umum strategi coping yang


(39)

Strategi Coping

Problem-focused coping

1.coping aktif 2.perencanaan 3.mengurangi

aktivitas pesaing

4.pengekangan atau

menahan diri

Emotion-focused coping

1.meningkatkan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan agama

2.melakukan interpretasi ulang yang positif dan berkembang

3.penerimaan

4.lebih fokus dan menyalurkan emosi (mengontrol perasaan)

5.penyangkalan

6.pelepasan secara mental (berkhayal atau wishful thinking)

7.pelepasan dalam perilaku

8.penggunaan alkohol atau obat-obatan 9.humor

Seeking social support

1.mencari bantuan

dukungan sosial 2.mencari dukungan

emosional

Gambar 1. Jenis Strategi Coping

3. Sumberdaya Coping

Selain strategi coping yang digunakan, kemampuan seseorang

untuk mengatasi stres secara efektif tergantung pada sifat stressor dan

sumberdaya yang dimiliki individu. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 1997), sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dalam mengatasi stres secara efektif adalah :

a. Kesehatan dan energi; semakin individu sehat dan kuat, maka mereka dapat mengatasi stres dengan baik dan bisa bertahan dalam tahap resistensi tanpa memasuki tahap kelelahan.

b. Keyakinan yang positif; meliputi self-image yang positif dan sikap

yang positif. Kedua hal tersebut memungkinkan individu memiliki strategi terbaik yang akan digunakan.


(40)

c. Internal locus of control; individu yang memiliki internal locus of

control merasa bahwa mereka memiliki kontrol yang signifikan

terhadap segala sesuatu dalam hidup mereka.

d. Kemampuan sosial; memiliki kemampuan untuk mengetahui perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu dan mampu untuk mengekspresikan diri secara baik.

e. Dukungan sosial; ketika individu dihadapkan pada situasi stres, orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman membantu dengan menjadi pendengar yang baik, memastikan bahwa individu yang sedang mengalami stres tetap menjaga kesehatannya, dan meyakinkan bahwa individu tersebut sangat berarti.

f. Sumberdaya material; walaupun uang bukan segalanya, tetapi uang bisa menjadi pilihan dan meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia untuk mengurangi pengaruh dari stres.

Selain itu, variabel yang ada dalam individu seperti umur, jenis kelamin, temperamen, tingkat pendidikan, suku, kebudayaan, dan standar kehidupan juga termasuk dalam sumberdaya yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi stres (Smet, 1994 ; Cohen & Edward, 1989 dan Moos, 1995; dalam Taylor, 1999).

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa sumberdaya yang dapat dimanfaatkan individu dalam mengatasi stres secara efektif adalah kesehatan dan energi, keyakinan yang positif, internal locus of control,


(41)

variabel yang ada dalam individu seperti usia, tingkat pendidikan, dan standar kehidupan.

C. Retardasi Mental

1. Pengertian Retardasi Mental

Prasadio (1978) menyatakan bahwa retardasi mental bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan dimana individu menunjukkan gangguan fungsi intelektual yang dimulai sejak masa perkembangan dan termanifestasi pada gangguan belajar dan gangguan penyesuaian dengan lingkungannya.

Supratiknya (1995) mendefinisikan retardasi mental adalah suatu keadaan taraf perkembangan yang ditandai dengan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama masa pertumbuhan dan munculnya gangguan mental ini dibatasi hingga individu berusia tujuh belas tahun. Dalam retardasi mental, individu tidak mampu mengembangkan aneka keterampilan sampai ke taraf secukupnya yang dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan secara memadai dan mandiri.

Retardasi mental juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap dan terutama terlihat selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua


(42)

tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial (Kompas, 22 Januari 2003).

World Health Organization (dalam PPDGJ III, 1993)

mendefinisikan retardasi mental sebagai suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hambatan keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.

Jadi, retardasi mental adalah suatu keadaan taraf perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap yang muncul selama masa perkembangan hingga individu berusia tujuh belas tahun dan ditandai dengan adanya hambatan keterampilan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.

2. Jenis-jenis Retardasi Mental

Menurut Supratiknya (1995), penggolongan tingkat retardasi mental biasanya didasarkan pada hasil pengukuran intelegensi dan mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, jenis retardasi mental dapat dikelompokkan dalam beberapa subtipe (Supratiknya, 1995; Wenar & Kerig, 2000), yaitu:


(43)

a. Retardasi mental ringan (mild mental retardation)

Penderita retardasi mental ringan memiliki IQ antara 55-70 dan setelah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun. Penderita retardasi mental biasanya mengalami keterlambatan dalam mempelajari bahasa, tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan, dan dapat diwawancarai. Penderita ini dapat dididik atau educabel

sehingga mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan serta mampu menguasai keterampilan akademik dan kerja sederhana secara mandiri b. Retardasi mental sedang (moderatemental retardation)

Penderita retardasi mental sedang memiliki IQ 40-54. Setelah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Penderita dapat dilatih atau trainable sehingga mereka dapat cukup mandiri

dalam mengurus diri dan biasanya lambat dalam pengembangan keterampilan merawat diri, keterampilan motorik, serta pemahaman dan penggunaan bahasa.

c. Retardasi mental berat (severemental retardation)

Penderita golongan ini memiliki IQ 25-39 dan mereka sering disebut “dependent retarded” atau penderita lemah mental yang

tergantung. Penderita memiliki kemampuan yang terbatas dalam kemampuan akademis, walaupun mereka dapat menggunakan bahasa-bahasa yang sangat sederhana. Perkembangan motorik dan bicara mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan pengindraan dan


(44)

motor. Mereka dapat dilatih melakukan tugas-tugas sederhana tetapi untuk hal-hal yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

d. Retardasi mental sangat berat (profoundmental retardation)

Penderita memiliki IQ kurang dari 25 dan mereka sering disebut golongan “life support retarded” yaitu golongan lemah mental

yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas. Sebagian besar dari mereka juga sangat terbatas dalam gerakannya dan hanya mampu mengadakan komunikasi nonverbal yang belum sempurna.

Jadi, jenis-jenis retardasi mental dapat dikelompokkan menjadi retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Para penderita retardasi mental ini biasanya ditangani dengan pemberian pendidikan dan latihan khusus yang didapat dari sekolah luar biasa, pemeriksaan ke psikiater, pemberian farmakoterapi, dan konseling keluarga untuk mendukung keberhasilan pengobatan.

D. Orangtua

1. Definisi Orangtua

Menurut Utama (dalam Kartono, 1985), orangtua adalah seorang pria dan wanita yang berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup sebagai suami istri, yang berarti juga bersedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang akan dilahirkan. Hal ini berarti bahwa setiap pria


(45)

dan wanita yang terikat dalam sebuah perkawinan bersedia untuk menjadi orangtua.

Jenkins (dalam Indra, 1980) menyebutkan bahwa dalam membentuk sebuah keluarga yang bahagia, perasaan-perasaan setiap anggota keluarga harus dijaga sehingga harus ada rasa cinta dan penerimaan dari orangtua terhadap anak-anak mereka, baik laki-laki atau perempuan, pandai atau lamban, dan sehat atau cacat. Orangtua harus mengerti kebutuhan anak-anaknya dan menghargai setiap anak sebagai individu.

Jadi, orangtua adalah pria dan wanita yang terikat dalam sebuah perkawinan dan bersedia hidup sebagai suami istri yang memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak mereka.

2. Peranan Orangtua dalam Keluarga

Menurut Santrock (2002), peran menjadi orangtua telah direncanakan dan diatur dengan baik bagi sebagian orang, namun bagi yang lain, peran untuk menjadi orangtua adalah suatu kejutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa calon orangtua mungkin memiliki emosi yang bercampur aduk dan mengkhayalkan hal-hal yang menyenangkan tentang memiliki anak. Oleh karena itu, menjadi orangtua menuntut beberapa keterampilan interpersonal dan tuntutan emosional yang biasanya didapat dari pengalaman dan pengetahuan mereka tentang orangtua mereka, serta membawanya ke dalam kehidupan rumah tangga mereka.


(46)

a. Peranan ayah

Jenkins (dalam Indra, 1980) menyatakan bahwa peranan seorang ayah dalam keluarga di masa lampau merupakan pemimpin keluarga yang otoriter dimana istri dan anak-anaknya tidak pernah berani menentangnya. Pada zaman sekarang ini, para ayah lebih banyak berperanan di luar rumah karena memperoleh tanggung jawab sebagai pencari nafkah.

Menurut McBride (dalam Santrock, 2002), ayah tidak hanya bertanggung jawab menyediakan sumber ekonomi keluarga, namun ayah kini dinilai dalam keaktifannya dan keterlibatan pengasuhan anak-anaknya. Santrock (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan positif ayah dalam keluarga mengandung nilai penting dalam perkembangan kompetensi sosial anak.

b. Peranan ibu

Matlin (dalam Santrock, 2002) mengasosiasikan sifat ibu dengan citra positif, seperti hangat, tidak mementingkan diri sendiri, tekun pada tugas, dan toleran. Menurut Santrock (2002), seorang ibu akan cenderung disalahkan oleh masyarakat dengan adanya asosiasi seperti ini. Jika anak-anak melakukan kesalahan dan tidak berhasil memenuhi tuntutan masyarakat, ibu cenderung dijadikan penyebab tunggal atas kesalahan yang dilakukan anak-anak.

Menurut Jenkins (dalam Indra, 1980), peranan ibu dalam rumah tangga di masa lampau lebih beraneka ragam dan membutuhkan


(47)

kekuatan fisik, sedangkan pada masa sekarang lebih menuntut hubungan kemanusiaan. Tugas-tugas ibu dalam keluarga pada zaman sekarang ini tidak hanya memasak, membersihkan rumah, dan mencuci, tetapi juga sebagai konselor yang baik dalam keluarganya. Hal ini akan berpengaruh pada rasa aman dan kehangatan dalam kehidupan keluarga yang bebas dari konflik.

E. Strategi Coping pada Orangtua yang Memiliki Anak Retardasi Mental

Orangtua yang menghadapi kenyataan bahwa anak mereka menderita retardasi mental akan mengalami perubahan yang sangat berarti dalam kehidupan karena mereka harus melakukan banyak penyesuaian diri dalam kehidupan rumah tangga dan sosial, serta harus memenuhi berbagai tuntutan baru ketika memiliki anak retardasi mental tersebut. Hal ini dilakukan orangtua agar mereka bisa menerima kehadiran anak tersebut di dalam keluarga.

Retardasi mental adalah suatu keadaan taraf perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap yang muncul selama masa perkembangan hingga individu berusia tujuh belas tahun dan ditandai dengan adanya hambatan keterampilan yang berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Menurut Supratiknya (1995), retardasi mental dapat dikelompokkan menjadi retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat yang didasarkan pada hasil pengukuran


(48)

intelegensi dan mengandung penilaian tentang kemampuan yang menyangkut kemandirian dan tanggung jawab sosial.

Dalam penelitian ini dipilih orangtua yang memiliki anak yang menderita retardasi mental berat karena penderita retardasi mental berat merupakan dependent retarded dan akan mengalami gangguan perkembangan

motor, pengindraan, dan gangguan bicara sehingga mereka akan sangat tergantung pada pertolongan orang lain dalam kehidupannya sehingga para orangtua pun harus memberikan perhatian dan dukungan yang lebih kepada anak tersebut (Supratiknya, 1995).

Prasadio (1978) menyebutkan pada umumnya orangtua akan memiliki perasaan sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan, merasa bersalah, bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika memiliki anak yang menderita retardasi mental. Orangtua yang dihadapkan pada kenyataan seperti ini akan menghadapi suatu transisi atau perubahan dalam kehidupan mereka. Menurut Zautra (dalam Passer dan Smith, 2004), perubahan dalam kehidupan ini akan menimbulkan berbagai emosi negatif yang menumpuk sehingga akan menambah beban dalam keluarga sehingga orangtua akan semakin sulit menerima kenyataan dengan baik. Sarason & Sarason (1984) dan Moos & Schaefer (1986) menyatakan bahwa transisi dalam kehidupan ini menimbulkan keadaan yang menekan (stres) karena adanya kejadian-kejadian utama yang membawa seseorang dari suatu keadaan yang nyaman ke keadaan baru yang menimbulkan berbagai perubahan penting


(49)

dan menimbulkan tuntutan-tuntutan baru yang harus dipenuhi (dalam Sarafino, 1990).

Tuntutan yang harus dilakukan oleh orangtua adalah melakukan berbagai penyesuaian diri dengan keadaan anak mereka yang membutuhkan perawatan, pendidikan, dukungan, dan perhatian ekstra. Orangtua juga harus memikirkan kehidupan masa depan anak yang menderita retardasi mental. Selain itu, orangtua akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan lingkungan sosial karena adanya stigma negatif dalam masyarakat mengenai anak yang menderita retardasi mental (Prasadio, 1976).

Ketika berhadapan dengan situasi stres tersebut, individu akan mencoba untuk beradaptasi dengan situasi tersebut untuk mengatasi stres yang bisa dilakukan dengan coping dan selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk

strategi coping yang mengarah pada usaha kognitif dan perilaku yang

dilakukan seseorang untuk mengatasi tuntutan internal maupun eksternal dan konflik-konflik yang muncul dalam situasi stres sehingga diharapkan dapat membantu individu untuk mengatasi, mengurangi atau menurunkan efek negatif dari situasi stres yang dialami.

Menurut Passer dan Smith (2004), upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi stres terbagi dalam tiga bentuk, yaitu problem-focused coping,

emotion-focused coping, dan seeking sosial support. Tindakan yang termasuk

dalam problem-focused coping antara lain coping aktif, perencanaan,

mengurangi aktivitas pesaing dan pengekangan / menahan diri. Tindakan yang termasuk dalam emotion-focused coping adalah meningkatkan keterlibatan


(50)

dalam kegiatan-kegiatan agama, melakukan interpretasi ulang yang positif dan berkembang, penerimaan, mengontrol perasaan, penyangkalan, pelepasan secara mental (berkhayal atau wishful thinking), pelepasan dalam perilaku,

penggunaan alkohol atau obat-obatan dan humor. Tindakan yang termasuk dalam seeking social support adalah mencari bantuan dukungan sosial dan

mencari dukungan emosional.

Dalam kasus ini, strategi coping yang dimaksud adalah semua usaha

yang dilakukan oleh orangtua dalam mengatasi stres yang dialami ketika memiliki anak yang menderita retardasi mental. Orangtua yang mengalami stres akan melakukan coping untuk mengatasinya dengan menggunakan

tindakan yang berbeda satu sama lain, baik dengan menggunakan

problem-focused coping, emotion-focused coping, maupun seeking social support.

Selain itu, orangtua juga menggunakan sumberdaya yang dimilikinya dalam penggunaan strategi coping yang dipilih, antara lain kesehatan dan energi,

keyakinan yang positif, internal locus of control, sumberdaya material (status

ekonomi), kemampuan dan dukungan sosial serta beberapa variabel yang ada dalam individu seperti usia, tingkat pendidikan, dan standar kehidupan. Pada gambar di bawah ini akan ditunjukkan skema dinamika psikologis orangtua yang memiliki anak retardasi mental.


(51)

Kehadiran anak retardasi mental berat sebagai stressor : 1. Penderita merupakan dependent retarded.

2. Penderita mengalami gangguan perkembangan motor, pengindraan dan bicara.

3. Stigma negatif dari masyarakat terhadap anak retardasi mental berat.

Sumberdaya coping: 1. Kesehatan dan energi 2. Keyakinan yang positif 3. Internal locus of control

4. Kemampuan dan dukungan sosial

5. Sumberdaya material 6. Usia

7. Tingkat pendidikan 8. Standar kehidupan

Stres yang dialami oleh orangtua:

1. Muncul emosi negatif yang menumpuk seperti merasa sedih dan kecewa, cemas, tidak mempunyai harapan, merasa bersalah dan bingung.

2. Berbagai tuntutan, perhatian, dan dukungan ekstra yang harus dilakukan dan diberikan dalam merawat anak retardasi mental.

3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

4. Kesulitan dalam penyesuaian diri orangtua dengan lingkungan

Strategi coping :

1. Problem-focused coping 2. Emotion-focused coping 3. Seeking social support


(52)

F. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran keadaan anak retardasi mental berat dalam keluarga?

2. Bagaimana gambaran keadaan stres yang dialami orangtua?

3. Bagaimana gambaran strategi coping orangtua yang memiliki anak

retardasi mental berat?

4. Sumberdaya coping apa yang dimiliki dan dimanfaatkan orangtua dalam


(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong, 2005). Suryabrata (1990) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan atau deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai berbagai jenis strategi coping yang dilakukan oleh orangtua yang memiliki

anak retardasi mental.

B. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah strategi coping yang digunakan

oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental.

C. Batasan Istilah

Strategi coping yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala


(54)

dalam menghadapi situasi stres ketika memiliki anak yang menderita retardasi mental. Strategi coping dalam penelitian ini meliputi problem-focused coping

yaitu dengan menghadapi dan mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres, emotion-focused coping yaitu strategi yang berusaha untuk mengatur respon

emosional yang muncul akibat situasi stres dan seeking social support yaitu

strategi coping untuk memperoleh bantuan dan dukungan emosional pada

situasi stres.

D. Subjek Penelitian

Pengambilan subjek dalam penelitian kualitatif tidak menekankan upaya generalisasi melalui perolehan sampel acak, melainkan berupaya memahami sudut pandang dan konteks subjek penelitian secara mendalam (Poerwandari, 2005). Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah tiga pasang orangtua, yaitu ayah dan ibu dari anak yang menderita retardasi mental berat.

Subjek dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada orangtua, yaitu ayah dan ibu yang memiliki anak retardasi mental berat karena ayah dan ibu memiliki peran dan keterlibatan yang sama pentingnya dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak (Ross de Parke dalam Dagun, 1990). Ayah berperan penting dalam perkembangan anak secara langsung maupun secara tidak langsung melalui interaksi dengan istrinya. Menurut Frank Pedersen, keintiman hubungan antara ayah dan ibu akan mempengaruhi dalam hubungan antara orangtua dengan anak dalam keluarga (Dagun, 1990). Oleh


(55)

karena itu, orangtua (ayah dan ibu) memegang peranan penting dalam merawat dan mendidik anak.

Pemilihan subjek penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria yaitu orangtua (ayah dan ibu) dari anak yang menderita retardasi mental berat dengan IQ 25-39. Pemilihan ini didasarkan pada alasan bahwa penderita retardasi mental berat akan mengalami banyak hambatan dalam kehidupan dan akan sangat tergantung pada pertolongan orang lain sehingga menimbulkan tekanan yang cukup kuat pada orangtua.

E. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :

1. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka semi terstruktur dimana peneliti tetap membuat panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan memungkinkan untuk dapat mengajukan pertanyaan di luar pertanyaan formal guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006). Guba dan Lincoln (1981) menyatakan bahwa dalam wawancara terbuka berarti subjek mengetahui maksud dan tujuan wawancara serta menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara (dalam Moleong, 2005).

Informasi yang ingin digali dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan, yaitu wawancara mengenai berbagai bentuk strategi


(56)

coping yang digunakan subjek dalam menghadapi anak mereka yang

menderita retardasi mental, meliputi usaha yang digunakan baik untuk menerima kenyataan akan kehadiran anak mereka maupun untuk mengatasi dampak-dampak yang muncul setelah kehadiran anak tersebut.

Tabel 1. Panduan Wawancara

Latar Belakang Subjek : 1. Berapa usia subjek?

2. Tingkat pendidikan dan apa pekerjaan subjek? 3. Berapa jumlah anak?

Stressor, Strategi Coping, dan Sumberdaya Coping :

1. Bagaimana keadaan fisik anak Anda yang menderita retardasi mental?

2. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana anak Anda melakukan aktivitasnya sehari-hari?

3. Bagaimana pengalaman subjek bersama anak yang menderita retardasi mental saat ini?Masalah-masalah apa yang ditimbulkan berkaitan dengan kehadiran anak yang menderita retardasi mental tersebut?

4. Usaha atau cara apa yang digunakan subjek saat ini untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut?

5. Perasaan apa saja yang muncul terhadap anak yang menderita retardasi mental tersebut?

6. Bagaimana cara subjek untuk mengelola perasaan-perasaan tersebut? 7. Bagaimana kehidupan sosial subjek pada saat ini?

8. Bagaimana tanggapan masyarakat saat ini terhadap kehadiran anak subjek yang menderita retaradsi mental?

9. Usaha atau cara apa yang digunakan subjek saat ini dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sosialnya yang berkaitan dengan keadaan anaknya yang retardasi mental?

10. Bagaimana penyesuaian diri dan kehidupan sosial serta komunikasi subjek dengan lingkungan sekitarnya (keluarga dan masyarakat) sekarang?

11. Sumberdaya apa saja yang subjek miliki dan manfaatkan untuk membantu mengatasi stres yang dialami?


(57)

2. Observasi

Banister et al. (1994) mengungkapkan bahwa istilah observasi

diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut dengan tujuan untuk mendeskripsikan setting yang

dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, dan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas (dalam Poerwandari, 2005).

Observasi dalam penelitian kualitatif ini dilakukan pada latar alamiah atau bersifat tidak terstruktur, yaitu observasi yang mengamati perilaku dan keadaan subjek dalam kehidupan sehari-harinya di masa kini dan peneliti mempersiapkan pencatatan secermat mungkin menyangkut perilaku yang akan berlangsung tanpa mempradesain kategori khusus dari perilaku (Basuki, 2006; Moleong, 2005).

Hasil observasi dalam penelitian ini akan dipakai sebagai data pendukung penelitian. Hal-hal yang akan menjadi fokus observasi adalah kondisi fisik lingkungan tempat tinggal, keadaan fisik dan hubungan subjek dengan anak maupun dengan lingkungan sekitarnya. Panduan observasinya adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Panduan Observasi

Observasi

1. Kondisi tempat tinggal subjek 2. Keadaan fisik subjek

3. Interaksi subjek dengan anak yang menderita retardasi mental sehari-hari 4. Interaksi subjek dengan masyarakat atau keluarga subjek yang lain


(58)

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini banyak berbentuk data deskripsi tertulis yang didapat dari transkip wawancara sehingga data-data tersebut akan dianalisis menurut isinya (Suryabrata, 1990). Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan sesuatu yang penting dan memutuskan hasil yang dapat diceritakan kepada orang lain (dalam Moleong, 2005).

Poerwandari (2005) menyebutkan langkah-langkah dalam analisis data kualitatif, yaitu :

1. Organisasi Data

Data-data yang sudah diperoleh dalam penelitian diorganisasikan secara rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen dan Finley (1996) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Data-data yang akan diorganisasi dalam penelitian ini antara lain :

a. Data mentah yaitu berupa catatan lapangan dan kaset hasil rekaman. b. Data yang sudah diproses sebagian yaitu berupa transkip wawancara


(59)

c. Data yang sudah ditandai dengan kode-kode spesifik. d. Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas. 2. Pengkodean (Koding)

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan detail sehingga dapat memunculkan gambaran mengenai topik yang dipelajari. Langkah-langkah koding yang dapat dilakukan meliputi :

a. Menyusun transkip verbatim atau catatan lapangan.

b. Memberikan penomoran secara urut pada baris-baris transkip verbatim dan catatan lapangan tersebut.

c. Memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu yang dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut.

3. Interpretasi

Interpretasi dilakukan setelah peneliti melakukan koding terhadap hasil wawancara dan catatan lapangan. Kvale (1996) mengungkapkan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam.

G. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data

1. Kredibilitas

Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses,


(60)

yang menjelaskan kompleksitas aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, kredibilitas dicoba dicapai melalui orientasi dan upaya mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari, 2005). Dalam penelitian ini, kredibilitas yang dipakai adalah kredibilitas komunikatif dimana data-data dan analisis yang diperoleh dikonfirmasikan secara bertahap kepada subjek penelitian. Dalam penelitian ini, kredibilitas juga dapat dicapai melalui (Moleong, 2005; Creswell, 1998) :

a. Melakukan pengamatan secara tekun dan cermat dengan memahami situasi pengamatan dan membangun kedekatan dengan subjek penelitian agar peneliti dapat memahami situasi pengamatan secara lebih mendalam.

b. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan dengan mendiskusikan hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dengan dosen pembimbing dan rekan-rekan sejawat yang memiliki tema yang sama yaitu tentang coping.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mempertahankan keterbukaan dan kejujuran yang berkaitan dengan hasil penelitian serta untuk memeriksa apakah metode pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dilakukan dengan benar atau ada kekeliruan.


(61)

c. Pengecekan subjek

Pengecekan dengan subjek penelitian merupakan langkah yang penting dalam pemeriksaan keabsahan data. Tahap ini dapat dilakukan baik secara formal maupun informal dengan melakukan konfirmasi ulang atas data-data dan analisis/deskripsi yang sudah terkumpul kepada subjek. Dalam penelitian ini, konfirmasi dilakukan secara informal dan dilakukan secara bertahap selama peneliti memproses dan menganalisa data-data yang telah didapat. Pada awalnya peneliti mengkonfirmasikan data yang berupa transkip verbatim terlebih dahulu kepada subjek. Setelah subjek menyetujui hasil yang diberikan tersebut telah sesuai, peneliti melanjutkan dengan mengkonfirmasikan hasil analisis atau interpretasi data secara sederhana. Berikut data pelaksanaan konfirmasi kepada subjek :

Tabel 3. Pelaksanaan Konfirmasi Data kepada Subjek

No. Subjek Waktu Konfirmasi Pertama Waktu Konfirmasi Kedua

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Orangtua 1 (Ibu) Orangtua 1 (Ayah) Orangtua 2 (Ibu) Orangtua 2 (Ayah) Orangtua 3 (Ibu) Orangtua 3 (Ayah)

13 Agustus 2007 13 Agustus 2007 20 Agustus 2007 20 Agustus 2007 31 Agustus 2007 31 Agustus 2007

19 Oktober 2007 19 Oktober 2007 20 Oktober 2007 20 Oktober 2007 21 Oktober 2007 21 Oktober 2007

d. Triangulasi

Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang berbeda dengan cara yang berbeda untuk memperoleh kejelasan


(62)

mengenai suatu hal tertentu. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian dan dengan teknik pengumpulan yang berbeda, kita akan menguatkan derajat manfaat studi (Marshall & Rossman, 1995; dalam Poerwandari, 2005). Dalam penelitian ini, jenis triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teknik yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Triangulasi teknik ini akan dilakukan dengan cara wawancara dan didukung dengan hasil observasi terhadap subjek penelitian..

2. Dependability

Melalui konstruk dependability, peneliti memperhitungkan

perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti (Poerwandari, 2005).

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan secara rinci fenomena yang diteliti dan mengungkapkan secara terbuka proses penelitian sehingga memungkinkan orang lain untuk melakukan penilaian.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan setelah menempuh langkah-langkah sebagai berikut :


(63)

2. Meminta subjek untuk bersedia menjadi subjek penelitian dan membuat janji untuk melakukan wawancara.

3. Melakukan penelitian sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati dengan subjek.

Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan alat bantu berupa tape recorder, alat tulis dan peralatan penting lainnya untuk mencatat hal-hal

yang penting sehingga mendukung kelancaran proses wawancara. Penggunaan alat-alat bantu tersebut dengan sepengetahuan dan seijin subjek penelitian. Setelah melakukan wawancara, hasil wawancara diketik dalam bentuk transkip wawancara agar peneliti lebih mudah dalam melakukan pembahasan.


(64)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Pemilihan subjek penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu strategi coping pada orangtua yang

memiliki anak retardasi mental. Pada tahap persiapan ini, peneliti menjalin raport dengan subjek. Selanjutnya, peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian dan membuat kesepakatan mengenai waktu dan tanggal wawancara. Wawancara dilakukan di tempat tinggal subjek supaya tidak merepotkan subjek dan tidak mengganggu aktivitas subjek karena subjek merupakan orangtua yang memiliki kesibukan masing-masing dalam bekerja ataupun mengurusi kebutuhan rumah tangga. Pada hari yang telah ditentukan, peneliti datang ke tempat subjek dengan membawa tape

recorder, kaset kosong, buku catatan dan alat tulis untuk mencatat hal-hal

yang dirasa perlu selama wawancara. Wawancara dengan masing-masing subjek dilakukan sebanyak dua kali sesuai dengan kesepakatan waktu dan tempat yang telah disepakati bersama sebelumnya, yaitu :


(65)

Tabel 4. Pelaksanaan Wawancara dengan Subjek

Wawancara I Wawancara II No. Subjek Tanggal

(2007)

Waktu

(WIB) Tempat

Tanggal (2007)

Waktu

(WIB) Tempat

1. 2. 3. 4. 5. 6

Orangtua I (Ibu) Orangtua I (Ayah)

Orangtua II (Ibu) Orangtua II (Ayah)

Orangtua III (Ibu) Orangtua III (Ayah) 14 Juni 22 Juni 25 Juni 28 Juni 2 Juli 4 Juli 14.30 16.30 16.00 18.30 18.30 10.00 Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek 25 Juli 26 Juli 30 Juli 31 Juli 27 Juli 27 Juli 13.45 16.30 11.00 18.45 15.00 14.00 Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek Rumah subjek

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis secara terus-menerus sejak pengambilan data sampai akhir penelitian. Analisis seperti ini bertujuan agar diperoleh pemahaman yang baik terhadap data yang telah diperoleh sehingga menghasilkan suatu deskripsi data. Langkah-langkah analasis data yang telah dilakukan adalah :

1. Menyalin hasil rekaman dalam bentuk transkrip verbatim, kemudian dibaca berulang-ulang untuk pengkodean dan memperoleh ide tentang tema-tema yang berhubungan dengan strategi coping.

2. Setelah tema teridentifikasi, dimasukkan ke dalam kategori-kategori dengan seksama.

3. Kemudian kategori-kategori dibaca-baca dan dicermati sehingga diperoleh pola hubungan dan dinamika psikologis masing-masing subjek.

4. Melakukan pemeriksaan keabsahan data dengan prosedur yang telah ditetapkan.


(66)

5. Membuat interpretasi dan pembahasan sehingga diperoleh deskripsi data penelitian.

B. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga pasang subjek yaitu tiga pasang orangtua yang merupakan ayah dan ibu dari tiga anak yang menderita retardasi mental. Identitas masing-masing subjek adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Data Subjek Penelitian

Identitas Subjek Penelitian Identitas Anak dari Subjek Penelitian

Subjek

Pekerjaan Pend. Lokasi Suku Agama JK Usia Urutan

kelahiran Informasi

Ibu Ibu rumah

tangga SMEA Palembang Palembang Islam

Pasangan Orangtua

I Ayah Wiraswasta STM Palembang Palembang Islam

L 10

tahun Anak ketiga dari tiga bersaudara SLB kelas 3 SD (IQ : 39)

Ibu Ibu rumah

tangga SMP Palembang Jawa Islam

Pasangan Orangtua

II Ayah Karyawan

Swasta SMEA Palembang Jawa Islam

P 14

tahun Anak kedua dari tiga bersaudara Lulus SDLB (IQ : 36)

Ibu Ibu rumah

tangga/pedagang SMP Palembang Palembang Islam

Pasangan Orangtua

III Ayah Wiraswasta SMP Palembang Palembang Islam

L 20

tahun Anak ketiga dari tiga bersaudara SLB kelas 1 SMA (IQ : 34) Keterangan : JK = Jenis Kelamin

P = Perempuan

L = Laki-laki


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dalam menghadapi dan menerima kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga, para subjek menggunakan strategi problem-focused coping, emotion-focused coping dan seeking social support. Strategi problem-focused coping yang digunakan oleh ketiga pasang subjek adalah active coping yang berupa tindakan aktif yang dilakukan subjek untuk mengatasi stressor dan restraint coping dengan melakukan coping secara pasif dengan menunggu waktu dan kesempatan yang tepat. Active coping yang dilakukan subjek antara lain memilih untuk menyekolahkan anak di sekolah khusus seperti SLB atau YPAC, sedangkan restraint coping yang dilakukan subjek antara lain adalah menunda rencana yang dibuat seperti membuka usaha dagang untuk anak ataupun memeriksakan keadaan fisik anak hingga adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Selain itu, subjek 1 menggunakan tindakan planning untuk mendukung usahanya yang lain dan subjek 3 juga melakukan tindakan planning dan suppression of competing activities untuk membantu mengatasi stres yang dialami.

Keseluruhan subjek juga menggunakan strategi emotion-focused coping yang berupa tindakan turning to religion dengan meningkatkan kepercayaan keagamaan kepada Tuhan, yaitu bersikap pasrah menerima


(2)

keadaan, berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Subjek juga melakukan usah positive reinterpretation and growth dengan mengambil sisi positif atau hikmah dari situasi stres melalui belajar untuk lebih banyak bersyukur dan belajar menjadi orang yang lebih baik, acceptance yaitu pasrah menerima kenyataan yang telah terjadi dengan menerima dan memaklumi keadaan dengan ikhlas, mental disengagement yang berupa pelepasan secara psikologis terhadap masalah dengan tidak memikirkan masalah itu lagi dengan bersikap santai dan mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan lain. Usaha yang juga dilakukan oleh semua subjek adalah behavioral disengagement yaitu dengan menyerah terhadap keadaan dan menghentikan usaha untuk menghadapi masalah, seperti tidak melanjutkan pengobatan bagi anak. Tindakan lain yang juga digunakan oleh subjek 1 dan 2 adalah humor, sedangkan dan focus on and venting emotions hanya dilakukan oleh subjek 1.

Strategi terakhir yang digunakan oleh seluruh subjek adalah seeking social support yang berupa seeking emotional social support yaitu mencoba mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati melalui sharing atau berbagi cerita dengan orang-orang terdekat, sedangkan seeking instrumental social support hanya digunakan oleh subjek 3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing subjek dalam memilih menggunakan strategi coping tertentu juga memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres yang dialami secara efektif, antara lain kondisi kesehatan yang baik, keyakinan dan sikap positif terhadap


(3)

masalah, dukungan sosial yang didapat dari orang lain, dan kemampuan sosial yang cukup baik di tengah masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :

a. Bagi subjek penelitian, hasil penelitian ini diharapkan lebih dapat membantu subjek untuk memilih dan menggunakan strategi coping yang sesuai dengan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi dan menerima kehadiran anak retardasi mental di dalam keluarga.

b. Bagi masyarakat, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan wacana dalam menyikapi dan mendukung orangtua yang memiliki anak retardasi mental dengan memberikan dukungan moral berupa saran, nasihat, informasi, pengertian atau simpati kepada mereka.

c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian yang masih terdapat kekurangan dalam pengumpulan data ini agar dilengkapi dengan menggunakan metode pengumpulan data yang lain, seperti observasi yang lebih terstruktur atau melakukan wawancara dengan orang-orang dekat subjek yang signifikan untuk menambah kelengkapan informasi dan sebagai sumber untuk melakukan keabsahan data sehingga hasilnya bisa lebih sempurna.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, S. (2006). Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Creswell, John W. (1997). Qualitative Inquiry And Research Design:Choosing Among Five Traditions. California: SAGE Publications, Inc.

Dagun, Save M. (1990). Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Hartoko, V. D. & Handayani, Christina S. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Huffman, K.; Vernoy, M. & Vernoy, J. (1997). Psychology In Action (4th edition). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Indra. (1980). Faktor-faktor Penting Dalam Kehidupan Keluarga Bahagia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ingalls, Robert P. (1978). Mental Retardation: The Changing Outlook. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Kartono, Kartini. (1985). Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta: Rajawali. Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Passer M. W. & Smith R. W. (2004). Psychology In Mind and Behavior. New York: McGraw-Hill Companies.

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.

Prasadio, Triman. (1976). Gangguan Psikiatrik Pada Anak-anak Dengan Retardasi Mental. Surabaya: Universitas Airlangga.

Prasadio, Triman (1978). Anak-anak Yang Terlupakan: Liku-liku Anak Terbelakang. Surabaya: Airlangga University Press.

Sarafino, E. P. (1990). Health Psychology. Canada: John Willey & Sons, Inc. Santrock, John W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup


(5)

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius. Suryabrata, S. (1990). Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.

Taylor, S.E. (1999). Health Psychology (Fourth edition). Singapura: McGraw-Hill Companies.

Wenar, C. & Kerig, P. (2000). Developmental Psychopathology From Infancy Through Adolescence (Fourth Edition). New York: McGraw-Hill Companies.

World Health Organization. (1993). Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Sumber Jurnal :

Terry, D.J. & Gloria, H.J. (1998). Adjustment to a Low-Control Situation: Reexamining the Role of Coping Responses. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 74, No. 4, 1078-1092.

Carver, C.S., Weintraub, J.K. & Scheier, M. F. Assessing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 56, No. 2, 267-283

Sumber Website :

MacArthur, C.T. & John D. (1998). Coping Strategies.

http://www.macses.ucsf.edu/research/psychosocial/notebook/coping.html Resna, L. & Sundjaya, A.G. _____. Tuna Grahita.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/14/hikmah/lain04.htm

http://www.clevelandclinic.org/health/healthinfo/docs/0000/0069.asp?index=4606 http://www.coping.org/growth/stress.htm

http://www.kompas.com /kesehatan/news/0406/16/083831.htm http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/22/iptek/92747.htm


(6)

http://www.mindtools.com/stress/UnderstandStress/StressMechanisms.htm http://republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=157549&kat_id=105