PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS V SD SE-GUGUS SADEWA KECAMATAN TEMANGGUNG.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan merupakan hal penting bagi setiap manusia dan sudah menjadi kebutuhan. Apalagi pada zaman sekarang ini, dimana persaingan semakin ketat di bidang apapun. Pendidikan menjadi hal yang mutlak dijalani bagi setiap orang. Persaingan ketat yang kerap dijumpai, misalnya persaingan dalam mencari pekerjaan dan mencari sekolah. Menghadapi dunia yang semakin penuh dengan persaingan, orang tua tentu akan mempersiapkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Setiap orangtua tentu mengharapkan anaknya kelak menjadi “orang”. Menjadi orang yang sukses tentu tidak dapat diraih begitu saja. Banyak sifat pendukung yang harus dibina sejak kecil. Salah satu diantaranya yaitu kepercayaan diri.

M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S (2012: 33) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting bagi setiap orang. Tanpa adanya kepercayaan diri, akan banyak masalah pada diri seseorang. Dengan kepercayaan diri, seseorang mampu mengaktualisasikan potensi dalam dirinya. Seseorang yang percaya diri akan selalu mengembangkan potensi yang


(2)

2

dimilikinya. Ia akan berusaha menggali potensi-potensi dalam dirinya yang mungkin dapat dikembangkan. Tidak ada rasa rendah diri dan putus asa dalam dirinya. Walaupun ada kendala yang ditemui, ia tidak akan mudah putus asa dan tetap berusaha mencapai tujuannya. Inilah salah satu hal yang menjadikan seseorang menjadi orang yang sukses.

Kepercayaan diri tidak mungkin muncul tiba-tiba. Kepercayaan diri ini perlu dikembangkan sejak dini. Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian terbentuk melalui interaksi dengan lingkungannya. Keluarga mempunyai kedudukan yang penting dalam pembentukan kepercayaan diri siswa, karena keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam perkembangan kepribadian seseorang.

Anthony (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 34) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat berpikir positif, memiliki kemandirian, dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Siswa yang percaya diri akan merasa yakin atas kemampuannya sendiri. Hal ini juga akan terlihat dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang percaya diri tidak rendah diri saat bergaul dengan teman, tidak akan meminta jawaban teman saat mengerjakan ulangan, berani mengutarakan pendapat, dan tidak mudah menyerah.

Namun, kenyataan dalam pembelajaran yang terjadi di Sekolah Dasar di Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung terdapat siswa yang menunjukkan rasa kurang percaya diri. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan wali kelas V SD di Gugus Sadewa pada tanggal 3 Oktober 2013 menyatakan mayoritas siswa


(3)

3

kelas V belum memiliki kepercayaan diri yang baik. Kurangnya rasa percaya diri terlihat ketika ulangan, masih terdapat siswa yang mencontek. Siswa merasa tidak yakin atas jawabannya, sehingga memutuskan untuk melihat jawaban teman.Padahal terkadang jawaban siswa sudah benar, hanya kata-katanya saja yang berbeda. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa kelas V, mereka mengaku pernah mencontek saat ulangan. Siswa merasa soal ulangan sulit, sehingga bertanya pada teman untuk mendapatkan jawabannya. Hal ini mengindikasikan siswa tidak yakin atas kemampuannya sendiri dan memperlihatkan pula sikap mudah menyerah.

Selain itu, kurangnya kepercayaan diri siswa dapat dilihat dari belum banyaknya siswa yang berani maju ke depan kelas saat diminta guru untuk mengerjakan soal. Berdasarkan wawancara dengan wali kelas V SD di Gugus Sadewa menyatakan baru sekitar tiga sampai lima siswa yang berani ke depan kelas. Hal ini dimungkinkan karena siswa merasa malu, belum terbiasa, takut salah, dan takut diejek temannya apabila jawaban yang mereka kerjakan salah. Padahal sebenarnya siswa mampu untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Wawancara juga dilakukan dengan beberapa siswa kelas V. Mereka mengatakan merasa ragu untuk maju ke depan kelas karena takut salah.

Kurangnya rasa percaya diri siswa kelas V di Gugus Sadewa juga terlihat saat bergaul dengan teman sekelas. Masih terdapat beberapa siswa yang rendah diri dalam bergaul dengan temannya. Hal ini dikarenakan siswa merasa berbeda dengan temannya. Siswa yang merasa secara fisik maupun kemampuan akademis lebih rendah dari temannya dan siswa yang berasal dari keluarga yang tidak


(4)

4

mampu, keluarga yang tidak utuh dan keluarga yang bermasalah, cenderung merasa berbeda dengan temannya sehingga tidak percaya diri dalam bergaul dengan teman-temannya.

Hal lain yang menunjukkan kurangnya kepercayaan diri pada siswa yaitu tidak optimis saat mengikuti perlombaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wali kelas V SD di Gugus Sadewa, siswa masih belum optimis saat mengikuti lomba. Pada saat tampil mengikuti perlombaan, siswa mengalami “demam panggung”. Padahal sebelumnya, siswa sudah berlatih dengan baik sehingga hasil yang ditampilkan tidak sebaik saat latihan. Apabila siswa percaya diri akan kemampuannya, tentu hasilnya akan lebih baik. Walaupun melihat penampilan pesaingnya yang lebih baik, namun mereka akan tetap menampilkan yang terbaik.

Menurut Anthony (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 37) kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yaitu konsep diri. Terbentuknya kepercayaan diri pada diri seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya. Manusia mempunyai kelebihan yaitu mampu melihat keadaan dirinya sendiri. Secord dan Backman (Asip F. Hadipranata, dkk, 2000: 74) menyatakan adanya kemampuan penglihatan, perasaan, pemikiran manusia kepada dirinya sendiri, maka seseorang mampu menyadari siapa dirinya. Inilah yang dimaksud dengan konsep diri.

Konsep diri tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi berkembang dengan adanya interaksi dengan individu yang lain khususnya dengan lingkungan sosial (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 16). Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam perkembangan kepribadian seseorang


(5)

5

sehingga mempunyai kedudukan yang penting dalam pembentukan konsep diri anak. Kebanyakan orangtua siswa kelas V SD di Gugus Sadewa bekerja dan beraktivitas di luar rumah. Ditambah lagi pendidikan orang tua yang rendah menyebabkan orangtua tidak memperhatikan pembentukan konsep diri pada anak-anaknya.

Kurangnya rasa percaya diri siswa bisa dipengaruhi oleh faktor konsep diri yang negatif pada diri siswa. Berdasarkan wawancara dengan wali kelas V SD di Gugus Sadewa, sekitar 60% siswa yang belum memiliki konsep diri positif. Informasi lain yang didapat yaitu sekitar 60% siswa belum memiliki konsep diri positif. Siswa belum menyadari pentingnya menumbuhkan konsep diri yang positif. Terdapat siswa yang menggambarkan dirinya berbeda dengan teman-temannya, dirinya berasal dari keluarga tidak mampu, dirinya berasal dari keluarga yang tidak utuh. Konsep diri juga dapat ditunjukkan dari sikap siswa yang suka mencari perhatian. Terdapat beberapa siswa yang suka mengganggu temannya dan membuat kegaduahan di kelas. Konsep diri negatif inilah dapat yang menyebabkan munculnya rasa tidak percaya diri.

Ketidakpercayaan diri ini dapat menghambat siswa dalam mencapai prestasi di dalam kelas, karena tidak merasa yakin akan kemampuannya sendiri dan cenderung akan mudah menyerah. Inilah pentingnya pembentukan konsep diri positif pada siswa sejak dini. Tim Pustaka Familia (2006: 26) menyatakan bahwa siswa yang memiliki konsep diri positif, jika menghadapi kegagalan akan bersikap lebih positif. Ia tidak serta merta menilai dirinya sebagai anak yang bodoh, tetapi akan mengevaluasi usaha yang telah ia lakukan untuk diperbaiki di kemudian hari.


(6)

6

Oleh karena itu, siswa yang memiliki konsep diri positif biasanya juga lebih optimis dan realistis.

Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Pengaruh Konsep Diri Terhadap Kepercayaan Diri Siswa Kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah yang terdapat di SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung, sebagai berikut. 1. Konsep diri siswa kelas V SD di Gugus Sadewa masih cenderung negatif. 2. Kepercayaan dirisiswa kelas V SD di Gugus Sadewa masih rendah.

3. Beberapa siswa berasal dari keluarga bermasalahan, keluarga tidak utuh, dan keluarga kurang mampu sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah pada pribadi siswa.

4. Orang tua belum terlalu memperhatikan mengenai pembentukan konsep diri dan kepercayaan diri siswa.

5. Ketidakpercayaan diri dapat menghambat siswa dalam mencapai prestasi belajar yang baik.

6. Kesadaran siswa akan pentingnya menumbuhkan konsep diri positif masih kurang.


(7)

7

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi permasalahan pada lingkup masalah pengaruh konsep diri terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD di Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah tingkatan konsep diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung?

2. Bagaimanakah tingkatan kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung?

3. Adakah pengaruh konsep diri terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitianini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkatan konsep diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung.

2. Untuk mengetahui tingkatan kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung.

3. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung.


(8)

8

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat digunakan sebagaireferensi ilmiah untuk menambah pengetahuan tentang konsep diri dankepercayaan diri siswa dan secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Manfaat bagi Guru

Menambah informasi bagi guru agar lebih memperhatikan pembentukan konsep diri positif dalam diri siswa dan juga mengembangkan suasana pembelajaran yang dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa.

2. Manfaat bagi Orang Tua

Menambah pengetahuan bagi orang tua agar lebih memperhatikan sikap dan perilaku anaknya serta dapat memperhatikan pembentukan konsep diri positif pada anak untuk meningkatkan kepercayaan diri.

3. Manfaat bagi Siswa

Memberikan kesadaran pada diri siswa akan pentingnya pembentukan konsep diri positif agar memiliki kepercayaan diri yang baik.


(9)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

William D. Brooks (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 99) mendefinisikan konsep

diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Persepsi ini bisa bersifat psikologi, sosial, dan fisik. Persepsi yang bersifat psikologi misalnya pandangan mengenai watak sendiri. Persepsi yang bersifat sosial misalnya pandangannya tentang bagaimana orang lain menilai dirinya. Persepsi yang bersifat fisik misalnya pandangan tentang penampilannya sendiri.

Anita Taylor (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 100) mendefinisikan konsep diri

sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri dan yang kita rasakan tentang diri kita sendiri.

Calhaoun dan Acocella (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 13-14) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang. Hurlock menyatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Burn mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.


(10)

10

Buss (Asip F. Hadipranata, dkk, 2000: 74) menyatakan bahwa konsep diri diartikan sebagai gambaran keadaan diri sendiri yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri. Pendapat dari Arndt mengatakan bahwa konsep diri merupakan konsep seseorang mengenai keseluruhan tentang dirinya sendiri, baik dari segi kejasmanian maupun psikisnya.

Menurut Hendra Surya (2007: 3) mengatakan bahwa konsep diri adalah gambaran, cara pandang, keyakinan, pemikiran, perasaan terhadap apa yang dimiliki orang tentang dirinya sendiri yang meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, perasaan, kebutuhan, tujuan hidup, dan penampilan diri. Konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh gabungan keyakinan karakter fisik, psikologis, sosial, aspirasi, prestasi, dan bobot emosional yang menyertainya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran, pandangan, pikiran, perasaan, mengenai diri sendiri dan pandangan diri di mata orang lain yang meliputi keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional, dan prestasi yang mereka capai.

2. Pembentukan Konsep Diri

Elizabeth B. Hurlock (1978: 59-60) menyatakan bahwa konsep diri bersifat hierarki. Konsep diri primer merupakan yang pertama terbentuk atas dasar pengalaman anak di rumah. Konsep diri ini dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari pengalaman dengan anggota keluarga. Konsep diri primer mencakup gambaran diri (self image), baik itu fisik maupun psikologis.Dengan meningkatnya pergaulan dengan orang di luar rumah, anak memperoleh konsep lain tentang diri mereka. Ini membentuk konsep diri sekunder.


(11)

11

Konsep diri ini berhubungan dengan bagaimana anak melihat dirinya melalui mata orang lain. Konsep diri ini juga akan membentuk gambaran diri (self image).

Gambaran diri (self image) merupakan cara seseorang melihat dirinya dan berpikir mengenai dirinya. Hal ini akan berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Gambaran diri mulai muncul pada masa balita, dimana anak-anak mulai mengembangkan kesadaran diri.

Setelah terbentuknya gambaran-gambaran diri akan terbentuk pula penilaian terhadap harga diri. Jika anak melihat tinggi dirinya, maka akan mendapat harga diri (self esteem) yang tinggi pula. Jika anak melihat dirinya rendah, maka akan mendapat harga diri (self esteem) yang rendah pula. Perasaan harga diri berkembang pada masa awal kanak-kanak dan terbentuk dari interaksi anak dengan orang tua mereka.

Kemudian menurut Amaryllia Puspasari (2007: 19-32) terdapat beberapa penggolongan mengenai pembentukan konsep diri.

a. Pola pandang diri subjektif (subjective self)

Konsep diri terbentuk melalui pengenalan diri. Pengenalan diri merupakan proses bagaimana orang melihat dirinya sendiri. Proses ini dapat terjadi saat orang melihat bayangannya sendiri di cermin. Apa yang dipikirkan seseorang pada proses pengenalan diri ini dapat terdiri dari gambaran-gambaran diri (self image), baik itu potongan visual maupun persepsi diri. Potongan visual ini seperti bentuk wajah dan tubuh yang dicermati ketika bercermin, sedangkan persepsi diri biasanya diperoleh dari


(12)

12

komunikasi terhadap diri sendiri maupun pengalaman berinteraksi dengan orang lain.

b. Bentuk dan bayangan tubuh (body image)

Selain melalui proses pengenalan diri yang biasa dilakukan dengan melihat bayangan diri sendiri di cermin, pembentukan konsep diri dapat melalui penghayatan diri terhadap bentuk fisiknya. Persepsi ataupun pengalaman emosional dapat memberikan pengaruh terhadap bagaimana seseorang mengenali bentuk fisiknya.

c. Perbandingan ideal (the ideal self)

Salah satu proses pengenalan diri adalah dengan membandingkan diri dengan sosok ideal yang diharapkan. Dengan melihat sosok ideal yang diharapkannya, seseorang akan mengacu pada sosok tersebut dalam proses pengenalan dirinya. Pada masa anak-anak, lingkungan keluarga menjadi pusat pembentukan konsep diri pada anak.

d. Pembentukan diri secara sosial (the sosial self)

Proses pembentukan diri secara sosial merupakan proses dimana seseorang mencoba untuk memahami persepsi orang lain terhadap dirinya. Penilaian kelompok terhadap seseorang akan membentuk konsep diri pada orang tersebut.

3. Perkembangan Konsep Diri

Konsep diri tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi berkembang dengan adanya interaksi dengan orang yang lain, khususnya dengan lingkungan sosial. Menurut Calhaoun dan Acocella (1990: 74-75), ketika lahir manusia tidak


(13)

13

memiliki konsep diri, pengetahuan tentang dirinya sendiri, harapan terhadap dirinya sendiri, dan penilaian terhadap dirinya sendiri. Namun, secara perlahan-lahan seseorang mulai dapat membedakan “aku” dan “bukan aku”. Saat itulah, ia mulai menyadari apa yang dilakukannya seiring dengan menguatnya panca indra. Panca indera akan semakin menguat dan mulai membentuk gagasan tentang

hubungan antara “aku” dan bukan aku“. Seseorang mulai dapat membedakan dan belajar tentang dunia yang bukan aku. Dalam hal ini, ia sedang membangun konsep diri.

Kemajuan besar dalam perkembangan konsep diri terjadi ketika seseorang mulai menggunakan bahasa, yaitu sekitar umur satu tahun. Seseorang akan memperoleh informasi yang lebih banyak tentang dirinya dengan memahami perkataan orang lain. Terlebih lagi, ketika seseorang belajar berpikir dengan menggunakan kata-kata Pada saat itulah, konsep diri, baik positif maupun negatif mulai terbentuk. Konsep diri tentu saja terus berkembang sepanjang hidup, tetapi cenderung berkembang sepanjang garis yang telah terbentuk pada awal masa kanak-kanak.

Calhaoun dan Acocella (1990: 76-78) mengemukakan bahwa sumber informasi yang penting dalam pembentukan konsep diri, antara lain:

a. Orang tua

Orang tua merupakan kontak sosial yang paling awal dan paling kuat yang dialamai seseorang. Orang tua sangat berpengaruh terhadap diri anak. Orang tua merupakan pihak yang pertama ia kenal dan merupakan sumber


(14)

14

informasi yang paling utama. Orang tua mengajarkan bagaimana menilai diri sendiri.

b. Kawan sebaya

Selain membutuhkan cinta dari orang tua, seseorang juga membutuhkan penerimaan dari kawan sebaya. Apa yang diungkapkan oleh kawan sebaya tentang dirinya akan menjadi penilaian terhadap dirinya.

c. Masyarakat

Seperti halnya orang tua dan kawan sebaya, masyarakat juga memberitahu seseorang bagaimana mendefinisikan dirinya sendiri. Dalam masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk konsep diri seseorang, misalnya pemberian perlakuan yang berbeda pada laki-laki dan perempuan akan membuat laki-laki dan perempuan berbeda dalam berperilaku.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Konsep diri seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang beragam untuk setiap orang. Amaryllia Puspasari (2007: 43-45) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu sebagai berikut.

a. Keterbatasan ekonomi

Lingkungan dengan keterbatasan ekonomi dapat menimbulkan masalah perkembangan. Kesulitan hidup secara ekonomi dapat mengakibatkan konsep diri yang rendah pada diri anak.


(15)

15 b. Kelas sosial

Kelompok-kelompok yang menganggap dirinya kelompok minoritas, cenderung mempunyai konsep diri yang rendah. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kelas sosial mereka.

Jalaluddin Rakhmat (2007: 100-104), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu orang lain dan kelompok rujukan.

a. Orang lain

Konsep diri dapat terbentuk melalui penilaian orang lain. Apabila seseorang diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan dirinya sendiri, orang tersebut akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya, apabila orang lain selalu meremehkan, menyalahkan dan menolaknya, maka orang tersebut akan cenderung tidak menyenangi dirinya sendiri.

Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri seseorang. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat yang sering disebut significant others (orang yang paling penting). Ketika masih anak-anak, mereka adalah orang tua, saudara-saudara dan orang yang tinggal satu rumah. Dari merekalah, secara perlahan-lahan seseorang membentuk konsep dirinya.

b. Kelompok rujukan (reference group)

Kelompok rujukan merupakan kelompok yang mengikat diri seseorang secara emosional. Kelompok rujukan mempengaruhi terbentuknya konsep


(16)

16

diri seseorang. Seseorang akan berperilaku dan menyesuaikan diri sesuai dengan ciri-ciri kelompoknya agar diterima oleh kelompok tersebut.

Husdarta dan Nurlan Kusmaedi (2010: 199-201) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri pada anak usia sekolah dasar, yaitu sebagai berikut.

a. Kondisi fisik

Kesehatan yang buruk ataupun cacat fisik menyebabkan anak tidak bisa bermain atau beraktivitas seperti teman lainnya. Hal ini menyebabkan anak berpandangan buruk terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, kondisi fisik yang baik akan mengakibatkan anak berpandangan baik pada dirinya.

b. Bentuk tubuh

Bentuk tubuh anak yang terlalu gemuk atau terlalu kurus akan menyebabkan anak memandang dirinya berbeda dengan teman seusianya. Sehingga membentuk konsep diri yang negatif baginya.

c. Nama dan julukan

Nama atau julukan yang bersifat cemoohan menunjukan kelompok minoritas pada anak yang mengakibatkan pembentukan konsep diri yang negatif pada anak.

d. Status sosial ekonomi

Anak dari status sosial tinggi akan merasa lebih baik dari teman-teman sebayanya. Sebaliknya anak dari status sosial lebih rendah cenderung merasa lebih buruk dari temn-temannya.


(17)

17 e. Dukungan sosial

Dukungan dari teman sebaya akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Anak yang paling populer dan anak yang paling dikucilkan mendapat pengaruh yang besar pembentukan konsep dirinya melalui dukungan teman sebanyanya ini.

f. Keberhasilan dan kegagalan

Semakin banyak keberhasilan yang diperoleh anak, maka konsep diri yang terbentuk semakin baik. Sebaliknya, semakin banyak kegagalan yang diterima anak, maka konsep diri yang terbentuk semakain buruk.

g. Intelegensi

Intelegensi yang kurang dari rata-rata membuat anak merasa kurang dari teman-temannya. Selain itu, anak juga cenderung merasa adanya sikap penolakan dari kelompoknya.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu

a. Orang lain

b. Kelompok rujukan c. Kondisi fisik d. Bentuk tubuh e. Nama dan julukan

f. Status sosial dan ekonomi g. Dukungan sosial


(18)

18 i. Intelegensi

5. Konsep Diri Positif dan Negatif

Konsep diri menurut Calhaoun dan Acocella (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 19-20), dibagi menjadi konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif adalah penerimaan yang mengarah individu ke arah sifat yang rendah hati, dermawan, dan tidak egois. Orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri baik yang merupakan kekurangan maupun kelebihan. Sedangkan, konsep diri negatif merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya yang tidak teratur, tidak memiliki kestabilan, dan keutuhan diri. Selain itu, bisa juga konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu teratur (kaku).

Ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif menurut Jalaluddin Rakhmat (2007: 105), yaitu sebagai berikut.

a. Yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah. b. Merasa setara dengan orang lain.

c. Menerima pujian tanpa rasa malu.

d. Menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.

e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif menurut Jalaluddin Rakhmat (2007: 105), yaitu sebagai berikut.


(19)

19 b. Responsif terhadap pujian.

c. Punya sikap hiperkritis.

d. Cenderung merasa tidak disukai orang lain. e. Pesimis terhadap kompetisi.

Terdapat beberapa kondisi yang perlu diperhatikan guru saat pembelajaran di kelas agar tumbuh konsep diri positif pada siswa, antara lain sebagai berikut.

a. Hindari labeling yang negatif.

b. Jangan mengancam dan menghukum secara psikologis.

c. Berikan motivasi bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan kekuatan yang berbeda.

d. Pupuk perasaan berarti bagi siswa.

e. Hargai setiap usaha siswa di kelas. Setiap usaha sekecil apapun akan mewarnai identitas diri siswa(Tim Pustaka Familia, 2006: 36-37). 6. Pengukuran Konsep Diri pada Anak

Berdasarkan teori Shavelson, seorang ahli Psikologi Perkembangan yaitu Herbert W. Marsh mengembangkan alat ukur untuk mengukur konsep diri pada anak. Teori Shavelson (Amaryllia Puspasari, 2007: 57-94) memberikan penjelasan lengkap mengenai proses penggolongan jenis konsep diri yang ada pada anak. Hal ini yang dijadikan sebagai dasar dalam membuat alat ukur untuk mengukur konsep diri pada anak.

a. Konsep diri kemampuan fisik

Konsep diri kemampuan fisik adalah kemampuan seseorang untuk mendeskripsikan dirinya dalam melakukan kegiatan yang bersifat menguji kemampuan fisik, seperti olahraga dan latihan-latihan fisik.


(20)

20 b. Konsep diri penampilan fisik

Konsep diri penampilan fisik adalah deskripsi seseorang terhadap penampilan fisiknya. Proses deskripsi ini bisa dilakukan melalui penilaian diri sendiri, penilaian yang dilakukan dengan membandingkan diri dengan orang lain, ataupun dari kumpulan pendapat orang lain mengenai diri kita.

c. Konsep diri hubungan dengan lawan jenis

Konsep diri hubungan dengan lawan jenis adalah deskripsi diri dalam membangun proses sosial dengan kelompok orang yang merupakan lawan jenis dari orang tersebut.

d. Konsep diri hubungan dengan teman sesama jenis kelamin

Konsep diri hubungan dengan teman sesama jenis kelamin merupakan deskripsi diri dari proses hubungan dengan teman yang memiliki jenis kelamin sama. Bedanya dengan konsep diri hubungan dengan lawan jenis yaitu aspek sosialnya. Aspek sosial tersebut menyangkur kelompok orang yang diajak untuk berkomunikasi sosial.

e. Konsep diri hubungan dengan orang tua

Konsep diri hubungan dengan orang tua merupakan gambaran anak dalam mendeskripsikan dirinya terhadap hubungannya dengan orang tuanya sendiri.

f. Konsep diri terhadap sikap jujur dan percaya

Konsep diri terhadap sikap jujur dan percaya merupakan gambaran anak dalam mendeskripsikan dirinya terhadap sikap jujur dan percaya kepada orang lain. Pembentukan konsep diri ini sangat penting karena pemahaman


(21)

21

deskripsi diri itu sendiri sangat berhubungan dengan tingkat kejujuran dan kepercayaan seseorang terhadap orang lain.

g. Konsep diri kestabilan emosi

Konsep diri kestabilan emosi merupakan gambaran terhadap proses pengendalian emosi pada diri seseorang. Seseorang yang sulit mengendalikan emosi dapat dilihat dari perilakunya, seperti mudah marah, selalu merasa khawatir, dan mudah resah.

h. Konsep diri akademis Matematika

Konsep diri akademis Matematika merupakan gambaran terhadap kemampuan akademik seseorang dalam bidang Matematika. Konsep diri ini sangat berpengaruh terhadap pengemabnag diri anak usia sekolah dalam hal kemampuan akademis dan pemahaman dirinya sendiri.

i. Konsep diri kemampuan verbal

Konsep diri kemampuan verbal merupakan gambaran seseorang mengenai kemampuan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Konsep diri ini dapat digambarkan secara akademis melalui kemampuan anak dalam memahami bahasa.

j. Konsep diri akademis umum

Konsep diri akademis umum merupakan gambaran seseorang terhadap kemampuan akademisnya. Pada anak usia sekolah, konsep diri ini dapat digunakan untuk mengembangkan konsep diri yang ia miliki.


(22)

22 k. Konsep diri umum

Konsep diri umum merupakan gambaran terhadap pemahaman dirinya secara umum, tanpa spesifikasi secara khusus.

B. Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Willis (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 34) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan bahwa seseorang mampu menanggulangi suatu masalah dengan situasi terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain.

Lauster (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 34) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan akan kemampuan diri sendiri sehingga tidak terpengaruh oleh orang lain, optimis, toleran, dan bertanggung jawab.

Anthony (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 34) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, dan memiliki kemandirian. Menurut Kumara, kepercayaan diri merupakan ciri kepribadian yang mengandung arti keyakinan terhadap kemampuan sendiri.

Kepercayaan diri menurut Branden (Asip F. Hadipranata, dkk, 2000: 75) yaitu kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Misiak dan Sexton menyatakan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri adalah orang yang yakin akan kemampuannya dirinya, orang yang mandiri, dan orang yang tidak suka meminta bantuan kepada pihak lain.


(23)

23

Thursan Hakim (2005: 6) mengartikan percaya diri sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya.

Menurut Anita Lie (2004: 4), percaya diri berarti yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau masalah. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri, akan merasa dirinya berharga dan mempunyai kemampuan untuk menjalani hidup, mempertimbangkan berbagai pilihan dan membuat keputusannya sendiri. Selain itu, orang yang percaya diri mempunyai keberanian dan kemampuan untuk meningkatkan prestasinya.

Berdasarkan beberapa pengertian kepercayaan diri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan terhadap kemampuannya sendiri, yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian, optimis, toleran, dan bertanggung jawab.

2. Proses Pembentukan Rasa Percaya Diri

Kepercayaan diri tidak muncul begitu saja tanpa proses. Kepercayaan diri terbentuk melalui proses tertentu di dalam diri seseorang. Menurut Thursan Hakim (2005: 6), terbentuknya kepercayaan diri dimulai dari terbentuknya kepribadian yang baik dalam diri seseorang yang memunculkan kelebihan-kelebihan tertentu. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu, akan menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa ia mampu berbuat segala


(24)

24

sesuatu dengan memanfaatkan kelebihannya tersebut. Selain kelebihan, seseorang tentu dilahirkan dengan kekurangan. Orang yang mampu memberikan reaksi positif terhadap kelemahan yang dimilikinya, akan memiliki rasa percaya diri yang baik. Dalam kesehariannya, ia akan menggunakan kelebihan yang dimilikinya dengan baik.

Munculnya rasa ketidakpercayaan diri dalam diri seseorang juga melalui proses yang panjang. Menurut Thursan Hakim (2005: 9), awal munculnya rasa tidak percaya diri terbentuk dari lingkungan keluarga. Seseorang dilahirkan tidak mungkin tanpa kekurangan. Terbentuknya berbagai kekurangan dalam aspek kepribadian seseorang dapat meliputi berbagai aspek, seperti mental, fisik, sosial, atau ekonomi. Pemahaman yang negatif terhadap kekurangan dirinya, tanpa meyakini bahwa ia juga mempunyai kelebihan, akan menimbulkan rasa tidak percaya diri. Akibatnya ia menjalani kehidupan sosialnya dengan bersikap negatif pula, seperti suka menyendiri, lari dari tanggung jawab, mengisolasi diri dari kelomok, dan lainnya yang justru semakin memperkuat rasa tidak percaya dirinya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S (2012: 37-38) sebagai berikut.

a. Konsep diri

Menurut Anthony (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 37) terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya dalam suatu kelompok.


(25)

25

Menguatkan pendapat tersebut, Hendra Surya (2007: 3) mengatakan bahwa munculnyagejala tidak percaya diri pada anak ketika akan melakukan sesuatu terkait dengan persepsi diri dan konsep diri. Tidak percaya diri berarti ungkapan untuk mengartikan pernyataan ketidakmampuan anak untuk melaksanakan atau mengerjakan sesuatu. Anak berpikir dan menilai negatif dirinya sendiri sehingga muncul perasaaan tidak menyenangkan dan dorongan atau kecenderungan untuk menghindari apa yang akan dilaksanakannya itu. Jadi, untuk membangun kepercayaan diri anak, terlebih dahulu harus membenahi, mengarahkan, dan mengembangkan konsep diri positif pada anak.

Amaryllia Puspasari (2007: 6) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif, akan memiliki perasaaan positif dalam dirinya. Perasaan positif inilah yang menyebabkan adanya perkembangan komunikasi yang lebih baik pada diri seseorang. Sebaliknya, konsep diri yang negatif pada seseorang akan memunculkan persepsi negatif, yang akan menimbulkan rendahnya percaya diri.

b. Harga diri

Harga diri adalah penilaian seseorang yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang positif pula. Harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. c. Pengalaman

Anthony (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 37) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu adalah hal terpenting untuk mengembangkan


(26)

26

kepribadian sehat. Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri pada diri seseorang. Begitu pula sebaliknya, pengalaman juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya rasa percaya diri seseorang. d. Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan orang tersebut tergantung dan berada di bawah kekuasaan orang lain yang tingkat pendidikannya lebih tinggi darinya. Sebaliknya, orang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.

Menurut Thursan Hakim (2005: 12-24), terdapat beberapa kondisi yang mempengaruhi rasa percaya diri seseorang, yaitu sebagai berikut.

a. Kelainan fisik

Kelainan fisik dapat menjadikan seseorang menjadi tidak percaya diri apabila disikapi dengan negatif. Ia akan merasakan kekurangan yang ada pada dirinya tersebut dan membanding-bandingkan dengan orang lain. Apabila tidak disikapi dengan sikap positif, maka akan timbul rasa tidak percaya diri. b. Kondisi ekonomi

Seseorang dengan kondisi ekonomi yang kurang dapat menyebabkan munculnya rasa tidak percaya diri dalam dirinya. Hal ini disebabkan ketakutannya apabila tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya, terlebih lagi apabila lingkungan sekitarnya tergolong kalangan ekonomi menengah ke atas.


(27)

27 c. Status sosial

Status sosial terkait dengan tingkatan-tingkatan tertentu dalam masyarakat, seperti jabatan, pangkat, golongan, atau keningratan. Sama halnya dengan seseorang dengan kondisi ekonomi yang kurang, status sosial seseorang yang rendah dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri seseorang. Rasa tidak percaya diri untuk bisa diterima dalam interaksi sosial dengan golongan yang lebih tinggi bisa dialami oleh orang status sosial yang lebih rendah.

d. Kecerdasan

Kecerdasan seseorang akan terliahat saat berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi lisan. Orang yang cerdas akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia berada. Kurangnya wawasan akan membuat orang kesulitan berkomunikasi dengan orang lain yang lebih intelek. Hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa tidak percaya diri untuk bergabung dengan kelompok tertentu.

e. Pendidikan keluarga

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama dalam membentuk perkebangan pribadi setiap orang. Apabila sejak kecil, anak sudah mendapatkan pemahaman tentang mahkluk sosial yang kedudukannya sama dengan orang lain, maka ia akan memiliki rasa percaya diri. Sebaliknya, apabila ia memahami dirinya secara negatif dan memandang dirinya memiliki kekurangan dibanding orang lain, maka akan muncul rasa tidak percaya diri dalam dirinya.


(28)

28

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yaitu:

a. Konsep diri b. Harga diri c. Pengalaman d. Pendidikan e. Kelainan fisik f. Kondisi ekonomi g. Status sosial h. Kecerdasan

i. Pendidikan keluarga

4. Karakteristik Kepercayaan Diri

Lauster (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, 2012: 35-36) menyatakan orang yang memiliki kepercayaan diri positif ditunjukkan melalui sikap berikut ini.

a. Keyakinan kemampuan diri

Keyakinan pada kemampuan diri adalah sikap positif seseorang tentang dirinya. Seseorang yang percaya diri, akan merasa yakin terhadap kemampuannya sendiri dan mampu bersungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.

b. Optimis

Optimis adalah sikap positif yang dimiliki seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri dan kemampuannya.


(29)

29 c. Objektif

Objektif berarti memandang suatu permasalahan sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut pendapat dirinya sendiri.

d. Bertanggung jawab

Bertanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya. Apa yang telah ia perbuat, berani ia pertanggungjawabkan.

e. Rasional dan realistis

Rasional dan realistis adalah analisis terhadap suatu masalah, suatu hal, dan suatu kejadian menggunakan pemikiran yang dapat diterima akal dan juga sesuai dengan kenyataannya. Rasional berarti memandang suatu permasalahan sesuai dengan akal sehat dan dapat diterima oleh akal. Sedangkan realistis berarti memandang suatu masalah sesuai dengan kenyaatan.

5. Ketidakpercayaan Diri Siswa Sekolah Dasar

Tanda-tanda tidak percaya diri pada siswa Sekolah Dasar dapat dilihat dari tingkah lakunya, antara lain sebagai berikut (Thursan Hakim, 2005: 46-70).

a. Cenderung enggan menghadapi kesulitan

Gejala ini akan terlihat ketika siswa menghadapi suatu hal dengan tingkat kesulitan tinggi. Siswa tidak mau belajar walaupun disuruh orang tuanya, belajar dengan waktu sedikit walaupun akan menghadapi ujian, sering menolak apabila disuruh orang tua melakukan suatu pekerjaan, dan


(30)

30

lain sebagainya. Hal ini kemungkinan karena banyaknya fasilitas yang diberikan orang tuanya. Akibatnya, siswa hanya mau mengerjakan hal-hal yang menyenangkan dan tidak percaya diri untuk melakukan kegiatan positif dengan tingkat kesulitan tertentu.

b. Tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa dibantu

Salah satu rasa tidak percaya diri pada siswa ditunjukkan dengan seringnya siswa meminta bantuan saat mengerjakan pekerjaan rumah. Siswa merasa bahwa pekerjaan rumah sebagai satu beban dan membuatnya tidak percaya diri untuk bisa mengerjakan sendiri. Ia cenderung meminta bantuan orang lain dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

c. Merasa pelajaran sekolah sebagai beban

Siswa yang tidak percaya diri akan merasa pelajaran sekolah menjadi beban dan membuatnya kurang yakin untuk bisa menghadapinya. Gejala ini bisa dilihat dari berbagai tingkah laku siswa, seperti sulit dibangunkan untuk pergi ke sekolah, malas belajar, tidak tertib di kelas, tidak peduli dengan PR, tidak serius dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian, dan malas mempersiapkan buku pelajaran.

d. Takut menghadapi temannya yang nakal

Siswa dapat memperlihatkan gejala tidak percaya diri dalam bentuk kurang memiliki rasa aman, seperti merasa takut menghadapi temannya yang nakal.


(31)

31 e. Takut menghadapi guru

Setiap siswa mempunyai tingkat kepercayaan diri dan keberanian yang berbeda dalam menghadapi orang dewasa, terutama guru di sekolah. Ada kalanya, guru yang mempunyai disiplin tinggi dan emosi tinggi, kurang menyadari bahwa sikap mereka bisa membuat siswa-siswanya takut. Pada siswa tertentu, ketakutan ini bisa terjadi secara berlebihan dan menimbulkan rasa tidak percaya diri.

Ketidakpercayaan diri pada siswa tersebut, antara lain dapat terlihat saat siswa grogi setiap kali menjawab pertanyaan gurunya, gugup ketika tampil di depan kelas, tidak berani memandang ke depan pada saat guru mengajar, bahkan ada yang tidak berani pergi ke sekolah.

f. Tidak berani tampil di depan kelas

Ketidakberanian siswa tampil di depan kelas merupakan salah satu bentuk adanya rasa tidak percaya diri. Misalnya, siswa menolak setia kali guru menyuruhnya untuk bernyanyi, mengerjakan soal, atau membaca. Hal ini kemungkinan karena siswa kurang dibiasakan untuk berani mengekspresikan isi hatinya dan beradaptasi dengan berbagai situasi seperti interaksi dengan banyak orang.

g. Tidak berani bertanya dan menyatakan pendapat

Ketidakpercayaan diri siswa dalam bentuk ketidakberanian untuk bertanya dan menyatakan pendapat banyak terjadi di sekolah. Dalam proses pembelajaran, seringkali terjadi ketika seorang guru memberikan kesempatan pada muridnya untuk bertanya, sebagian besar dari mereka tidak berani


(32)

32

bertanya sekalipun belum mengerti pelajaran yang diterangkan guru. Demikian pula, ketika mereka diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat, sebagian besar tidak berani melakukannya.

h. Mudah panik dalam menghadapi masalah

Ada kalanya, siswa memperlihatkan gejala mudah panik, bingung, atau menghindar setiap kali menghadapi masalah. Sikap itu biasanya bukan disebabkan masalah yang dihadapinya sangat sulit, tetapi lebih sering karena adanya rasa tidak percaya diri bahwa ia akan mampu mengatasi masalah. i. Sering mengisolasi diri

Mengisolasi diri atau sebaliknya diisolasi oleh teman-temannya sering dialami oleh siswa tertentu di dalam lingkungan sekolah. Siswa lebih banyak diam dan mengisolasi diri. Ia juga biasa menjadi korban dari gurauan dan ejekan teman-temannya.

j. Cenderung mundur dalam menghadapi masalah

Orang dengan rasa percaya diri akan bisa menghadapi tantangan. Ada kalanya, siswa tertentu memperlihatkan gejala tidak bisa menghadapi tantangan, misalnya malas mengerjakan PR, selalu meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan PR padahal belum mencoba sendiri mengerjakannya, sering mencontek saat menghadapi tes atau ulangan, sulit bergaul dengan orang yang baru dikenal, tidak berani menjawab pertanyaan sekalipun bisa menjawab.


(33)

33 6. Menumbuhkan Kepercayaan Diri Siswa

Percaya diri merupakan modal dasar seorang anak dalam memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Kepercayaan diri bukan dipaksakan, melainkan ditumbuhkan. Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada siswa (Anita Lie, 2004: 70-99).

a. Memberi semangat dan dorongan bagi kemajuan siswa

Anak usia sekolah dasar mempunyai kebutuhan untuk membuktikan kemampuan dan prestasinya. Ia mengharapkan orang-orang yang dekat dengannya bisa mengakui prestasinya. Guru dapat memberi pujian atau hadiah bagi siswa sebagai pendorong semangat.

b. Memahami beban dan kesulitannya serta beri ruang untuk kegagalan Tidak setiap siswa mampu mengukir prestasi terus menerus. Adakalanya, siswa mengalami kegagalan, misalnya nilai ulangannya jelek atau kalah dalam suatu perlombaan. Ketika siswa mengalami kegagalan, jangan mencemooh atau menjatuhkannya agar siswa tidak patah semangat. Siswa perlu diajak memikirkan sebab-sebab kegagalannya sehingga ia tidak melakukannya di kemudian hari.

c. Memberikan tanggung jawab pada anak untuk melakukan pekerjaan rutin Sebenarnya sejak dini, secara alamiah anak mempunyai dorongan untuk bertanggungjawab atas diri mereka sendiri. Sayangnya, orang tua sering terlalu memanjakan anak. Di sekolah, guru dapat mengajarkan siswa untuk


(34)

34

memikul tanggung jawab, misalnya melaksanakan tugas piket, meberikan tugas rutin, dan lain-lain.

d. Melibatkan siswa dalam perencanaan sebuah kegiatan

Melibatkan siswa dalam perencanaan kegiatan di sekolah, misalnya karya wisata mempunyai tujuan. Pertama, siswa akan merasa berharga dan berguna.Keterlibatan siswa akan membuatan kegiatan lebih berkesan. Kedua, kegiatan ini merupakan kesempatan untuk membuat siswa bisa melihat relevansi dari semua pengetahuan yang ia dapatkan dengan kehidupan sehari-hari.

e. Memberi kesempatan untuk berhadapan dengan orang lain

Siswa perlu dibimbing untuk berinteraksi dengan orang lain agar tumbuh kepercayaan diri. Setelah siswa belajar berinteraksi dengan guru dan teman-temannya di kelas, siswa perlu diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan warga sekolah lain, seperti guru lain, kepala sekolah, penjaga sekolah, dan kakak maupun adik kelasnya. Hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri siswa karena ia sudah mulai belajar berani berhadapan dengan orang lain. f. Mengajarkan pada siswa untuk mengatur keuangannya sendiri

Kemampuan mengatur keuangan dapat diajarkan sejak dini. Siswa perlu diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Pada anak usia 6-12 tahun, siswa sudah bisa secara bertahap mengelola keuangannya sendiri agar mampu belajar bertanggung jawab.


(35)

35

g. Memberi ruang untuk perbedaan pendapat dan keinginan

Guru maupun orang tua perlu memahami bahwa setiap siswa merupakan pribadi yang bebas. Bebas yang dimaksud yaitu kebebasan berpikir dan berperasaan. Siswa yang mempunyai kebebasan berpikir dan berperasaan akan tumbuh menjadi manusia yang percaya diri. Oleh karenanya, biasakan untuk menghargai siswa dan memberikan kebebasan sesuai dengan tahapan perkembangannya.

h. Menjadi teman yang baik bagi siswa

Guru perlu menjadi teman yang baik dalam situasi tertentu. Kadangkala siswa membutuhkan orang lain yang bisa diajak bicara dan mau mengerti permasalahannya.

i. Mengajarkan pada siswa bahwa untuk mendapatkan sesuatu membutuhkan usaha

Guru perlu memotivasi dan mengajarkan untuk berusaha dan berjuang agar bisa mendapatkan sesuatu yang berharga. Pengalaman perjuangan ini meningkatkan proses pendewasaan siswa. Siswa akan merasakan kebanggan pada dirinya sendiri ketika ia berhasil mendapatkan sesuatu melalui sebuah perjuangan.

j. Menghargai hasil karya siswa

Hal kecil yang dapat dilakukan guru atas hasil karya siswa yaitu memberikan pujian. Selain itu, agar siswa merasa hail karyanya dihargai, guru dapat memajang hasil karya siswa di sudut ruang kelas atau di papan sekolah. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa.


(36)

36 C. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Siswa sekolah dasar berada pada masa kanak-kanak akhir yang umumnya berusia 6 sampai 12 tahun. Dilihat dari perkembangannya, karakteristik siswa sekolah dasar yang berada pada masa kanak-kanak akhir yaitu sebagai berikut (Desmita, 2010: 153-188).

1. Fisik

Secara fisik, pertumbuhan anak pada masa kanak-kanak akhir relatif lambat dan seragam, sebelum mengalami perkembangan pesar pada masa pubertas. Pertumbuhan fisik anak lebih terlihat pada peningkatan berat badan daripada pertambahan panjang badannya. Pertumbuhan fisik ini akan memberikan kemampuan pada anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas baru. Anak akan lebih cepat dalam berlari dan semakin pandai melompat.

2. Kognitif

Menurut Piaget, pemikiran anak usia sekolah dasar termasuk dalam operasional konkret. Anak sudah mampu berpikir logis terhadap benda-benda atau objek yang sifatnya konkret. Dan juga, mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat konkret. Disini terlihat pemikiran anak sudah mulai berkembang.

Dilihat dari perkembangan bahasa, perbendaharaan kosa kata anak usia sekolah dasar yang ia pergunakan dalam percakapan ataupun tulisan, sudah meningkat. Peningkatan perbendaharaan kosa kata ini, didapatkan dari berbagai pelajaran di sekolah, bacaan, pembicaraan dengan anak-anak lain, serta melalui radio dan televisi. Selain peningkatan dalam perbendaharaan kosa kata, anak usia


(37)

37

sekolah dasar juga lebih analitis terhadap kata-kata. Hal ini memungkinkan anak menambah kosa kata yang lebih abstrak ke dalam perbendaharaan katanya.

3. Psikososial

Pada usia anak sekolah dasar, kehidupan psikososial anak akan semakin kompleks. Sekolah dan guru menjadi aspek penting dalam perkembangan psiokososialnya, di samping hubungan dengan keluarga dan teman sebaya yang masih tetap mempengaruhi kehidupan anak. Berikut ini beberapa aspek penting dalam perkembangan psikososial anak usia akhir yang berada pada masa kanak-kanak akhir.

a. Konsep diri

Konsep diri anak pada usia sekolah dasar mengalami perubahan yang sangat pesat. Pada usia ini, anak lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal dibandingkan karakteristik ekternal. Anak lebih memandang dirinya pada aspek psikologis, seperti sifat kepribadian, misalnya pintar, pemarah, dibanding karateristik dirinya secara fisik, misalnya rambut panjang, warna mata, dan lainnnya.

Secara sosial, konsep diri anak juga meningkat. Livesly & Bromley (Desmita, 2010: 181) mengatakan bahwa anak-anak sekolah dasar seringkali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan dalam mendeskripsikan dirinya. Dengan artian, anak akan mendeskripsikan dirinya sesuai dengan kelompok sosial yang ia ikuti, seperti seorang pramuka, kelompok paduan suara, bisa juga kelompok yang ia bentuk sendiri, misalnya ia dan dua teman karibnya.


(38)

38

Selain itu, anak sekolah dasar juga mengacu pada perbandingan sosial dalam mendeskripsikan dirinya. Anak-anak cenderung membedakan dirinya dengan orang lain secara komparatif daripada secara absolut. Anak tidak lagi memandang dirinya tentang apa yang dapat ia lakukan dan tidak dapat ia lakukan, tetapi memandang apa yang dapat ia lakukan dibanding dengan apa yang dapat orang lain lakukan. Apabila ia memandang dirinya lebih buruk dari orang lain, maka ia akan merasa rendah diri.

b. Hubungan dengan teman sebaya

Interaksi dengan teman sebaya merupakan kegiatan yang menyita waktu anak usia sekolah dasar. Semakin bertambah usia, semakin banyak waktu yang ia habiskan untuk berinteraksi bersama teman sebayanya.

c. Pembentukan kelompok

Usia anak sekolah dasar sering disebut usia kelompok. Ia biasanya berinteksi dengan teman sebayanya melalui kegiatan kelompok. Anak sekolah dasar akan berusaha agar ia bisa diterima dan disenangi oleh kelompoknya. d. Sekolah

Sekolah memegang peranan penting dalam perkembangan anak sekolah dasar. Waktunya banyak dihabiskan di sekolah. Interaksi dengan teman dan guru akan mengembangkan kemampuan kognitif, sosial, dan juga konsep diri anak.

Rita Eka Izzaty, dkk. (2008: 105-115) menyatakan pula karakteristik anak pada masa kanak-kanak akhir. Masa kanak-kanak akhir sering disebut sebagai masa usia sekolah atau masa sekolah dasar.


(39)

39 1. Fisik

Pertumbuhan fisik anak cenderung lebih stabil. Anak bertambah tinggi, bertambah berat, menjadi lebih kuat, serta belajar banyak keterampilan. Pertumbuhan fisik setiap anak akan bervariasi. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor asupan gizi yang diberikan pada anak.

2. Kognitif

Pada masa operasional konkret, anak dapat melakukan pekerjaan yang lebih tinggi daipada masa sebelumnya. Kemampuan berpikir anak meningkat. Anak sudah lebih mampu berpikir logis, belajar, mengingat dan berkomunikasi. Dalam hal ini, kemampuan berpikir anak berkembang dari sederhana ke tingkat yang lebih rumit.

3. Bahasa

Perkembangan bahasa anak terus meningkat pada masa ini. Selain peningkatan perbendaharaan kata, anak juga belajar memilih kata yang tepat untuk penggunaan tertentu. Anak juga mulai belajar berkomunikasi dengan berbicara dengan baik pada orang lain.

4. Moral

Perkembangan moral anak ditandai dengan adanya kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral ini dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan perilaku orang-orang disekitarnya.

5. Emosi

Emosi anak sekolah dasar berkembang seiring dengan berkembangnya interaksi dengan teman sebaya dan juga teman sekolah. Anak berusaha


(40)

40

menghindari emosi yang kurang baik agar diterima oleh teman-temannya. Menurut Hurlock, ungkapan emosi yang muncul pada anak usia sekolah dasar yaitu amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.

6. Sosial

Dari segi sosial, interaksi anak sudah mulai berkembang. Interaksi dengan keluarga, teman sebaya, sekolah memiliki peran penting bagi anak. Anak banyak terlibat dalam aktivitas bermain dengan teman sebayanya maupun teman sekolah. Melalui kegiatan ini, anak akan mendapatkan pengalaman berharga. Bermain secara berkelompok memberikan peluang dan pelajaran pada anak untuk berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman.

Senada dengan pendapat di atas, Anita Lie (2004: 65-66) juga mengungkapkan karakteristik siswa sekolah dasar yang berada pada usia sekitar 6-12 tahun dilihat dari perkembangannya, yaitu sebagai berikut.

1. Kognitif

Daya konsentrasi anak usia sekolah dasar sudah meningkat. Anak bisa berpikir dengan lebih baik dan membentuk sistem logika. Selain itu, anak juga mampu berimajinasi dengan baik. Anak sudah menyadari adanya peraturan, seperti aturan dalam permainan dan aturan dalam masyarakat.

2. Sosial

Dilihat dari segi sosial, anak usia sekolah dasar mulai belajar bekerja sama dengan temannya. Anak mulai menyadari bahwa hidup tidak hanya untuk bermain saja. Mereka mulai sadar bahwa dalam hidup juga membutuhkan orang lain.


(41)

41

Selain itu, anak juga mulai membandingkan dirinya dengan anak lain. Ia ingin memiliki apa yang dimiliki anak lain atau ingin melakukan apa yang anak lain bisa lakukan. Apabila tidak terpenuhi, maka ia akan rendah diri.

3. Moral

Anak menilai moral yang baik adalah yang dapat menyenangkan atau membantu orang lain. Anak berusaha melakukan hal yang disukai orang di sekitarnya dengan maksud untuk mencari persetujuan tentang apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Pada masa ini, anak akan menghormatiorang tua dan gurunya serta cenderung untuk tidak menentang.

D. Penelitian yang Relevan

Budi Andayani dan Tina Afiatin (1996) dalam penelitiannya yang dimuat di Jurnal Psikologi 1996, XXIII (2) yang berjudul Konsep Diri, Harga Diri, dan Kepercayaan Diri Remaja. Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting dalam kehidupan manusia. Dari pendapat para ahli konsep diri dan harga diri mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya kepercayaan diri. Penelitian tersebut membuktikan secara empirik hubungan antara konsep diri, harga diri, dan kepercayaan diri. Subjek penelitian siswa SMP PIRI Ngabean sebanyak 208 orang, data diolah dengan analisis product moment dari Pearson. Diperoleh dukungan terhadap hipotesis penelitian yaitu bahwa ada hubungan yang positif antara konsep diri dan kepercayaan diri sebesar rxy=0,808 (p<0,01); dan ada hubungan positif antara harga diri dengan kepercayaan diri sebesar rxy=0,606 (p<0,01).


(42)

42 E. Kerangka Pikir

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting ditanamkan sejak dini. Banyak masalah yang timbul akibat tidak percaya diri. Siswa yang mencontek merupakan salah satu contoh bahwa siswa tersebut tidak percaya pada kemampuannya sendiri. Masih banyak contoh lain yang menggambarkan masalah kepercayaan diri ini.

Kepercayaan diri tidak muncul dengan sendirinya. Kepercayaan diri terbentuk dari interaksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan kepercayaan diri anak, karena lingkungan keluaraga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam perkembangan kepribadian anak.

Banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri, salah satunya yaitu konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran, pandangan, pikiran, perasaan, mengenai diri sendiri dan pandangan diri di mata orang lain yang meliputi keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional, dan prestasi yang mereka capai.

Siswa yang tidak percaya diri mempunyai gambaran negatif pada dirinya sendiri. Tidak percaya diri berarti ungkapan untuk mengartikan pernyataan ketidakmampuan siswa untuk mengerjakan sesuatu. Siswa berpikir dan menilai negatif dirinya sendiri sehingga muncul perasaaan tidak menyenangkan dan dorongan atau kecenderungan untuk menghindari apa yang akan dilaksanakannya itu. Dengan kata lain, konsep diri yang rendah pada siswa ini akan memunculkan persepsi negatif, yang tentunya akan menimbulkan rendahnya percaya diri.


(43)

43

Siswa yang memandang dirinya bodoh, akan merasa bahwa ia tidak mampu mengerjakan soal. Karena dalam dirinya sudah tertanam persepsi negatif maka akhirnya muncul rasa tidak percaya akan kemampuannya sendiri. Akibatnya siswa tersebut mencontek saat mengerjakan soal ulangan atau mengerjakan soal seadanya, tidak mau berusaha terlebih dahulu. Siswa yang memandang bahwa dirinya jelek dapat menjadi tidak percaya diri ketika tampil di depan teman-temannya. Siswa yang menganggap dirinya adalah anak yang nakal, akan bertingkah tidak menyenangkan dan menganggu teman-temannya.

Lain halnya dengan siswa yang mempunyai konsep positif pada dirinya sendiri. Siswa yang memiliki konsep diri positif, tentu akan memiliki perasaaan positif dalam dirinya. Perasaan positif inilah yang menyebabkan adanya perkembangan komunikasi maupun identitas diri yang lebih baik pada diri seseorang sehingga menimbulkan rasa percaya diri.

Paradigma penelitian yang berupa pola pikir hubungan antara dua variabel adalah seperti berikut:

Gambar 1. Paradigma Penelitian

(Sugiyono, 2010: 216) X : Konsep Diri

Y : Kepercayaan Diri F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yaitu suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Setelah


(44)

44

mendalami permasalahan penelitian, maka membuat teori sementara yang kebenarannya masih perlu diuji (Suharsimi Arikunto, 2006: 71).

Berdasarkan macam rumusan masalah dalam penelitian ini, terdapat dua hipotesis deskriptif dan satu hipotesis asosiatif. Bila terdapat kesulitan dalam merumuskan hipotesis deskriptif, maka hipotesis tersebut tidak perlu dirumuskan, tetapi rumusan masalahnya saja yang harus dijawab dengan perhitungan statistik (Sugiyono, 2010: 216).

Dalam penelitian ini, hipotesis asosiatif yang diajukan yaitu: “Ada pengaruh positif dan signifikan antara konsep diri terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung”.


(45)

45 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Nana Syaodih Sukmadinata (2010: 12) menyatakan bahwa berdasarkan pendekatan, penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Keduanya memiliki asumsi, karakteristik, dan prosedur yang berbeda. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif karena data atau informasi yang dikumpulkan diwujudkan dalam bentuk angka dan dianalisis dengan teknik statistik.

B. Jenis Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian expostfacto. Sukardi (2011:165) mengatakan bahwa penelitian expost facto merupakan penelitian dimana variabel-variabel bebas telah terjadi ketika peneliti mulai dengan pengamatan variabel terikat dalam suatu penelitian. Keterikatan variabel bebas dengan variabel terikat sudah terjadi secara alami.

C. Desain Penelitian

Menurut Juliansyah Noor (2011: 108), desain penelitian secara menyeluruh adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian yang meliputi menemukan ide, menentukan tujuan,dan merencanakan penelitian. Sukardi (2011:174) memaparkan langkah dalam penelitian expost factoyaitu sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi adanya permasalahan yang signifikan untuk dipecahkan melalui metode expost facto.

2. Membatasi dan merumuskan masalah secara jelas. 3. Menentukan tujuan dan manfaat penelitian.


(46)

46

4. Melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. 5. Menentukan kerangka berpikir, pertanyaan penelitian, dan hipotesis

penelitian.

6. Mendesain metode penelitian yang hendak digunakan termasuk dalam hal menentukan populasi, sampel, teknik sampling, menentukan instrumen pengumpul data, dan menganalisis data.

7. Mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganalisis data menggunakan teknik statistika yang relevan.

8. Membuat laporan penelitian. D. Variabel Penelitian

Sugiyono (2010: 60) variabel adalah atribut seseorang atau objek yang mempunyai variasi antara satu orang dengan yang lain yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya.

Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu konsep diri (X). Sedangkan variabel terikat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kepercayaan diri (Y).

E. Definisi Operasional Variabel 1. Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran, pandangan, pikiran, perasaan, mengenai diri sendiri dan pandangan diri di mata orang lain yang meliputi kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan sesama jenis kelamin, hubungan dengan orang tua, sikap jujur dan percaya, kestabilan emosi, akademis matematika, kemampuan verbal, akademis umum, dan pandangan dirinya secara umum.


(47)

47 2. Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan terhadap kemampuannya sendiri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar pada Gugus Sadewa Kecamatan Temanggung. Sekolah Dasar di Gugus Sadewa terdiri dari tujuh SD, yaitu SDN 1 Temanggung I, SDN 2 Temanggung I, SDN I Banyuurip, SDN II Banyuurip, SDN I Kertosari, SDN II Kertosari, dan SD Pangudi Utami. Penelitian ini dilaksanakan sejak September 2013 sampai April 2014.

G. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Suharsimi Arikunto (2006: 130) menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian. Populasi dari penelitian ini yaitu siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa yang berjumlah 198siswa. Pemilihan populasi pada siswa kelas V SD mempertimbangkan perkembangan anak. Siswa kelas V SD berusia sekitar 10 atau 11 tahun. MenurutK. Eileen Allen dan Lynn R. Marotz (2010: 194-195) rentangan usia dari delapan tahun sampai awal masa remaja biasanya merupakan masa-masa yang menyenangkan dan penuh kedamaian dilihat dari semua sisi. Sebagian besar anak telah menyesuaikan diri dengan belajar di sekolah selama enam jam atau lebih setiap harinya. Selama periode ini, anak-anak membentuk kemampuan yang lebih canggih untuk berpikir abstrak, memahami hubungan sebab akibat, menggunakan logika untuk menyelesaikan masalah, dan


(48)

48

memahami cara sesuatu bisa berjalan dengan baik. Sehingga pada usia anak kelas V SD, konsep anak tentang diri sendiri semakin jelas. Anak mampu memahami dirinya dengan lebih baik walaupun nantinya konsep diri anak masih bisa berubah. Berikut ini tabel jumlah siswa kelas V di Gugus Sadewa.

Tabel 1. Jumlah Populasi

No Sekolah Jumlah Siswa

1 SDN 1 Temanggung I 11

2 SDN 2 Temanggung I 34

3 SDN I Banyuurip 33

4 SDN II Banyuurip 15

5 SDN I Kertosari 23

6 SDN II Kertosari 21

7 SD Pangudi Utami 61

Jumlah 198

2. Sampel

Penelitian ini menggunakan pendekatan sampel karena hanya meneliti sebagian dari populasi. Dinamakan penelitian sampel apabila bermaksud untuk mengeneralisasikan hasil penelitian sampel. Besarnya sampel tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus dari Slovin, yaitu sebagai berikut.

= �

1 + � 2 Keterangan:

n = jumlah anggota sampel N = jumlah anggota populasi

e = error level (tingkat kesalahan yang digunakan yaitu 5% atau 0,05)


(49)

49

Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa yang berjumlah 132siswa yang diperoleh dari perhitungan rumus dari Slovin seperti yang tertera di atas. Dari jumlah populasi sebanyak 198 siswa dan tingkat kesalahan 5%, maka diperoleh jumlah sampel sebesar 132 siswa.

Menurut Sutrisno Hadi (2004: 89-90), jenis-jenis sampel terdiri dari proportional sample, stratified sample, purposive sample, quota sample, double sample, area probalibity sample, dan cluster sample. Jenis-jenis sampel dapat diperoleh dari teknik samplingnya. Proportional sample diperoleh dari proportional sampling. Dan apabila diambil secara random maka disebut proportional random sample yang diperoleh dari teknik proportional random sampling.

Dalam penelitian ini menggunakan proportional random sampling. Penggunaan teknik ini apabila populasi terdiri dari beberapa sub-populasi dan menginginkan tiap-tiap sub-populasi terwakili dalam penelitian. Dalam

proportional random sampling, besar kecilnya sub-sampel mengikuti

perbandingan (proporsi) besar-kecilnya sub-populasi. Individu-individu yang dipilih dari tiap-tiap sub-populasi diambil secara random dari sub-populasi.

Jumlah sampel yang akan diambil berdasarkan jumlah tiap-tiap sub-populasi dengan rumus n = (jumlah anggota sub-sub-populasi/jumlah sub-populasi keseluruhan) x jumlah sampel yang ditentukan. Berikut ini perhitungan jumlah sampel untuk masing-masing sub-populasi.

1. SDN 1 Temanggung I : 11/198 x 132 = 7,3 dibulatkan menjadi 7 2. SDN 2 Temanggung I : 34/198 x 132 = 22,67 dibulatkan menjadi 23


(50)

50 3. SDN I Banyuurip : 33/198 x 132 = 22 4. SDN II Banyuurip : 15/198 x 132 = 10 5. SDN I Kertosari : 23/198 x 132 = 15 6. SDN II Kertosari : 21/198 x 132 = 14

7. SD Pangudi Utami : 61/198 x 132 = 40,67 dibulatkan menjadi 41 Tabel 2. Jumlah Sampel

No Sekolah Jumlah Siswa Sampel

1 SDN 1 Temanggung I 11 7

2 SDN 2 Temanggung I 34 23

3 SDN I Banyuurip 33 22

4 SDN II Banyuurip 15 10

5 SDN I Kertosari 23 15

6 SDN II Kertosari 21 14

7 SD Pangudi Utami 61 41

Jumlah 198 132

H. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

Suharsimi Arikunto (2005: 100) menyatakan metode pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data. Terdapat beberapa metode pengumpulan data, antara lain wawancara, angket, tes, observasi, dokumentasi, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan metode angket untuk mengumpulkan data.

Menurut Suharsimi Arikunto (2005: 101), instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan sistematis. Variasi jenis instrumen penelitian, antara lain angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan, skala, tes, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen skala untuk mengukur variabel konsep diri dan kepercayaan diri.


(51)

51

Suharsimi Arikunto (2006: 166) menyebutkan prosedur yang ditempuh dalam pengadaan instrumen yang baik adalah:

1. perencanaan, meliputi perumusan tujuan, menentukan variabel, kategorisasi variabel,

2. penulisan butir soal atau item kuisioner dan penyusunan skala,

3. penyuntingan, yaitu melengkapi instrumen dengan pedoman, surat pengantar, kunci jawaban dan lain-lain yang perlu,

4. ujicoba baik dalam skala kecil maupun besar,

5. penganalisisan hasil, analisis item, melihat pola jawaban, peninjauan saran-saran,

6. mengadakan revisi terhadap item-item yang dirasa kurang baik dengan mendasarkan diri pada data yang diperoleh sewaktu ujicoba.

Berdasarkan prosedur tersebut, peneliti melaksanakan: 1. Perencanaan

Perencanaan meliputi perumusan tujuan, menentukan variabel dan kategorisasi variabel. Tujuan pengadaan instrumen adalah untuk mengetahui konsep diri dan kepercayaan diri siswa. Aspek dari variabel konsep diri yaitukemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan teman sesama jenis kelamin, hubungan dengan orang tua, sikap jujur dan percaya, kestabilan emosi, akademis matematika, kemampuan verbal, akademis umum, dan pandangan diri secara umum. Sedangkan aspek dari variabel kepercayaan diri yaitu keyakinan kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis.

2. Penyusunan Skala dan Penulisan Butir a. Penyusunan skala

Suharsimi Arikunto (2005: 105) menyatakan bahwa skala menunjuk pada instrumen pengumpul data yang bentuknya seperti checklist tetapi alternatif yang disediakan merupakan sesuatu yang berjenjang.


(52)

52

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tesebut dijadikan sebagai panduan untuk menyusun item-item instrumen. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, dan untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban itu dapat diberi skor.

Tabel 3. Skor Alternatif Positif

Alternatif Pilihan Skor

Sangat Setuju 4

Setuju 3

Tidak Setuju 2

Sangat Tidak Setuju 1

Tabel 4. Skor Alternatif Negatif

Alternatif Pilihan Skor

Sangat Tidak Setuju 1

Tidak Setuju 2

Setuju 3

Sangat Setuju 4

b. Penulisan butir

Penulisan butir soal berdasarkan indikator yang telah direncanakan, kemudian disusun kisi-kisinya dan dituliskan butir soal berdasarkan kisi-kisi yang dibuat.


(53)

53

Tabel 5. Kisi-kisi Variabel Kepercayaan Diri

No Aspek Indikator Nomor Butir

Positif Negatif 1 Yakin akan

kemampuan sendiri

Bersikap positif terhadap dirinya

1,2,3 8,9,10 Yakin terhadap

kemampuan sendiri

4,5 11,12 Bersungguh-sungguh

terhadap pekerjaan yang dilakukan

6,7 13,14 2 Optimis Berpandangan positif

akan segala sesuatu

15,16 20,21 Berpandangan baik

akan kemampuannya

17,18,19 22,23,24 3 Objektif Memandang

permasalahan sesuai kebenarannya

25,26 27,28 4 Bertanggung

jawab

Bersedia menanggung

resiko dari

perbuatannya

29,30 33,34 Berani

mempertanggungjawa bkan perbuatannya

31,32 35,36 5 Rasional dan

realistis

Memandang

permasalahan sesuai dengan akal sehat

37,38 41,42 Memandang suatu

masalah sesuai dengan kenyaatan

39,40 43,44


(54)

54 Tabel 6. Kisi-kisi Variabel Konsep Diri

No Aspek Indikator Nomor Butir

Positif Negatif 1 Kemampuan

Fisik

Deskripsi diri terhadap aktivitas fisik

1,2 3,4

2 Penampilan Fisik

Deskripsi terhadap penampilan fisik

5,6 7,8

3 Hubungan dengan Lawan Jenis

Deskripsi diri terhadap hubungan dengan teman lawan jenis

9,10 11,12 4 Hubungan

dengan Teman

Sesama Jenis Kelamin

Deskripsi diri terhadap proses hubungan dengan teman yang memiliki jenis kelamin sama

13,14 15,16

5 Hubungan dengan Orang Tua

Deskripsi diri dirinya terhadap hubungan dengan orang tua

17,18 19,20 6 Sikap Jujur

dan Percaya

Deskripsi diri terhadap sikap jujur dan percaya kepada orang lain

21,22 23,24 7 Kestabilan

Emosi

Deskripsi diri terhadap pengendalian emosi

25,26 27,28 8 Akademis

Matematika

Deskripsi terhadap kemampuan akademik dalam bidang

Matematika

29,30 31,32

9 Kemampuan Verbal

Deskripsi diri terhadap kemampuan akademis dalam memahami bahasa

33,34 35,36

10 Akademis Umum

Deskripsi diri terhadap kemampuan akademis secara umum

37,38 39,40 11 Umum Pandangan terhadap diri

secara umum

41,42 43,44


(55)

55 3. Penyuntingan

Kegiatan penyuntingan meliputi melengkapi instrumen dengan judul dan petunjuk cara pengerjaan.

4. Uji Coba

Sebelum instrumen digunakan, perlu dilaksanakan ujicoba dengan maksud untuk mengetahui tingkat validitas dan realibilitas instrumen. Uji coba dilaksanakan pada siswa kelas V di SDN Kowangan yang berjumlah 26 siswa. SD yang digunakan untuk uji coba berasal dari luar populasi penelitian. Pemilihan SDN Kowangan sebagai tempat untuk pelaksanaan uji coba instrumen dengan mempertimbangkan kualitas sekolah dan kemampuan siswa yang mirip dengan SD yang digunakan untuk penelitian. Selain itu, lokasi SDN Kowangan juga berdekatan dengan SD yang digunakan untuk penelitian sehingga karakter siswa juga tidak berbeda jauh.

5. Analisis Hasil

Analisis hasil instrumen meliputi uji validitas dan reliabilitas. a. Validitas

Sugiyono (2010: 173) menyatakan bahwa instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatakan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas konstruk. Menurut Sugiyono (2010: 177), untuk menguji validitas konstruk,


(56)

56

digunakan pendapat dari ahli (judgement expert). Setelah pengujian konstruk dari ahli, maka diteruskan dengan uji coba instrumen.

Valid atau tidaknya butir instrumen, dapat diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total. Apabila harga korelasi di bawah 0,30, maka dapat disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid, sehingga harus diperbaiki atau dibuang (Sugiyono, 2010: 178-179).

Rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson, sebagai berikut:

= � −( ) ( )

� 2−( 2)

� 2− 2 Keterangan:

rxy : koefisien korelasi product moment N : jumlah sampel

X : skor butir tertentu Y : skor total

(Suharsimi Arikunto, 2006: 170) Data analisis validitas skala kepercayaan diri dan konsep diri dapat dilihat pada lampiran. Rangkuman hasil validitas butir dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(1)

73

maupun guru sebaiknya menggunakan kalimat-kalimat positif untuk memberi penghargaan pada kelebihan anak sehingga ia akan mempersepsikan dirinya secara positif. Selain itu, jangan melabeli anak dengan julukan yang negatif, misalnya anak nakal, anak gendut. Sebaiknya orang tua maupun guru mengganti menjadi julukan yang baik, seperti anak pintar, anak baik, dan lain sebagainya. Ini dikarenakan saat orang tua melabeli anak dengan kalimat negatif, maka ia kan mempersepsikan dirinya seperti yang dikatakan orang tua atau gurunya. Hal ini sesuai pernyataan Tim Pustaka Familia (2006: 13) bahwa ungkapan positif yang diucapkan orang tua akan membuat anak melihat dirinya secara positif.

Komunikasi antara orang tua dan anak merupakan hal yang penting dilakukan agar orang tua mampu memberikan pemahaman yang benar pada anak. Pemahaman ini terkait dengan kelebihan dan kekurangan anak atau apapun yang anak rasakan. Dengan demikian orang tua mampu memantau pembentukan konsep diri pada anak. Hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak, orang tua yang terlalu sibuk sehingga jarang melakukan komunikasi cenderung kurang memperhatikan perkembangan anaknya.Sesuai pernyataan Amaryllia Puspasari (2007: 28) bahwa komunikasi orang tua dan anak merupakan langkah yang efektif dalam menumbuhkan konsep diri pada anak.

Lingkungan sekolah juga berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak, terutama guru. Dalam satu kelas tentunya terdapat berbagai karakter siswa. Guru jangan melihat siswa dari satu sisi saja, misalkan kepandaian. Menggali sisi positif siswa akan hal lain, misalnya kejujuran, kerapian, ketekunan, dan lainnya akan membantu menanamkan konsep diri positif pada siswa. Menghargai setiap


(2)

74

usaha yang dilakukan siswa, juga turut membantu menanamkan konsep diri yang positif. Setiap usaha yang dilakukan siswa, seperti sudah pandai menulis, berhitung, menggambar, maka guru haruslah mampu menghargai usaha tersebut. Seperti pendapat Amaryllia Puspasari (2007: 22) bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan orang tua maupun guru untuk mengenalkan anak akan dirinya sendiri yaitu dengan menggali sisi positif pada diri anak. Hal tersebut merupakan hal positif yang dapat dikembangkan pada konsep diri seseorang.

Menyikapi kemampuan akademis yang berbeda-beda di antara siswa di kelasnya, guru diharapkan agar bersikap lebih bijak. Guru perlu memberi pemahaman bahwa setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tim Pustaka Familia (2006: 36) menyatakan salah satu cara yang perlu diperhatikan guru dalam menumbuhkan konsep diri positif pada siswa yaitu memberi motivasi bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan kekuatan yang berbeda-beda.

Lingkungan keluarga dan sekolah memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri siswa. Oleh karenanya,dengan memperhatikan beberapa hal dalam pembentukan konsep diri positif pada siswa, diharapkan siswa dapat memiliki kepercayaan diri yang tinggi.


(3)

75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Temanggung menunjukkan bahwa siswa yang memiliki konsep diri tinggi sebanyak 20 siswa atau 15,15%; sedang sebanyak 93 siswa atau 70,45%; dan rendah sebanyak 19 siswa atau 14,40%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Temanggung tergolong sedang.

2. Kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Temanggung menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi sebanyak 23 siswa atau 17,4%; sedang sebanyak 89 siswa atau 67,4%; dan rendah sebanyak 20 siswa atau 15,2%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Temanggung tergolong sedang.

3. Berdasarkan pengujian hipotesis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan diri siswa kelas V SD se-Gugus Sadewa Temanggung tahun ajaran 2013/2014 dengan nilai r = 0,741 dengan nilai thitung sebesar 12,570 dan ttabel = 1,978, sehingga thitung> ttabel. Sumbangan efektif konsep diri dalam mempengaruhi kepercayaan diri sebesar 54,9% dengan persaman regresi Y=28,132 + 1,057X.


(4)

76

B. Saran

Saran yang penulis ajukan berdasarkan kesimpulan, adalah sebagai berikut: 1. Bagi Guru

a. Hindari labelisasipada anak dengan panggilan negatif.

b. Hargai setiap usaha siswa di kelas agar siswa mampu menghargai dirinya sendiri.

c. Memberi pemahamanpada siswa bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan kekuatan yang berbeda-beda dan berilah motivasi agar mampu mengembangkan kelebihan yang dimiliki.

2. Bagi Orang Tua

a. Orang tua agar menghargai anak akan kelebihannya dengan mengucapkan kalimat-kalimat positif.

b. Hindari labelisasipada anak dengan panggilan negatif.

c. Jalin komunikasi yang baik dengan anak agar pembentukan konsep diri positif anak dapat terpantau.

3. Bagi Siswa

a. Berusahalah untuk mengenali dan memahami kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya.

b. Kembangkan kelebihan yang dimiliki.

c. Mendengarkan perkataan, nasehat, dan arahan dari orang tua dan guru demi perkembangan konsep diri yang baik pada dirinya.


(5)

77

DAFTAR PUSTAKA

Amaryllia Puspasari. (2007). Mengukur Konsep Diri Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Anita Lie. (2004). Menjadi Orang Tua Bijak 101 Cara Menumbuhkan Percaya Diri Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Asip F. Hadipranata, dkk. (2000). Peran Psikologi di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006).Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Elizabeth B. Hurlock. (1978). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Hendra Surya. (2007). Percaya Diri itu Penting. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Husdarta dan Nurlan Kusmaedi. (2010). Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik (Olahraga & Kesehatan). Bandung: Alfabeta.

Jalaluddin Rakhmat. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Juliansyah Noor. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana.

James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

K. Eileen Allen dan Lynn R. Marotz. (2010). Profil Perkembangan Anak Prakelahiran Hingga Usia 12 Tahun. Edisi 5. Jakarta: PT Indeks.

M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S. (2012). Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Nana Syaodih Sukmadinata. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Purwanto. (2008). Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

78

Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta. UNY Press.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sutrisno Hadi. (2004). Metodologi Research 1. Yogyakarta. Andi Offset.

Thursan Hakim. (2005). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

Tim Pustaka Familia. (2006). Konsep Diri Positif Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius.