Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kerugian Keuangan Negara Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia T1 312006051 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai 5 sub pokok bahasan
yaitu alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian dan metodologi penelitian
A.Alasan Pemilihan Judul
Tindak pidana korupsi adalah tindakan pejabat publik baik politisi maupun
pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara
tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Salah satu
unsur yang paling penting dalam tindak pidana korupsi adalah adanya unsur
kerugian negara,keuangan negara atau merugikan perekonomian negara.Hal
tersebut diatur dalam pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Contoh tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah korupsi baik
mengenai pengadaan barang, harga pengadaan barang yang tidak wajar dan
transaksi yang memperbesar utang Negara. Penentuan mengenai kerugian
negara ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (
BPKP ) atau badan lain yang ditunjuk seperti PPATK.
Pada umumnya kasus tindak pidana korupsi biasanya melibatkan lebih
dari satu orang, berbeda dengan kasus kasus tindak pidana umum (misalnya


pencurian atau penipuan), seperti permintaan uang saku yang berlebihan dan
peningkatan frekuensi perjalanan dinas. Tindak pidana korupsi dilakukan
secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal
balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berbentuk uang.
Dalam hal ini, yang menarik adalah dalam kebanyakan kasus ,para
penegak hukum cenderung menjerat para terdakwa dengan dalih kerugian
keuangan dan perekonomian negara seperti dalam kasus kasus kontrak
konstruksi atau pengadaan barang dan jasa pemerintah, kredit macet, atau
pemberian pinjaman kepada perusahaan yang dinilai mengarah pada
wanprestasi (ingkar janji) cenderung dijerat dengan pasal pasal dalam Undang
Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara dan pasal 2 ayat (1)
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 atau pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dan sejumlah Undang Undang lain yang terkait
dengan keuangan negara.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimanakah
konsep kerugian Negara dan mengangkatnya ke dalam suatu skripsi dengan
judul “konsep kerugian negara menurut hukum pidana korupsi di
Indonesia.”

Penulis beranggapan bahwa belum adanya kepastian mengenai konsep
kerugian negara di Indonesia. Hal ini tentunya akan mempersulit klasifikasi
mengenai tindak pidana seperti apa yang mengakibatkan atau berpotensi

merugikan negara. Akibatnya para penegak hukum bisa dengan leluasa
menjerat siapa saja dalam kasus apa saja yang terindikasi atau mengarah pada
kerugian keuangan negara, sekalipun hal itu terjadi di luar wilayah kekuasaan
pemerintah seperti dalam perseroan atau yayasan.
B.Latar Belakang Masalah
Tidak ada definisi baku dari tindak pidana korupsi (Tipikor). Akan tetapi
secara umum, pengertian Tipikor adalah suatu perbuatan curang yang
merugikan keuangan negara. Atau penyelewengan atau penggelapan uang
negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain.1
Berdasarkan pasal 1 ayat 22 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan kerugian Negara atau
Daerah adalah Kekurangan Uang, surat berharga dan barang yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.
Apabila dicermati dari pengertian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
unsur-unsur dari kerugian negara yaitu :

1. Kerugian Negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang
berharga,barang milik negara dari jumlahnya dan/ atau nilai yang
seharusnya.

1

Dr.Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta , 2011, hlm. 15

2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti
jumlahnya atau dengan kata lain kerugian tersebut benar benar telah terjadi
dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya,
dengan demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan indikasi atau
berupa potensi terjadinya kerugian.
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun
lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan
tepat.2
Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal 2 (1)
yang dimaksud dengan korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara ,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ).
Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi : “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan

diri

sendiri

atau

orang

lain

atau


suatu

korporasi,menyalahgunakan wewenang,kesempatan atau sarana yang ada

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kerugian-negara.html

padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara...”
Penjelasan pasal 2 ayat (1) menerangkan : “Dalam ketentuan ini kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi,cukup dengan dipenuhinya
unsur unsur perbuatan yang dirumuskan ,bukan dengan timbulnya akibat.”
Bahwa ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam
pasal 2 ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menerangkan :
“Dalam undang-undang ini,tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian.Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil
korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap
diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.”

Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat
dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan
negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena
yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai
dengan dilakukanya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang undang.3

3

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung ,1984, hlm.
202

Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah
melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam pasal 2 ayat
(1) ,tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang
telah terjadi kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat
dalam Pasal 2 ayat (1), akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut :
A. Secara melawan hukum ;
B. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;

C. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam hal ini penulis akan lebih memfokuskan pada point c atau point
ketiga. Yang dimaksudkan dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan
menjadi rugi atau menjadi berkurang,sehingga dengan demikian yang
dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan
negara.5
Pengertian keuangan negara menurut Undang Undang Nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara secara umum dicantumkan dalam bab1
(Ketentuan Umum),Pasal 1 ayat (1) :
“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang,serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
4

R.Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 27.
5
Ibid.

barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak

dan kewajiban tersebut.”
Adapun yang dimaksud dengan “keuangan negara”, di dalam penjelasan
umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan
atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
• Berada dalam penguasaan,pengurusan,dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara,baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
• Berada dalam penguasaan ,pengurusan ,dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,yayasan,badan hukum
dan perusahaan yang menyertakan modal negara ,atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Pada hari Rabu , 29 oktober 2008, majelis hakim membacakan vonis terhadap
Burhanuddin Abdullah.Ia dihukum pidana penjara selama 5 tahun karena
terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer jaksa
Pasal 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang Undang 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat ( 1 ) ke-1 KUHP.Majelis juga
menjatuhkan vonis denda sebesar Rp 250 juta rupiah subsider 6 bulan
kurungan.Vonis ini lebih rendah dari tuntutan penuntut umum yang


menginginkan terdakwa divonis 8 tahun penjara serta denda Rp 500 juta
subsider 6 bulan kurungan.6
Vonis terhadap Burhanuddin diwarnai dissenting opinion ,soal kerugian
negara ,majelis hakim menegaskan dana Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia ( YPPI ) adalah uang negara karena statusnya adalah milik BI (Bank
Indonesia) selaku pendiri yayasan tersebut. Majelis beralasan penggunaan dana
YPPI sebesar rp 100 Miliar berdasarkan persetujuan Rapat Dewan Gubernur (
RDG ) 3 juni dan 22 juli tahun 2003, terjadi ketika YPPI belum berstatus
hukum. Status hukum itu sendiri baru diperoleh pada bulan september tahun
2003.
Dalam dissenting opinion-nya, Hakim Moerdiono berpendapat dana YPPI
bukan milik BI. Berdasarkan Pasal 26 Undang Undang Yayasan , dana YPPI
tidak lagi murni kekayaan pendiri. Dana YPPI didepositokan dan menghasilkan
bunga yang menjadi milik YPPI.
Ada beberapa contoh putusan yang memiliki konsep berbeda dalam
memandang konsep kerugian Negara. Sebagai contoh adalah Putusan
Mahkamah

Agung


No.1902

K/Pid/SUS/2008

dengan

terdakwa

Dr.H.Syafruddin selaku mantan ketua koperasi dan Suhelmi selaku wakil ketua
koperasi dalam perkara pengadaan dan penggemukan sapi manalagi Nagari
Sungai Lansek Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
Konsep Kerugian Negara berdasarkan putusan tersebut menggunakan
konsep kerugian Negara di Undang Undang No.1 Thn 2004 tentang
http://www1.kompas.com/read/xml/2008/10/29/13215060/hakim.beda.pendapat.sidang.burhanud
din.geger

perbendaharaan Negara yang dalam Undang Undang ini menyatakan bahwa
kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hokum baik
disengaja maupun lalai. Kemudian dalam menentukan kerugian Negara maka

harus ditentukan oleh ahli yaitu yang berasal dari akuntan public independent
dan atau setidak-tidaknya oleh akuntan yang ada pada BPK atau BPKP seperti
halnya yang tercantum dalam pasal 186 Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana.
Berdasarkan contoh di atas, tindak pidana yang merugikan keuangan
Negara dimaknai di dalam tafsiran berbeda oleh para hakim selaku penegak
hukum, sehingga oleh karena itu perlu adanya konsep yang jelas mengenai
kerugian Negara agar tidak menimbulkan multi tafsir bagi para penegak hukum
dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan
unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan
perekonomian negara menjadi rugi atau perekomian negara menjadi kurang
berjalan.7
Di dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 31 tahun 1999
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

R.Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 33.

asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.
Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud
dengan “perekonomian negara” seperti yang disebutkan di dalam penjelasan
umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya,
sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan
perkonomian negara” di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana
korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1). Dengan demikian,untuk
dapat membuktikan adanya unsur merugikan “keuangan negara” tidak terlalu
sulit, karena apa yang dimaksud dengan “keuangan negara” pengertiannya
sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur
“merugikan perekonomian negara” sangat sulit
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil satu pokok permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah konsep kerugian Negara menurut hukum Pidana Korupsi di
Indonesia?

D.Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimanakah memaknai dan memahami konsep kerugian
negara dalam sistem hukum pidana korupsi di Indonesia.
E.Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan Pendekatan Yuridis Normatif dengan jenis
Penelitian Deskriptif. Penelitian Yuridis Normatif dilakukan karena penelitian
ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan bahan hokum yang
lain serta melihat perkembangan perkembangan hokum dalam praktek terutama
yang berkaitan dengan konsep “kerugian Negara”.Penelitian Deskriptif
dilakukan karena penelitian ini menggambarkan karakteristik atau ciri-ciri
suatu keadaan, perilaku pribadi dan perilaku kelompok.8
Macam pendekatan yang digunakan oleh penulis antara lain :
1. Pendekatan undang undang ( statute approach ) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan
praktis, pendekatan undang undang ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara
suatu undang undang dengan undang undang lainnya atau antara undang

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press ,Jakarta ,1984, hlm. 96.

undang dengan Undang Undang Dasar atau antara undang undang dengan
regulasi.9
2. Pendekatan kasus ( case approach ) dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai keputusan
hokum tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus
adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai pada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun
kajian akademis, ratio decidendi dan reasoning tersebut merupakan
referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.10
3. Pendekatan konseptual ( conceptual approach ). Pendekatan konseptual
beranjak

dari

pandangan-pandangan

dan

doktrin-doktrin

yang

berkembang di dalam isu hukum. Dengan mempelajari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep konsep hukum, dan asas asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan pandangan dan doktrindoktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun
suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 93.
Ibid, hlm. 94.
11
Ibid, hlm. 95.
10

2. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai

dengan

dikumpulkan

Pendekatan

terutama

adalah

Yuridis
data

Normatif,

maka

Sekunder/Data

data

yang

Tambahan

(

Kepustakaan).12 Data Sekunder ini berupa Bahan Hukum Primer dan Bahan
Hukum Sekunder.13 Bahan-bahan tersebut adalah :
1.Bahan Hukum Primer yang terdiri atas :
a) Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
b) Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20
tahun 2001
c) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
d) Kitab Undang undang Hukum Pidana
e) Putusan Mahkamah Agung No. 1902 K/Pid/SUS/2008
f) Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K Pid/SUS/2011
g) Kitab Undang undang Hukum Perdata
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu hasil-hasil penelitian terdahulu tentang
konsep kerugian Negara, buku karangan sarjana, dan makalah-makalah dari
seminar.

13

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press , Jakarta, 1984. hlm. 12.
Ibid, hlm. 52

Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah tinjauan Kepustakaan
(berupa dokumen-dokumen seminar dan diskusi, buku, peraturan perundangundangan, dan publikasi penelitian lainnya).
3. Unit Amatan
Unit Amatan di dalam penelitian ini adalah interpretasi makna kerugian
Negara dalam penegakan hukum.
4. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah konsep “kerugian Negara” dalam:
a) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20
Tahun 2001
b) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
c) Putusan Mahkamah Agung No. 1902 K/Pid/SUS/2008
d) Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K Pid/SUS/2011
e) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
f) Kitab Undang undang Hukum Pidana
g) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi T2 322012006 BAB I

0 2 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi T2 322012006 BAB II

0 2 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi T2 322012006 BAB IV

0 1 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi T2 322012006 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang Pengganti oleh Terpidana Korupsi

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kerugian Keuangan Negara Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kerugian Keuangan Negara Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia T1 312006051 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kerugian Keuangan Negara Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia T1 312006051 BAB IV

0 0 4

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB I

0 0 12