Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penjatuhan Talak di Bawah Tangan Berdasarkan Hukum Islam Dikaitkan Dengan Undang - Undang No.1 Tahun 1974 dan Undang -Undang No. 50 Tahun 2009.

ABSTRAK

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang
mampu untuk melaksanakannya. Di dalam suatu perkawinan ada kalanya
terjadi keadaan tertentu, sehingga apa yang didambakan dalam sebuah
perkawinan tidak tercapai, bahkan akhirnya terjadi penjatuhan talak. Pada
masalah talak terdapat perbedaan pengaturan antara hukum positif dan
hukum Islam, yaitu menurut fikih Islam talak yang dijatuhkan di luar
pengadilan hukumnya sah, sedangkan menurut hukum positif talak hanya
dapat dijatuhkan di pengadilan setelah pengadilan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan perbedaan pengaturan
tersebut penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini untuk
dijadikan bahan kajian dalam skripsi penulis. Tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk memperoleh kepastian mengenai status dan kedudukan talak
di bawah tangan berdasarkan Hukum Islam dikaitkan dengan UndangUndang Perkawinan dan Undang-Undang Peradilan Agama serta
menganalisis dan menentukan kewenangan Pengadilan Agama dalam
memutus persengketaan pada talak di bawah tangan berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Peradilan Agama.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode
pendekatan yuridis normatif dan dengan metode analisis data yuridis
kualitatif dalam memberikan gambaran tentang kewenangan Pengadilan

Agama terhadap permasalahan talak di bawah tangan yang ditinjau dari
segi Hukum Islam dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku. Tahap
penelitian yang dilakukan yaitu melalui penelitian kepustakaan dalam
mengumpulkan dan mengkaji bahan hukum primer, sekunder, dan tersier,
serta penelitian lapangan yang dilakukan dengan melakukan wawancara
kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Majelis Ulama Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan pertama yang dapat
diambil yaitu status dan kedudukan talak di bawah tangan berdasarkan
Hukum Islam adalah sah, sedangkan di dalam hukum positif talak di
bawah tangan hukumnya tidak sah. Pengaturan talak dalam hukum Islam
tidak dapat diterapkan apabila terdapat perbedaan dengan hukum positif,
dan oleh karenanya agar terdapat kepastian hukum, maka masyarakat
harus mengikuti hukum positif. Kesimpulan kedua yaitu kewenangan
Pengadilan Agama ketika terjadi talak di bawah tangan yang kemudian
diajukan ke pengadilan yaitu untuk memeriksa perkara tersebut dari awal,
bukan mengesahkan perceraian tersebut secara hukum.

ABSTRACT


Marriage is one of religious orders to whom are capable to
implement it. In marriage, sometimes occurs under certain circumtances
so that the purpose of the marriage are not reached and therefore they
choose to end the marriage. On the issue of divorce, there is a difference
between the regulation of Islamic law and Positive Law, specifically in
Islamic Law, based to Islamic Fiqih, the divorce that made out of the court
is valid, while in positive law there are some regulations that determine the
divorce made out of the court is not valid. Based on that differences in
regulation, the author interested to address that issue to be used as study
material in this thesis. The purpose of this thesis is to obtain certainty
regarding the status and position of the divorce made out of the court
based on Islamic Law associated to Marriage Law and Religious Court
Law and to analyze the competence of the Religious Court in verdicting on
the issue of the divorce made out of the court based on the Marriage Law
and Religious Court.

This thesis is using descriptive analytical with yuridical normative
approach and yuridical qualitative approach in the data analysis in giving
the description on the competence of Religious Court of the issue of the
divorce that made out of the court based on Islamic Law in a relation to

Positive Law. Phase of this thesis are conducted through library research
in collecting and assessing primary legal materials, secondary materials,
and tertiary materials, and also field research conducted by interviewing
Religious Court of West Jakarta and Majelis Ulama Indonesia.

Based on the result of this thesis, the first conclusion than can be
drawn is the status and position of the divorce made out of the court in
Islamic Law is valid, while in the positive law that is not vallid. The
regulation of the divorce in Islamic law can not be applied if there is a
difference between positice law and Islamic Law because there is no
certainty of law in Islamic Law. The second conclusion is that the
competence of the Religious Court in the issue of a divorce case that
made out of the court is to examine the case from the beginning, and not
just legally endorsed that divorce.