Densus 88 AT Dan Teroris-phobia.

DENSUS 88AT DAN TERORIS-PHOBIA

Oleh: Muradi

Di tengah proses politik di parlemen terkait dengan Kasus Bank Century,
jajaran Polri, khususnya Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Den
sus 88 AT)
mendulang prestasi dengan melakukan sejumlah penangkapan dan menewaskan
teroris yang paling diburu pasca tewasnya Noordin M. Top di Aceh dan Pamulang.
Meski dalam kasus pengepungan gembong teroris di Aceh, masih simpang siur,
apakah merupakan jaringan Jema’ah Islamiyah (JI) atau pecahan dari eks GAM.
Namun, terlepas dari itu prestasi Densus 88 AT harus tetap diapresiasi sebagai
bagian dari komitmen untuk memberantas terorisme di Indonesia hingga
keakarnya.
Akan tetapi, terlepas dari keberhasilan Densus 88 AT tersebut tetap
mengundang nada sumir dari publik, mengingat terbongkarnya jaringan tersebut
seolah-olah mengalihkan isu kasus Bank Century yang dibahas secara marathon di
Pansus DPR, bertepatan dengan kunjungan Presiden SBY ke Australia, dan rencana
kedatangan Presiden Obama ke Indonesia akhir bulan ini. Pada konteks pengalihan
isu Pansus Bank Century, publik melihat bahwa proses pengepungan gerombolan
teroris di Aceh dan kemudian di Pamulang menjadi anti klimaks dari kemenangan

suara rakyat di DPR yang menegaskan bahwa ada pelanggaran hukum dalam kasus
Bank Century yang disinyalir melibatkan lingkaran terdekat Istana. Sedangkan hal
lainnya lebih banyak mencoba menjaga citra Indonesia di mata dunia internasional,
khususnya Australia dan Amerika yang dalam bulan ini memilik
i agenda
kenegaraan dengan Indonesia. Bahkan dalam Pidato SBY di Parlemen Australia
beberapa hari lalu, ditegaskan keberahasilan-keberhasilan dalam pemberantasan
terorisme tersebut sebagai komitmen Indonesia dalam perang global melawan
terorisme.

Teroris-Phobia dan Pencitraan

Bisa jadi keberhasilan Densus 88 AT di tengah keterp ojokan pemerintah
dalam kasus Bank Century ini bagian dari proses yang normal. Namun bila
ditelusuri lebih jauh, hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan Densus 88 AT
menembak mati Noordin M. Top saat dugaan adanya kriminalisasi KPK yang
menjadi aikon perseteruan Polri dengan KPK. Artinya dugaan publik akan adanya
‘kebetulan yang direkayasa’ dalam penangkapan para gembong teroris oleh Densus
88 AT bisa jadi bukan isapan jempol. Setidaknya ada tiga alasan penguat bahwa
keberhasilan Densus 88 AT tersebut sebagai prestasi yang momentum waktunya

disesuaikan dengan kebutuhan. Pertama, proses pengejaran dan penangkapan dari
Aceh hingga Pamulang berjalan simultan dan berjarak kurang dari satu minggu.
Dalam pendekatan intelijen, proses tersebut tidak disiapkan dalam hitungan hari,
namun jauh-jauh hari, hingga disesuaikan dengan kebutuhan. Artinya apabila hasil
Pansus Bank Century, Kunjungan SBY ke Australia, serta rencana kedatangan


Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP UNPAD, Bandung. Alamat: Kompleks
Margahayu Raya, Jl. Saturnus Utara No. 47, Bandung. Phone/ Faks: 022 7561828 Mobile: 08159983004.
Email: muradi_clark@unpad.ac.id, www.muradi.wordpress.com No. Acc BCA: 111-111-0781

Obama pada bulan yang sama, maka besar kemungkinan, proses identifikasi,
pengejaran hingga pemetaan aktifitas para gembong terorisme tersebut telah
dilakukan setidaknya tiga bulan lalu. Dengan harapan, pada bulan di mana tiga
agenda politik tersebut menjadi berita, maka keberhasilan Densus 88 AT menjadi
semacam bukti bahwa pemerintah terus bekerja. Sehingga, secara bertahap berita
negative tentang pemerintah, akan perlahan hilang dengan munculnya keberhasilan
Densus 88 AT tersebut.
Kedua, pasca tewasnya Noordin M. Top, praktis kelompok teroris di
Indonesia hampir semua tiarap, bahkan beberapa yang menyerah dan menjadi

informan Polri dalam memburu sisa-sisa anggota JI di Indonesia. Hal ini juga secara
logika memudahkan Densus 88 AT dalam memetakan dan memburu sisa-sisa
anggota JI tersebut. Namun, hal tersebut tidak dilakukan secara mendadak, apalagi
Kepala Densus 88 AT, Tito Karnavian menyadari bahwa pemberantasan terorisme
di Indonesia memiliki karakteristik yang khas, sehingga membutuhkan proses
pendekatan yang juga berbeda. Dan dalam kasus pengepungan teroris di Aceh dan
Pamulang, adalah bagian dari strategi tersebut, yang mana dapat sewaktu-waktu
dimanfaatkan untuk mengkaunter pemberitaan negative dan menjaga pencitraan
Polri dan juga pemerintah tetap baik.
Ketiga, secara kelembagaan baik Polri maupun pemerintah masih mengalami
kesulitan dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini disadari benar
oleh instansi negara tersebut, sehingga tetap dibutuhkan program unggulan agar
Polri khususnya dan pemerintah umumnya memiliki berbagai keberhasilan, di
tengah keterpurukan dalam pemberantasan korupsi. Densus 88 AT, sebagai unit
yang memiliki kekhususan dalam pemberantasan terorisme sebagaimana amanat
UU Anti Teror memiliki beban yang tidak ringan. Bila kebuntuan terkait dalam
pemberantasan korupsi, maka hampir serta merta maka pemberantasan terorisme
dikedepankan.
Ketiga alasan penguat tersebut memiliki korelasi yang kuat dengan
pencitraan Indonesia di mata dunia dan teroris-phobia yang terus menguat

menjelang keberengkatan SBY ke Australia dan rencana kedatangan Obama ke
Indonesia. Komitmen Indonesia untuk memberantas terorisme dibuktikan dengan
adanya pengepungan dan penangkapan sejumlah anggota teroris di Aceh dan
Pamulang, bahkan disebutkan salah satu yang tewas adalah Dulmatin, otak utama
Bom Bali I. pencitraan yang baik di dunia internasional ini sejalan dengan politik
pencitraan SBY yang menginginkan Indonesia menjadi ‘anak manis’ di mata negaranegara Barat, seperti Amerika Serikat dan Australia.
Situasi tersebut secara politis justru sedikit banyak memberikan dilemma bagi
SBY. Di satu sisi, pencitraan positif dari komunitas internasional terkait
keberhasilannya dalam mengurangi ruang gerak kelompok terorisme di Indonesia.
Bahkan secara terbuka ucapan selamat datang dari Kevin Rudd, maupun Obama.
Namun di sisi lain, pernyataan bernada sumir di dalam negeri terkait dengan
berbagai keberhasilan Densus 88 AT tersebut merupakan cara-cara yang kurang
patut dikedepankan, mengingat langkah-langkah SBY mengedepankan terorisphobia sebagai langkah untuk mengambil hati Australia dan Amerika Serikat
dikemudian hari akan menjadi b
umerang. Apalagi bila dikaitkan dengan
pergerakan peta politik yang sangat dinamis pasca hasil Pansus Bank Century dan

besar kemungkinan partai-partai yang ditenggarai sebagai partai Islam akan makin
menjauh dari pemerintahannya.
Akan lebih bijak misalnya upaya pemberantasan terorisme di Indonesia yang

ditenggarai dengan sejumlah keberhasilan dan prestasi juga ditopang oleh langkahlangkah efektif dan strategis dalam pemberantasan korupsi. Sehingga label
pencitraan Indonesia tidak melulu tentang keamanan semata, melainkan juga
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan begitu keterkaitan antara Densus
88 AT dengan teroris-phobia juga dapat diikuti oleh KPK dan lembaga penegak
hukum lainnya dengan korupsi-phobia.