ALASAN PENGHAPUS PIDANA DENSUS 88 ANTI TEROR MABESPOLRI TERKAIT DENGAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA TERORIS

(1)

Oleh

ARGADWI SAPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

The Criminal Effacement Reason of Special Detachment 88 Police Headquarter Anti Terror Related To Shooting In Terrorism SuspectsS Place

by

Argadwi Saputra

Effacement of terrorism in Indonesia is done by the Special Detachment 88 Anti Terror Police Headquarters , which in carrying out their duties granted under Regulation Replacement of in Lieu of Law No. 1 and 2 of 2002 on Combating Criminal Acts of Terrorism and Police Chief Regulation of Republic Indonesia No. 8 of 2009 describes the procedure to use firearms . But in the implementation phase of Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters sometimes do shooting on sight against terrorism suspects that could cause the pros and cons related to the duties of Special Detachment 88 Anti Terror Police Headquarters in eradicating of terrorism act. The guidance support of Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters Regulation of the Indonesian National Police Chief No. 1 of 2009 on the Stages of the Police Use of Power in Action. It became the basic of doing a gunshot firing against various terrorism cases that occurred in Indonesia. Related discussion in this study is whether the legal basic for Criminal Effacement Reason of Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters did shooting at terrorism

suspected’s place? and how the Criminal Liability Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters who did shooting at terrorism suspect so that there is no criminal effacement reason?

Conducted legal research is a normative legal research done by examining library materials as a secondary data, so that the method used in this study using positive law as the first step of research, the approach is using normative juridical .Normative approach is the approach by examining the rules or norms , rules relating to the discussed issues.


(3)

by the basic legal foundation that serves as the basic foundation that must be followed and obeyed . Special Detachment 88 was born from Presidential Decree No. 4 of 2002 concerning in the Crime of Terrorism . This instruction is triggered by the proliferation of terrorist bombings since 2001. This regulation is reinforced by the publication of the National Policy package to counter terrorism in the form of Regulation No. 1 and 2 of 2002 in Combating Criminal Acts of Terrorism . Under the provisions of the Law on the establishment of Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters to combat terrorist offenses , then comes the various pros and cons related to Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters about their action who shoot on sight to terrorism suspect . The existence of such special laws which could be the criminal effacement reason of Special Detachment 88 Anti Terror Police Headquarters in doing the shooting. Their action in a different perspective when shooting in a place regarded as a violation of the right to a person’s life who should be uphold as human rights , but when the shot was done by Special Detachment 88 Anti- Terror Police Headquarters by considering several stages in accordance with the regulation so there is no criminal responsibility for Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters’s action.

In relation to the legal basis of criminal effacement reason of Special Detachment 88 who shot terrorism suspect at their place should be understood as a whole regarding various related regulation so there is no distorted view in the absence of criminal liability against Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters who shot at terrorism suspect’s place , it must make the performance of Special Detachment 88 Anti-Terror Police Headquarters become increasingly professional in combating terrorist offenses in Indonesia.

.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Sejarah Teroris di Indonesia... ... 13

B. Alasan Penghapus Pidana ... 15

1. Tidak Dapat Dipertanggungjawaban ... 19

2. Daya Paksa (overmacht) ...…. .. 21

3. Pembelaan Terpaksa ... 23

4. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas ... 24

5. Menjalankan Ketentuan Undang-undang ... 25

6. Menjalankan Perintah Jabatan ... 26

7. Pembagian Lain dari Alasan Penghapusan Pidana ... 27

C. Pengertian Densus 88 Anti Teror Mabes Polri ... 28

D. Pengertian Tembak di Tempat ... 28

E. Dasar Hukum Melakukan Tembak di Tempat ... 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Jenis dan Sumber Data ... 32


(7)

IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar hukum Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris ... 35 B. Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang

melakukan tembak di tempat terduga teroris ... 45

V. PENUTUP

A Simpulan ... 58 B. Saran ... 60


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah satu dari beberapa contoh negara berkembang di dunia, yang dalam perkembangannya masih bisa terjadi kedinamisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Berbagai aspek permasalahan masih bisa dijumpai dalam negara berkembang seperti permasalahan kependudukan, kesejahteran sampai keamanan, hal-hal tersebut masih menjadi masalah yang dominan terjadi. Sebagai negara berkembang indonesia turut menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya untuk mendapatkan rasa aman dan tentram dalam kehidupannya.

Acuan dalam menjalankan fungsi dan tujuan negara dalam memberikan rasa aman dan tentram bisa dilihat dalam Pasal 28 G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya” hal ini yang menjadi dasar perlindungan untuk warga negara.1

Persoalan keamanan dan ketentraman di Indonesia tidak bisa dipungkiri karena masih banyaknya kesenjangan yang ada di dalam kehidupan masyarakatnya

1

Muryati, Sri,Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003Jakarta:Konsiderans.2003.hlm 53

Pasal 28 G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindung diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya” hal ini yang menjadi dasar perlindungan untuk warga negara


(9)

sehingga akan menyebabkan mudahnya timbul berbagai jenis konflik mulai dari kejahatan biasa sampai pada kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) dalam bentuk radikalitas tindak pidana terorisme. Tentu adanya kejahatan extraordinary crime terorisme semakin mengikiskan keamanan dan ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terorisme menjadi persoalan serius dalam Negara, kemudian definisi terorisme dimasukkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut. Dalam Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dapat dilihat rumusan sebagai berikut2 :

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, tentu membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga kelahiran undang-undang terorisme ini tidak lepas dari munculnya pro dan kontra.3 Pro dan kontra terjadi karena adanya perbedaan titik tolak dalam memandang terorisme dengan dikeluarkannya undang-undang terorisme. Di satu sisi kelompok kontra didasarkan pandangan pada perlindungan Hak Asasi Manusia pelaku (offender oriented), sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro didasarkan pada pendekatan perlindungan Hak Asasi Manusia korban (victim oriented).

2

Indriyanto Seno Adji..Terorisme, “Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana”

dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 34 3


(10)

Persoalan yang terkadang timbul adalah mengenai cara penyelesaian tindak pidana terorisme, negara sebagai pihak eksekutor dalam menyelesaikan tindak pidana terorisme masih tidak bisa bertindak sembarangan, koridor Hak Asasi Manusia masih menjadi pertimbangan yang serius.

Penyelesaian tindak pidana terorisme negara secara nyata telah membentuk suatu langkah serius untuk memberantas tindak pidana terorisme, yakni dengan membentuk suatu Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri yang bertugas memberantas terorisme di Indonesia berdasarkan dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti-Terrorism Act".4

Menggunakan dasar hukum tersebut Densus 88 Anti Teror Mabes Polri mempunyai wewenang untuk melakukan pemberantasan terhadap Teroris. Dalam praktiknya pemberantasan terorisme tidaklah sama dengan pemberantasan tindak pidana biasa, banyak praktik yang melenceng dari penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.5 Maka dari itu selain ada dasar hukum dalam pembentukan ada juga alasan penghapus pidana bagi anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang dalam praktiknya kadang melakukan pelanggaran seperti terpaksa melakukan tembak di tempat terhadap terduga terorisme. Dalam

4

Bambang Abimanyu. TerorBom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 71 5


(11)

kajian hukum pidana ada asas umum yang harus ada terkait hak tersangka dimata hukum termasuk presumption of inocence (Praduga Tak Bersalah), yakni sebelum ada putusan pengadilan seseorang masih dinyatakan tidak bersalah termasuk masih dijunjung Hak Asasi Manusia.6

Serangkaian penggerebekan Tindak Pidana terorisme di Indonesia bermula pada 9 November 2005 Detasemen 88 Mabes Polri menyerbu kediaman buronan teroris Dr. Azahari di Kota Batu, Jawa Timur yang menyebabkan tewasnya buronan nomor satu di Indonesia dan Malaysia tersebut. Lalu, 2 Januari 2007 - Detasemen 88 terlibat dalam operasi penangkapan 19 dari 29 orang warga Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang diKecamatan Poso Kota. Tembak-menembak antara polisi dan warga pada peristiwa tersebut menewaskan seorang polisi dan sembilan warga sipil. Kemudian pada 9 Juni 2007 Yusron Mahmudi alias Abu Dujana, tersangka jaringan teroris kelompok Al Jamaah Al Islamiyah, ditangkap di desa Kebarongan,Kemranjen, Banyumas, Jateng.

Pada 8 Agustus 2009 Menggerebek sebuah rumah di Jati Asih, Bekasi dan menewaskan 2 tersangka teroris, pada 7-8 Agustus 2009 Mengepung dan akhirnya menewaskan tersangka teroris Ibrahim alias Baim di Desa Beji daerah Kedu, Temanggung, pada 16 September 2009 menangkap dua tersangka teroris yakni Rahmat Puji Prabowo alias Bejo dan Supono alias Kedu di Pasar Gading, Solo, sekitar lima jam sebelum penangkapan di Kepuhsari, Mojosongo. Dan 17 September 2009 pengepungan teroris di Kampung Kepuhsari Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres Solo dan menewaskan 4 tersangka teroris di

6

M Fall, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Praduya Pramita, Jakarta, 1991.hlm 32


(12)

antaranya adalah Noordin Mohammed Top, Bagus Budi Pranowo alias Urwah, Hadi Susilo, Aryo Sudarso alias Aji dan isteri Hadi Susilo, Munawaroh, yang berada di dalam rumah akhirnya selamat tapi terkena tembakan di bagian kaki.7

Berbagai usaha yang dilakukan bahkan setelah terjadi Bom Bali 1 pemerintahan RI membentuk suatu ketentuan undang-undang yang dinamakan “Undang -Undang Republik Indonesia Nomor.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang”.

Terlebih Pemerintahan RI membentuk suatu kesatuan khusus yang dinamakan Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.

Pada puncaknya pasukan khusus ini dapat menghentikan sepak terjang salah satu gembong teroris yang paling diburu yakni gembong teroris Noordin M Top yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 di Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu, ternyata semua itu bukan akhir dari pada sepak terjang para teroris yang ada di Indonesia namun akan tetapi telah mengembangkan jaringan sel-sel baru terorisme. Kasus tindak pidana terorisme yang berhasil diungkap dengan adanya Densus 88 Anti Teror Mabes Polri meskipun tidak bisa dipungkiri banyak kasus terorisme yang diuangkap oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tidak selesai di pengadilan, karena memang sangatlah sulit untuk membawa pelaku tindak pidana

7 Dikutip http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror).Diakses Tanggal 26


(13)

terorisme ke meja hijau. Sebagian kasus selesai dengan tertembaknya terduga teroris di lokasi kejadian, hal itu sering sekali terjadi mengingat terduga teroris sangatlah rapih dan teliti dalam memilih lokasi persembunyian. Lokasi tempat persembunyian terduga teroris sangat tersembunyi maka Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan pengintaian selama beberapa hari untuk mendapatkan kepastian tentang persembunyian terduga teroris sebelum melakukan penggerebekan.

Penggerebekan terhadap terduga teroris terjadi di daerah Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung terjadi penggerebekan terhadap terduga teroris yang dalam penggerebekan tersebut berakhir dengan sebuah eksekusi tembak di tempat yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri.8 Kenyataan itu menjadi polemik dimana dalam mengemban tugas tersebut seharusnya lebih mengedepankan aspek Hak Asasi Manusia dengan memperhatikan hak untuk hidup, tapi di lain sisi hak itu bisa dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tentunya dengan perhitungan sendiri. Selain persoalan mengenai aspek Hak Asasi Manusia, tembak di tempat terhadap terduga teroris juga bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum.

Orang yang terduga melakukan suatu tindak pidana terorisme mempunyai kematangan dalam mengorganisir kejahatannya, seperti tempat yang tersembunyi sampai memiliki senjata api, mengingat hal itu telah dilakukan upaya penggerebekan yang tidak melakukan kontak tembak oleh Densus 88 Anti Teror

8

Diakses dari http://kabarcepat.com/2013/05/10/lagi-densus-88-gerebek-terduga-teroris-di lampung Jumat, 21 juni 2013 14:45


(14)

Mabes Polri, tetapi anggota terduga teroris telah melakukan kontak tembak lebih dahulu terhadap Densus 88 Anti Teror Mabes Polri.

Melihat fakta hukum di atas penulis berkeinginan untuk mengakaji permasalahan diatas melalui skripsi penulis yang berjudul “Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris ”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Adapun permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah dasar hukum Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sehingga ada alasan penghapus pidana ?

Adapun ruang lingkup yang ada dalam penelitian ini adalah :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan yang timbul, maka penulis membatasi pada lingkup Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana . Ruang lingkup substansi mengenai Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunan Penelitian


(15)

1. Untuk menganalisis dasar hukum Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris

2. Untuk mennganalisis Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya didalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai dasar Densus 88 Anti Teror Mabes Polri untuk melakukan tembak di tempat terhadap terduga terorisme

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat umumnya mengenai Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis


(16)

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.9

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki alasan penghapus pidana yang menjadi dasar hukum untuk Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat, meskipun selain Kitab Undang Undang Hukum Pidana dasar hukum lain pun ada dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian.

Alasan Penghapus Pidana yang menjadi sorotan utama saat ini dianggap bertentangan konsep Hak Asasi Manusia, karena banyak kalangan yang melihat tembak di tempat mengambil hak hidup manusia. Dalam melakukan tugas penggerebekan terduga teroris, Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tidaklah sembarang melakukan tembak di tempat, pertimbangan bahwa terduga teroris melakukan perlawanan yang bisa mengakibatkan bahaya dan terduga tidak bisa kooperatif dalam proses penggerebekan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis alasan penghapus pidana yakni:

1. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan. 2. Pasal 48: daya paksa.

3. Pasal 49: Ayat (1) pembelaan terpaksa.

4. Pasal 49: Ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 5. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah.

6. Pasal 51: Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.

7. Pasal 51: Ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

9


(17)

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian diatur dalam Pasal 7 dan 8 yang menyatakan “

Pasal 7

1) Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) dapat diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untukmenghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

2) Setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut:

a) tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf c;

b) tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf d;

c) tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e;

d) tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf f.

Pasal 8

1) Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf d dilakukan ketika: a) tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara

segeramenimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;

b) anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;

c) anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.


(18)

2) Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

3) Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah itu.10

a. Alasan-alasan peniadaan pidana (Straf Uitsluitings Gronden) adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumasan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana.11 b. Tembak ditempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak

media masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka.12

c. Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom.13

10

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat). Hlm 32.

11

Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia; Refika Aditama, Jakarta, 2003.hlm 67

12

M Fall, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Praduya Pramita, Jakarta.Hlm 43

13 Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan dan Tata Organisasi Satuan


(19)

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belaka ng masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengertian dan sejarah terorisme, sebagai kejahatan

Extraordinary Crime dan beberapa jenis alasan penghapus pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan alasan penghapus pidana bagi Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris

V. PENUTUP


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Sejarah Teroris di Indonesia

Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme. 1

Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.2

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti

1

Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 17

2


(21)

gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut .3 Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publi. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai paada non komformis politik.Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka.

Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga

3


(22)

sepatutnya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal. Pada umumnya orang sipil merupakan sasaran utama terorisme, dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme.

B. Alasan Penghapus Pidana

Alasan-alasan peniadaan pidana (Straf Uitsluitings Gronden) adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumasan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana.4

Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok, yyaitu yang tecantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin. Tercantum di dalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang khusus, tercantum di dalam Pasal tertentu yang berlaku utuk rumusan-rumusan delik itu saja.

Rincian yang umum terdapat di dalam5:

1. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan. 2. Pasal 48: daya paksa.

3. Pasal 49: Ayat (1) pembelaan terpaksa.

4. Pasal 49: Ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 5. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah.

6. Pasal 51: Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.

7. Pasal 51: Ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

4

Prodjodikoro, Wiryono; Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia; Refika Aditama, Jakarta, 2003.hlm 67

5 Ibid 68


(23)

Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana seperti Pasal 310 Ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk delik dalam Pasal 164 dan 165, Pasal 221 Ayat (2). Hazewinkel – Suringa menyebutkan pula adanya dasar peniadaan pidana yang murni.6 Ia memberi contoh Pasal 163 bis Ayat (2) KUHP (Artikel 134 bis Ayat (2) N. WvS).

Hazewinkel menyebutkan pula dasar peniadaan pidana yang murni yang tidak tertulis, yaitu putusan B. R.V. C 24 Juni 1946, yang mengenai “hal tidak dipidana” didasarkan bukan pada daya paksa atau avas tetapi pada keharusan menghindari “berkelebihannya hukum pidana” (overspanning van het strafrecht).

Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang juga dapat dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya “tiada pidana tanpa kesalahan” dan “tiada melawan hukum secara materiel”. Khusus, mengenai kewenangan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu) misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain.

Alasan peniadaan pidana diluar undang-undang atau yang tidak tertulis dapat dibagi pula atas “yang merupakan dasar pembenaran (tidak ada melawan hukum) merupakan segi luar dari pembuat atau faktor objektif dan “yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan) merupakan segi dalam dari pembuat atau faktor subjektif.

Kedua istilah “dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), dan dasar pemaaf” (schulduitsluitingsgronden) sangat penting bagi acara pidana, sebab apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, sedangkan “melawan

6


(24)

hukum” itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum. Pembedaan antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini berasal dari sarjana Jerman Von Liszt dan sarjana Perancis Mariauel.7

MvT (Memori Penjelasan) tidak mengadakan pembagian seperti itu, semuanya dari Pasal 48-51 KUHP dasar segi luar tidak dapat dipertanggungjawakan dan sebagai lawannya merupakan segi dalam (terdapat dalam bathin terdakwa) hal tidak dipertanggungjawakan seperti Pasal 44 KUHP.

Menurut teori pembagian yang dilakukan MvT ini tidak ada yang memakainya, sebab tidak tepat, yaitu di antara alasan-alasan yang diluar ada yang lebih tepat jika dimasukkan dalam alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa. Jadi, semuanya merupakan dasar pemaaf (Schulduitsluitingsgronden). Vos menyatakan itu kurang tepat, karena Pasal 50 KUHP pasti bukan menghapus hal dapat dipertanggungjawabkan pembuat terhadap perbuatan tetapi juga menghapus hal melawan hukum.Meskipun belum terdapat kesatuan pendapat, akan tetapi dapat dibuat inventarisai daripada ojectieve/sujectieve Straf Uitsluitings Gronden seperti pada susunan berikut di bawah ini:

Rechtvaardigingsgronden (alasan pembenar) diperinci menjadi:

1. Di dalam aturan umum (algemene deel Straf Uitsluitings Gronden) yang terdiri atas, overmacht jenis noodtoestand Pasal 48; noodweer Pasal 49 Ayat

7


(25)

1; wettelijk voorschrift Pasal 50; evoegd gegeven amtelijk evel (berwenang) Pasal 51 Ayat 1;

2. Dalam delict khusus (bijzondere deel Straf Uitsluitings Gronden) yang terdiri atas, saksi dan dokter perkelahian tanding Pasal 186 Ayat 1; pencemaran Pasal 310 Ayat 3; fitnah Pasal 314;

3. Di luar kita undang-undang, yang terdiri atas, tuch trecht oleh orang-tua/guru/wali; beroepsrecht oleh dokter; ontreken (negatieve) van materiele weder rechtelijkheid oleh veeart-arrest 1933.

Schulduitsluitingsgroden (alasan pemaaf) diperinci menjadi:

1. Didalam aturan hukum yang terdiri atas,ontoerekkeningsvataarheid Pasal 44; overmacht jenis noodtoestand-exces Pasal 48; noorweerexces Pasal 49 Ayat 2; onevoegd gegeven amtelijk evel (tidak wenang) Pasal 51 Ayat 2; 2. Di dalam ketentuan delict khusus yang terdiri atas, Pasal 110 Ayat 4; 163

bis Ayat 2; 221 Ayat 2; 464 Ayat 2.

3. Di luar kita undang-undang yang terdiri atas, afwezigheid van alle schuld

(a.v.a.s.); putative strafuitsluitingsgronde.

Dalam KUHP disebutkan beberapa rincian alasan penghapus pidana yakni :


(26)

Dalam Pasal 44 disebutkan yang dikaitkan dengan hal tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaarheid), terjemahan Pasal itu sebagai beriku8:

”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Makna dari dapat dipertanggungjawabkan terdakwa berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam Pasal 44 itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Selanjutnya dapat dipertanggungjawakan bukanlah merupakan bagian inti

(bestanddeel) tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana.

Berdasarkan pendapatnya itulah ia mengatakan jika terjadi keraguan tentang ada tidaknya hal tidaka dapat dipertanggungjawabkan, terdakwa tetap dijatuhi pidana. Ia mengatakan bahwa jika orang setelah melakukan pemeriksaan tetap ragu tentang dapatnya dipertanggungjawabkan, maka pembuat tetap dapat dipidana. Pendapat itu didasarkan atas hal dapat dipertanggungjawabkan itu bukan bagian inti delik sehingga dianggap ada sampai dibuktikan sebaliknya, misalnya dengan keterangan psikiater.

Menurut pendapat Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada

8

Kitab undang-undang Hukum Pidana Indonesia pada Pasal 44 disebutkan ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.


(27)

tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, ia berpendapat sesuai dengan ajaran dua tahap dalam hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea), kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur kesalahan.9

Moeljatno mengikuti pendapat Van Hattum bahwa jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana.

Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi10:

1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya. 2. Mengerti tujuan nyata perbuatan.

3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.

Berdasarkan Pasal 44 KUHP, yang menyebutkan dasar tidak dapat dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum dewasa) berada di bawah hypnose, tidur sambil berjalan dan lain-lain. Tidak dapat dipertanggungjawabkan dipandang sebagai unsur kesalahan dalam arti luas atau merupakan unsur diam-diam suatu delik.

Hoge Raad menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan bukanlah bagian inti (bestanddeel) delik, tetapi jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka itu menghapuskan atau meniadakan dapatnya dipidana sesuatu perbuatan. Kalau melawan hukum yang tidak ada, berarti perbuatan tidak dapat dipidana tetapi kalau tidak dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan itu tetap dapat dipidana,

9

Prodjodikoro, Wiryono; Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia; Refika Aditama, Jakarta, 2003.hlm 72

10 Ibid 73


(28)

hanya orangnya yang tidak dapat dipidana, yang pertama unsur subjektif dapatnya dipidana suatu perbuatan.

Menurut Pasal 44 Ayat 2 Hakim dapat memasukkan ke rumah sakit jiwa selama satu tahun jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa karena kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya.Sebelum berkembangnya psikiatri yang mulai pada tahunn 1980 untuk menentukan ada tidaknya pertumuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit pada akal sehat seseorang, maka hal itu ditentukan dengan:

1. Mungkinkah dibedakan antara baik dan buruk (the right and wrong test).

2. Apakah hal dapat menahan dorongan hati (the irresistible impulse test)

sebagai kriteria untuk menentukan dapat dipertanggungjawabkan

3. Dapatkah diterima bahwa orang yang hanya kurang daya pikirnya untuk membedakan dan menahan (godaan) juga dikurangi pertanggungjawabkan dan dengan dekurangi pidananya.

Menurut Pompe, secara yuridis menurut Pasal 44 KUHP, mabuk tidak termasuk, mabuk berkaitan dengan sengaja atau kelalaian. Orang memikirkan kemabukan sebagai Culpa in Causa.

2. Daya Paksa (overmacht)

Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa.


(29)

Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.

Berdasarkan literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak, bisa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali.

Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adala berlebihan

(overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang karena ancaman terpaksa melakukan delik. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.11

Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat

(noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.

Nootoestand (keadaan darurat) pada umumnya ada tiga bentuk, yaitu:

1) Pertentangan antara dua kepentingan hukum

2) Pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum 3) Pertentangan antara dua kewajiban hukum

11 Ibid 75


(30)

Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Ada yang mengatakan bahwa daya paksa, baik dalam arti sempit maupun dalam keadaan darurat termasuk dasar pemaaf. Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan.

Pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini daya paksa yang tercantum di dalam Pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut keadaan darurat sebagai dasar pembenar sedangkan daya paksa dalam arti sempit termasuk dalam dasar pemaaf. Termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer, hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.

Vos mengatakan bahwa keadaan darurat tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang-kadang berupa dasar pemaaf. Pompe berpendapat lain lagi, yaitu daya paksa dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya. Dalam Rancangan KUHP 1991/1992 keadaan darurat itu dimasukkan sebagai alasan pembenar (Pasal 32), sedangkan daya paksa dimasukkan sebagai alasan pemaaf (Pasal 42).

3. Pembelaan Terpaksa

Dalam rumusan Pasal 49 (1) KUHP dapat ditarik unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer) tersebut:

1) Pembelaan itu bersifat tepaksa.

2) Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.


(31)

3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.

4) Serangan itu melawan hukum.

Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan atau keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit). Perbedaan antara keadaan darurat (noodtoestand) dengan bela paksa (noodweer) ialah:

1) Dalam keadaan darurat terdapat pertentangan antara hak (recht) dengan hak (recht) sedangkan dalam bela paksa terdapat pertentangan antara hak (recht) dengan ukan hak (onrecht).

2) Dalam keadaan darurat tidak diisyaratkan adanya serangan atau ancaman serangan, sedangkan dalam bela paksa harus ada serangan atau ancaman serangan.

3) Dalam keadaan darurat, kepentingan hukum yang dibela tidak dibatasi sedangkan dalam bela paksa kepentingan hukum yang dibela dibatasi. 4) sifat dari keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari para sarjana,

ada yang berpendapat sebagai alasan pembenar dan ada pula yang berpendapat sebagai alasan pemaaaf, sedangkan dalam bela paksa para sarjana memandang sebagai alasan pembenar.

4. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Peraturan mengenai pembelaan terpaksa melampaui batas ini diatur dalam Pasal 49 Ayat (2), ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan tepaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh,


(32)

kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain. Adapun perbedaannya ialah:

1. pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,

2. maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.

3. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.

Melampaui batas pembelaan yang perlu ada dua macam. Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat diserang. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.

5. Menjalankan Ketentuan Undang-undang

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP menyatakan (terjemahan): “Barang siapa yang malakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”Mula-mula Hoge Raad mengartikan undang-undang dalam arti formal kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang menurut UUD atau undang-undang (HR 26 Juni 1899 W7307; 30 Nov. 1914, N.J. 1915, 282, W9747).


(33)

Terdapat pula yang menyatakan antara lain Hazewinkel-Suringa, bahwa ketentuan Pasal 50 ini sebagai dasar pembenaran berkelebihan (overbodig), karena bagi orang yang menjalankan ketentuan undang-undang dengan sendirinya tidak melawan hukum.

Mengenai arti perkataan “ketentuan/ peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam jurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formil maupun materiel, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pemuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang wenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.

Perbuatan seseorang yang melaksanakan ketentuan undang-undang itu tidak bersifat melawan hukum, maka ketentuan Pasal 50 KUHP itu adalah sebagai alasan pembenar.

6. Menjalankan Perintah Jabatan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 51 menyatakan12:

1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenag dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.

12


(34)

Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan suordinasi. Hubungan itu harus bersifat hukum publik.

2) Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat publik tersebut.

3) Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.

Menurut Vos, mengenai ketentuan Ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:

1) Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu dating dari yang berwenang.

2) Syarat objektif: pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.

Pasal 51 Ayat (1) termasuk dasar pembenar, karena unsur melawan hukum tidak ada sedangkan Pasal 51 Ayat (2) masuk dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak bersalah karena ia beritikad baik mengenai menjalankan perintah pejabat yang berwenang, padahal tidak.

7. Pembagian Lain dari Alasan Penghapusan Pidana

Alasan penghapusan dapat pula terjadi karena hal-hal di luar ketentuan undang-undang yang sudah diakui oleh ilmu pengetahuan hukum pidana. Dasar alasan


(35)

penghapusan pidana di luar undang-undang semacam itu dapat diadakan pembagian yaitu:

a. Alasan penghapusan pidana yang sudah dikenal dalam jurisprudensi, terdiri atas:

1) Het ontbreken van de materiele wederrechtelijkheid (sifat melawan hukum materiel fungsi negatif) seperti veeart arrest 1933.

2) Afwezigheid va alle schuld (tiada kesalahan/alasan pemaaf), seperti water en melk-arrest 1916.

b. rechtvaardigingsgronden, terdiri atas: 1) Tuchtrecht (hukum disiplin pendidikan) 2) Toestemming (persetujuan antara pihak) 3) Boreeprecht (hukum karena jabatan)

C. Pengertian Densus 88 Anti Teror Mabes Polri

Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom.13

D. Pengertian Tembak di Tempat

Tembak ditempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak media masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak ditempat didalam Kepolisian dikenal

13

Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Susunan dan Tata Organisasi Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Indonesia


(36)

dengan Suatu Tindakan Tegas, dimana tindakan tegas tersebut berupa tindakan tembak ditempat. Bila tembak ditempat diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan tembak adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan, meriam); Di adalah kata depan untuk menandai sesuatu perbuatan atau tempat; Tempat adalah tempat adalah sesuatu untuk menandai atau memberi keterangan disuatu tempat; dan Ditempat adalah menunjukkan keterangan di suatu tempat atau lokasi. Sehingga tembak ditempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api disuatu tempat atau lokasi.14

E. Dasar Hukum Melakukan Tembak di Tempat

Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dalam Pasal 7 dan 8 yang menyatakan “

Pasal 7

Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) dapat diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut:

1) tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf c;

2) tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf d;

3) tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e;

4) tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau

14

Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara yang berisi

“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi, dalam penerapan di lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan


(37)

menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf f.

Pasal 8

Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf d dilakukan ketika:

1. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segeramenimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;

2. anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;

3. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

4. Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

5. Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.

Selain itu dalam Pasal 1 Ayat 9 Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Negara Republik Indonesia menyatakan “Kekuatan adalah segala daya dan kemampuan kepolisian berupa kemampuan profesional perorangan/unit dan peralatan Polri yang dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang bersifat pemaksaan dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian sesuai ketentuan yang berlaku.”


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Dalam rangka melaksanakan penelitian tentang Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris. Penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, sehingga Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan hukum positif sebagai langkah awal penelitian kemudiaan pendekatan yang dilakukan secara yuridis normatif.1

Pendekatan Normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Apakah Dasar tentang Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris .Penelitian ini juga memiliki sistematika hukum yang dipergunakan untuk menemukan pengertian-pengertian dasar dalam sistem hukum serta penelitian terhadap asas-asas hukum yang akan digunakan untuk memiliki penerapan asas-asas-asas-asas hukum pidana.

1

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986.hlm 56


(39)

B. Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini meliputi :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, adalah:

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang

c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

2. Data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan sekunder merupakan sumber utama yang digunakan dalam penulisan penelitian ini. Data Sekunnder dalam penelitian ini berupa Peraturan Perundang Undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Teroris dan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang berkaitan dengan pembahasan yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer antara lain

i. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

ii. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Negara Republik Indonesia.


(40)

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori teori yang dikemukakan dan peraturan pelaksana dari undang undang.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus, internet, surat kabar dan lain lain.

C. Metode Pengumpulan Data

Studi dokumenter/studi kepustakaan merupakan sumber utama penelitian ini karena penelitian ini memusatkan pada data sekunder. Bahan-bahan kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan, diteliti dan di telaah untuk disaripatikan dengan judul skripsi yaitu Alasan Penghapus Pidana Densus 88 Antiteror Mabes Polri Terkait Dengan Tembak di Tempat Terduga Teroris.

D. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dengan baik yang diperoleh dari studi kepustakaan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut

a Editing, yaitu data yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteiti kembali untuk mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok bahasan penelitian ini. Sehingga dapat terhindar dari adanya kesalahan data.

b Interpretasi, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga menghasilkan suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.


(41)

c Sistematisasi, yaitu proses penyusunan dan penenmpatan sesuai dengan pokok permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara kualitatif normatif. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan melakukan analisa deskriptif yaitu berusaha memberikan data yang ada dan menilainya kemudian menganalisa masalah-masalah yang ada yang berkaitan dengan kebijakan penanggulangan terorisme dengan hukum pidana serta memberikan saran-saran untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam usaha penanggulangan terorisme tersebut.


(42)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di dalam Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa, dasar hukum alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris adalah :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 7 Ayat (1) angka 10 menentukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Tindakan lain yang dimaksud dalam angka 10 Pasal 7 KUHAP adalah termasuk melakukan tembak mati di tempat pada orang yang diduga atau tersangka yang terkait dalam suatu tindak pidana termasuk kejahatan terorisme. Upaya tembak mati ialah tindakan lain dalam melaksanakan tugasnya yang dilakukan dalam hal sebagai upaya terakhir untuk menghindarkan orang yang diduga atau tersangka tersebut melarikan diri maupun melakukan perlawanan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia.

b) Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

Dalam bertugas di lapangan anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dituntut dapat menerapkan pasal undang-undang yang kadang-kadang


(43)

belum diatur jelas ketentuannya, untuk itu penerapan diskresi Kepolisian perlu dipelajari dan perlu dipahami model-model permasalahan apa yang dapat didiskresi karena dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian memang tidak definitif menyebut istilah “diskresi” tetapi “bertindak menurut penilaiannya sendiri, Selanjutnya ayat (2) menegaskan syarat pelaksanaan diskresi, yaitu “dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”

c) Kewenangan mengenai prosedur tembak di tempat juga diatur dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian, apabila seluruh prosedur dalam peraturan tersebut dilaksanakan sesuai aturan yang ada tersebut dengan terlebih dahulu melakukan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dan apabila pelaku kejahatan tindak pidana terorisme justru membahayakan aparat penegak hukum dan masyarakt umum maka pelaksanaan tembak di tempat oleh anggota Densus 88 Anti Teror dapat dibenarkan.

Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sehingga ada alasan penghapus pidana adalah:

a) Apabila telah sesuai dengan beberapa ketentuan ketentuan khusus yang ada dalam KUHP dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik


(44)

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tahapan Pengunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian maka hilanglah unsur pidananya.

b) Prosedur-prosedur yang dilakukan dengan benar dan memperhatikan semua hal dalam proses penangkapan yang menyebabkan penembakan pada terduga atau tersangka teroris oleh anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena dilindungi oleh alasan Pembenar yang menyatakan pembelaan terpaksa atau “noodweer” (Pasal 49 Ayat (1) KUHP), karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50 KUHP), karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP) Serta Kewenangan mengenai tembak di tempat dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian.

B. Saran

1. Dalam kaitannya dengan dasar hukum alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sebaiknya lebih dipahami secara keseluruhan mengenai berbebagai aturan – aturan terkait sehingga tidak ada penyimpangan dalam proses atau prosedur pelaksanaan nya.

2. Dengan tidak adanya pertanggungjawaban pidana terhadap Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris, sebaiknya menjadikan kinerja Densus 88 Anti Teror Mabes Polri semakin profesional,bertanggung jawab serta menggunakan peran intelejennya


(45)

dengan baik agar tidak ada kesalahan dalam memberantas tindak pidana teroris di Indonesia.


(46)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abimanyu Bambang, 2005, TerorBom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.

Adji Seno Indriyanto, 2001, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Andrisman Tri, 2009, Hukum Pidana : Asas Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Lampung, Penerbit Universitas Lampung

M Fall, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Praduya Pramita, Jakarta,

Muryati Sri, 2003,Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003 Jakarta:Konsiderans.

---,Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates Prodjodikoro Wiryono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia; Jakarta

Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

---, 1982,Kesadaran dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali.

Zulkarnain Muhammad, 2008, Pro dan Kontra Densus 88 Anti Teror Mabes Polri, Jakarta , Sinar Grafika

Undang-Undang

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

Skep Kapolri No. 30/VI/2003 Tentang Pembentukan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang tahapan pengunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian


(47)

Internet

http://kabarcepat.com/2013/05/10/lagi-densus-88-gerebek-terduga-teroris-di lampung

Tommy Elvani, 2009, Jurnal Vol I : Pertanggungjawaban Pidana Tembak di Tempat


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di dalam Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa, dasar hukum alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan tembak di tempat terduga teroris adalah :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 7 Ayat (1) angka 10 menentukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Tindakan lain yang dimaksud dalam angka 10 Pasal 7 KUHAP adalah termasuk melakukan tembak mati di tempat pada orang yang diduga atau tersangka yang terkait dalam suatu tindak pidana termasuk kejahatan terorisme. Upaya tembak mati ialah tindakan lain dalam melaksanakan tugasnya yang dilakukan dalam hal sebagai upaya terakhir untuk menghindarkan orang yang diduga atau tersangka tersebut melarikan diri maupun melakukan perlawanan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia.

b) Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

Dalam bertugas di lapangan anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dituntut dapat menerapkan pasal undang-undang yang kadang-kadang


(2)

59

belum diatur jelas ketentuannya, untuk itu penerapan diskresi Kepolisian perlu dipelajari dan perlu dipahami model-model permasalahan apa yang dapat didiskresi karena dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian memang tidak definitif menyebut istilah “diskresi” tetapi “bertindak menurut penilaiannya sendiri, Selanjutnya ayat (2) menegaskan syarat pelaksanaan diskresi, yaitu “dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”

c) Kewenangan mengenai prosedur tembak di tempat juga diatur dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian, apabila seluruh prosedur dalam peraturan tersebut dilaksanakan sesuai aturan yang ada tersebut dengan terlebih dahulu melakukan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dan apabila pelaku kejahatan tindak pidana terorisme justru membahayakan aparat penegak hukum dan masyarakt umum maka pelaksanaan tembak di tempat oleh anggota Densus 88 Anti Teror dapat dibenarkan.

Pertanggungjawaban Pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sehingga ada alasan penghapus pidana adalah:

a) Apabila telah sesuai dengan beberapa ketentuan ketentuan khusus yang ada dalam KUHP dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik


(3)

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Tahapan Pengunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian maka hilanglah unsur pidananya.

b) Prosedur-prosedur yang dilakukan dengan benar dan memperhatikan semua hal dalam proses penangkapan yang menyebabkan penembakan pada terduga atau tersangka teroris oleh anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena dilindungi oleh alasan Pembenar yang menyatakan pembelaan terpaksa atau “noodweer” (Pasal 49 Ayat (1) KUHP), karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50 KUHP), karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP) Serta Kewenangan mengenai tembak di tempat dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuataan Dalam Tindakan Kepolisian.

B. Saran

1. Dalam kaitannya dengan dasar hukum alasan penghapus pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris sebaiknya lebih dipahami secara keseluruhan mengenai berbebagai aturan – aturan terkait sehingga tidak ada penyimpangan dalam proses atau prosedur pelaksanaan nya.

2. Dengan tidak adanya pertanggungjawaban pidana terhadap Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yang melakukan tembak di tempat terduga teroris, sebaiknya menjadikan kinerja Densus 88 Anti Teror Mabes Polri semakin profesional,bertanggung jawab serta menggunakan peran intelejennya


(4)

61

dengan baik agar tidak ada kesalahan dalam memberantas tindak pidana teroris di Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abimanyu Bambang, 2005, Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.

Adji Seno Indriyanto, 2001, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Andrisman Tri, 2009, Hukum Pidana : Asas Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Lampung, Penerbit Universitas Lampung

M Fall, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Praduya Pramita, Jakarta,

Muryati Sri, 2003,Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003 Jakarta:Konsiderans.

---,Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates Prodjodikoro Wiryono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia; Jakarta

Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

---, 1982,Kesadaran dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali.

Zulkarnain Muhammad, 2008, Pro dan Kontra Densus 88 Anti Teror Mabes Polri, Jakarta , Sinar Grafika

Undang-Undang

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

Skep Kapolri No. 30/VI/2003 Tentang Pembentukan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang tahapan pengunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian


(6)

Internet

http://kabarcepat.com/2013/05/10/lagi-densus-88-gerebek-terduga-teroris-di

lampung

Tommy Elvani, 2009, Jurnal Vol I : Pertanggungjawaban Pidana Tembak di Tempat