PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING (CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP.

(1)

berpikir kritis matematis siswa SMP

(Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Departemen Pendidikan Matematika

Oleh

Webby Sita Rahmawati 0902192

DEPARTEMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP

Oleh

Webby Sita Rahmawati

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Webby Sita Rahmawati 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Desember 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING (CORE) UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMASTIS SISWA SMP

(Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung)

Oleh:

Webby Sita Rahmawati 0902192

Disetujui dan Disahkan Oleh: Pembimbing I

Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc., Ph.D. NIP. 195909221983031003

Pembimbing II

Dr. H. Endang Cahya MA, M.Si. NIP. 196506221990011001

Mengetahui,

Ketua Departemen Pendidikan Matematika

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. NIP. 196101121987031003


(4)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Webby Sita Rahmawati (0902192). Penerapan Model Pembelajaran

Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP

Penelitian ini mengkaji “Penerapan Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting,

Extending (CORE) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP

dengan desain kuasi eksperimen kelompok kontrol nonekivalen. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP Negeri 26 Bandung semester genap tahun ajaran 2013/2014. Sampel penelitiannya yaitu dua kelas yang diambil dari populasi yang telah ada dengan karakteristik yang serupa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan model CORE dan siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan model konvensional. Penelitian ini dibatasi pada pokok bahasan teorema Pythagoras. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes tertulis kemampuan berpikir kritis matematis siswa, angket skala sikap, dan lembar observasi. Hasil penelitian yang diperoleh berupa skor pretes dan postes yang kemudian diolah dengan metode statistika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model konvensional; kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model CORE termasuk kedalam kategori sedang; dan sikap siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan model CORE adalah positif.

Kata kunci : Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE), Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa.


(5)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

This research examines the application of Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) Learning Model to Improve Mathematical Critical Thinking Ability of Junior High School Student with quasi-experimental design of a control non-equivalent group. The population of this research was all students of grade VIII of SMP Negeri 26 Bandung in the second semester of academic year 2013/2014. Research sample is drawn from two classes of existing population with similar characteristics. The purpose of this research is to analyze the enchancement of mathematical critical thinking ability of junior high school students who got CORE learning model and the students who got learning by using a conventional model. This research is confined in the subject of Pythagoras Theorem. The instrument of this research used a written test for students’ mathematical critical thinking ability, attitude scale questionnaire, and observation sheets. The results obtained in the form of pretest and posttest scores which then processed with statistical methods. The results showed that the enchancement in the ability of junior high school students on a mathematical critical thinking ability using CORE learning model is better than the students who received conventional model; the quality improvement skills of the students who learned mathematics using CORE learning model is in the medium category, and students’ attitude towards CORE learning model is positive.

Keyword : Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) learning model, Mathematical Critical Thinking Ability.


(6)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR DIAGRAM ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Batasan Masalah ... 7

D.Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 9

B.Model Pembelajaran CORE ... 15

C.Teori Belajar yang Mendukung ... 17

D.Hasil Penelitian yang Relevan ... 19

E. Hipotesis ... 19

BAB III METODE PENELITIAN A.Metode dan Desain Penelitian ... 20


(7)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

C.Instrumen Penelitian

1. Instrumen Data Kuantitatif ... 21

2. Instrumen Data Kualitatif ... 28

3. Bahan Ajar... 28

D.Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 29

E. Teknik Analisis Data 1. Analisis Data Kuantitatif ... 31

2. Analisis Data Kualitatif ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian 1. Analisis Data Kuantitatif ... 38

2. Analisis Data Kualitatif ... 50

B.Pembahasan... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 60

B.Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 64

DOKUMENTASI KEGIATAN PENELITIAN ... 196


(8)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, pendidikan nasional sedang mengalami perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu penyebab utama perubahan tersebut adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh sebab itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan untuk memproses informasi sehingga bisa digunakan dalam mengembangkan IPTEK serta bisa bersaing dalam mengahadapi tantangan global.

Menurut Wahyudin (Kumalasari, 2011), (1) IPTEK sejak tahun 1940 menegaskan bahwa kita hidup di peradaban sains dan (2) Perangkat keilmuan yang mendukung peradaban sains dan teknologi seperti fisika, kimia, keteknikan, sains manajemen, ilmu ekonomi, sains biologi dan medis, serta sains behavorial, yang kesemuanya memerlukan matematika untuk pemahaman dan dan pengembangan lebih lanjut. Dari penjelasan tersebut maka tidak bisa dipungkiri bahwa pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah.

Astuti (Kumalasari, 2011) mengungkapkan bahwa setiap pembelajaran selalu memiliki landasan yang dijadikan tujuan umum. National Council of Teachers of Mathematics tahun 2000 menyatakan bahwa tujuan umum pembelajaran matematika adalah: (1) Belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); (2) Belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); (3) Belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); (4) Belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan (5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Tujuan umum di atas ternyata mampu membuat negara Indonesia berbuat sesuatu yang lebih baik bagi dunia pendidikan sehingga tercapailah tujuan pendidikan nasional.

Perkembangan matematika tersebut menyebabkan banyak konsep matematika yang dibangun oleh manusia dan diperlukan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi. Kemampuan-kemampuan


(9)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dasar yang harus diperhatikan pada suatu pembelajaran diklasifikasikan oleh Sumarmo (2005) sebagai berikut:

1. Pemahaman matematis (mathematical understanding)

2. Pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving) 3. Penalaran matematis (mathematical reasoning)

4. Koneksi matematis (mathematical connection)

5. Komunikasi matematis (mathematical communication)

Menurut Sumarmo (2005) kemampuan-kemampuan di atas tersebut disebut daya matematis (mathematical power) atau keterampilan matematis (doing math). Keterampilan matematis berkaitan dengan karakteristik matematika dapat digolongkan menjadi: berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Contoh dari berpikir tingkat rendah, yaitu pelaksanaan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, serta mengikuti prosedur (algoritma) yang baku. Contoh dari berpikir tingkat tinggi, yaitu kemampuan memahami ide matematis secara mendalam, mengamati serta menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi dan generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematis, serta mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektualnya.

Salah satu kemampuan berpikir yang termasuk ke dalam kemampuan tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk dikembangkan, karena menurut Ennis (1985) kemampuan ini dapat memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya.

Kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan produktif dapat dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah, yang mengutamakan pada sistem, struktur, konsep, prinsip serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya (Kusumah, 2008). Sama halnya dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika dalam pembelajaran matematika menurut Permendiknas No. 23 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki


(10)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama. Kemampuan berpikir kritis dapat menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung pada sasaran yang merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Sama halnya yang diungkapkan oleh Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis yang amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki orisinalitas.

Proses belajar-mengajar matematis dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis menyebabkan siswa dapat menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dari siswa tersebut dan proses memecahkan masalah yang dilaluinya. Untuk mencapai jalan keluar dari kesulitan itu siswa harus berikir dengan keras dan lebih kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang ada di sekitarnya. Keaktifan siswa dapat terwujud dalam mengikuti setiap proses pembelajaran matematika berupa interaksi dalam kegiatan proses pembelajaran dan mengajukan cara-cara penyelesaian masalah yang diberikan. Melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika, maka diharapkan kemapuan berpikir kritis siswa dalam matematis dapat terus terlatih.

Siswa yang berpikir kritis adalah siswa yang memiliki kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah sehingga siswa tersebut dapat memecahkan masalah secara kreatif agar dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan siswa lain. Tetapi sayangnya kemampuan berpikir kritis siswa masih kurang. Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Programme of International Student Assessment (PISA) 2006 menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-50 dari 57 negara pada kategori


(11)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

literatur matematis. Sementara itu, menurut penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diselenggarakan International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) pada tahun 2007 menunjukan bahwa kemampuan matematis siswa kelas dua (eighth grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 48 negara. Para siswa diberikan soal-soal matematika tidak rutin yang meliputi pengetahuan kognitif, penalaran, dan aplikasi yang pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia. Selain itu Hendrayana (Kumalasari, 2011: 6) menyatakan bahwa hasil nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa SMP kurang dari 50% dari skor maksimal. Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, hal utama yang menjadi perhatian saat ini adalah meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa.

Semakin berkembangnya IPTEK, maka matematika diharapkan mampu menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan berpikir kritis dan kemampuan untuk mengaplikasikan konsep matematis dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari. Menurut (Kumalasari, 2011), matematika mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sangat sulit menemukan suatu masalah dimana gagasan dalam matematika tidak diperlukan.

Banyak faktor yang menyebabkan turunnya hasil belajar matematika siswa. Antara lain yaitu dari pelajaran matematika itu sendiri yang objeknya bersifat abstrak. Selain itu, faktor guru, orang tua, siswa, sekolah, dan kurikulum turut pula mempengaruhi keberhasilan kegiatan belajar-mengajar matematika.

Berdasarkan hasil pengamatan Ruseffendi (2005) ternyata di beberapa kota besar yaitu Bandung, Jakarta Semarang, Surabaya, Medan dan Padang kebanyakan siswa belajar pasif. Artinya dalam proses pembelajaran guru hanya mentransfer ilmu kepada siswa, sedangkan siswa hanya menerima materi pelajaran saja. Pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran ini dapat menyebabkan siswa kurang kreatif dan cenderung pasif. Padahal tujuan utama pembelajaran matematika (NCTM, 1989) adalah untuk


(12)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

membantu siswa mengembangkan kemampuannnya dalam mengerjakan dan menyelesaikan permasalahan matematis.

Proses pembelajaran dikatakan efektif dan berhasil apabila dapat melibatkan siswa secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Belajar aktif adalah belajar dimana siswa lebih berpartisipasi aktif sehingga kegiatan siswa jauh lebih dominan daripada kegiatan guru mengajar. Mereka dapat aktif dalam mengkontruksi maupun mengorganisir belajarnya sendiri dengan memanfaatkan beragam sumber yang ada disekeliling mereka dimana guru yang menjadi fasilitatornya, dimana hal tersebut sangat tepat dengan kondisi perkembangan mental siswa di SMP.

Keberhasilan pembelajaran matematika pada siswa tidak dapat diukur dengan sejauh mana ingatan siswa atau prosedur pengerjaan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Keberhasilan pembelajaran matematika di kelas diawali dengan sikap siswa terhadap matematika, sejauh mana siswa menyadari bahwa matematika merupakan ilmu yang bermakna dan dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Apabila guru mengajarkan topik matematika yang sukar dimengerti menggunakan metode pembelajaran yang tidak cocok, maka akan membuat siswa yang awalnya menyenangi pelajaran matematika menjadi acuh sikapnya terhadap matematika, bahkan tidak menyukai matematika. Akibatnya mereka tidak dapat menyelasiakan soal-soal matematika dengan baik yang menyebabkan prestasi belajar matematika menjadi rendah. Untuk itu para pendidik mulai mengembangkan berbagai model pembelajaran yang nantinya diharapkan mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi di atas.

Banyak cara untuk menanggulangi permasalahan sikap siswa yang telah diungkap di atas. Salah satu caranya adalah pada saat pelajaran berlangsung, siswa dibimbing untuk menghubungkan pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Setelah itu siswa diarahkan untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya tersebut. Untuk melihat apakah siswa mengerti dan memahami materi yang sedang diajarkan, siswa diminta


(13)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menjelaskan kembali informasi yang telah mereka dapatkan. Jika siswa mengerti dan memahami materi, maka mereka akan dapat memperluas lagi pengetahuannya dengan mencoba mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang sedang berlangsung. Langkah-langkah di atas akan membuat siswa lebih fokus dan dapat dengan mudah memahami materi karena mereka berinteraksi secara langsung pada saat pembelajaran serta menemukan suatu konsep berdasarkan kemampuannya. Beberapa hal di atas sejalan dengan model pembelajaran yang baru-baru ini sedang digalakkan, yakni pembelajaran model CORE.

Model CORE merupakan salah satu model pembelajaran dengan metode diskusi. Model CORE mencakup empat proses yaitu Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (Calfee et. al, dalam Jacob, 2005: 13). Dalam Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuannya terdahulu. Organizing, membantu siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya. Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah diperoleh. Terakhir yaitu Extending atau proses memperluas pengetahuan siswa (Arsinah, 2011).

Tahapan pembelajaran dengan model CORE menawarkan sebuah proses pembelajaran yang berbeda dan memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat, mencari solusi serta membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini memberikan pengalaman yang berbeda sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa SMP.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran matematis dengan model CORE yang dituangkan dalam judul “Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:


(14)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran model konvensional?

2. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan model CORE?

3. Bagaimanakah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE?

C. Batasan Masalah

Menghindari meluasnya permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan terhadap siswa SMP kelas VIII semester genap, tahun ajaran 2013/2014 di SMP Negeri 26 Bandung.

2. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah Teorema Pythagoras.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah pada bagian sebelumnya, tujuan penelitian ini untuk mengetahui:

1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran model konvensional.

2. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan model CORE.

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, yaitu:


(15)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Bagi siswa diharapkan model CORE dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis.

2. Bagi guru diharapkan model CORE dapat menjadi salah satu sumber alternatif dalam memilih dan mengembangkan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis.

3. Bagi sekolah diharapkan model CORE dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat diterapkan di sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah.

4. Bagi peneliti dan pembaca diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran yang jelas tentang model CORE dalam pembelajaran matematis guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

F. Definisi Operasional

1. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dengan alasan yang tepat ditinjau dari indikator berpikir kritis dalam Taksonomi Ennis yang dikenal sebagai FRISCO, yaitu Focus (fokus), Reason (alasan), Inference (penyimpulan), Situation (situasi), Clarity (kejelasan, dan Overview (tinjauan). Adapun indikator kemampuan berpikir kritis matematis menurut Ennis (1985) yaitu (1) klarifikasi elementer (elementary clarification); (2) dukungan dasar (basic support); (3) penarikan kesimpulan (inference); (4) klarifikasi lanjut (advanced clarification); serta (5) strategi dan taktik (strategies and tactics).

2. Model CORE adalah model pembelajaran dengan metode diskusi yang merupakan singkatan dari Connecting, Organizing, Reflecting, Extending. Keempat proses tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi lama dan informasi baru atau dengan kata lain diskusi menentukan koneksi untuk belajar, mengoganisasikan sejumlah materi yang bervariasi, merefleksikan segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan lingkungan belajar. Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuannya terdahulu. Organizing,


(16)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

membantu siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya. Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah diperoleh. Extending atau proses memperluas pengetahuan siswa. 3. Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran dimana

guru terlebih dahulu menerangkan materi dan contoh soal, kemudian siswa diberikan soal latihan, siswa diperbolehkan bertanya kalau tidak mengerti.


(17)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Terpilihnya metode kuasi eksperimen karena peneliti tidak memilih siswa untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, tetapi peneliti menggunakan kelas yang ada. Menurut Ruseffendi (2005:52) pada penelitian dengan metode kuasi eksperimen subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok pretes-postes (pretest-posttest control group design). Dasar pertimbangan untuk memilih desain ini adalah karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model CORE dan siswa yang memperoleh pembelajaran model konvensional. Dengan demikian, desain kelompok pretes-postes (pretest-posttest control group design) menurut (Ruseffendi, 2005:53) dapat digambarkan sebagai berikut:

O X O

O O

Keterangan:

O : Pretest dan posttest.

X : Perlakuan pembelajaran dengan model CORE dalam kelompok (kelas eksperimen).

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Bandung tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 9 kelas. Selanjutnya dari banyaknya kelas VIII tersebut dipilih dua kelas sebagai sampel penelitian, yaitu kelas VIII H dan VIII I. Kemudian dari dua kelas tersebut dipilih kelas VIII H sebagai kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran model CORE dan kelas


(18)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

VIII I sebagai kelas kontrol yang mendapat pembelajaran matematika dengan model pembelajaran konvensional.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes dan nontes. Instrumen tes berupa instrumen data kuantitatif yaitu tes kemampuan berpikir kritis matematis, sedangkan instrumen non-tes berupa instrumen data kualitatif yaitu angket dan lembar observasi. Data-data tersebut diperlukan untuk menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Oleh sebab itu dibuatlah seperangkat instrumen yang terdiri dari instrumen data kuantitatif dan instrumen data kualitatif.

1. Instrumen Data Kuantitatif

a. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Tes kemampuan berpikir kritis matematis terdiri dari pretest dan posttest. Tes ini dikembangkan berdasarkan pada indikator kemampuan berpikir kritis matematis. Tes yang digunakan adalah tes tertulis berbentuk uraian (subjektif). Pretest dan posttest dilakukan untuk mengamati perbedaan hasil belajar yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dilangsungkan pada kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran dengan model CORE dan kelas kontrol yang mendapat pembelajaran dengan metode biasa. Pretest dilakukan pada awal pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberi perlakuan. Sedangkan posttest dilakukan di akhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah diberi perlakuan.

Sebelum instrumen tes diberikan kepada siswa dalam proses penelitian, instrumen tes terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, kemudian diujicobakan kepada siswa di luar sampel. Instrumen tes diujicobakan kepada siswa yang telah mempelajari materi yang akan dijadikan sebagai penelitian. Setelah data hasil uji coba diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembedanya dari soal-soal tersebut yaitu butir demi butir untuk diteliti


(19)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kualitasnya. Perhitungan yang dilakukan menggunakan bantuan software Anates Versi 4.0.

1) Validitas

Suherman dan Kusumah (1990:135) mengemukakan bahwa suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Oleh karena itu keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dalam melaksanakan fungsinya.

Menurut Ruseffendi (2006:125) validitas suatu tes ialah ketetapan tes itu mengukur apa yang semestinya diukur. Besarnya tingkat ketetapan (koefisien) validitas ini berkisar antara -0,1 dan +0,1. Untuk mendapatkan validitas butir soal bisa digunakan rumus Product Moment Pearson (Suherman dan Kusumah, 1990:154), yaitu:

Keterangan:

: Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y.

: Skor siswa pada tiap butir soal. : Skor total tiap siswa.

: Jumlah siswa.

Hasil perhitungan koefisien korelasi diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria pengklasifikasian dari Guilford (Suherman dan Kusumah, 1990:147) yang dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1

Klasifikasi Koefisien Korelasi

Besarnya rxy Interpretasi

Validitas sangat tingggi (sangat baik)

Validitas tinggi (baik)

Validitas sedang (cukup)


(20)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Validitas sangat rendah

Tidak valid

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan software Anates Versi 4.0, diperoleh validitas tiap butir soal tes yang terangkum dalam Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.2

Data Hasil Uji Validitas Setiap Butir Soal

No Soal Interpretasi

1. 0,76 Tinggi

2. 0,58 Sedang

3. 0,69 Tinggi

4. 0,80 Tinggi

5. 0,67 Tinggi

2) Reliabilitas

Reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg), hasil pengukuran itu harus tetap sama (relatif sama) jika pengukurannya diberikan pada subyek yang sama meskipun dilakukan oleh orang, waktu dan tempat yang berbeda, tidak terpengaruh oleh pelaku, situasi dan kondisi (Suherman dan Kusumah, 1990:167).

Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha (Suherman dan Kusumah, 1990: 194) yaitu:

Keterangan:

r11 : reliabilitas tes secara keseluruhan


(21)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

: jumlah varians skor tiap item : varians skor total

Untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh Guilford (Suherman dan Kusumah, 1990:177) pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Klasifikasi Reliabilitas

Koefisien Reliabilitas ( ) Interpretasi derajat reliabilitas

sangat rendah

rendah

sedang

tinggi

sangat tinggi

Dengan bantuan software Anates Versi 4.0 diperoleh koefisien reliabilitas r = 0,68. Jika diinterpretasikan soal tes memiliki derajat reliabilitas tinggi.

3) Indeks Kesukaran

Suherman dan Kusumah (1990:212) mengungkapkan bahwa derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut Indeks Kesukaran. Bilangan tersebut adalah bilangan real pada interval (kontinum) 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran mendekati 0,00 berarti butir soal tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal dengan indeks kesukaran 1,00 berarti soal tersebu terlalu mudah.

Rumus untuk menentukan indeks kesukaran (Mustikawati, 2013 : 27) yaitu :


(22)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Keterangan:

: Indeks tingkat kesukaran butir soal. : Jumlah skor kelompok atas.

: Jumlah skor kelompok bawah. : Jumlah skor ideal kelompok atas. : Jumlah skor ideal kelompok bawah.

Klasifikasi indeks kesukaran yang paling banyak digunakan menurut Suherman dan Kusumah (1990:213) yang disajikan pada Tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4

Klasifikasi Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran (IK) Klasifikasi IK = 0,00 Soal terlalu sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 Soal sukar

0,30 < IK ≤ 0,70 Soal sedang

0,70 < IK ≤ 1,00 Soal mudah IK = 1,00 Soal terlalu mudah

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan software Anates Versi 4.0, diperoleh indeks kesukaran tiap butir soal tes yang terangkum dalam Tabel 3.5 berikut ini:

Tabel 3.5

Data Hasil Uji Indeks Kesukaran Butir Soal No Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1. 0,50 Sedang

2. 0,65 Sedang

3. 0,15 Terlalu Sukar

4. 0,46 Sedang


(23)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4) Daya Pembeda

Menurut Suherman dan Kusumah (1990:199-200) daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan siswa yang tidak dapat menjawab soal tersebut atau siswa yang menjawab salah. Dengan kata lain, daya pembeda suatu butir soal adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Rumus untuk menentukan daya pembeda tiap butir soal menurut Suherman (Kumalasari, 2011:63) yaitu:

Keterangan:

DP : Daya Pembeda.

SA : Jumlah skor pada kelompok atas pada butir soal yang diolah. SB : Jumlah skor pada kelompok bawah pada butir soal yang diolah. IA : Jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal yang dipilih.

Klasifikasi untuk daya pembeda yang banyak digunakan menurut Suherman dan Kusumah (1990:202) dapat diinterpretasikan dengan menggunakan Tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.6

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda (DP) Klasifikasi DP = 0,00 Sangat jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup

0,40 < DP ≤ 0,70 Baik


(24)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan software Anates Versi 4.0, diperoleh daya pembeda tiap butir soal tes yang terangkum dalam Tabel 3.7 berikut ini:

Tabel 3.7

Data Hasil Uji Daya Pembeda Butir Soal

No soal Daya Pembeda Interpretasi

1. 0,76 Sangat Baik

2. 0,70 Baik

3. 0,30 Cukup

4. 0,79 Sangat Baik

5. 0,36 Cukup

Berikut ini adalah rekapitulasi data hasil uji instrumen yang meliputi validitas soal, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran yang terangkum dalam Tabel 3.8 berikut ini:

Tabel 3.8

Data Hasil Uji Instrumen No

Soal Validitas

Daya Pembeda

Indeks

Kesukaran Reliabilitas 1. 0,76

(Tinggi) 0,76 (Sangat Baik) 0,50 (Sedang) 0,68 (Tinggi) 2. 0,58

(Sedang)

0,70 (Baik)

0,65 (Sedang) 3. 0,69

(Tinggi)

0,30 (Cukup)

0,15 (Terlalu Sukar) 4. 0,80

(Tinggi)

0,79 (Sangat Baik)

0,46 (Sedang) 5. 0,67

(Tinggi)

0,36 (Cukup)

0,30 (Sukar)


(25)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari hasil rekapitulasi hasil uji instrumen, validitas, daya pembeda, indeks kesukaran dan reliabilitas menunjukkan hasil yang tergolong baik maka instrumen tes berpikir kritis ini selanjutnya akan digunakan pada penelitian.

2. Instrumen Data Kualitatif a. Angket

Angket adalah sebuah daftar pertanyaan atau pernyataan yang digunakan untuk mengukur sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE. Pengisian angket tersebut diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan dilakukan pada akhir penelitian yaitu setelah siswa melakukan posttest. Skala yang digunakan dalam angket tersebut ialah skala Likert, yang terdiri dari empat pilihan yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, serta sangat tidak setuju. Pada skala ini tidak menggunakan opsi netral seperti kurang setuju, agar sikap dari siswa tidak ada yang menyatakan ragu-ragu.

b. Lembar Observasi

Lembar observasi merupakan suatu lembaran pengamatan instrumen yang menyatakan data tentang sikap siswa dan kegiatan guru dalam kegiatan belajar dan mengajar yang bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran dengan model CORE yang sedang berlangsung. Observer dalam penelitian ini adalah rekan sesama mahasiswa. Hasil dari observasi tersebut menjadi bahan evaluasi dan bahan masukan bagi peneliti agar pertemuan-pertemuan berikutnya menjadi lebih baik.

3. Bahan Ajar

a. Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)

Rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) dibuat per pertemuan pembelajaran. RPP ini memuat standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran. RPP disusun untuk beberapa pertemuan, RPP untuk kelas


(26)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

eksperimen menggunakan model CORE sedangkan untuk kelas konvensional menggunakan model pembelajaran konvensional.

b. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

Lembar kegiatan siswa memuat kegiatan dan masalah-masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. LKS diberikan pada kelas eksperimen dengan model CORE.

D. Prosedur Penelitian

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu: 1. Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini yaitu:

a. Mengidentifikasi permasalahan mengenai bahan ajar, merencanakan pembelajaran, serta alat dan bahan yang akan digunakan.

b. Melakukan observasi ke tempat penelitian sekaligus melakukan perizinan tempat untuk penelitian.

c. Membuat instrumen penelitian.

d. Melakukan proses bimbingan dengan dosen pembimbing.

e. Melaksanakan uji coba instrumen penelitian kepada siswa di luar sampel penelitian.

f. Menganalisis kualitas instrumen.

g. Merevisi instrumen penelitian (jika diperlukan).

h. Pemilihan sampel penelitian dari populasi yang telah ditentukan.

i. Menghubungi kembali pihak sekolah untuk teknis pelaksanaan penelitian.

j. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan bahan ajar dalam bentuk LKS.

2. Tahap Pelaksanaan


(27)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

a. Memberikan pretest terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Melaksanakan kegiatan pembelajaran terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen, pembelajaran dilakukan dengan model CORE. Sedangkan untuk kelas kontrol, pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran model konvensional.

c. Melakukan observasi yang dibantu oleh rekan mahasiswa.

d. Memberikan angket pada pertemuan akhir kepada siswa kelas eksperimen.

e. Memberikan posttest terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. 3. Tahap Analisis Data

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah:

a. Mengumpulkan hasil data kuantitatif dan kualitatif dari dua kelas.

b. Mengolah dan menganalisis hasil data kuantitatif berupa pretest dan posttest.

c. Mengolah dan menganalisis data kualitatif berupa hasil angket dan lembar observasi.

d. Mengonsultasikan hasil pengolahan dengan dosen pembimbing. 4. Tahap Penulisan Laporan

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini dalah:

a. Membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan.

b. Menyusun laporan hasil penelitian.


(28)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Berikut ini disajikan diagram alur prosedur penelitian:

Tahap Persiapan

· Identifikasi permasalahan · Melakukan observasi

dan perizinan · Membuat instrumen

penelitian

· Melakukan bimbingan · Melaksanakan uji coba

instrumen · Anaisis kualitas

instrumen · Merevisi instrumen · Memilih sampel dan

populasi

· Menghubungi kembali pihak sekolah · Membuat RPP dan

bahan ajar

Tahap Pelaksanaan

· Memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kontrol

· Melaksanakan kegiatan pembelaran

· Melakukan observasi. · Memberikan angket

kepada siswa kelas eksperimen · Memberikan posttest

pada kelas eksperimen dan kontrol

Tahap Analisis Data

· Mengumpulkan hasil data kuantitatif dan kualitatif. · Mengolah dan

menganalisis hasil data kuantitatif. · Mengolah dan

menganalisis data kualitatif. · Mengonsultasikan

hasil pengolahan dengan dosen pembimbing

Tahap Penulisan Laporan

· Membuat kesimpulan · Menyusun

laporan · Merevisi

laporan setelah melakukan bimbingan.

Diagram 3.1

Diagram Alur Prosedur Penelitian

E. Teknik Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan pada setiap kegiatan siswa dan situasi yang berkaitan dengan penelitian menggunakan instrumen berupa tes, angket dan lembar observasi. Tes yang diberikan berupa pretest dan posttest yang diberikan pada dua kelas eksperimen. Angket hanya diberikan kepada kelas eksperimen untuk melihat sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE. Untuk menunjang kebenaran dari jawaban siswa terhadap pengisian angket, maka dilengkapi dengan lembar observasi yang diisi oleh observer.

Setelah data terkumpul, kemudian data dikategorikan ke dalam jenis data kuntitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest, sedangkan data kualitatif meliputi data hasil pengisian angket dan lembar observasi. Selanjutnya data kuantitatif dan kualitatif tersebut dianalisis atau diolah melalui langkah-langkah sebagai berikut.


(29)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Analisis Data Kuantitatif

Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap hasil data pretest dan posttest yang kemudian diolah menggunakan program SPSS 20.0 for windows. Analisis data yang dilakukan yaitu.

a. Analisis Data Pretest

Pengolahan data pretest dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol, apakah kedua kelas memiliki kemampuan yang sama atau tidak. Tahap analisis data pretest yaitu:

1) Menganalisis Data secara Deskriptif

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil pretest, terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam melakukan pengujian hipotesis. 2) Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui apakah data kedua kelas berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila hasil pengujian kedua kelas berdistribusi normal maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas, tetapi jika salah satu atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka pengujian selanjutnya menggunakan statistik nonparametrik dengan uji Mann Whitney.

3) Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelas memiliki varians yang sama atau tidak. Apabila kedua kelas mempunyai varians yang sama maka kedua kelompok tersebut homogenitas. Untuk melakukan uji homogenitas, digunakan uji Levene.

4) Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Uji kesamaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui apakah rata-rata skor pretest kedua kelas sama atau tidak. Ketentuan pengujiannya yaitu:


(30)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

a) Jika data berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji-t.

b) Jika data berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka pengujiannya dilakukan menggunakan uji-t’.

b. Analisis Data Postest/Indeks gain

Analisis data postest/indeks gain bergantung dari hasil analisis data pretest. Apabila kemampuannya ekuivalen maka untuk analisis datanya digunakan analisis terhadap hasil postes kelas kontrol dan kelas eksperimen. Sedangkan apabila kemampuannya berbeda secara signifikan maka digunakan analisis terhadap indeks gain kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Pengolahan data posttest/indeks gain dilakukan untuk mengetahui apakah kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran model konvensional. Tahap analisis data posttest yaitu:

1) Menganalisis Data secara Deskriptif

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil posstest/indeks gain, terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam melakukan pengujian hipotesis.

2) Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui apakah data kedua kelas berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila hasil pengujian kedua kelas berdistribusi normal maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas, tetapi jika salah satu atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka pengujian selanjutnya menggunakan statistik nonparametrik dengan uji Mann Whitney.


(31)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelas memiliki varians yang sama atau tidak. Apabila kedua kelas mempunyai varians yang sama maka kedua kelompok tersebut homogen. Untuk melakukan uji homogenitas, digunakan uji Levene.

4) Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol atau tidak. Ketentuan pengujiannya yaitu:

a) Jika data berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji-t.

b) Jika data berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka pengujiannya dilakukan menggunakan uji-t’.

c. Analisis Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Apabila data hasil pretest kelas kontrol dan eksperimen sama, maka data yang digunakan untuk melihat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa adalah data posttest. Akan tetapi, jika hasil pretest kelas kontrol dan eksperimen menunjukkan kemampuan yang berbeda, maka data yang digunakan adalah data indeks gain (gain ternormalisasi). Menentukan indeks gain dari setiap siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen dilakukan berdasarkan kriteria indeks gain menurut Hake (Kumalasari, 2011:69) gain ternormalisasi (normalized gain) dihitung dengan rumus berikut:

Menentukan rerata indeks gain dari kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil perhitungan rerata indeks gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan kategori yang disajikan dalam Tabel 3.9 sebagai berikut.


(32)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tabel 3.9

Kriteria Indeks gain (g)

Besar Gain (g) Interpretasi

g ≥ 0,700 Tinggi

0,300 ≤ g < 0,700 Sedang

g < 0,300 Rendah

Semakin tinggi rerata indeks gain, maka semakin tinggi pula peningkatan yang terjadi akibat penerapan model pembelajaran pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen.

Berikut ini disajikan diagram prosedur pengolahan data kuantitatif:

Data: Pretest, Posttest, indeks

gain, gain

Uji Normalitas (Uji

Kolmogorov-Smirnov)

Uji Homogenitas (Uji Levene’s)

Uji Perbedaan Dua Rata-rata (Uji t)

Uji Non-Parametrik (Mann Whitney)

Uji Perbedaan Dua Rata-rata (Uji t’)

Populasi berdistribusi normal

Populasi berdistribusi normal dan homogen

Populasi berdistribusi normal tetapi tidak

homogen Populasi tidak berdistribusi normal

Kesimpulan

Diagram 3.2

Diagram Alur Prosedur Pengolahan Data Kuantitatif

2. Analisis Data Kualitatif

Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data kualitatif yang diperoleh sebagai berikut:

Data: Pretest, Postest, index gain, gain


(33)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

a. Angket

Menurut Suherman dan Kusumah (1990:235) dalam menganalisis hasil angket, skala kualitatif ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Untuk pernyataan yang bersifat positif (favorable) kategori SS diberi skor tertinggi, makin menuju ke STS skor yang diberikan berangsur-angsur menurun. Sebaliknya untuk pernyataan yang bersifat negatif (unfavorable) untuk kategori SS diberi skor terendah, makin menuju ke STS skor yang diberikan berangsur-angsur makin tinggi.

Setiap jawaban siswa pada angket tersebut diberi bobot, dan pembobotan yang dipakai menurut Suherman dan Kusumah (1990:236) dapat diinterpretasikan pada Tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10

Kategori Jawaban Angket Jenis

Pernyataan

Skor

SS S TS STS

Favorable 5 4 2 1

Unfavorable 1 2 4 5

Setelah pengskoran, kemudian dilakukan pengolahan dengan cara menentukan rata-rata skor siswa. Jika rata-rata skor siswa terhadap pernyataan lebih besar dari 3, maka siswa memiliki sikap positif. Jika rata-rata siswa kurang dari 3, maka siswa memiliki sikap negatif. Setelah siswa ditentukan memiliki sikap positif atau negatif, maka langkah selanjutnya adalah menentukan persentase banyaknya siswa yang mendapatkan respon positif dengan banyaknya siswa secara keseluruhan yang menjadi sampel penelitian. Persentase dalam angket dihitung dengan cara sebagai berikut (Wahyudi, 2012:30):

Keterangan:


(34)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

f : Frekuensi jawaban.

n : Banyaknya siswa (responden).

Persentase yang dihasilkan diinterpretasikan atau diklasifikasikan menggunakan panduan pada Tabel 3.11 berikut (Wahyudi, 2012:30) :

Tabel 3.11

Klasifikasi Kategori Angket

Besar Presentase Interpretasi

P = 0% Tak seorang pun

0% < P < 25% Sebagian kecil

25% ≤ P < 50% Hampir setengahnya

P = 50% Setengahnya

50% < P < 75% Sebagian besar

75% ≤ P < 100% Hampir seluruhnya

P = 100% Seluruhnya

b. Lembar Observasi

Data hasil observasi dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan hasil pengamatan selama pembelajaran matematis dengan model CORE. Pengolahan atau penganalisisan lembar observasi dilakukan dengan membuat uraian secara deskriptif dari hasil pengamatan observer. Adapun untuk lembar observasi terlampir pada lampiran.


(35)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mengenai penerapan model CORE untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung, diperoleh kesimpulan:

1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model CORE lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional .

2. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model CORE berada pada kategori sedang.

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE menunjukkan sikap yang positif.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dilaksanakan mengenai penerapan model CORE, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Pembelajaran matematika dengan model CORE dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis.

2. Kemampuan berpikir kritis matematis dapat dikembangkan dengan membiasakan siswa memecahkan soal-soal yang lebih beragam, disesuaikan dengan alokasi waktu pembelajaran yang tersedia.


(36)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian tentang model CORE, dapat diujicobakan pada pokok bahasan lain serta jenjang dan kemampuan matematika lainnya.


(37)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Arsinah. (2010). Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematis untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Fitria, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Melalui Strategi Heuristik Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hassoubah, I. J. (2004). Cara Berpikir Kritis dan Kreatif. Bandung: Nuansa

Isum, L. (2012). Pembelajaran Matematis Dengan Model CORE untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE dalam Pembelajaran Logika dengan Pendekatan ‘Reciprocal Teaching’ bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Piloting. Tidak diterbitkan.

Justicia, M .(2010). Penerapan Model CORE Dalam Pembelajaran Matematis dengan Pendekatan Keterampilan Metakognisi untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan


(38)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kementrian Pendidikan Malaysia. (2001). Pembelajaran Secara Konstruktivisme. Malaysia: Pusat Perkembangan Kurikulum.

Kumalasari, E. (2011). PeningkatanKemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah MatematisSiswa SMP Melalui Pembelajaran Matematis Model CORE.Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Kusumah, Y.S.(2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi

Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Bandung: UPIPress.

Mustikawati,M. (2013). Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi React dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis SiswaSMP. Skripsipada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Nursyamsi. (2010). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pendekatan PembelajaranMatematis Realistik [Online]. Tersedia: http://nursyamsi-gurumatematis.blogspot.com [30 Juni2013]

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksata Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Schafersman, S. D. (1991). An Introduction to Crithical Thinking. [Online]

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suhernan, E & Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis untuk

Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematis. Bandung/:

Wijayakusumah 157.

Suherman, E, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematis Kontemporer. Upi. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematis. Hands-out perkuliahan. Bandung: UPI.


(39)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sumarmo, U. (2005). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wahyudi, E. (2012). Penerapan Pembelajaran Matematika melalui Strategi REACT untuk Meningkatkan Kompetensi Strategi Siswa Kelas X. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wijayanti, A. (2012). Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.


(1)

37

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu f : Frekuensi jawaban.

n : Banyaknya siswa (responden).

Persentase yang dihasilkan diinterpretasikan atau diklasifikasikan menggunakan panduan pada Tabel 3.11 berikut (Wahyudi, 2012:30) :

Tabel 3.11

Klasifikasi Kategori Angket

Besar Presentase Interpretasi

P = 0% Tak seorang pun

0% < P < 25% Sebagian kecil 25% ≤ P < 50% Hampir setengahnya

P = 50% Setengahnya

50% < P < 75% Sebagian besar 75% ≤ P < 100% Hampir seluruhnya

P = 100% Seluruhnya

b. Lembar Observasi

Data hasil observasi dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan hasil pengamatan selama pembelajaran matematis dengan model CORE. Pengolahan atau penganalisisan lembar observasi dilakukan dengan membuat uraian secara deskriptif dari hasil pengamatan observer. Adapun untuk lembar observasi terlampir pada lampiran.


(2)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mengenai penerapan model CORE untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung, diperoleh kesimpulan:

1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model CORE lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional .

2. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model CORE berada pada kategori sedang.

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE menunjukkan sikap yang positif.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dilaksanakan mengenai penerapan model CORE, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Pembelajaran matematika dengan model CORE dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis.

2. Kemampuan berpikir kritis matematis dapat dikembangkan dengan membiasakan siswa memecahkan soal-soal yang lebih beragam, disesuaikan dengan alokasi waktu pembelajaran yang tersedia.


(3)

61

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian tentang model CORE, dapat diujicobakan pada pokok bahasan lain serta jenjang dan kemampuan matematika lainnya.


(4)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Arsinah. (2010). Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematis untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Fitria, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Melalui Strategi Heuristik

Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hassoubah, I. J. (2004). Cara Berpikir Kritis dan Kreatif. Bandung: Nuansa Isum, L. (2012). Pembelajaran Matematis Dengan Model CORE untuk

Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan. Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE dalam Pembelajaran Logika dengan Pendekatan ‘Reciprocal Teaching’ bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Piloting. Tidak diterbitkan.

Justicia, M .(2010). Penerapan Model CORE Dalam Pembelajaran Matematis dengan Pendekatan Keterampilan Metakognisi untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan


(5)

62

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kementrian Pendidikan Malaysia. (2001). Pembelajaran Secara Konstruktivisme. Malaysia: Pusat Perkembangan Kurikulum.

Kumalasari, E. (2011). PeningkatanKemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah MatematisSiswa SMP Melalui Pembelajaran Matematis Model CORE.Tesis PPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Kusumah, Y.S.(2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi

Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Bandung: UPIPress.

Mustikawati,M. (2013). Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi React dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis SiswaSMP. Skripsipada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Nursyamsi. (2010). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pendekatan PembelajaranMatematis Realistik [Online]. Tersedia: http://nursyamsi-gurumatematis.blogspot.com [30 Juni2013] Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Non-Eksata Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Schafersman, S. D. (1991). An Introduction to Crithical Thinking. [Online] Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suhernan, E & Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis untuk

Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematis. Bandung/: Wijayakusumah 157.

Suherman, E, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematis Kontemporer. Upi. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematis. Hands-out perkuliahan. Bandung: UPI.


(6)

Webby Sita Rahmawati, 2014

Penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sumarmo, U. (2005). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wahyudi, E. (2012). Penerapan Pembelajaran Matematika melalui Strategi REACT untuk Meningkatkan Kompetensi Strategi Siswa Kelas X. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wijayanti, A. (2012). Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) PADA MATERI SISTEM GERAK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

5 40 100

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Aljabar, Berpikir Kritis Matematis, dan Self-Regulated Learning Siswa SMP melalui Pembelajaran CORE: (Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending).

4 17 94

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CORE (Connecting, Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui Model Pembelajaran Core (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) (PTK Pembelajaran M

0 3 17

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CORE (CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING) DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS BERITA.

1 7 45

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CORE (CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, AND EXTENDING) MATERI FLUIDA DINAMIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI IPA 1 SMA NEGERI KEBAKKRAMAT.

1 2 18

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING (CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP - repository UPI S MTK 0902192 Title

0 0 3

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN MODEL PEMBELAJARAN CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING (CORE) - repository UPI S MAT 1205180 Title

0 0 3

1. Model Pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) - PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CORE (CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING) DAN OEL (OPEN ENDED LEARNING) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA PADA MATA PELA

2 6 37

PENGARUH PEMBELAJARAN CONNECTING ORGANIZING REFLECTING EXTENDING (CORE) TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VII SMP MUHAMMADIYAH SOKARAJA

0 0 18

PENGARUH PEMBELAJARAN CONNECTING, ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING (CORE) TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PADAMARA

0 0 14