PENGARUH PENERAPAN MODEL TREFFINGER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KREATIF DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA.

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……… ………i

KATA PENGANTAR …… ……….iii

ABSTRAK ……… …….v

ABSTRACT ………vi

RIWAYAT HIDUP ……… ...vii

DAFTAR ISI ………. viii

DAFTAR TABEL… ………. …... xi

DAFTAR GAMBAR…..………...xvi

DAFTAR LAMPIRAN……… ……… ………… xvii

BAB I : PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang Masalah ………..1

B. Rumusan Masalah……… ………8

C. Tujuan Penelitian………. ………...9

D. Manfaat Penelitian……… ………..10

E. Defenisi Operasional… ………..11

F. Hipotesis ……… …..11

BAB II : KAJIAN PUSTAKA……… ….. 13

A. Kreativitas dalam Pembelajaran Matematika… ……… … …..…13

1. Pengertian dan konsep kreativitas……… …… ….13

2. Konsepsi dan indikator kemampuan kreatif ……… … ….…16

3. Beberapa alternatif model pengembangan kemampuan kreatif dalam pembelajaran matematika… ……… … ………..19

4. Contoh pengembangan kemampuan kreatif dalam pembelajaran matematika……… ….. …. 28

B. Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika………… ……… ….……32

1. Masalah matematika………… ……….32

2. Pemecahan masalah matematika ………....33

3. Proses dan tahap -tahap pemecahan masalah matematika ………..35

4. Penerapan pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika ……… …..37

5. Beberapa contoh pemecahan masalah secara kreatif dalam pembelajaran matematika ……….…42


(2)

BAB III : METODE PENELITIAN………..……….55

A. Desain Penelitian……….………..55

B. Subyek Populasi dan Subyek Sampel……….…………..…… …. 56

C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya………..62

1. Tes kemampuan kreatif matematik siswa……… ……… ………62

2. Tes pemecahan masalah matematika………..………..66

3. Lembar observasi… ……… … … .... 67

4 . Pedoman wawancara……… … ...……….68

D. Uji Coba Terbatas (Penelitian Pendahuluan)……… … …..68

E. Prosedur Penelitian………. …...69

F. Prosedur Analisis Data……… …….… …………70

BAB IV : TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… ..…….. 72

A. Hasil Studi Uji Coba Terbatas……… …...…...72

1. Kemampuan dan kinerja guru… ……… …. ……..72

2. Sarana dan fasilitas pembelajaran yang dibutuhkan …… ……76

3. Kemampuan kreatif matematik siswa …… … …. ……….. …...77

4. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa …...80

B. Temuan dari Studi Eksperimen………..……… …….84

1. Hasil skor post-tes kemampuan kreatif matematik siswa dan analisisnya………..…… 84

2. Hasil skor post-tes pemecahan masalah matematika siswa dan analisisnya……… ………. ……95

C. Pembahasan……… ……… ….… …...106

1. Pembahasan berkaitan dengan penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan kreatif matematik siswa… ……….……..…106 2. Pembahasan berkaitan dengan penerapan


(3)

3. Pembahasan berkaitan dengan aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran matematika

dengan menggunakan model Treffinger…… …. ……… …. 112

BAB V : KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI…… ………….116

A. Kesimpulan… ……… . ……...116

B. Implikasi……….………...117

C. Rekomondasi……… ...….……….118

DAFTAR PUSTAKA………...121


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menghadapi tantangan masa depan dalam era globalisasi dan canggihnya teknologi komunikasi dewasa ini, menuntut individu untuk memiliki berbagai keterampilan dan kemampuan. Keterampilan dan kemampuan yang harus dimiliki tersebut antara lain adalah kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah. Kedua kemampuan ini sangat penting, karena dalam kehidupan sehari-hari setiap orang selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang harus dipecahkan dan menuntut kreativitas untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya.

Pad bidang pendidikan, kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu terlihat pada upaya-upaya pengambil kebijakan di bidang pendidikan untuk memasukkan kedua komponen ini dalam berbagai kegiatan pendidikan, baik dimuat dalam kurikulum, strategi pembelajaran maupun perangkat pembelajaran lainnya. Upaya tersebut dimaksudkan agar supaya setiap kegiatan pendidikan atau pembelajaran, kepada siswa dapat dilatihkan keterampilan yang dapat mengembangkan kemampuan kreatif dan pemecahan masalah. Dengan demikian dunia pendidikan akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan SDM yang kreatif dan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang handal untuk menjalani masa depan yang penuh tantangan.

Salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan pemecahan masalah bagi siswa pada pendidikan adalah melalui pembelajaran matematika. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa pada proses pembelajaran matematika, siswa memperoleh latihan secara implisit maupun secara eksplisit cara berpikir kreatif dan cara memecahkan masalah. Bahkan dengan jelas dikemukakan dalam kurikulum matematika bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika yang hendak dicapai adalah untuk menjadikan siswa mempunyai pandangan yang lebih luas serta memiliki


(5)

inovatif dan kreatif. Guru yang mengajar matematika diharapkan berperan untuk mengembangkan pikiran inovatif dan kreatif, membantu siswa dalam mengembangkan daya nalar, berpikir logis, sistematika logis, kreatif, cerdas, rasa keindahan, sikap terbuka dan rasa ingin tahu (Sumarmo:2000).

Tujuan tersebut berimplikasi pada upaya untuk menjadikan pembelajaran matematika menarik bagi siswa sehingga mereka menjadi aktif dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran. Dengan aktif dan kreatifnya siswa mengikuti pembelajaran matematika, maka diharapkan hal itu akan memberikan efek positif terhadap hasil belajar yang diperolehnya. Hasil belajar yang dimaksud antara lain tercermin pada kemampuan komunikasi matematik, penalaran, kemampuan kreatif matematik serta kemampuan pemecahan masalah matematika yang dapat diaplikasikannya pada masalah matematika dan pada masalah yang dihadapinya sehari-hari.

Akan tetapi jika dikaji lebih jauh kondisi pembelajaran matematika dewasa ini maka nampak bahwa proses dan hasil pembelajarannya belum memenuhi harapan yang diinginkan. Hasil belajar yang terindikasi pada NEM yang diperoleh siswa belum memuaskan pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan matematika. Siswa yang diharapkan aktif dalam pembelajaran, pada kenyataannya justeru lebih pasif ketimbang guru yang mengajar. Kondisi dimaksud sesuai dengan penegasan Sulivan (1992) bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan di kelas pada umumnya hanya terpusat pada guru yang mengakibatkan siswa menjadi malas dan kurang bergairah dalam menerima pelajaran.

Demikian juga Ruseffendi (1990:100) mengemukakan, “… pada umumnya orientasi pengajaran matematika itu kepada hasil, soal-soalnya terutama mengenai ingatan, pemahaman, keterampilan, disuapi dan semacamnya”. Sedangkan hasil penelitian Wahyudin (1999) menemukan bahwa selama ini pembelajaran matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan ekspotorinya. Guru jarang mengajak siswa untuk menganalisis secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti kemampuan membuktikan suatu konsep.


(6)

Sementara itu Marpaung (dalam Sugiman, 2000:167) menemukan masalah dalam pembelajaran matematika yaitu antara lain: (1) siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi sendiri, atau cara alternatif dalam memecahkan masalah, (2) siswa pada umumnya duduk sepanjang waktu di atas kursi. Sangat jarang siswa bebas berinteraksi dengan sesama selama pelajaran berlangsung, (3) guru tidak berani mengambil keputusan yang bersifat kurikulum demi kepentingan kelas. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa sampai saat ini pembelajaran matematika masih bermasalah dan memerlukan inovasi-inovasi tertentu untuk memperbaikinya

Meskipun kenyataanya proses dan hasil pembelajaran matematika belum memuaskan, namun hal ini bukan berarti tidak ada peluang untuk memperbaikinya. Khususnya untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika banyak cara dan metode yang dapat kita lakukan. Salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang berbasis pada pemecahan masalah secara kreatif. Model belajar seperti ini diharapkan mampu menumbuhkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah melalui kebiasaan berpikir dan bersikap kreatif dalam memahami dan memecahkan masalah matematika. Pada akhirnya kebiasaan berpikir dan bersikap kreatif tersebut akan memberikan efek positip terhadap perilaku siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka.

Bertolak dari anggapan bahwa kreativitas dan pemecahan masalah matematika sebagai suatu proses dan hasil belajar yang disengaja, maka tentu guru harus menseting kelas dengan model-model belajar yang dapat memberi peluang untuk hal tersebut. Dalam hal ini guru harus mengupayakan proses belajar mengajar yang menunjukkan proses pengembangan kemampuan berpikir kreatif. Proses belajar mengajar yang masih sebatas sebagai proses transfer of knowledge, bersifat verbalistik dan hanya bertumpu pada kepentingan guru dari pada kepentingan siswa harus diubah.

Salah satu ikhtiar yang dapat diupayakan untuk menjadikan pembelajaran matematika dapat mengembangkan kreativitas adalah dengan cara mengintegrasikan suatu model pengembangan kreativitas itu dalam


(7)

logis yang dapat dikemukakan mengapa model pembelajarannya yang menjadi penekanan dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran matematika. Pertama, model pembelajaran merupakan variabel manipulatif, yang mana setiap guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan berbagai model pengajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajarannya,. sebagaimana dinyatakan Reigeluth dan Meril (Hidayanto, 1998: 6) bahwa ‘struktur isi pelajaran merupakan variabel pembelajaran di luar kontrol guru’.

Kedua, model pembelajaran memiliki fungsi sebagai instrumen yang membantu atau memudahkan siswa, dalam memperoleh sejumlah pengalaman belajar. Joyce dan Weil (1992:4) menyatakan bahwa "Each model' guides us as we design instruction to help students achieve various

objectives". Dalam hal ini, walaupun materi pembelajaran memiliki tingkatan

kesulitan yang tinggi, akan tetapi jika guru mampu meramu dan menyajikan dengan menerapkan model-model pembelajaran yang menarik bagi siswa dan sesuai dengan karakteristik materi, dimungkinkan mereka tak akan mengalami kesulitan. Mereka akan mendapat kemudahan dalam menerima materi pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Ketiga, pengembangan model pembelajaran dalam konteks peningkatan mutu perolehan hasil belajar siswa perlu diupayakan secara terus menerus dan bersifat komprehensif. Upaya ini harus dilakukan karena proses pembelajaran merupakan faktor determinan terhadap mutu hasil belajar. Dengan demikian model pembelajaran yang dilakukan di kelas harus diseting berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa yang belajar serta karakteristik materi yang akan diajarkan.

Untuk mewujudkan harapan agar siswa menjadi kreatif dan memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika yang baik, tentu dibutuhkan pula model pembelajaran yang berbasis pada pemecahan masalah secara kreatif. Salah satu model pembelajaran yang dimaksud adalah model Treffinger. Treffinger (1980), berdasarkan kajiannya mengenai sejumlah pustaka yang membahas pengembangan kreativitas, mencoba mengajukan suatu model untuk membangkitkan belajar kreatif.


(8)

Model yang dimaksud melibatkan dua ranah, yaitu kognitif dan afektif, serta terdiri atas tiga tahap. Pertama, tahap pengembangan fungsi-fungsi divergen, dengan penekanan keterbukaan kepada gagasan-gagasan baru dan berbagai kemungkinan. Kedua, tahap pengembangan berfikir dan merasakan secara lebih kompleks, dengan penekanan kepada penggunaan gagasan dalam situasi kompleks disertai ketegangan dan konflik. Ketiga, tahap pengembangan keterlibatan dalam tantangan nyata, dengan penekanan kepada penggunaan proses-proses berpikir dan merasakan secara kreatif untuk memecahkan masalah secara bebas dan mandiri.

Teknik-teknik kreatif tingkat pertama antara lain menggunakan teknik pemanasan, pemikiran dan perasaan terbuka, sumbang saran, dan penangguhan kritik, daftar penulisan gagasan, penyusunan sifat, dan hubungan yang dipaksakan. Teknik-teknik kreatif tingkat kedua meliputi antara lain; teknik analisis morfologis, bermain peran, dan sosio drama, serta sinectic. Teknik-teknik kreatif tingkat ketiga menggunakan teknik pemecahan masalah secara kreatif.

Dalam pembelajaran matematika perbaikan kinerja kreatif melalui pemecahan masalah seperti diuraikan di atas sangat menguntungkan siswa dan mempermudah guru dalam mengajarkan matematika. Siswa diuntungkan karena mereka akan memperoleh kesempatan untuk mewujudkan potensi-potensi kreatif yang dimilikinya dan sekaligus memperoleh kesempatan untuk menguasai secara kreatif konsep-konsep matematika yang diajarkan guru. Bagi guru langkah-langkah Treffinger akan memberi peluang kepada guru untuk berkreasi dengan teknik-teknik pengajaran yang dibutuhkan siswa tanpa terlalu terikat pada langkah-langkah kaku yang sering merugikan siswa maupun guru.

Mengingat matematika tidak mudah dipelajari maka pembelajaran matematika harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menarik siswa untuk belajar. Hal ini sangat penting karena biasanya seseorang akan senang pada sesuatu apabila hal itu disampaikan dalam bentuk-bentuk yang menarik. Oleh karena itu matematika yang diajarkan harus memperlihatkan unsur-unsur menariknya baik bagi diri secara individual maupun secara


(9)

harus dilakukan dalam kerangka pengembangan diri secara individual dengan teknik-teknik pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, serta bahan-bahan dan metode pembelajarannya dilakukan secara integratif.

Paling kurang terdapat lima karakteristik model Treffinger yang dominan mempengaruhi pengembangan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Kelima karakteristik yang dimaksud adalah, mengasumsikan bahwa kreativitas merupakan proses dan hasil belajar, melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir konvergen dan divergen dalam proses pemecahan masalah, dilaksanakan kepada semua siswa dalam berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan; mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya; dan dapat diterapkan secara fieksibel.

Apabila dimaknai lebih mendalam tentang strategi pembelajaran Treffinger seperti dikemukakan di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika baik untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Yang lebih diuntungkan lagi adalah siswa yang ada pada sekolah peringkat rendah. Hal ini disebabkan karena langkah–langkah pembelajaran model Treffinger yang mendasarkan pada pengembangan kreativitas serta teori belajar yang melibatkan proses-proses kognitif dan afektif sangat bermanfaat bagi siswa di sekolah peringkat rendah untuk menumbuhkan kegairahan dan potensi-potensi kreatifnya.

Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya dalam pembelajaran matematika yang menjadi perhatian guru adalah siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedangkan siswa dengan kemampuan rendah yang umumnya ada di sekolah peringkat rendah kurang memperoleh perhatian. Oleh sebab itu penerapan model Treffinger akan dapat mengakomodasikan keinginan semua siswa untuk diperhatikan dan diberi kesempatan menunjukkan potensi-potensi kemampuan yang dimilikinya termasuk kemampuan kreatif dan pemecahan masalah matematika.

Disamping itu melalui pembelajaran dengan model Treffinger usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kinerja berpikir serta sikap kreatif


(10)

dilakukan secara sistimatik dengan memusatkan perhatian kepada proses belajar memecahkan masalah. Tentu saja kegiatan seperti ini akan memberi peluang besar kepada semua siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian siswa yang memiliki kemampuan rendah yang umumnya ada di sekolah peringkat rendah melalui model Treffinger diduga akan lebih berkembang atau meningkat kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematika.

Sementara itu untuk siswa yang ada pada sekolah peringkat sedang dan sekolah peringkat tinggi melalui pembelajaran model Treffinger juga akan berkembang kemampuan kreatif dan pemecahan masalah matematikanya, namun perkembangan itu diduga kurang signifikan. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan tinggi yang umumnya ada pada sekolah peringkat tinggi, seringkali model pembelajaran yang diterapkan bukan merupakan faktor utama untuk meningkatkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah.

Oleh sebab itu dapat dikemukakan bahwa apabila dalam pembelajaran matematika diterapkan model Treffinger maka kemungkinan besar siswa pada sekolah peringkat rendah yang umumnya memiliki kemampuan akdemik rendah akan tertolong untuk meningkatkan hasil belajarnya. Pernyataan yang dimaksud sejalan dengan hasil penelitian Usiskin (dalam Ruseffendi, 1988) tentang gerakan back to basic, yang merupakan salah satu reaksi terhadap metematika modem (new math) menyimpulkan bahwa, siswa yang kemampuan matematikanya kurang atau lemah tertolong melalui gerakan back to basic, akan tetapi 25% siswa yang kemampuan matematikanya baik atau siswa pandai terkorbankan. Selain itu Ruseffendi (1988) menegaskan bahwa, matematika modern lebih baik untuk anak pandai tetapi lebih jelek untuk anak lemah, sedangkan back to basic lebih jelek untuk anak pandai tetapi lebih baik untuk anak lemah.

Uraian di atas mendorong dilakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas II SMP ditinjau dari peringkat


(11)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada perbedaan kemampuan kreatif matematik, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa serta interaksinya keduanya dengan peringkat sekolah. Untuk lebih jelasnya maka masalah penelitian di rumuskan sepertil berikut:

a. Bagaimana pengaruh penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika terhadap pengembangan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Kelas II SMP Negeri di Gorontalo jika dilihat dari peringkat sekolah. Selanjutnya rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ?

2. Apakah kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional jika didasarkan pada peringkat sekolah?

3. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

4. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional jika didasarkan pada peringkat sekolah ?


(12)

b. Bagaimana aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Treffinger

Untuk memudahkan melihat keterkaitan antara variabel-variabel kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika pada kedua kelompok pembelajaran (Treffinger dan Konvensional) dengan peringkat sekolah (tinggi, sedang, rendah) pada permasalahan pertama di atas, maka dibawah ini dikemukakan tabel yang memuat keterkaitan tersebut yang dapat di lihat pada Tabel 1.1 .

Tabel 1.1

Keterkaitan Variabel-Variabel Kemampuan Kreatif Matematik, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kelompok Pembelajaran

Model Pembelajaran Treffinger Konvensional Kemampuan

yang diukur

Kemampuan Kreatif Mat.

Pemecahan Masalah Mat.

Kemampuan Kreatif Mat.

Pemec. Masalah Mat.

Peringkat Sekolah

Tinggi μ 1.1 μ 1.2 μ 1.3 μ.1.4

Sedang μ.2.1 μ 2.2. μ 2.3 μ 2.4

Rendah μ 3.1 μ 3.2 μ 3.3 μ 3.4

μ 4.1 μ 4.2 μ 4.3 μ 4.4

Misalnya: μ 1.1 adalah Kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran Treffinger berdasarkan sekolah peringkat tinggi

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis secara komprehensif perbedaan kemampuan kreatif matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional

2. Menganalisis secara komprehensif perbedaan kemampuan kreatif matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional jika ditinjau dari peringkat sekolah


(13)

3. Menganalisis secara komprehensif perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional. 4. Menganalisis secara komprehensif perbedaan kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah.

5. Menganalisis pola keterkaitan antara, peringkat sekolah, kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa baik yang terlibat dalam pembelajaran dengan model Treffinger maupun yang terlibat dalam pembelajaran konvensional.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi siswa penerapan pengembangan kreativitas model Treffinger dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai suatu acuan untuk lebih melibatkan diri dalam proses belajar matematika dan lebih memaksimalkan kreativitasnya serta meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika

2. Bagi guru, model pengembangan kreativitas yang diterapkan dalam pembelajaran matematika ini merupakan alternatif dapat digunakan untuk pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan kreatif dan pemecahan masalah matematika siswa.

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu untuk mengembangkan model belajar yang dapat meningkatkan kreativitas siswa serta peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika sekaligus hasil belajar matematika siswa dalam pembelajaran matematika pada berbagai tingkatan pendidikan


(14)

E. Defenisi Operasional

1. Yang dimaksud dengan model Treffinger dalam penelitian ini adalah seperangkat cara dan prosedur kegiatan belajar yang tahap-tahapnya meliputi orientasi, pemahaman diri dan kelompok, pengembangan kelancaran dan kelenturan berfikir dan bersikap kreatif, pemacu gagasan-gagasan kreatif, serta pengembangan kemampuan memecahkan masalah yang lebih nyata dan kompleks.

2. Kemampuan kreatif matematik adalah kemampuan siswa yang meliputi kelancaran, keluwesan, kepekaan, dan elaborasi. Kelancaran didefenisikan sebagai kemampuan memberikan ide-ide yang tepat dan cepat yang relevan dengan masalah matematika yang diberikan. Keluwesan didefenisikan sebagai kemampuan menghasilkan keragaman ide dalam memecahkan masalah matematika yang diberikan. Elaborasi didefenisikan sebagai suatu kemampuan memberikan ide atau jawaban yang bersifat uraian atau penjelasan secara rinci dari jawaban masalah matematika yang diberikan. Kepekaan didefenisikan sebagai suatu kemampuan yang tercermin pada kepekaan dalam menangkap permasalahan dan sekaligus jawaban dari permasalahan yang diberikan kepada siswa.

3. Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan menyelesaikan masalah berdasarkan langkah-langkah Polya, yaitu; memahami masalah, mencari alternatif pemecahan, melaksanakan perhitungan dan memeriksa kebenaran hasil.

F. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan di atas maka di bawah ini dikemukakan hipotesis-hipotesis yang diuji yaitu;

1. Kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(15)

2. Kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger ada sekolah peringkat tinggi lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger pada sekolah peringkat sedang lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. 4. Kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran

model Treffinger pada sekolah peringkat rendah lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. 5. Terdapat interaksi kelompok pembelajaran dan peringkat sekolah

terhadap kemampuan kreatif matematik siswa.

6. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional.

7. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger pada sekolah peringkat tinggi lebih baik dibandingkan yang memperoleh pembelajaran konvensional.

8. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger pada sekolah peringkat sedang lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional.

9. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger pada sekolah peringkat rendah lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional.

10. Terdapat interaksi kelompok pembelajaran dan peringkat sekolah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.


(16)

(17)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen dengan menggunakan kelas kontrol. Desainnya adalah eksperimen faktorial 3x2 dengan Variabel bebas adalah model pembelajaran yaitu penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika dan pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guru. Variabel terikat adalah kemampuan kreatif matematik siswa dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Sedangkan variabel kontrolnya adalah peringkat sekolah yaitu peringkat tinggi, sedang dan peringkat rendah.

Adapun desain yang dimaksud adalah sebagai berikut: I. Desain Penelitian untuk Kemampuan Kreatif Matematik Siswa

Peringkat Sekolah

Model Trefingger (B1)

Pembelajaran biasa (B2)

Kemampuan Kreatif Matematik (C1)

Kemampuan Kreatif Matematik (C2) Tinggi

(A1) (A1,B1) (A1,B2)

Sedang

(A2) (A2,B1 (A2,B2)

Rendah

(A3) (A3,B1) (A3,B2)

C1B1 C2B2

Keterangan:

1. (A,B), Kemampuan kreatif matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional berdasarkan peringkat sekolah

2. (CB), Kemampuan kreatif matematik siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional.


(18)

56 II. Desain Penelitian untuk Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika

Peringkat Sekolah

Model Trefingger (B1)

Pembelajaran biasa (B2)

Kemampuan Pemecahan Masalah

(C1)

Kemampuan Pemecahan Masalah

(C2) Tinggi

(A1) (A1,B1) (A1,B2)

Sedang

(A2) (A2,B1) (A2,B2)

Rendah

(A3) (A3,B1) (A3,B2)

C1B1 C2B2

Keteterangan:

1. (A,B), Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger berdasarkan katregori sekolah

2. (CB), Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang terlibat dalam pembelajaran model Treffinger dan pembelajaran konvensional.

B. Subyek Populasi dan Subyek Sampel

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri di Gorontalo. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik stratified

sampling. Dalam hal ini sampel yang terpilih adalah untuk sekolah peringkat

tinggi diwakili oleh SMP Negeri 2 Gorontalo, Untuk sekolah peringkat sedang diwakili oleh SMP Negeri 3 Gorontalo, sedangkan sekolah peringkat sedang diwakili oleh SMP Negeri 10 Gorontalo.

Pemilihan SMP sebagai subyek populasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada SMP khususnya kelas II terdapat sejumlah topik pembelajaran matematika yang lebih menarik apabila diajarkan dengan


(19)

57 kemungkinan pendekastan lainnya lebih baik dari pendekatan atau model Treffinger untuk beberapa topik yang lain. Disamping itu dipilihnya siswa kelas II SMP karena siswa kelas II diasumsikan belum terlalu dipengaruhi oleh pendekatan yang telah diterima sebelumnya dan dilain pihak dianggap sudah matang untuk menerima pembaharuan dalam penggunaan model pembelajaran yang akan dilakukan guru.

Jumlah siswa yang dilibatkan dalam penelitian adalah 274 orang yang tersebar di enam kelas pada tiga sekolah yang terpilih sebagai tempat penelitian. Tekniknya adalah teknik purposive sampling.

Dalam menetapkan subyek dan sampel penelitian maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Merujuk pada peringkat sekolah yang telah dilakukan oleh DIKNAS Kota Gorontalo yang membagi peringkat sekolah dalam tiga peringkat

yaitu sekolah pada peringkat tinggi, sedang dan rendah.

2. Memilih masing-masing 1 sekolah, dari ketiga peringkat yang ada dengan menggunakan teknik strata (stratified sampling). Dan untuk langkah ini maka telah terpilih SMP Negeri 2 Gorontalo sebagai wakil sekolah pada peringkat tinggi, SMP Negeri 3 Gorontalo sebagai wakil dari SMP pada peringkat sedang dan SMP Negeri 10 Gorontalo wakil dari kelompok sekolah peringkat rendah.

3. Menguji perbedaan rata-rata dan uji homogenitas varians sebaran subyek penelitian dengan menggunakan uji statistik. Pengujian ini dilakukan terhadap nilai kemampuan akademik yang merujuk pada nilai rapor seluruh siswa kelas II pada setiap sekolah yang terpilih sebagai sampel penelitian. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut,

a. Sekolah peringkat tinggi

Sekolah yang terpilih untuk mewakili sekolah dengan peringkat tinggi adalah SMP Negeri II Gorontalo. Deskripsi nilai kemampuan akademik dari seluruh siswa kelas II sekolah dengan peringkat tinggi dan uji normalitas seperti nampak pada Tabel 3.1.


(20)

58 Tabel 3.1

Deskripsi Data dan Uji Normalitas Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Tinggi

Kelas IIA

Kelas IIB

Kelas IIC

Kelas IID

Kelas IIE

N 48 46 47 45 44

Normal Parameters

Mean 6.9583 6.9348 6.9787 6.8000 6.9545 Std.

Deviation

1.2197 1.2720 1.2067 1.2173 1.2381

Kolmogorov-Smirnov Z

1.102 1.086 1.192 1.109 1.252 Asymp. Sig.

(2-tailed)

.177 .189 .117 .171 .087

Dari Tabel 3.1 di atas nampak bahwa nilai-nilai signifikansi dari nilai Z masing-masing kelas semuanya lebih besar dari α = 0,05. Dengan demikian nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat tinggi berdistribusi normal.

Tabel 3.2

Uji Homogenitas Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Tinggi

Levene Statistic

Df1 df2 Sig.

.168 4 225 .955

Dari Tabel 3.2 nampak nilai F = 0,168 dengan nilai signifikansi 0,955. Karena nilai signifikansi 0,955 yang lebih besar dari α = 0,05 maka varians dari nilai-nilai pada sekolah peringkat tinggi adalah homogen. Untuk uji perbedaan rata-rata nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat tinggi seperti nampak pada tabel berikut:


(21)

59 Tabel 3.3

Uji Perbedaan Rata-Rata Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Tinggi

Sum of Squares

Df Mean

Square

F Sig.

Between Groups

.935 4 .234 .154 .961 Within

Groups

340.809 225 1.515

Total 341.743 229

Pada Tabel 3.3 nampak nilai F = 0,154 dengan nilai signifikansi 0,961. Oleh karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka rata-rata nilai kemampuan akademik siswa tidak berbeda secara signifikan.

b. Sekolah peringkat sedang

Sekolah yang terpilih untuk mewakili sekolah dengan peringkat sedang adalah SMP Negeri III Gorontalo. Deskripsi nilai kemampuan akademik siswa sekolah peringkat sedang dan uji normalitas seperti nampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.4

Deskripsi Data dan Uji Normalitas Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Sedang

Kelas IIA Kelas IIB Kelas IIC Kelas IID

N 47 48 46 43

Normal Parameters

Mean 6.4894 6.8542 6.8261 6.3953 Std.

Dev. 1.1396 1.1848 1.1605 1.1576

Kolmogorov-Smirnov Z

1.212 1.111 1.185 1.231 Asymp. Sig.

(2-tailed)

.106 .169 .120 .097

Dari Tabel 3.4 di atas nampak bahwa nilai-nilai signifikansi dari nilai Z masing-masing kelas semuanya lebih besar dari α = 0,05. Dengan demikian nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat sedang berdistribusi normal.


(22)

60 Tabel 3.5

Uji Homogenitas Nilai Kemampuan

Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Sedang Levene Statistic Df1 Df2 Sig.

.146 3 180 .932

Dari Tabel 3.5 nampak nilai F = 0,146 dengan nilai signifikansi 0,932. Oleh karena nilai signifikansi 0,955 yang lebih besar dari α = 0,05 maka varians dari nilai-nilai pada sekolah peringkat sedang adalah homogen.

Untuk uji perbedaan rata-rata nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat sedang seperti nampak pada tabel berikut:

Tabel 3.6

Uji Perbedaan Rata-Rata Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Sedang

Sum of Squares

Df Mean

Square

F Sig.

Between Groups 7.426 3 2.475 1.837 .142 Within Groups 242.612 180 1.348

Total 250.038 183

Pada Tabel 3.6 nampak nilai F = 1,837 dengan nilai nilai kemampuan akademik siswa tidak berbeda secara signifikan.

c. Sekolah peringkat rendah

Sekolah yang terpilih untuk mewakili sekolah dengan peringkat tinggi adalah SMP Negeri I0 Gorontalo. Deskripsi nilai kemampuan akademik siswa sekolah peringkat rendah dan uji normalitas seperti nampak pada tabel di bawah ini;


(23)

61 Tabel 3.7

Deskripsi Data dan Uji Normalitas Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Rendah

Kelas IIA Kelas IIB Kelas IIC

N 46 45 42

Normal Parameters

Mean 6.0652 6.2444 6.1905 Std.

Deviation

1.0625 1.1110 1.1527

Kolmogorov-Smirnov Z

1.198 1.167 1.214

Asymp. Sig. (2-tailed)

.113 .131 .105

Dari tabel 3.7 di atas nampak bahwa nilai-nilai signifikansi dari nilai Z masing-masing kelas semuanya lebih besar dari α = 0,05. Dengan akdemikian nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat rendah berdistribusi normal.

Tabel 3. 8

Uji Homogenitas Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Rendah Levene Statistic Df1 df2 Sig.

.331 2 130 .719

Dari Tabel 3.8 nampak nilai F = 0,331 dengan nilai signifikansi 0,719. Oleh karena nilai signifikansi 0,955 yang lebih besar dari α = 0,05 maka varians dari nilai-nilai pada sekolah rendah adalah homogen. Untuk uji perbedaan rata-rata nilai kemampuan akademik siswa pada sekolah peringkat rendah seperti nampak pada tabel berikut:

Tabel 3.9

Uji Perbedaan Rata-Rata Nilai Kemampuan Akademik Siswa pada Sekolah Peringkat Rendah

Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between

Groups

.769 2 .385 .313 .732 Within

Groups

159.592 130 1.228


(24)

62 Pada Tabel 3.9 nampak nilai F = 0,313 dengan nilai signifikansi 0,732. Oleh karena nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka rata-rata nilai kemampuan akademik siswa tidak berbeda secara signifikan.

4. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata dan uji homogenitas varians sebaran subyek maka dipilih dua kelas dari setiap sekolah yang ditetapkan sebagai kelas eksperimen yang diberi pembelajaran model Treffinger dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang diajar sesuai model pembelajaran konvensional. Teknik pemilihannya digunakan teknik random biasa. Hasil pemilihan yang diperoleh untuk SMP Negeri 2 Gorontalo terpilih kelas II A yang berjumlah 48 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas II B dengan jumlah siswa 46 orang sebagai kelas kontrol. Selanjutnya untuk SMP Negeri 3 Gorontalo terpilih kelas 2A dengan jumlah siswa 47 orang sebagai kelas eksperimen, sedangkan yang terpilih sebagai kelas kontrol adalah kelas 2C dengan jumlah siswa 46 orang. Akhirnya untuk SMP Negeri 10 terpilih kelas 2A dengan jumlah siswa 46 orang sebagai kelas ekesperimen, sedangkan yang terpilih sebagai kelas kontrol adalah kelas 2B dengan jumlah siswa 45 orang.

C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari; tes kemampuan kreatif matematik, tes pemecahan masalah matematika, lembar observasi, dan pedoman wawancara.

1. Tes kemampuan kreatif matematik siswa

Tes kemampuan kreatif matematik siswa terdiri dari 20 item soal. Bentuknya tes uraian. Setiap lima item soal mewakili satu pokok bahasan yang diajarkan. Tes kemampuan kreatif matematik siswa ini dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu seperti penelitian Toshiro. I (2000), Gontran. E (1991), Deti. R ( 2003) , Yudi.Y (2002) serta Australian Journal of Psycology yang berhubungan


(25)

63 dengan kreativitas pada umumnya dan kreativitas dalam matematika pada khususnya.

Disamping itu tes ini dikembangkan berdasarkan indikator kemampuan kreatif yang terdiri dari; kelancaran (fluency), keluwesan

(flexibility), Kerincian (elaboration) dan Kepekaan (sensitivity). Tujuan

pelaksanaan tes ini adalah untuk menjaring kemampuan kreatif matematik sebelum dan sesudah pembelajaran matematika baik yang menggunakan model Treffinger maupun model konvensional.

Pemeriksaan validitas isi (content validity) dilakukan melalui uji coba tes dan validasi oleh beberapa pakar pendidikan matematika dan matematika, dan dosen pengasuh mata kuliah matematika sekolah lanjutan. Selanjutnya dilakukan uji statistik sebagai cross check terhadap validasi yang telah dilakukan oleh validator. Untuk kepentingan pengujian ini digunakan uji korelasi product moment Pearson, dengan rumus:

r

xy

=

{( NX∑2(X)−2(}∑ ∑{N()(Y2)(Y)2}

Y X XY N

Keterangan: rxy : nilai korelasi Poduct Moment Pearson

ΣXY : jumlah perkalian nilai-nilai X dan Y ΣX : jumlah nilai-nilai X

ΣY : jumlah nilai-nilai Y

ΣX2 : jumlah kuadrat nilai-nilai X

ΣY2 : jumlah kuadrat nilai-nilai Y

N : banyaknya pasangan nilai (Sudjana, 1996). Setiap butir soal dikatakan valid jika nilai (rxy) lebih besar dari pada

harga kritis dari r poduct-moment = 0,43 pada interval kepercayaan 99% dengan derajat kebebasan 40 (Arikunto, 1998). Artinya, dari 40 butir soal (data) tersebut, semuanya dapat dipilih secara bebas untuk digunakan dalam proses pengumpulan data karena memenuhi nilai r poduct-moment = 0,43.

Tingkat reliabilitas soal dihitung dengan rumus Alpha sebagai berikut, r11 = 

     −      

2

2 1 ) 1 ( t b k k σ σ

Keterangan: r11 : reliabilitas instrumen

k : banyaknya butir pertanyaan ∑σb2 : jumlah varians butir


(26)

64 Klasifikasi koefisien reliabilitas menurut Guildford (dalam Ruseffendi, 1991),

0,00 - 0,20 : tingkat reliabilitas kecil 0,20 - 0,40 : tingkat reliabilitas rendah 0,40 - 0,70 : tingkat reliabilitas sedang 0,70 - 0,90 : tingkat reliabilitas tinggi

0,90 - 1,00 : tingkat reliabilitas sangat tinggi

Penentuan daya pembeda butir soal dilakukan dengan cara mengurutkan skor siswa dari tertinggi ke terendah. Selanjutnya mengambil 27% dari skor kelompok atas dan 27% dari skor kelompok bawah. Rumus yang digunakan adalah: DP = x100%

I S S

A B

A

Keterangan: DP : indeks daya pembeda satu butir soal tertentu

SA : jumlah skor kelompok atas pada soal yang diolah

SB : jumlah skor kelompok bawah soal yang diolah

IA : jumlah skor ideal kelompok (atas /bawah)

Kriteria tingkat daya pembeda yang digunakan adalah Negatif - 10% : sangat buruk

10% - 19% : buruk 20% - 29% : agak baik 30% - 49% : baik

50% ke atas :sangat baik (Karno To, 1996)

Selanjutnya indeks kesukaran butir soal dihitung dengan rumus TK = x100%

I S

T T

Keterangan: TK : tingkat kesukaran butir soal

ST : jumlah skor yang diperoleh siswa pada satu butir

soal yang diolah

IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa

pada satu butir soal tersebut.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut: 0% - 15% : sangat sukar

16% - 30% : sukar 31% - 70% : sedang 71% - 85% : mudah


(27)

65 Hasil uji validitas, reliabiliatas te kemampuan kreatif dapat dilihat pada Lampiran A1, Lampiran A2, dan Lampiran A3.

Kriteria penilaian atau penyekoran tes kemampuan kreatif matematik siswa dilakukan berdasarkan dimensi kemampuan kreatif yang dijaring dari soal-soal yang diberikan. Untuk jelasnya penyekoran ini dapat dilihat pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Pedoman Penyekoran Nilai Tes Kemampuan Kreatif Kemampuan

kreatif yang dinilai

Reaksi terhadap soal atau masalah Skor

Kelancaran

Tidak memberikan ide- ide yang diharapkan untuk penyelesaian masalah.

1 Memberikan ide-ide yang tidak relevan dengan pemecahan masalah yang diharapkan

2 Memberikan ide-ide yang relevan dengan pemecahan masalah yang diharapkan tetapi penyelesaian salah

3

Memberikan ide-ide yang relevan dengan pemecahan masalah matematik dan hasil pemecahannya benar

4

Keluwesan

Memberikan jawaban yang tidak beragam dan salah

1 Memberikan jawaban yang tidak beragam tapi hasilnya benar

2 Memberikan jawaban yang beragam tapi hasilnya salah

3 Memberikan jawaban yang beragam dan hasilnya benar

4

Keterperincian

Memberikan jawaban yang tidak terinci dan salah 1 Memberikan jawaban yang tidak terinci tapi hasilnya benar

2 Memberikan jawaban yang terinci tapi hasilnya salah

3 Memberikan jawaban yang terinci dan hasilnya benar

4

Kepekaaan

Tidak menggambarkan kepekaan dalam memberikan jawaban dan mengarah pada jawaban salah

1

Tidak menggambarkan kepekaan dalam memberikan jawaban tapi mengarah pada jawaban benar

2

Menggambarkan kepekaan dalam memberikan jawaban tapi mengarah pada jawaban salah

3 Menggambarkan kepekaan dalam memberikan jawaban dan hasilnya benar

4 Memberikan jawaban yang unik dan hasilnya benar 4


(28)

66

2. Tes pemecahan masalah matematika

Tes pemecahan masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 10 item dengan bentuk tes uraian. Tes dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mempelajari langkah-langkah yang telah ditempuh oleh para ahli yang antara lain: Polya (1985), Williams (1995) dan Gagne (dalam Ruseffendi, 1988) serta langkah-langkah model pemecahan masalah kreatif yang dikembangkan oleh Parnes, Noller dan Biondi (dalam Munandar, 1992).

Tes pemecahan masalah digunakan untuk menjaring kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebelum dan sesudah pembelajran dilaksanakan baik yang menggunakan model Treffinger maupun model konvensional. Uji validitas dan reliabilitasnya serta uji daya beda dilakukan dengan cara yang sama seperti uji untuk tes kemampuan kreatif yang telah diuraikan di atas. Hasil uji validitas reliabilitas, dan uji daya beda tes pemecahan masalah matematika dapat dilihat pada Lampiran A4, Lampiran

A5, Lampiran A6.

Penyekoran yang digunakan berkaitan dengan tes pemecahan masalah matematika dikembangkan dari empat langkah Polya serta mengacu pada hasil yang telah digunakan dalam penelitian Hamzah (2003) untuk menyelesaikan masalah matematika. Acuan yang dimaksud terdiri dari:

Pertama, pemahaman masalah meliputi 3 bagian. Kedua, strategi

pemecahan masalah terdiri dari 5 bagian. Ketiga, pelaksanaan strategi pemecahan masalah meliputi 5 bagian. Keempat, pengecekan hasil terdiri dari 4 bagian. Untuk lebih jelasnya mengenai aturan penyekoran tes pemecahan masalah, dapat dilihat pada Tabel 3.11.


(29)

67 Tabel 3.11

Pedoman Penyekoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Aspek yang dinilai

Reaksi terhadap soal atau masalah Skor

Pemahaman masalah/soal

Tidak memahami soal/tidak ada jawaban 0 Tidak mengindahkan syarat-syarat soal/cara interpretasi soal kurang tepat

1 Memahami soal dengan baik 2

Perencanaan strategi penyelesaian

soal

Tidak ada rencana strategi penyelesaian 0 Strategi yang dijalankan kurang relevan 1 Menggunakan satu strategi tertentu tetapi tidak dapat dilanjutkan/salah langkah

2 Menggunakan satu strategi tertentu tetapi mengarah pada jawaban yang salah

3 Menggunakan beberapa strategi yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar pula

4

Pelaksanaan rencana strategi

penyelesaian

Tidak ada penyelesaian sama sekali 0 Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas 1 Menggunakan satu prosedur tertentu yang mengarah kepada jawaban yang benar

2 Menggunakan satu prosedur tertentu yang benar

tetapi salah dalam menghitung

3 Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan hasil benar

4

Pengecekan jawaban

Tidak diadakan pengecekan jawaban 0 Pengecekan hanya pada jawaban (perhitungan) 1 Pengecekan hanya pada prosesnya 2 Pengecekan terhadap proses dan jawaban 3

3. Lembar observasi

Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian terdiri dua macam yaitu; Pertama, pedoman observasi terhadap aktivitas atau kinerja guru. Pedoman observasi tersebut merupakan pengembangan instrumen yang telah digunakan oleh Sumarmo (1998). Dalam hal ini siswa yang duduk berdekatan dipilih secara random sebagai pengamat untuk mengisi lembar observasi pada saat pembelajaran berlangsung atau pengisiannya disesuaikan dengan kondisi yang ada selama proses pembelajaran. Kedua, pedoman observasi untuk aktivitas belajar siswa. Pedoman observasi ini dikembangkan sendiri oleh peneliti. Berbeda dengan pedoman observasi untuk aktivitas guru, instrumen ini diisi oleh guru dan penulis sebagai pengamat. Dengan demikian terjadi pengamatan silang antara guru dan siswa.


(30)

68 Tujuan dari kedua pedoman observasi tersebut adalah sebagai pedoman dalam membuat refleksi terhadap proses pembelajaran. Sehingga dengan demikian, pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik dari pada sebelumnya. Lebih jauh dari itu, pedoman observasi tersebut digunakan untuk mengejar lebih jauh tentang temuan yang telah diperoleh secara kuantitatif. Gabungan dari kedua cara ini, diyakini dapat memberikan hasil yang optimal. Untuk lebih jelasnya pedoman observasi dapat dilihat pada Lampiran B3 dan Lampiran B4

4. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun dan dikembangkan oleh peneliti dengan berfokus pada pandangan, saran dan kritikan siswa terhadap penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika. Tujuannya adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang pandangan, saran dan kritikan siswa terhadap pembelajaran dengan penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika. Semua butir wawancara dibuat sedemikian rupa sehingga subyek sampel dapat menjawab secara bebas dan terbuka. Untuk jelasnya pedoman wawancara dapat dilihat pada Lampiran B5

D. Uji Coba Terbatas (Penelitian Pendahuluan)

Uji coba terbatas atau penelitian pendahuluan dilaksanakan pada 3 SMP Negeri di Gorontalo. Dalam hal ini masing-masing 1 SMP dengan peringkat peringkat tinggi, 1 SMP peringkat sedang dan 1 SMP peringkat rendah. Untuk setiap sekolah proses pembelajaran berlangsung selama 3 kali pertemuan. Dengan demikian keseluruhan pertemuan yang dilakukan pada ketiga sekolah tersebut adalah sejumlah 9 kali pertemuan. Pertemuan ini dilakukan pada kelas-kelas yang bukan menjadi subyek penelitian dalam hal untuk SMP 2 sebagai wakil sekolah dengan peringkat tinggi dilakukan pada kelas II E. Untuk SMP 3 sebagai wakil SMP dengan peringkat sedang dilakukan di kelas II D. Sedangkan untuk SMP 10 sebagai wakil sekolah dengan peringkat rendah uji terbatasnya dilakukan di kelas II E. Materi yang dipakai adalah materi dengan pokok bahasan persamaan garis lurus


(31)

69 Tujuan penelitian pendahuluan tersebut terutama diarahkan kepada beberapa aspek penting dalam rangka penerapan model Treefinger dalam pembelajaran matematika. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah, (1) Kemampuan guru dalam menerapkan perangkat pembelajaran yang telah

dirancang sebelumnya.

(2) Kualitas bahan ajar serta kualitas perangkat pembelajaran.

(3) Kualitas dan kuantitas keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika yang kreatif baik secara individu maupun secara kelompok. (4) Sikap siswa dalam menerima model pembelajaran matematika yang

berbasis pada pengembangan kreativitas

(5) Kemampuan siswa dalam memberikan respon-respon kreatif terhadap masalah yang diberikan baik yang bersifat lisan (aktivitas) maupun respon tertulis.

Semua temuan yang diperoleh dalam uji terbatas ini dijadikan sebagai salah satu acuan utama dalam menerapkan instrumen penelitian maupun menentukan guru sebagai pelaksana utama pembelajaran yang dimaksud

E. Prosedur Penelitian

(1) Mengembangkan dan mengadakan uji coba instrumen pada siswa kelas 2 SMP Negeri I dan SMP Negeri7 Gorontalo,

(2) Memilih 3 SMP Negeri di Gorontalo dengan teknik stratified random

sampling yaitu masing-masing 1 SMP peringkat tinggi, 1 SMP peringkat

sedang dan 1 SMP peringkat rendah. Pemilihan ini dilakukan berdasarkan rangking dari rata-rata NEM matematika yang dicapai oleh masing-masing SMP Negeri tersebut dimana datanya diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Gorontalo

(3) Mensosialisasikan rancangan pembelajaran yang akan diterapkan kepada guru-guru SMP di Gorontalo

(4) Melatih dan memilih guru yang dilibatkan dalam penelitian baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.

(5) Bersama dengan guru-guru yang terpilih yang terlibat dalam penelitian, membuat kesepakatan mengenai waktu dan pokok bahasan, utamanya


(32)

70 pokok bahasan yang esensial di kelas 2 SMP, termasuk yang sulit diajarkan dan dipahami dengan baik oleh siswa dengan pendekatan yang lain,

(6) Pelaksanaan studi pendahuluan yaitu dengan menguji coba secara terbatas tentang perangkat pembelajaran matematika dengan mengintegrasikan pengembangan kreativitas model Trefinger. Dalam hal ini setiap peringkat sekolah diambil satu kelas.

(7) Pada saat penelitian berlangsung, dilakukan observasi terhadap interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini digunakan pedoman observasi yang telah disiapkan, baik pedoman observasi untuk guru maupun untuk siswa,

(8) Analisis data terhadap penelitian pendahuluan,

(9) Pemeriksaan instrumen (perangkat) awal pembelajaran dengan penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika oleh para pakar. Dalam hal ini dilibatkan pakar matematika, pendidikan matematika dan bahasa. Kriteria pakar adalah, mereka yang berijazah Magister (S2) atau Doktor (S3) dalam bidangnya, dan telah menekuni

bidang tersebut selama paling kurang 5 tahun atau mereka yang berijazah S1 dalam bidangnya, dan telah menekuni bidang tersebut

selama paling kurang 10 tahun,

(10) Revisi dan perbaikan instrumen pembelajaran, berupa penerapan model Trefinger dalam pembelajaran matematika, berdasarkan hasil studi pendahuluan dan penilaian pakar,

(11) Pelaksanaan pembelajaran pada masing-masing kelas yang telah terpilih yang disertai dengan pelaksanaan observasi serta pelaksanaan tes yang telah ditentukan.

(12) Mengadakan wawancara kepada beberapa siswa dari kedua kelompok perlakuan, pada tiga peringkat sekolah, masing-masing sekolah peringkat tinggi, sedang dan rendah.

F. Prosedur Analisis Data


(33)

71 pada Bab I. Untuk hasil tes kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalaha matematika yang berupa skor kuatitatif akan digunakan untuk menganalisis pengaruh penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika. Data yang diperoleh dikelompokkan sesuai permasalahan, dan berdasarkan pengelompokkan tersebut data diolah dengan menggunakan ANOVA dua jalur dengan bantuan pengelohan SPSS 11.5 for Windows 2002.

Ada dua tahapan utama yang dilakukan dalam pengelohan data yaitu: Pertama, menguji semua persyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar pengujian hipotesis. Persyaratan yang dimaksud adalah uji normalitas dan uji homogenitas data pada setiap kelompok data yang dianalisis. Kedua, menentukan statistik tertentu yang sesuai dngan permasalahannya, dalam rangka pengujian hipotesis.


(34)

116

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, temuan dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan sebagai berikut;

1. Penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan atau peningkatan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa

2. Ditinjau secara keseluruhan dan ditinjau berdasarkan peringkat sekolah penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika memberikan kontribusi yang bervariasi seperti berikut:

a. Bagi siswa dari sekolah peringkat tinggi dan sedang penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika memberikan hasil yang baik terhadap pengembangan atau peningkatan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Namun karena perbedaan rerata kedua kelompok pembelajaran tidak signifikan maka dapat disimpulkan bahwa bagi siswa di sekolah peringkat tinggi dan sedang pengembangan atau peningkatan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika tidak tergantung pada model yang diterapkan.

b. Bagi siswa yang tergolong pada sekolah peringkat rendah penerapan Treffinger dalam pembelajaran matematika sangat menentukan pengembangan atau peningkatan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematikanya. Dengan demikian model Treffinger sangat baik diberikan kepada siswa yang tergolong pada sekolah peringkat


(35)

117 3. Penerapan model Treffinger telah membangkitkan perilaku aktif siswa

dalam pembelajaran serta membangkitkan aktivitas guru yang lebih bersifat kreatif dalam memberikan pelajaran

B. IMPLIKASI

1. Hasil pengintegrasian model Treffinger dalam pembelajaran matematika di sekolah menengah pertama untuk meningkatkan kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika memberikan dampak terhadap pencapaian hasil belajar siswa dalam pelajaran matematika secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh karena kedua kemampuan yang dimaksud merupakan bagian dari kemampuan berpikir tinggi yang sedang digalakkan untuk ditingkatkkan pada pembelajaran matematika.

2. Temuan yang diperoleh melalui penelitian ini juga memberikan dukungan terhadap upaya pemerintah untuk menerapkan kurikulum berbasis kompotensi dalam pembelajaran matematika dewasa ini. Meskipun kurikulum berbasis kompotensi belum sepenuhnya dilaksanakan pada semua sekolah, namun setidaknya pelaksanaan penelitian ini telah merangsang para pelaksana kurikulum dilapangan untuk memperbaiki pendekatan yang selama ini dilakukan di kelas yang lebih cenderung pada pendekatan konvensional. Pendekatan yang cenderung konvensional tentunya tidak diharapkan lagi dalam pembelajaran matematika karena dengan diberlakukannya kurikulum berbasis kompotensi, maka penekanan pembelajaran lebih ditekankan pada empat keterampilan pokok matematika yang biasa disebut dengan doing math. Ke-empat

doing math yang dimaksud adalah kemampuan pemecahan masalah,

komunikasi matematik, koneksi matematik serta pemahaman dan penalaran matematik (DEPDIKNAS, 2001).

3. Keberhasilan penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan kreatif matematik dan pemecahan masalah matematika, terutama mereka yang tergolong pada sekolah peringkat rendah, memberikan implikasi terhadap kesiapan dan ketepatan


(36)

118 pilihan guru dalam memberlakukan suatu pendekatan pada pembelajaran matematika. Dalam hal ini kecenderungan guru untuk memilih pendekatan yang konvensional, dapat diubah kepada keinginan untuk menerapkan pendekatan dengan berbasis kreativitas, dimana salah satunya adalah dengan menerapkan model Treffinger dalam pembelajaran matematika. 4. Penerapan model Treffinger diharapkan mampu mengubah paradigma

pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher

centered) pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student

centered). Dalam hal ini kefasipan siswa dapat diaktifkan melalui

langkah-langkah kreatif yang terdapat dalam model Treffinger. Demikian juga kelemahan dan ketidak inginan siswa dalam melibatkan diri pada pemecahan masalah matematika yang dihadapinya dapat dirangsang dengan langkah-langkah yang mengacu pada LKKS yang memadukan antara langkah kerja kreatif dan langkah-langkah pemecahan masalah secara kreatif .

C. Rekomendasi

Sehubungan dengan salah satu temuan penelitian yang menggambarkan bahwa bagi siswa yang tergolong pada sekolah peringkat rendah penerapan model Treffinger berhasil meningkatkan kemampuan kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematikanya maka direkomendasikan kepada guru untuk lebih mengintensifkan penerapan pendekatan yang berbasis pada pengembangan kreativitas dengan modifikasi yang disesuaikan pada kondisi, potensi siswa serta setting kelas yang dikehendaki dalam pembelajaran matematika. Demikian juga berkaitan dengan temuan secara umum efektifitas penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika, maka direkomendasikan juga kepada guru untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian ini kedalam kegiatan pembelajaran yang lebih luas. Terutama mencakup semua tingkatan kelas dan sekolah untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan pemecahan masalah matematika siswa.


(37)

119 Dalam upaya menerapkan pendekatan pembelajaran yang berbasis pada pengembangan kreativitas dalam pembelajaran matematika di semua tataran pendidikan, maka direkomendasikan kepada pengambil kebijakan untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap paradigma pembelajaran matematika yang selama ini dirasakan kurang mengakomodasikan pengembangan potensi kreativitas yang dimiliki oleh setiap siswa. Misalnya pengambil kebijakan mengubah pandangan guru yang lebih cenderung melihat bahwa kreativitas itu merupakan sesuatu kajian sendiri yang kurang terkait dengan tujuan-tujuan dari pembelajaran matematika. Disamping itu juga perlu diubah pandangan guru yang memandang pemecahan masalah yang sulit diajarkan sehingga mereka lebih terjebak pada pemberian soal-soal rutin serta mendriil siswa dengan materi-materi tertentu.

Kepada lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang merupakan lembaga resmi dalam memproduksi guru, direkomendasikan agar guru yang dihasilkannya tidak saja dibekali oleh ilmu pengetahuan yang harus diajarkan, tetapi juga dibekali oleh pengetahuan tentang kreativitas sehingga dalam mengajar dikelas nanti mampu melakukan pendekatan pembelajaran yang bervariasi terutama pendekatan-pendekatan yang dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Untuk kepentingan penelitian lanjutan dan generalisasi yang lebih luas maka disarankan kepada calon peneliti yang lain untuk lebih memperluas subyek dan obyek penelitian terutama menyangkut sampel dan konsep-konsep matematika yang diambil sebagai bahan yang diajarkan. Disamping itu variabel kontrol lebih dipertajam yaitu menyangkut sikap kreatif siswa yang dalam dimensi kreativitas sikap ini dapat diukur dengan alat ukur tertentu.

Selanjutnya dalam hubungan perluasan generalisasi penelitian yang sejenis maka direkomendasikan juga kepada calon peneliti untuk melibatkan variabel lain seperti, latar belakang siswa, latar belakang guru serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas. Bahkan kalau perlu tidak hanya siswa yang dijadikan subyek penelitian tetapi perlu dilakukan secara khusus yang mengambil guru


(38)

120 untuk menjadi subyek penelitian. Dalam hal ini penelitian lanjut dapat dilakukan dengan mengacu pada potensi kreativitas guru. Potensi yang dimaksud adalah, kemauan guru dalam menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berbasis pada pengembangan kreativitas, fasilitas yang menghambat maupun yang mendukung guru dalam melakukan pendekatan-pendekatan yang kreatif serta sikap kreatif guru terhadap pembelajaran matematika


(39)

KEPUSTAKAAN

Anderson, A. (1970). Bigraphical Coffelates of Artistic and Literarary Creativity in Adolecent Gift. Australian Journal of Psycologfy, 18:

218-227.

Amabile, T. M. (1983). The Social Psychology of Creativity. New York: Springer Vedag

Amien, M. (1987) Peranan Kreativitas dalam Pendidikan. Analisis Pendidikan. DepDikBud: Jakarta

Andre, T. (1989). Problem Solving and Education. In G.D. Phye & T Andre (Eds), Cognitive Classroom Learning: Understanding, Thinking, and

Problem Solving (pp.169-204). Orlando : Academic Press.

Arikunto, S. (1998). Prosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Barron, F. (1976). The Psychology of Creativity. Dalam T.M New Comb, (ed.). Direction in Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston. Bloomberg, M. (1973). Creativity, Theory and Research. New Haven, Conn:

College & University Press

Branca, N.A (1980). Problem Solving As a Goal, Process, and Basic Skills. In Krulik dan Reys (ed). Problem Solving in School Mathematics. Washington, DC: NCTM

Butts. (1980). Creativity and Personality. In P.E. Vernon (ed.) (1973).

Creativity Selected Readings. Baltimore: Penguin Books 312-326.

Carin, A. & Sund. (1975). Teaching Science Trough Discovery, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co

Clarke, B. (1996). Expeting the unexpected: Peofessional growth through the higlights and chalenge of a problem solving classroom. In P.C

Clarkson (ed.). Proceedings of the 19th annual conference of the mathematics education group of Australasia (MERGA). Tehnology

in Mathematics Education. (pp.123-130). Melbourne; Mathematics

Education Research Group of Australasia.

Crutchfield, R.S. (1973). The Creative Process. In M. Bloomberg (ed.) (1973). Creativity Theory and Research. New Haven, Conn: College & University Press, 54-74.


(40)

DEPDIKNAS. (2001). Kurikulum Berbasis Kompotensi, Kebijaksanaan

Umum. Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Pusat

Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan DEPDIKNAS Deti, R. (2003). Pembelajaran dengan Menggunakan Media untuk

Meningkatkan Pemahaman dan Kreativitas Mahasiswa PGSD

dalam Matematika. Tesis PPS UPI Bandung. Tidak Diterbitkan

Devito, A. (1971). An Analysis of Creativity. Phi Delta Kappan.

de Bono, Edwards. (1983). The Cognitive Research Trust (CORT) Thinking Program. In W. Maxwell (ed.) Thinking: The Expanding Frontier. Philadelphia: The Franklin Institute Press.

de Bono, Edwards (1 988). Lateral Thinking. Baltimore: Penguin Books. Dolan, T. & Williamsonaier. (1983). Identification of The Creative Individual.

Dalam Psychological Bulletin, 73, 55-73.

English, L. D. (ed). (2002). Handbook of International Research in

Mathe-matics Education. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc

Getzels, J. & Jackson, P. (1962). Creativity and Intellegence: Explorations

withGifted Students. New York: Wiley

Guilford. (1959). Traits of Creativity. Dalam H.H Anderson. (ed.) (1959). Creativity and Its Cultivation. New York: Harper & Row, 142-161. Gontran, E. (1991). Mathematical Creativity. Dalam, T. David (ed) (1991)

Advanced Mathematical Thinking. Kluwer Acadeimc Publisher

Habibie, B. J. (1987). Kepeloporan Pemuda dalam Penguasaan IPTEK di

Masa Depan. Makalah pada Seminar Kepeloporan Pemuda

Pembangunan, Jakarta.

Hamzah, U. (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa SLTP Negeri di Bandung Melalui Pendekatan

Pengajuan Masalah. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung.

Tidak diterbitkan

Haylock, D.W. (1987). A Framework for Assesing Mathematical Creativity in


(41)

Hidayanto, D. N. (1998). Pengembangan Pembelajaran Menggunakan Com-ponent Display Theory (CDT) Model (Implementasi pada Kurikulum

IPS-SD). Desertasi Doktor pada PPS IKIP Badung. Tidak

Diterbitkan.

Hollands, R. (1972). Educational Tecnology. Aims and Objective in Teaching

Mathematics in School 6. 22-23

Hudoyo, H. (1980). Pemecahan Masalah dalam Matematika. Jakarta: DepDikBud P3G

Hudoyo, H. (1986). Mengajar Belajar Matematika Jakarta: DepDikBud Dirjen DIKTI P2LPTK

Joyce, B. & Weil, M. (1992). Models of Teaching. (Fourt Edition). Needham Heights Massachusetts: Allyn & Bacon

Karno, To. (1996). Mengenal Analisis Tes (Pengantar ke Program Komputer

ANTES). Bandung: Jur: Psikologi & Bimbingan FI P IKIP Bandung.

Krulik, dan Reys. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Washington, DC: NCTM

Lawson, M.J. and Chinnappan, M. (2000). Knowledge Connectedness in

Geometry Problem Solving. Journal for Research in Mathematics

Education. 31. 26-43

Lester, F. K. (1985). Methodological considerations in research on mathe-matical problem solving instruction. In E.A Silver (ed) Teaching and

leaming mathematical problem solving: Multiple Research

Perpective (pp.41-69). Hilsdale, New Jersey : Laurence Erlbaum

Associates.

Lester, F.K. (1980). Research on mathematical problem solving (pp.286-323). Reston Virginia: national Council of Teacher of Mathematics Lester, F. K. (1994). Making Problem Solving Come Alive in the Intermediate

Grades. In K. Steven dan R. E. Reys (ed) Problem Solving in

School Mathematics. Washington, DC: NCTM

Masriyah. (2002). Model Pengajaran Langsung. Makalah Disajikan pada Pelatihan TOT Pembelajaran Kontekstual. Surabya. Tidak Diterbitkan.


(42)

McPherson, J. H. (1964). Environment and Training for Creativity. In C.W. Taylor (ed.) (1964). Creativity Process, and Potential. New York: McGraw-Hill.

Mednick, S. A. (1962). The Associative Basis of the Creative Process. In Psychological Review, 69, 220-227.

Mulis, et. all. (2000). Trends in Mathematics and Science Study: Assessment

Frameworks and Specification 2003. Boston: ISC

Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and Education. Dissertation. Fakultas Psikologi Ul, Jakarta: tidak diterbitkan.

Munandar, S.C.U. (2002). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan

Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta Gramedia.

Munandar, S.C.U. (1992). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak

Sekolah. Jakarta Gramedia,

NCTM. (1980). An Agenda for Action: Recommendations for School

Mathematics of the 1980s. Reston, Virginia NCTM

Newell, A. & Simon, H. (1972). Human Problem Solving. Englewood Clifs, NJ: Prentice-Hall

Nickerson, R.S. & Smith, E.E. (1985). The Teaching of Thinking. Hillsdale, N.J. Jawrence Eribaum Associate, Pub.

Olson, R. W. (1980). The Art of Creative Thinking. New York: Bames & Noble Books.

Osborn, A. F. (1953). Applied Imagination Principles and Prosedures of

Creative Problem Solving NewYork: Bames & Noble Books

Osbome, R. I. & Vittrock, M. C. (1983). Learning in Science a Generative Process, Science Education, 67 (4), 489-508.

Osbome, R.I. & Wiftrock, M. C. (1985). The Generative Leaming Model and Its Implications for Science Education, Studies in Science Education.

Parlof, M.B., Data, & Handlon, J. H. (1968). Personality Characteristics which Differentiate Creative Male Adolescents and Adults. Journal of Personality, 36, 528-552.


(43)

Parnes, Sidney. (1981). CPSI: The General System. In The Faces and

Forms of Creativity. Ventura, Ca.: Ventura County Superintendent

of Schools office, 185-192.

Polya, G. (1973). How to Solve it. An New Aspect of Mathematical Method, Second Edition, New Jersey : Princeton University Press.

Polya, G. (1985). How to Solve it. An new Aspect of Mathematical Method, Second Edition, New Jersey: Princeton University Press.

Rose, L. H. & Lin. (1984). A Meta Analisis of Long-Term Creativity Training Program. Dalam Journal of Creativity Behavior, 18. 11-12

Rothhsteiun. (1990). Creativity , Flow and the Psychology of Discovery and

Invention. New York: HarperCollins

Ruindungan, M. G. (1996). Model Bimbingan Peningkatan Kreativitas Siswa

Sekolah Menengah Umum. Disertasi Doktor pada PPS IKIIP

Bandung; Tidak diterbitkan

Ruseffendi, E. T. (1984) Dasar-Dasar Matematika Moderen dan Komputer

Untuk Guru. Bandung Tarsito

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengem-bangkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk

Meningkatkan CBSA. Tarsito Bandung.

Ruseffendi, E. T (1990) Pengajaran Matematika Moderen dan Masalah untuk

Guru dan PGSD D2. Seri ke-Dua. Bandung Tarsito

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengemba-ngkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk

Meningkatkan CBSA. Bandung Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2001). Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta

Bersikap Kritis dan Kreatif Melalui Pembelajaran Matematika

Realistik. Makalah yang disampaikan pada Lokakarya

pertengahan Juli 2001 di Yogyakarta.

Sharp. (1981). Creativity Assessment Packet. Bufalo : D.O.K

Siegel, S. (1992). Statistik Non Parametrik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utarna.


(44)

Simonton, D. K. (1975). Sociocultural Context of Individual Creativity. Transhistorical Time Series Analysis. Joumal of Personality and

Social Psychology. 32, 1119-1133.

Sudjana. (1996). Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Peneliti. Bandung: Tarsito

Sugiman. (2000). Kontruktivisme Melalui Pendekatan Realistik dalam

Pengajaran Matematika. Proceding Seminar Nasional

Pengembangan Pendididkan MIPA di Era Globalisasi. Yogyakarta: UNY

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Stein, M. (1963). A Transactional Approach to Creativity. Dalam C.W Taylor & F. Barron (ed). Scientific Creativity: Its Recognition and

Development. New York: John Wiley &Sons

Sullivan, P. (1992). Content Specific Open Ended Questions: A Problem Solving Approach to Teaching and Leaming Mathematics. In M.

Home, dan M. Supple (eds). Mathematics the Chalenge ( h. 175-180). Victoria. The Mathematics Association of Victoria Clivelen. Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMA di

Kodya Bandung. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Penaajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan

Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung

Sumarmo, U. (1998). Implementasi Kurikulum Matematika 1993 pada

Sekolah Dasar dan Menengah. Laporan Hasil penelitian. Bandung:

FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa

Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP

Bandung.

Supriadi, D. (1989). Kreativitas dan Orang-Orang Kreatif dalam Lapangan


(1)

Hidayanto, D. N. (1998). Pengembangan Pembelajaran Menggunakan Com-ponent Display Theory (CDT) Model (Implementasi pada Kurikulum IPS-SD). Desertasi Doktor pada PPS IKIP Badung. Tidak Diterbitkan.

Hollands, R. (1972). Educational Tecnology. Aims and Objective in Teaching Mathematics in School 6. 22-23

Hudoyo, H. (1980). Pemecahan Masalah dalam Matematika. Jakarta: DepDikBud P3G

Hudoyo, H. (1986). Mengajar Belajar Matematika Jakarta: DepDikBud Dirjen DIKTI P2LPTK

Joyce, B. & Weil, M. (1992). Models of Teaching. (Fourt Edition). Needham Heights Massachusetts: Allyn & Bacon

Karno, To. (1996). Mengenal Analisis Tes (Pengantar ke Program Komputer ANTES). Bandung: Jur: Psikologi & Bimbingan FI P IKIP Bandung. Krulik, dan Reys. (1980). Problem Solving in School Mathematics.

Washington, DC: NCTM

Lawson, M.J. and Chinnappan, M. (2000). Knowledge Connectedness in Geometry Problem Solving. Journal for Research in Mathematics Education. 31. 26-43

Lester, F. K. (1985). Methodological considerations in research on mathe-matical problem solving instruction. In E.A Silver (ed) Teaching and leaming mathematical problem solving: Multiple Research Perpective (pp.41-69). Hilsdale, New Jersey : Laurence Erlbaum Associates.

Lester, F.K. (1980). Research on mathematical problem solving (pp.286-323). Reston Virginia: national Council of Teacher of Mathematics Lester, F. K. (1994). Making Problem Solving Come Alive in the Intermediate

Grades. In K. Steven dan R. E. Reys (ed) Problem Solving in School Mathematics. Washington, DC: NCTM

Masriyah. (2002). Model Pengajaran Langsung. Makalah Disajikan pada Pelatihan TOT Pembelajaran Kontekstual. Surabya. Tidak Diterbitkan.


(2)

McPherson, J. H. (1964). Environment and Training for Creativity. In C.W. Taylor (ed.) (1964). Creativity Process, and Potential. New York: McGraw-Hill.

Mednick, S. A. (1962). The Associative Basis of the Creative Process. In Psychological Review, 69, 220-227.

Mulis, et. all. (2000). Trends in Mathematics and Science Study: Assessment Frameworks and Specification 2003. Boston: ISC

Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and Education. Dissertation. Fakultas Psikologi Ul, Jakarta: tidak diterbitkan.

Munandar, S.C.U. (2002). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta Gramedia.

Munandar, S.C.U. (1992). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta Gramedia,

NCTM. (1980). An Agenda for Action: Recommendations for School Mathematics of the 1980s. Reston, Virginia NCTM

Newell, A. & Simon, H. (1972). Human Problem Solving. Englewood Clifs, NJ: Prentice-Hall

Nickerson, R.S. & Smith, E.E. (1985). The Teaching of Thinking. Hillsdale, N.J. Jawrence Eribaum Associate, Pub.

Olson, R. W. (1980). The Art of Creative Thinking. New York: Bames & Noble Books.

Osborn, A. F. (1953). Applied Imagination Principles and Prosedures of Creative Problem Solving New York: Bames & Noble Books

Osbome, R. I. & Vittrock, M. C. (1983). Learning in Science a Generative Process, Science Education, 67 (4), 489-508.

Osbome, R.I. & Wiftrock, M. C. (1985). The Generative Leaming Model and Its Implications for Science Education, Studies in Science Education.

Parlof, M.B., Data, & Handlon, J. H. (1968). Personality Characteristics which Differentiate Creative Male Adolescents and Adults. Journal of Personality, 36, 528-552.


(3)

Parnes, Sidney. (1981). CPSI: The General System. In The Faces and Forms of Creativity. Ventura, Ca.: Ventura County Superintendent of Schools office, 185-192.

Polya, G. (1973). How to Solve it. An New Aspect of Mathematical Method, Second Edition, New Jersey : Princeton University Press.

Polya, G. (1985). How to Solve it. An new Aspect of Mathematical Method, Second Edition, New Jersey: Princeton University Press.

Rose, L. H. & Lin. (1984). A Meta Analisis of Long-Term Creativity Training Program. Dalam Journal of Creativity Behavior, 18. 11-12

Rothhsteiun. (1990). Creativity , Flow and the Psychology of Discovery and Invention. New York: HarperCollins

Ruindungan, M. G. (1996). Model Bimbingan Peningkatan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah Umum. Disertasi Doktor pada PPS IKIIP Bandung; Tidak diterbitkan

Ruseffendi, E. T. (1984) Dasar-Dasar Matematika Moderen dan Komputer Untuk Guru. Bandung Tarsito

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengem-bangkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Tarsito Bandung.

Ruseffendi, E. T (1990) Pengajaran Matematika Moderen dan Masalah untuk Guru dan PGSD D2. Seri ke-Dua. Bandung Tarsito

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengemba-ngkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2001). Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap Kritis dan Kreatif Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah yang disampaikan pada Lokakarya pertengahan Juli 2001 di Yogyakarta.

Sharp. (1981). Creativity Assessment Packet. Bufalo : D.O.K

Siegel, S. (1992). Statistik Non Parametrik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utarna.


(4)

Simonton, D. K. (1975). Sociocultural Context of Individual Creativity. Transhistorical Time Series Analysis. Joumal of Personality and Social Psychology. 32, 1119-1133.

Sudjana. (1996). Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Peneliti. Bandung: Tarsito

Sugiman. (2000). Kontruktivisme Melalui Pendekatan Realistik dalam Pengajaran Matematika. Proceding Seminar Nasional Pengembangan Pendididkan MIPA di Era Globalisasi. Yogyakarta: UNY

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Stein, M. (1963). A Transactional Approach to Creativity. Dalam C.W Taylor & F. Barron (ed). Scientific Creativity: Its Recognition and Development. New York: John Wiley &Sons

Sullivan, P. (1992). Content Specific Open Ended Questions: A Problem Solving Approach to Teaching and Leaming Mathematics. In M.

Home, dan M. Supple (eds). Mathematics the Chalenge ( h. 175-180). Victoria. The Mathematics Association of Victoria Clivelen. Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung. Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Penaajaran untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung

Sumarmo, U. (1998). Implementasi Kurikulum Matematika 1993 pada Sekolah Dasar dan Menengah. Laporan Hasil penelitian. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Supriadi, D. (1989). Kreativitas dan Orang-Orang Kreatif dalam Lapangan Keilmuan. Disertasi Doktor FPS IKIP Bandung: tidak dipublikasikan.


(5)

Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta.

Tamage, A. (1979). Creativity, Presidental Address to the Mathematical Association, The Mathematical Gazette 63, 145-163

Toshihiro, I. (2000). The Relationships Between Fluency and Flexibility of Devergent Thinking in Open Ended Mathematics Situation and Overcoming Fixation in Mathematiccs on Japanese Clasroom in Matehematics. Proceedings of 24th Coference International Group for The Psyhlogy of Mathematics Education

Treffinger, D. J. (1977). Improving Children's Creative Problem Solving: The Purdue Creativity Project. Dalam Journal of Creative Behavior, 8, 20-30.

Treffinger, D.J. (1980). A Preliminary Model of Creative Learning. Dalam Gifted Child Ouarterly 24f 127-138.

Torrance, P. E. (1981). A Three-Stage Model Teaching for Creative Thinking. Dalam A. E. Lawton (ed.) Science Education Information Report. Columbus, Ohio: The Eric Science, Mathematics and Environmental Education Clearing House, 226-253.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi Doktor pada PPS IKIIP Bandung; Tidak diterbitkan

Wallas, G. (1976). Stages inThe Creative Process. Durham: Duke University Press

Wijaya. (2000). Statistik Non Parametrik (Aplikasi Program SPSS). Alfabeta Wilson, L. (2001). Mathematics Task Centers, Profesional Development an

Problem Solving. Melbourne: The Mathematical Association of Victoria.

Yudi, Y. (2002). Pengembangan Kemampuan Elaborasi Matematika Siswa Sekolah Dasar dengan Pendekatan Pemecahan Masalah. Tesis Pada PPS UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Zambo, R. and Hess, R. K. (1996). The Gender Differential Effects of a Procedural Plan for Solving Mathematics Word Problem. School Science and Mathematics Journal. 96, (7), 362-370.


(6)

.Zulkardi. (2001). Efektivitas Lingkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web Sebagai Suatu Inovasi dalam Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar nasional tentang pendidikan matematika realistic pada tanggal 14-15 November 2001. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan


Dokumen yang terkait

Pengaruh pembelajaran terpadu model nested terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa: studi penelitian eksperimen di SMP PGRI i Cipiutat

1 12 188

Pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa

2 39 0

PENINGKATAN KOMUNIKASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KREATIF MODEL Peningkatan Komunikasi Dan Hasil Belajar Matematika Melalui Penerapan Pembelajaran Kreatif Model Treffinger (PTK Pembelajaran Matematika Pada Siswa Kelas VII

0 1 15

PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA.

0 1 14

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MEANS ENDS ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM Penerapan Model Pembelajaran Means Ends Analysis Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika (PTK Pembelajaran Matematika pada Siswa Ke

0 1 16

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF.

0 0 20

PENGARUH PENERAPAN MODEL TREFFINGER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KREATIF DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA.

1 1 46

106906078 Berbagai Pendekatan Matematika untuk Mengembangkan Berpikir Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

0 0 85

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENGAJUAN DAN PEMECAHAN MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

0 0 12

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

0 0 12