MODEL KONSELING SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL SISWA SMK.

(1)

Lampiran 1 Model Konseling Sebaya Untuk Meningkatkan Kompetensi Intrapersonal Lampiran 2 Panduan Implementasi Konseling Sebaya Untuk Meningkatkan Kompetensi

Intrapersonal Siswa

Lampiran 3 Satuan Layanan Konseling Sebaya Lampiran 4 Materi Pelatihan Calon Konselor Sebaya Lampiran 5 Format Evaluasi Konseling Sebaya


(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Di tengah tantangan menghadapi globalisasi, permasalahan siswa sebagai remaja semakin kompleks. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan kompleksnya masalah perilaku remaja. Boyke (1999) menemukan sebanyak 50% dari pengunjung klinik aborsi berusia 15-20 tahun, dan 44,5 % dari pengunjung klinik aborsi berusia antara 15-20 tahun itu adalah hamil di luar nikah. Nurhayati (1998) mengungkapkan bahwa fenomena perilaku seks pra nikah ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebuah penelitian terhadap 37 remaja berusia 16-20 tahun di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat pada tahun 1998, menunjukkan bahwa sekitar 80% telah melakukan perilaku seksual necking; 70% pernah melakukan petting; dan 65% pernah melakukan premarital intercourse .

Kasus Narkoba di Jakarta saja pada tahun 1999 ± 1.3 juta dengan omset biaya 780 milyar/hari, dan pecandunya sekitar usia 15-24 th (Harian Surya, 25 Oktober 1999). Selanjutnya Syamsu Yusuf (2008) mengungkapkan: para pelaku tawuran di Jakarta 50 % pecandu narkoba. Tahun 1996 terjadi 150 x tawuran, luka 26, mati 19. Kemudian tahun 1997 terjadi 121 x tawuran, luka 24, mati 15. Selanjutnya tahun 1998 terjadi 230 x tawuran, luka 34, mati 15 dan tahun 1999 terjadi 64 x tawuran , luka 36, mati 12.


(3)

Hasil penelitian Synovate Research (www.situs.deskespro.info.) tentang,perilaku seksual remaja di 4 kota dengan 450 responden, yaitu Jakarta, Bandung Surabaya dan Medan. 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun. Uniknya, para responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan agama mereka (80%). Mereka mengaku hubungan seks itu dilakukan tanpa rencana. Para responden pria justru 37% mengaku kalau mereka merencanakan hubungan seks dengan pasangannya. Sementara, 39% responden perempuan mengaku dibujuk melakukan hubungan seks oleh pasangannya. Ketika ditanya bagaimana perasaan para responden setelah melakukan hubungan seks pra nikah itu, 47% responden perempuan merasa menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orang tua.

Kasus Narkoba di Indonesia berdasarkan laporan Badan Nasional Anti Narkoba, pada tahun 2007 ditemui sekitar 22.630 kasus. Di Jawa Barat sendiri, kasus narkoba masuk sebagai peringkat ke IV dengan 1.086 kasus (BNN, 2007).

Masalah lain, bullying, semakin marak terjadi dalam setiap aktivitas anak di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2007 lebih dari 90% anak pernah diejek di sekolah. Selain itu, penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk


(4)

Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk dari temannya sendiri. Survei yang dilakukan pada 2002 melibatkan 125 anak dan berlangsung selama enam bulan. Survei itu meliputi wawancara yang diawasi dengan sangat teliti. Dari survei itu terungkap, dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan dalam survei itu mengalami perkosaan.

Berdasarkan penelitian Departemen Kesehatan RI (Pikiran Rakyat; 21 Desember 2008) terhadap para siswa di 18 provinsi, terdapat satu dari enam siswa mengalami tindakan kekerasan di sekolah dengan cara dilukai, diberikan ancaman, diciptakan teror, dan ditunjukkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan dampak seperti stress (76%), hilang konsentrasi (71%), gangguan tidur (71%), paranoid (60%), sakit kepala (55%), dan obsesi (52%). Sedikitnya 25% anak yang diganggu memilih menghabisi nyawanya sendiri dengan jalan bunuh diri. Tindakan kekerasan juga berdampak pada para pelaku yaitu mereka merasa menjadi jagoan sehingga senang berkelahi (54%), berbohong (87%), serta tidak memperdulikan peraturan sekolah (33%).

Di samping berbagai permasalahan yang kompleks tersebut di atas, di era globalisasi siswa sebagai remaja juga dihadapkan pada persaingan yang ketat sehingga remaja dituntut memiliki daya kompetitif yang tinggi untuk bisa unggul, sukses dalam mengaktualisasikan dirinya.

Dibalik tuntutan persaingan yang tinggi, siswa sebagai remaja dihadapkan pula pada banyaknya godaan akan berbagai kesenangan yang ditawarkan produk


(5)

IPTEK dan media masa. Kondisi ini membuat remaja lalai dan sulit mengkonsentrasikan dirinya untuk mempersiapkan masa depan dan mudahnya terjadi pergeseran nilai yang membuat pribadi-pribadi siswa mudah rapuh.

Selanjutnya dilihat dari tingkat perkembangannya, siswa sebagai remaja dalam hal ini termasuk siswa SMK sangat rentan terhadap masalah. Permasalahan muncul karena remaja berada pada proses pencarian jati diri, ingin mengaktualisasikan perbedaan individu, dan secara biologis sedang pada puncak pertumbuhan. Di sisi lain remaja sedang mempersiapkan perannya sebagai manusia dewasa dan mereka dihadapkan pada lingkungan sosiokultural yang selalu berubah, serta dihadapkan pada tuntutan dunia pendidikan dan dunia kerja yang terus berkembang.

Mempertimbangkan berbagai permasalahan, tantangan, dan tuntutan yang harus dihadapi remaja, agar remaja terhindar dari masalah dan mampu mengaktualisasikan dirinya ditengah besarnya godaan lingkungan, seorang remaja harus memiliki kepribadian sehat, dengan daya tahan yang tinggi. Daya tahan yang penting dalam diri manusia adalah daya tahan psikologis atau psychological strength.

Upaya memperkuat daya tahan psikologis seorang siswa dapat dilakukan melalui pendidikan, karena pembentukan kepribadian, dan kemampuan mengendalikan diri merupakan bagian penting yang harus dicapai melalui pendidikan. Sebagaimana tertera dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ketentuan Umum dinyatakan:


(6)

Pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan agar siswa memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia, ditempuh melalui upaya bimbingan yang dilakukan oleh pendidik, sementara pengembangan kecerdasan dan keterampilan ditempuh melalui upaya pembelajaran dan pelatihan.

Di sekolah upaya bimbingan secara nyata dan terprogram dilakukan melalui layanan Bimbingan Konseling. Bimbingan mencakup segala upaya yang dilakukan dalam membantu setiap siswa berkembang optimal, sementara konseling merupakan layanan inti dalam bimbingan yang lebih bersifat terapeutik (penyembuhan). Layanan konseling menjadi tumpuan dalam membantu siswa mengatasi masalah, sedangkan salah satu penyebab pribadi bermasalah adalah lemahnya daya tahan psikologis.

Untuk itu upaya memperkuat daya tahan psikologis siswa di sekolah dapat dilakukan melalui layanan konseling, baik itu konseling individual maupun konseling kelompok. Moh. Surya (2003: 45) mengemukakan: “ Orang yang masuk ke dalam konseling pada dasarnya karena mengalami kekurangan “ psychological strength”

Mengacu pada pandangan Michael E. Cavanagh (1982) Psychological strength atau daya psikologis adalah suatu kekuatan yang diperlukan untuk


(7)

menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya termasuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Pada dasarnya daya psikologis merupakan suatu daya atau kekuatan yang menggerakkan individu untuk berbuat dalam menjalani tuntutan keseluruhan hidupnya.

Terdapat tiga dimensi Psychological strength yaitu: need fullfiment (pemenuhan kebutuhan), intrapersonal competences (kompetensi intrapersonal), dan interpersonal competences (kompetensi interpersonal).

Pertama, dimensi pemenuhan kebutuhan merujuk pada kekuatan psikis yang diperlukan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup agar dapat mencapai kualitas kehidupan secara bermakna dan memberikan kebahagiaan. Semakin banyak kekuatan psikis dalam dimensi ini, semakin besar kemungkinan individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga lebih bermakna dan bahagia. Sebaliknya, semakin sedikit kekuatan psikis dalam dimensi ini, semakin besar peluang untuk mengalami frustrasi dan ketidakefektifan hidupnya.

Kedua, dimensi kompetensi intrapersonal yaitu kekuatan yang diperlukan dalam menghadapi tuntutan yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Semakin besar daya dalam menghadapi dirinya sendiri, semakin efektif perilaku individu dalam interaksi dengan lingkungannya sehingga mencapai kebermaknaan dan kebahagiaan hidupnya. Sebaliknya semakin kecil daya yang dimiliki dalam menghadapi dirinya sendiri, semakin besar kemungkinan timbulnya konflik dan frustrasi.


(8)

berkenaan dengan hubungan bersama orang lain dalam keseluruhan kehidupan dan interaksi dengan lingkungan. Semakin besar daya ini, semakin mungkin individu memperoleh keefektifan dalam berhubungan dengan orang lain dan pada gilirannya akan mencapai kebermaknaan hidup. Sebaliknya semakin kecil daya ini maka semakin besar kemungkinan menghadapi berbagai masalah dan kendala dalam hubungan dengan orang lain sehingga dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupannya.

Pada dasarnya tiga dimensi tersebut saling terkait satu sama lain sehingga harus dikembangkan secara bersama-sama, namun pemberian suatu layanan belum tentu mampu mengembangkan ketiga dimensi sekaligus. Membangun atau mengembangkan ketiga dimensi ”psychological strength”, perlu berbagai upaya, berbagai layanan , dan mungkin berbagai model layanan. Oleh karena itu, untuk pengembangan psychological strength dapat dikemas dalam dalam beberapa model maupun program layanan bimbingan konseling yang dapat secara langsung dirasakan oleh siswa. Psychological strength sendiri terdapat dalam kompetensi kemandirian peserta didik yang disusun oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) sebagai kompetensi yang harus dimiliki peserta didik.

Dengan demikian satu layanan yang diberikan untuk mengembangkan salah satu dimensi ”psychological strength” bisa jadi akan mempengaruhi pengembangan dua dimensi ”psychological strength” lainnya. Misalnya pengembangan dimensi pemenuhan kebutuhan mungkin berdampak pada


(9)

pengembangan kompetensi intrapersonal, dan mungkin bisa berdampak pula pada pengembangan kompetensi interpersonal, atau malah sebaliknya.

Kompetensi intrapersonal merupakan satu dimensi psychological strength yang diprediksi memiliki posisi strategis dalam mempengaruhi berkembangnya kompetensi pada dua dimensi lainnya. Terbangunnya kekuatan intrapersonal pada diri seseorang, akan memudahkannya dalam menyadari kebutuhannya sehingga bisa menjadi wahana bagi siswa dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain dengan kemampuan intrapersonal yang kuat akan berdampak pada pengembangan kemampuan dalam interpersonal.

Perwujudan model layanan konseling yang aplikatif untuk peningkatan kompetensi intrapersonal siswa, perlu mempertimbangkan kenyataaan layanan konseling yang ada di lapangan.

Sampai saat ini kuantitas dan kualitas pelaksanaan layanan konseling masih belum sesuai yang diharapkan. Masih banyak penyimpangan perilaku siswa yang tidak tertangani, siswa bermasalah banyak yang enggan minta bantuan guru BK, layanan Bimbingan Konseling di sekolah masih cenderung bersifat informatif dan adjustif, sementara konseling yang bersifat terapeutik amat sedikit.

Kenyataan lain mengenai layanan konseling di sekolah adalah siswa yang dilayani melalui konseling seringkali adalah siswa nakal yang dipanggil atau kiriman para guru, sehingga masih ada siswa yang mengidentikkan datang ke konselor sebagai bentuk hukuman. Kondisi ini membuat siswa yang tidak nakal tapi bermasalah enggan untuk minta bantuan guru BK. Ini juga berarti masih


(10)

sedikit siswa yang menjadikan guru BK sebagai mitra dalam membantu perkembangan mereka.

Hasil survei secara acak terhadap 100 siswa SMA di Bandung Raya (Erhamwilda, 2007) tentang pihak mana yang mereka mintai bantuan jika mengalami masalah pribadi, menunjukkan bahwa: 52 % siswa (setengahnya) menjawab minta bantuan/berkonsultasi pada teman sekolah, 14 % (sebagian kecil) siswa menjawab minta bantuan teman di luar sekolah, 19 % (sebagian kecil) siswa menjawab minta bantuan orang tua, 3 % (sangat sedikit) yang menjawab minta bantuan guru yang dirasa dekat, 12 % (sebagian kecil) menjawab minta bantuan teman dekat dan saudara dekat, dan 0 % (tidak ada) yang menjawab minta bantuan guru BK, serta 0 % (tidak ada) juga yang menjawab minta bantuan wali kelas.

Survei berikutnya yang dilakukan pada 30 siswa SMK Kota Bandung, menunjukkan bahwa 70 % siswa menyatakan kalau punya masalah cenderung berkonsultasi pada teman sekolah, teman luar sekolah, atau teman dekat, sedangkan 26,7 % cenderung konsultasi pada orang tua, dan hanya 3,33 % (1 orang) yang menyatakan berkonsultasi pada guru BK. (Erhamwilda, 2008)

Data di atas perlu dicermati lebih jauh, karena kecenderungan siswa bermasalah berkonsultasi pada temannya, dapat memberikan efek positif namun bisa juga memberikan efek negatif bagi perkembangan kepribadiannya. Efek positif diperoleh jika teman tempat dia berkonsultasi sikap dan perilakunya berkembang positif, dan di sisi lain teman sebaya tentu mampu lebih mudah


(11)

memahami masalah temannya, karena mereka berada pada tahap perkembangan yang relatif sama. Sebaliknya efek negatif bisa juga terjadi jika siswa yang bermasalah berkonsultasi pada temannya yang juga bermasalah, sementara temannya tersebut terlanjur mencari penyelesaian masalah dengan sikap dan perilaku negatif, maka siswa akan terjerat pada masalah yang lebih berat dan dapat membahayakan bagi perkembangan kepribadiannya. Misalnya masuknya siswa pada geng tertentu, terlibat pergaulan bebas, merokok, dan yang lebih berat ketagihan narkoba, semuanya bisa jadi merupakan pelarian dari masalah pribadi yang diceritakan pada teman yang juga bermasalah, sementara oleh temannya diseret pada dunia kebebasan yang seolah-olah menjanjikan kehidupan yang bebas dari masalah.

Selanjutnya berdasarkan wawancara yang penulis lakukan terhadap para guru BK (2007) ternyata dari lima SLTA di Bandung Raya, baru satu SLTA yang layanan bimbingan konselingnya berjalan baik (sebagian besar layanan terprogram dan terlaksana). Sementara di SLTA yang lain ternyata layanan bimbingan konseling yang paling banyak dilaksanakan, adalah layanan informasi yang sifatnya klasikal, sementara layanan konseling individual secara kuantitas masih minimal demikian juga layanan konseling kelompok, padahal layanan ini menjadi inti dalam membantu pemecahan masalah siswa. Data ini memperkuat pandangan bahwa guru BK belum mampu menjadi patner siswa dalam pemecahan masalah. Kenyataan ini juga terjadi di SMK-SMK Kota Bandung, di


(12)

mana layanan konseling masih minim pelaksanaannya, sementara problem perilaku siswa yang dihadapi guru bertambah kompleks.

Selain kenyataan di atas, jumlah guru BK amat terbatas. Umumnya satu SLTA hanya punya 1-5 orang guru BK sedangkan jumlah siswa + 1080 orang (9 kelas/angkatan dengan jumlah + 40 siswa/kelas), bahkan ada sekolah yang jumlah siswanya satu angkatan 10 kelas dengan jumlah siswa/kelas mencapai 45 orang.

Hasil survei tentang implementasi pelayanan konseling sekolah di SMPN/S di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan yang dilakukan Asmangiyah (2008), menemukan data Rasio konselor peserta didik >1:150. Selain itu Asmangiyah juga menemukan bahwa 41,1 % guru BK belum memahami dan belum mampu menerapkan pendekatan konseling pada praktek.

Mungin Eddy Wibowo (13 April 2005) pada Konvensi Nasional XIV dan Kongres Nasional X Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) juga menyatakan jumlah guru BK di sekolah-sekolah, selama ini masih jauh dari ideal. Akibatnya penanganan terhadap individu yang sedang berkembang tidak optimal, proses pelayanan, intensitas, pengawasan, perhatian kepada siswa di sekolah kurang maksimal, dan guru hanya bisa melakukan bimbingan konseling yang sifatnya preventif.

Mencermati fakta masih minimnya layanan konseling yang dilakukan tenaga profesional (konselor sekolah/guru BK), ditambah lagi dengan keengganan siswa berkonsultasi pada guru BK, maka perlu dikembangkan


(13)

program layanan konseling yang dilakukan oleh tenaga non profesional (siswa) di bawah pengawasan konselor profesional. Untuk hal ini Suwarjo (2008:8) menyatakan bahwa: ”dalam terminologi konseling, kegiatan saling bantu dan saling dukung di atara sesama teman sebaya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan atau dalam mengembangkan potensi diri disebut dengan ”peer counseling (konseling sebaya) ”.

”Konseling sebaya” diprediksi dapat menjadi salah satu strategi bantuan yang dapat diaplikasikan dalam rangka mengembangkan kompetensi intrapersonal siswa di SLTA, termasuk bagi siswa SMK. Konseling sebaya dipandang penting diaplikasikan mengingat pada Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal yang diterbitkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Dirjen P4TK, 2007) berkaitan dengan Kerangka Kerja Utuh Bimbingan dan Konseling disebutkan bahwa salah satu strategi pelayanan adalah bimbingan sebaya. Adapun Bimbingan teman sebaya diartikan sebagai bimbingan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap peserta didik lainnya. Peserta didik yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan oleh konselor. Peserta didik yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu peserta didik lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik.

”Konseling sebaya” juga amat strategis diaplikasikan di SMK karena siswa SMK sebagai remaja, memiliki ketertarikan dan komitmen serta ikatan yang


(14)

sangat kuat dengan teman sebayanya. Selain itu siswa SMK pada umumnya dipersiapkan untuk memasuki lapangan kerja, sehingga dituntut untuk lebih matang secara psikologis dalam hidup bermasyarakat. Untuk itu meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK menjadi sangat penting agar mereka memiliki kekuatan psikologis untuk menghadapi masalah pribadi selaku remaja, masalah karena tuntutan lingkungan, dan masalah dunia kerja serta kehidupan masyarakat yang lebih kompleks dibanding dunia pendidikan.

Berdasarkan angket yang diberikan terhadap 30 siswa SMK Kota Bandung diperoleh data, bahwa 26 orang (86,67 %) menyatakan sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam memecahkan masalahnya, dan 23 orang (76,67 %) menyatakan senang jika di sekolah ada program layanan konsultasi yang diberikan oleh teman sebaya.

Mengacu pada kondisi lapangan tersebut, dipandang penting untuk melakukan penelitian yang komprehensif dan teruji dalam rangka menyusun model ”konseling sebaya” yang cocok bagi siswa SMK, khususnya dalam peningkatan daya psikologis siswa pada kompetensi intrapersonal.

Sebagai kerangka teoretis dalam mengembangkan program ”konseling sebaya” bagi siswa SMK, telah ada berbagai model yang dikembangkan oleh para ahli, yang salah satunya adalah yang dikembangkan Judy A. Tindall & Dean Gray (1985).

Judy A. Tindall & Dean Gray (1985) berdasarkan berbagai riset telah menyusun semacam model layanan peer counseling untuk berbagai seting dan


(15)

berbagai masalah individu. Model layanan ”konseling sebaya” yang dikemukakan Judy A. Tindall & Dean Gray (1985) menjelaskan tentang: makna dari ”peer counseling”, pengubahan peran konselor, persyaratan trainer (pelatih), penyusunan program ”peer counseling”, model training bagi ”peer counselor” dan prosedurnya, dan program-program training (pelatihan) bagi ”peer counselor”.

Tampaknya model layanan ”peer counseling (konseling sebaya)” yang dikemukakan Judy A. Tindall & Dean Gray (1985) tersebut dapat menjadi inspirasi dalam menyusun model ”konseling sebaya” yang sesuai dengan kondisi SMK di Indonesia. Dalam hal ini diperlukan riset untuk melihat seberapa efektif model ”konseling sebaya” untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK. Perbedaan budaya, nilai-nilai dan kondisi yang ada di Indonesia akan membutuhkan proses adaptasi model.

Layanan BK dengan strategi ”konseling sebaya” di SMK belum lumrah dilaksanakan, padahal ada berbagai keuntungan yang bisa diperoleh melalui aplikasi ”konseling sebaya” di antaranya; kekurangan tenaga guru BK di sekolah dan kurangnya kuantitas layanan konseling bagi siswa bermasalah, serta rendahnya kesadaran siswa untuk konsultasi dengan konselor ahli dapat disiasati. Model konseling sebaya dapat menjadi salah satu strategi pendukung layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.


(16)

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Kompleksnya permasalahan siswa tercermin dari semakin banyaknya kenakalan remaja seperti narkoba, pergaulan bebas, terlibat geng, tawuran bahkan tindak kejahatan. Di sisi lain perilaku-perilaku yang menghambat perkembangan akademik siswa juga banyak terjadi seperti bolos sekolah untuk menikmati aneka games, melanggar disiplin sekolah, dan rendahnya motivasi belajar.

Kompleksnya masalah-masalah siswa dan munculnya aneka kenakalan dapat berpangkal dari rendahnya “psychological strength” siswa, yang meliputi tiga dimensi yaitu: need fulfillment (pemenuhan kebutuhan), intrapersonal competencies (kompetensi intrapersonal), dan interpersonal competencies (kompetensi interpersonal), yang satu sama lain saling terkait.

Peningkatan kompetensi intrapersonal memiliki posisi strategis untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan kompetensi interpersonal. Untuk itu pada penelitian ini dibatasi pada peningkatan kompetensi intrapersonal.

Dipilihnya dimensi intrapersonal karena, terbangunnya kekuatan intrapersonal pada diri seseorang, akan memudahkannya dalam menyadari kebutuhannya sehingga bisa menjadi wahana bagi siswa dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain dengan kemampuan intrapersonal yang kuat akan berdampak pada peningkatan kemampuan dalam interpersonal.

Kompetensi intrapersonal, merupakan salah satu kompetensi yang cukup penting bagi seseorang dalam menghadapi berbagai aktivitas hidupnya. Intrapersonal competencies are learned abilities that help people relate well with


(17)

themselves. The purpose of intrapersonal competencies is to increase the quantity and quality of the person’s need fulfillment.(Michael E. Cavanagh, 1982: 43). Ini artinya kompetensi intrapersonal merupakan kemampuan yang dipelajari, yang membantu individu untuk berelasi secara baik dengan dirinya sendiri. Peningkatan kompetensi ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan seseorang.

Cara seseorang berelasi dengan orang lain, sama dengan cara seseorang berelasi dengan dirinya sendiri. Ketika hubungan seseorang dengan dirinya nyaman, dia akan cenderung berhubungan dengan orang lain secara nyaman. Ketika hubungan seseorang dengan dirinya penuh konflik, dia akan cenderung berhubungan dengan orang lain dengan cara yang sama.

Kompetensi intrapersonal yang berkembang baik pada diri siswa, akan membuatnya memiliki ketahanan dalam mengantisipasi dan menghadapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks.

Untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal dapat dilakukan melalui berbagai upaya bimbingan dan konseling (BK), misalnya pemberian informasi, konsultasi, bimbingan kelompok, sosiodrama, konseling individual, konseling kelompok, dan layanan lainnya. Dari berbagai jenis layanan BK yang ada, layanan konseling dipandang lebih tepat untuk digunakan untuk peningkatan kompetensi intrapersonal, karena dalam proses konseling, konseli diterima keberadaannya apa adanya dan dibantu agar memahami dirinya, mampu mengambil keputusan sendiri


(18)

serta mengarahkan dirinya untuk mengubah sikap dan perilakunya. Semua proses konseling tersebut jelas mengarah pada peningkatan kompetensi intrapersonal.

Dimensi kompetensi intrapersonal terdiri dari tiga kompetensi, yaitu: (1) pemahaman diri (self-knowledge), (2) pengarahan diri (self-direction), (3) harga diri (self- esteem).

Layanan konseling secara ideal harus diberikan oleh seorang konselor ahli, namun dengan kondisi dan prasyarat tertentu konselor ahli dapat melatih siswa untuk menjadi ”peer counselor (konselor sebaya)” dan melakukan ”konseling sebaya” dengan pengawasan dan tanggung jawab konselor ahli.

Mencermati hasil survei tentang kecenderungan siswa berkonsultasi pada temannya, dan adanya model bantuan konseling berupa ”peer counseling”, maka dalam peningkatan kompetensi intrapersonal siswa, diduga kuat dapat dilakukan melalui ”konseling sebaya”. Selanjutnya peningkatan kompetensi intrapersonal melalui konseling teman sebaya bagi siswa SMK sebagai remaja, diprediksi amat strategis.

Keterikatan remaja dengan sebayanya tidak bisa dilepaskan dari proses pencarian jati diri. Elizabeth Hurlock (1980) mengemukakan pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku, lebih besar dibanding pengaruh keluarga. Remaja cenderung mengikuti kelompoknya, tanpa mempedulikan perasaannya sendiri.

Horrocks dan Benimoff (67) dalam E. Hurlock (1980) menjelaskan pengaruh kelompok sebaya pada masa remaja sebagai berikut:


(19)

Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung di mana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, di sinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di mana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Berdasarkan alasan itu terlihat kepentingan vital masa remaja, bahwa kelompok sebaya terdiri dari teman-teman yang dapat menerimanya dan yang kepadanya ia bergantung. Dengan pemikiran tersebut maka pertanyaan pokok yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: Apakah model ”konseling sebaya” efektif untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut melalui penelitian ini akan disusun satu model ”konseling sebaya” untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa yang akan diuji efektivitasnya melalui eksperimen.

Eksperimen ini pada prinsipnya bisa dilakukan pada setiap sekolah, karena eksperimen ini tidak sensitif pada lokasi, namun untuk alasan praktis, dalam penelitian ini peneliti membatasi tempat dilakukannya eksperimen di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Bandung.

SMKN 1 Bandung memiliki 4 program keahlian yaitu: (1) Program Keahlian Akuntansi, (2) Program Keahlian Administrasi Perkantoran, (3) Program Keahlian Pemasaran, (4) Program keahlian Urusan Perjalanan Wisata.


(20)

Keempat program keahlian ada pada setiap jenjang kelas (kelas X, kelas XI, dan Kelas XII). Jumlah siswa keseluruhan 1316 siswa terdiri dari laki-laki 24 orang dan perempuan 1292 orang. Ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa

adalah perempuan.

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahanan yang berkembang, dan sesuai lokasi serta pembatasan sampel eksperimen, maka masalah utama yang akan diteliti adalah: Apakah model ”konseling sebaya” efektif untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN 1 Bandung ?

Uji efektivitas model ”konseling sebaya” untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa dapat dispesifikkan menjadi: ”Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan kompetensi intrapersonal antara kelompok siswa kelas XI SMKN 1 Bandung yang mendapat bantuan melalui model ”konseling sebaya” dibandingkan dengan siswa kelas XI SMKN 1 Bandung yang menerima layanan BK konvensional ?”

Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut, perlu dijawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan kondisi layanan BK yang sudah ada di SMKN 1 Bandung. Pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk melihat sejauhmana bantuan melalui ”konseling sebaya” dipandang strategis untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa.


(21)

Secara rinci pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Seperti apa penyelenggaraan layanan Bimbingan Konseling di SMKN 1 Bandung ?

2. Apa saja masalah yang dialami siswa, dan seperti apa peluang penyelenggaraan ”konseling sebaya” ?

3. Seperti apa profil kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN 1 Bandung?

4. Seperti apa profil kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN 1 Bandung pada sub kompetensi self-knowledge, self-direction, dan self-esteem ?

5. Seperti apa model konseling sebaya yang secara hipotetik dapat meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa Kelas XI SMKN 1 Bandung ?

6. Apakah model konseling sebaya efektif dalam meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN I Bandung ?

7. Apakah konseling sebaya efektif dalam meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI di SMKN 1 Bandung pada sub kompetensi self-knowledge, self-direction, dan self-esteem ?

8. Apakah model konseling sebaya efektif dalam meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN 1 Bandung dilihat berdasarkan program studi ?


(22)

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah memperoleh model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data berikut.

1. Kondisi objektif penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling di SMKN 1 Bandung.

2. Masalah-masalah yang banyak dialami oleh siswa kelas XI SMKN 1 Bandung dan peluang penyelenggaraan konseling sebaya.

3. Profil kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMK N I Bandung.

4. Profil kompetensi intrapersonal siswa kelas XI SMKN 1 Bandung pada sub kompetensi self-knowledge, self-direction, dan self-esteem.

5. Model hipotetik konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMKN I Bandung.

6. Efektivitas model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI di SMKN 1 Bandung.

7. Efektivitas model konseling sebaya untuk peningkatan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI di SMKN 1 Bandung pada sub kompetensi self-knowledge, self-direction, dan self-esteem.

8. Efektivitas model konseling sebaya untuk peningkatan kompetensi intrapersonal siswa kelas XI di SMKN 1 Bandung dilihat berdasarkan program studi.


(23)

E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu rujukan ilmiah dalam rangka pengembangan konsep layanan konseling di sekolah. Lebih lanjut temuan tentang efektivitas model konseling sebaya di SMK dalam meningkatkan kompetensi intrapersonal ini, dapat memperkaya khazanah keilmuan bimbingan dan konseling pada umumnya.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan layanan Bimbingan Konseling.

a. Bagi para pemegang kebijakan dalam penetapan jenis layanan-layanan BK dapat menjadi salah satu in-put untuk pengembangan dan peningkatan aktivitas layanan BK di SMK khususnya dan sekolah pada umumnya. b. Bagi para guru BK di sekolah temuan riset ini dapat dijadikan salah satu

in-put untuk mengembangkan alternatif layanan BK, dan memperlancar tugasnya dalam melayani siswa yang bermasalah.

c. Bagi para ahli maupun pemerhati konseling dan profesi konselor, dapat menjadi in-put maupun bahan kajian untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.

F. Asumsi Dasar


(24)

1. Untuk pemahaman diri (self-knowledge), siswa cenderung mendapat masukan tentang dirinya dari teman-teman sebayanya, karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman sebaya dibanding bersama keluarga. Miller (dalam Fritz, 1999: 516) melaporkan bahwa klien-klien yang memanfaatkan layanan konseling sebaya mampu melakukan identifikasi diri dengan teman sebaya mereka, dan para klien menganggap bahwa konselor sebaya memiliki kemauan membangun jembatan komunikasi.

2. Untuk pengarahan diri (self-direction), siswa banyak dipengaruhi oleh teman sebayanya. Kemampuan self control sebagai bagian penting dari kompetensi self-direction dapat dikembangkan melalui kelompok sebaya. Nelson, J.R., Smith, D.J., and Colvin, G. (1995). The effects of a peer-mediated self-evaluation procedure on the recess behavior of students with behavior problems. Self-control and self-management at recess improved when peers were partnered with students with behavior problems.

3. Untuk meningkatkan harga diri (self-esteem) banyak diperoleh dari teman sebaya. Siswa cenderung akan merasa dirinya berharga jika mendapatkan pengakuan dari teman sebayanya. Dolan, B. (1994). Menemukan: “A teen talk line run by peers is shown to be effective and have an impact on the self-esteem of peers.” Carr (1981) dari (Allen, 1976; Gartner, Kohler and Reissman, 1971) mengungkapkan bahwa penggunaan teman sebaya (tutor sebaya) dapat memperbaiki prestasi dan harga diri siswa-siswa lainnya. Beberapa siswa lebih senang belajar dari teman sebayanya.


(25)

4. Kan (1996) mengemukakan: premis dasar yang mendasari peer counseling adalah: pada umumnya individu mampu menemukan solusi-solusi dari berbagai kesulitan yang dialami dan mampu menemukan cara mencapai tujuan masing-masing, melalui teman sebaya.

5. Kan (1996) peer counselor (konselor sebaya) merupakan seorang teman sebaya yang memiliki pengalaman hidup yang sama yang memungkinkan membuat rileks, memungkinkan bertukar pengalaman dan menjaga rahasia tentang apa yang dibicarakan dan dikerjakan dalam pertemuan tersebut. Terdapat kesamaan kedudukan (equality) antara konselor teman sebaya dengan konseli, meskipun peran masing-masing berbeda. Mereka berbagi pengalaman dan bekerja berdampingan.

6. Kan (1996) semua teknik yang digunakan dalam konseling teman sebaya membantu konseli dalam memperoleh pemahaman dan pengalaman tentang dirinya, mendorong sumber-sumber kreativitas, membantu konseli menyadari emosi, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya.

7. Elizabeth Hurlock (1980) mengemukakan pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku. lebih besar dibanding pengaruh keluarga. Remaja cenderung mengikuti kelompoknya, tanpa mempedulikan perasaannya sendiri.

8. Carr (1981: 5-12) mengemukakan: berbagai keterampilan yang terkait dengan pemberian bantuan yang efektif dapat dipelajari oleh orang awam sekalipun, termasuk para-profesional (Carkhuff, 1969), dapat dikuasai oleh para siswa


(26)

SMP (Carr, McDowell and McKee, 1981), para siswa SMA (Carr and Saunders, 1979). Pelatihan konseling sebaya, juga merupakan suatu bentuk treatmen bagi para konselor sebaya dalam membantu perkembangan psikologis mereka.

9. Carr (1981) menyatakan berbagai penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa di kalangan remaja, kesepian atau kebutuhan akan teman merupakan salah satu dari lima hal yang paling menjadi perhatian remaja.


(27)

126

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Sesuai tujuan penelitian yang ingin menemukan model program konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian dan pengembangan (research and development). Penelitian pengembangan diarahkan sebagai a process used to develop and validate educational product (Borg and Gall, 1989). Produk yang dimaksud adalah model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa.

Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif dan kualitatif digunakan secara bersama-sama. Menurut Cresswell (2003), terdapat tiga model pendekatan kualitatif-kuantitatif, yaitu two-phase design, dominant-less dominant design, dan mixed methods design. Dalam penelitian ini dipilih mixed methods design karena pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif digunakan secara terpadu dan saling mendukung. Adapun penggunaan mix methods kuantitatif dan kualitatif penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.


(28)

Pendekatan kualitatif di awal digunakan untuk mengetahui kondisi empirik layanan BK di SMKN 1 Bandung, dan dukungan sistem bagi pengembangan model konseling sebaya.

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji kondisi empirik permasalahan siswa, profil kompetensi intrapersonal siswa dan keefektifan konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa. Pada tingkat aplikasi digunakan metoda penelitian deskriptif analisis, metoda partisispatif kolaboratif, dan metoda quasi eksperimen.

Metoda deskriptif analisis digunakan untuk penyanderaan secara sistematis, faktual, akurat, mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi penelitian. Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap tingkat kompetensi intrapersonal siswa dan peluang implementasi program konseling sebaya.

Metode partisipatif kolaboratif dalam proses uji kelayakan model hipotetik konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa. Uji kelayakan model dilaksnakan dengan uji rasional, uji keterbacaan, uji kepraktisan, dan uji coba terbatas. Uji rasional dengan pakar bimbingan dan konseling, uji keterbacaan dengan siswa SMK , sedangkan uji kepraktisan dilakukan dengan berdiskusi bersama guru BK (konselor ) di SMK.


(29)

Metoda quasi eksperimen dengan disain pre-test dan post-test digunakan untuk menguji di lapangan model hipotetik untuk memperoleh gambaran efektivitas konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa.

B. Definisi Operasional Variabel

Ada tiga konsep utama dari penelitian ini yaitu Efektivitas, Konseling Sebaya, dan Kompetensi Intrapersonal. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan arah dan maksud penelitian ini, maka definisi operasional untuk beberapa istilah diuraikan sebagai berikut.

1. Efektivitas

Efektivitas adalah ketercapaian tujuan sesuai rencana.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan efektifitas adalah : ketercapaian tujuan berupa peningkatan kompetensi intrapersonal siswa yang ditunjukkan dengan perbedaan skor kompetensi intrapersonal siswa antara kelompok siswa yang mendapat perlakuan melalui layanan konseling sebaya dengan kelompok siswa yang mendapat program BK konvensional, antara sebelum dengan sesudah perlakuan. Jika terdapat perbedaan yang signifikan, maka program disebut efektif, dan sebaliknya jika tidak terdapat perbedaan yang signifikan, maka layanan dinyatakan tidak efektif. 2. Konseling Sebaya (peer counseling)

Judy A. Tindall & H.Dean Gray (1985: 5) mengemukakan: “peer counseling is defined as variety of interpersonal helping behaviours assumed by nonprofessionals who undertake a helping role with others” Lebih lanjut dijelaskan


(30)

bahwa: “peer counseling includes one-to-one helping relationships, group leadership, discussion leadership, advisement, tutoring, and all activities of an interpersonal human helping or assisting nature”.

Salah satu bentuk layanan Konseling sebaya diperguruan tinggi yaitu yang dipraktekkan oleh Charleston students. Konseling sebaya diartikan sebagai: “a service for College of Charleston students offer by College of Charleston students. The program is supported by CofC’s Counseling and Substance Abuse Service and other CofC faculty and staff (http://www.wilsherifoundation.org/dw Pages/senior.htm/.)

Konseling teman sebaya merupakan suatu cara bagi para siswa untuk belajar bagaimana memperhatikan dan membantu anak-anak lain, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Carr, 1981: 3).

Kan (1996: 3) mengemukakan: “ peer counseling is the use problem solving skills and active listening, to suport people who are our peers “ Lebih jauh Kan mengungkapkan bahwa peer counseling tidak sama dengan peer support. Peer Counseling merupakan metode terstruktur, sedangkan peer suport lebih bersifat umum (bantuan imformal, berupa saran atau nasehat oleh dan untuk teman sebaya).

Kan (dikemukakan Suwarjo, 2008) menjelaskan elemen-elemen pokok dari konseling sebaya sebagai berikut.

a. Premis dasar yang mendasari konseling sebaya adalah: pada umumnya individu mampu menemukan solusi-solusi dari berbagai kesulitan yang dialami dan mampu menemukan cara mencapai tujuan masing-masing.


(31)

b. “Peer counselor”(“konselor sebaya”) merupakan seorang teman sebaya dan memiliki pengalaman hidup yang sama, yang memungkinkan membuat rileks, memungkinkan bertukar pengalaman dan menjaga rahasia tentang apa yang dibicarakan dan dikerjakan dalam pertemuan tersebut.

c. Terdapat kesamaan kedudukan (equality) antara ”konselor teman sebaya” dengan konseli, meskipun peran masing-masing berbeda. Mereka berbagi pengalaman dan bekerja berdampingan.

d. Semua teknik yang digunakan dalam konseling teman sebaya membantu konseli dalam memperoleh pemahaman dan pengalaman tentang dirinya, mendorong sumber-sumber kreativitas, membantu konseli menyadari emosi, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya.

e. Keputusan tentang kapan akan memulai dan mengakhiri serta di mana akan dilakukan konseling teman sebaya, terletak pada konseli.

f. Seorang teman sebaya dapat berupa seseorang dalam situasi atau kondisi yang sama, atau seseorang dengan usia sebaya, atau seseorang dengan latar belakang dan budaya yang sama.

Secara operasional konseling sebaya adalah bantuan yang diberikan oleh teman sebaya (biasanya seusia/tingkatan pendidikannya hampir sama) yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan dasar komunikasi konseling untuk menjadi ”konselor sebaya”, sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan peningkatan kompetensi intrapersonal kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadiannya. Mereka yang


(32)

menjadi ”konselor sebaya” bukanlah seorang yang profesional di bidang konseling tapi diharapkan dapat membantu konselor profesional.

3. Kompetensi Intrapersonal

Intrapersonal competencies are learned abilities that help people relate well with themselves. The purpose of intrapersonal competencies is to increase the quantity and quality of the person’s need fulfillment (Michael E. Cavanagh, 1982: 43). Ini artinya kompetensi intrapersonal merupakan kemampuan yang dipelajari, yang membantu individu untuk berelasi secara baik dengan dirinya sendiri. Peningkatan kompetensi ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan seseorang. Cara seseorang berelasi dengan orang lain, sama dengan cara seseorang berelasi dengan dirinya sendiri. Ketika hubungan seseorang dengan dirinya nyaman, dia akan cenderung berhubungan dengan orang lain secara nyaman. Ketika hubungan seseorang dengan dirinya penuh konflik, dia akan cenderung berhubungan dengan orang lain dengan cara yang sama.

Orang yang mencari konseling seringkali kekurangan kompetensi intrapersonal untuk berhubungan secara baik dengan dirinya sendiri. Mereka tidak selaras dengan dirinya sendiri, atau bahkan bertentangan sama sekali. Pergesekan dari konflik internalnya berimbas ke hubungannya dengan orang lain, yang menyebabkan ketegangan. Bagaimanapun orang yang mencari konseling seringkali menerima problem mereka sebagai kesukaran dari sesuatu yang mereka kerjakan atau sesuatu yang dikerjakan orang lain, dan dari sesuatu yang terjadi dari dirinya.


(33)

Kompetensi intrapersonal adalah kecakapan yang dapat membantu orang berhubungan secara baik dengan dirinya . Apabila orang mampu berhubungan dengan dirinya secara efektif, maka efektif pula dalam hubungan dengan orang lain. Sebaliknya kegagalan dalam hubungan dengan diri sendiri dapat menimbulkan kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain (Moh Surya, 2009: 49)

Intrapersonal relationships deal with three competencies: self knowledge, self direction, and self esteem .(Michael E. Cavanagh, 1982: 44). Artinya hubungan intrapersonal berkaitan dengan tiga kompetensi yaitu: pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengarahan pada diri sendiri (self direction), harga diri (self esteem). Di antara ketiga area tersebut terdapat tumpang tindih karena merupakan bagian dari diri yang sama, tetapi ketiganya tetap merupakan kompetensi yang terpisah.

a. Kompetensi Self knowledge adalah tingkat pengetahuan seseorang tentang dirinya meliputi; kekuatan, kelemahan, kebutuhan, perasaan, dan motif-motif yang muncul dari dalam dirinya.

b.Kompetensi self direction adalah kekuatan dalam diri seseorang untuk mengarahkan perilaku dalam kehidupannya dan bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi dari setiap perilakunya.

c. Kompetensi self esteem adalah: kekuatan yang ada pada diri seseorang untuk melihat bahwa dirinya bermanfaat, berkemampuan, dan memiliki kebaikan-kebaikan. Harga diri hampir seluruhnya bersifat tidak disadari dan memotivasi orang untuk mendapatkan kehidupan yang baik dan melindungi dari tantangan yang tidak diperlukan atau merugikan.


(34)

Dengan demikian maka kompetensi intrapersonal adalah: kecakapan yang dapat membantu orang berhubungan secara baik dengan dirinya yang terdiri dari tiga kompetensi utama yaitu; self-knowledge, self-direction, dan self-esteem.. Apabila orang mampu berhubungan dengan dirinya secara efektif, maka efektif pula dalam hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan penjelasan istilah tersebut maka variabel dalam penelitian ini terdiri dari: 1) variabel independent/bebas yaitu program konseling sebaya untuk peningkatan kompetensi intrapersonal, 2) variabel dependen/terikat adalah: kompetensi intrapersonal yang terdiri dari: a) self knowledge, b) self direction, dan c) self esteem.

Variabel penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

X = Treatmen berupa konseling kelompok sebaya Y= Kompetensi Intrapersonal yang terdiri dari: a) self knowledge, b) self direction, dan c) self esteem.

C. Pengembangan Instrumen Pengumpul Data 1. Instrumen Pengumpul Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam menyusun model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK, yang memiliki ketepatan, tingkat kepercayaan, dan dapat digunakan dalam layanan konseling di SMK, dikembangkan instrumen-instrumen penelitian berikut.

a. Pedoman wawancara (ke konselor sekolah) dan dokumentasi untuk mengungkapkan layanan-layanan Bimbingan Konseling apa saja yang sudah


(35)

diterima siswa, hasil yang diperoleh dan masalah-masalah yang dialami siswa SMK dan layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan.

b. Istrumen identifikasi masalah siswa dan peluang layanan konseling sebaya. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan Instrumen Identifikasi Masalah yang ditulis Syamsu Yusuf, LN (2005), dan disesuaikan dengan siswa SMK kemudian dilengkapi dengan pertanyaan tentang kebutuhan layanan konseling sebaya. c. Inventori tentang kompetensi intrapersonal (mencakup self-knowledge, self

direction, dan self eteem), digunakan sebagai alat untuk mengungkap data tentang tingkat kompetensi intrapersonal siswa, sebelum dan setelah mengikuti konseling sebaya. Menurut Gall, Gall & Borg (2003: 189), inventori dikategorikan sebagai self-report measure yaitu instrumen-pensil dan kertas-yang item-itemnya menghasilkan skor numerik. Dalam pengukuran dengan menggunakan self-report pada umumnya individu diminta untuk mengungkapkan apakah dia memiliki sifat-sifat, pikiran-pikiran, atau perasaan-perasaan yang digambarkan dalam butir-butir inventori.

Kisi-kisi inventori kompetensi intrapersonal digambarkan pada tabel berikut: TABEL 3-1

KISI-KISI INVENTORI KOMPETENSI INTRAPERSONAL Sub

Variabel

Aspek-aspek Indikator Nomor Item

Jml Item

+ -

1.Self-knowledge

(Pemahaman Diri)

1.1 Kognisi fisik

1.1.1 Menyadari kekuatan fisik

1A, 2A, 3A

3 1.1.2 Menyadari

kelemahan fisik


(36)

Sub Variabel

Aspek-aspek Indikator Nomor Item

Jml Item

+ -

1.1.3 Menyadari kebutuhan fisik

4A, 5A, 6A, 11A

4 1.1.4 Menyadari perasaan

yang muncul tentang kondisi fisik

8A, 10A 12A 3

1.1.5 Menyadari motif-motif fisik

13A 14A,

15A

3 1.2.Kognisi

sosial

1.2.1 Membandingkan kekuatan & kelemahan dirinya dengan orang lain

17A 1

1.2.2 Menyadari penilaian orang lain tentang kekuatan & kelemahannya

16A, 20A, 22A

3

1.2.3.Membandingkan kebutuhan dirinya dengan orang lain

21A 1

1.2.4 Menyadari penilaian orang lain tentang

kebutuhannya

27A 1

1.2.5.Membandingkan Perasaan-perasaan dirinya dengan orang lain

23A 1

1.2.6 Menyadari penilaian orang lain tentang

perasaan-perasaannya

19A, 24A 2

1.2.7 Membandingkan motif-motif dirinya dengan orang lain

25A 1

1.2.8 Menyadari penilaian orang lain tentang motif-motifnya

26A 1

1.3 Kognisi psikologis

1.3.1 Melakukan introspeksi tentang kekuatan dan kelemahan diri

29A, 30A, 37A

3

1.3.2 Menjelaskan penyebab perilaku dari kekuatan dan kelemahan diri

18A, 31A 2

1.3.3 Melakukan introspeksi tentang kebutuhan diri

34A, 36A


(37)

Sub Variabel

Aspek-aspek Indikator Nomor Item

Jml Item

+ -

1.3.4 Menjelaskan penyebab perilaku dari kebutuhan diri

39A, 14A 2

1.3.5 Melakukan introspeksi tentang perasaan-perasaan sendiri

32A 35A 2

1.3.6 Menjelaskan penyebab perilaku dari perasaan-perasaan diri 28A, 33A, 41A, 42A 4 1.3.7 Melakukan

introspeksi tentang motif-motif diri

38A, 45A 2

1.3.8 Menjelaskan penyebab perilaku dari motif-motif diri

43A, 44A 2

2. Self Direction (Pengarah an Diri 2.1 Self- Confidence (Percaya Diri)

2.1.1 Self-efficacy tinggi (yakin diri sendiri bisa berbuat seperti orang lain, asal berusaha)

1B, 2B 2

2.1.2 Self- esteem tinggi (merasa orang lain mengakui dirinya)

3B 2

2.1.3 Percaya akan kemampuan diri/tidak banyak butuh pengakuan, pujian orang lain

5B 7B 2

2.1.4 Punya pengendalian diri/emosi stabil

8B, 9B, 30C

3 2.1.5 Memandang

keberhasilan dan kegagalan tergantung usaha sendiri

6B 1

2.1.6 Tidak bersikap komformis demi diterima orang lain

14B 1

2.1.7 Berani jadi diri sendiri

11B, 12B

2 2.1.8. Punya pandangan

positif pada diri, orang lain dan situasi

15B 10B 2

2.1.9. memiliki harapan realistik


(38)

Sub Variabel

Aspek-aspek Indikator Nomor Item

Jml Item

+ -

2.1.10. Mengambil keputusan dan siap menerima resiko

22B 1

2.2 Self- Reliance (Pemenuha n kebutuhan diri)

2.2 1. Berusaha memenuhi kebutuhan sendiri

23B 1

2.2 2. Percaya dengan pemikiran sendiri

26B, 27 B 19B 2 2.2 3. Percaya bahwa setiap

orang unik, dan memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri

1B, 3B, 4B

3

2.2 4. Tidak mengalami masalah sosial

18B 1

2.2 5.Siap menjalankan tugas dan kewajiban

24B, 25B

2 2.2 6. Merasa diri

bermanfaat

33B, 1C, 22C, 28C

4 2.2 7. Tidak dendam, benci

pada orang lain

16B 1

2.3

Self-control (Kontrol- Diri)

2.3.1. Tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan

42B 30C,

37B

2

2.3 2. Bisa menunda pemenuhan kebutuhan untuk memperoleh kepuasan yang lebih baik

30B 13B,

43B, 46B

4

2.3 3.Mengutamakan kepuasan jangka panjang dibanding kepuasan jangka pendek

38B, 40B 17B, 39B, 44B

5

2.3 4.Disiplin tinggi 28B, 29B 2 2.3 5. Cenderung mengatur

diri sendiri daripada diatur orang lain

36B 23B,

34B, 35B

4

2.3 6. Mampu

mengendalikan diri sesuai tujuan

28B, 31B, 32B, 41B

45B 5

3. Self-esteem (Harga Diri) 3.1 Self-worth (Manfaat Diri)

3.1 1. Yakin diri bermanfaat

33B, 1C, 22C, 28C

4 3.1 2. Emosi stabil, tidak

mudah putus asa


(39)

Sub Variabel

Aspek-aspek Indikator Nomor Item

Jml Item

+ -

3.1 3.Puas, merasa menang 27B, 2C 4C 3 3.1 4. Tegas, tidak mudah

berubah-ubah

42B, 10C 37B, 6C, 35C

5 3.2

Self-regard (kehormatan diri) 3.2 1.Merasa dihormati/dianggap 3C, 5C, 3B, 33B

6B 2

3.3 Self

respect (kemuliaan diri)

3.3 1. Merasa dimuliakan 7C 8C, 19C 3 3.3 2.Merasa diri baik 28C 11C,

2C, 17C 4 33.3. Tidak narsisme, dan

tidak masochisme (tidak terlalu cinta diri dan tidak terlalu membenci diri)

18C,19 C, 21C, 27C, 35C

5

3.4

Self-love (Kecintaan Diri)

3.4 1. Merasa diri dicintai, disayangi dan disukai

7C, 14C 9C 3 3.4 2. Dapat mencintai

dengan tulus

22C, 23C, 24C

16B 4

3.4 3.Memiliki teman akrab 25C 1 3.5

Self-integrity (integritas Diri)

3.5 1 Memilih teman berdasarkan kriteria nilai

33C, 34C 17B, 32C

4 3.5 2. Merasa mendapat

perlakuan tulus dan jujur oleh orang lain

15C 13C,

16C

3

3.5 3. Bersikap Jujur 20C, 26C

2 3.5 4. Dapat memaafkan

diri sendiri

29C, 31C

2

Item-item inventori dirumuskan sesuai sub variabel, aspek-aspek dan indikator setiap aspek, kemudian terhadap setiap item dilakukan penimbangan instrumen, dan selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

d. Skala penilaian untuk kualitas model layanan konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK


(40)

TABEL 3-2

SKALA PENILAIAN KUALITAS MODEL KONSELING SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL SISWA SMK

(Sumber Data: Ahli BK & Praktisi)

No Aspek yang Dinilai Kriteria Penilaian Keterangan 1. Sistematika a. Tidak sistematis

b. Kurang sistematis c. Sistematis

2. Rumusan Rasional model

a. Tidak sistematis b. Kurang sistematis c. Sistematis

3. Rumusan Tujuan a. Tidak jelas, b. Jelas

c. Dapat dicapai d. Sulit dicapai e. Kongrit terukur f. Kurang kongrit

4. Asumsi a. Kurang jelas rumusan kalimatnya b. Jelas namun tidak tepat

c. Jelas dan tepat

d. Tidak jelas dan tidak tepat 5. Target Intervensi a. Tidak jelas

b. Jelas c. Sulit dicapai d. Dapat dicapai 6. Langkah-langkah

Implementasi Model

a. Tidak jelas b. Jelas

c. Sulit dilaksanakan d. Dapat dilaksanakan 7. Kompetensi

Konselor Ahli

a. Tidak jelas rumusan kompetensi yang dituntut.

b. Jelas kompetensinya, namun sulit dipenuhi

c. Jelas kompetensinya, dan dapat dipenuhi oleh seorang konselor ahli/guru BK


(41)

No Aspek yang Dinilai Kriteria Penilaian Keterangan 8. Kompetensi

Konselor Sebaya

a. Tidak jelas rumusan kompetensi yang dituntut.

b. Jelas kompetensinya, namun sulit dipenuhi

c. Jelas kompetensinya, dan dapat dipenuhi oleh seorang konselor sebaya

9. Evaluasi dan indikator

Keberhasilan

a. Tidak jelas

b. Jelas namun sulit dilakukan c. Jelas dan dapat dilakukan 10. Pemakaian Bahasa a. Bahasa sulit dimengerti

b. Sebagian menggunakan bahasa yang tidak baku

c. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mudah dipahami

11. Penulisan dan Tata Letak

a. Tidak teratur dan tidak rapi b. Kurang teratur dan kurang rapi c. Teratur dan rapi

e. Skala penilaian untuk panduan implementasi konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa SMK

TABEL 3-3 SKALA PENILAIAN

PANDUAN IMPLEMENTASI KONSELING SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL SISWA SMK

Sumber Data: Ahli BK & Praktisi/konselor sekolah

No Aspek yang Dinilai Kriteria Penilaian Keterangan 1. Persiapan a. Hal-hal yang perlu dipersiapkan jelas

b. Hal-hal yang perlu dipersiapkan kurang jelas

2. Prosedur Pelaksanaan

a. Kongrit,

b. Jelas langkah-langkahnya c. Kurang kongrit

d. Kurang jelas langkah-langkahnya 3. Metode a. Metode jelas

b. Bisa digunakan c. Metode tidak jelas d. Metode sulit digunakan


(42)

No Aspek yang Dinilai Kriteria Penilaian Keterangan 4. Alat dan Sarana

Penunjang

a. Alat dan sarana yang dibutuhkan tersedia

b. Alat dan prasarana bisa digunakan c. Alat dan sarana yang dibutuhkan

jarang tersedia 5. Waktu

Penyelenggaraan

a. Pemilihan waktu tepat

b. Pemilihan waktu kurang tepat c. Pemilihan waktu tidak tepat 6. Tempat

penyelenggaraan

a. Tersedia

b. Memungkinkan dan memadai c. Tidak tersedia

2. Penimbangan Instrumen

Instrumen yang ditimbang secara khusus adalah inventori kompetensi intrapersonal. Untuk memperoleh Item inventori yang layak dipakai, setiap item yang dikembangkan (sebanyak 126 item) dikoreksi oleh tiga orang penimbang untuk dikaji secara rasional dari segi isi dan redaksi item, serta ditelaah kesesuaian item dengan aspek-aspek yang akan diungkap.

Ketiga penimbang tersebut adalah: Dr. Mubiar Agustin, M.Pd., Dr. Ilfiandra, M.Pd., dan Dr. Dedi Herdiana Hafiz, M.Pd.. Mereka pakar Bimbingan konseling yang memiliki keahlian dan pengalaman yang memadai, dan berkualifikasi pendidikan Doktor Bimbingan konseling.

Setiap penimbang memberikan koreksinya, terhadap item yang menurut penimbang kurang layak, baik secara konstruk maupun kebahasaannya, dilakukan revisi seperlunya sesuai dengan saran-saran para penimbang tersebut.


(43)

Pada langkah berikutnya, sebelum dilakukan uji coba instrumen, dihadirkan para siswa SMK N 11 Bandung sebanyak lima belas orang beserta dua orang guru BK/konselor sekolah untuk melakukan uji keterbacaan terhadap setiap butir item dalam instrumen. Setiap masukan yang diberikan dijadikan bahan untuk perbaikan dan pengembangan instrumen yang akan diujicobakan.

3. Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas juga khusus dilakukan terhadap instrumen inventori kompetensi intrapersonal, karena instrumen ini dikembangkan oleh peneliti berdasarkan konsep teori-teori terkait.

a. Uji Validitas

Pemilihan item dilakukan dengan uji validitas item menggunakan teknik korelasi item-total product moment. Langkah-langkah pengujian validitas adalah sebagai berikut.

Pertama, menghitung koefisien korelasi product moment (r) hitung (rxy), dengan menggunakan rumus seperti berikut:

{

}{

}

∑ ∑

− − − = 2 2 2 2 XY Y) ( Y N X) ( X N Y) X)( ( XY N

r (Arikunto, 2002:72)

Keterangan:

rXY = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y X = Item soal yang dicari validitasnya


(44)

Kedua, mencari nilai t hitung. Setelah mendapatkan r hitung, kemudian untuk menguji nilai signifikansi validitas butir soal tersebut dengan menggunakan rumus uji t berikut.

2

1 2 r n r t

− −

= (Subino, 1987 : 46)

Keterangan:

t = harga

t

hitung untuk tingkat signifikansi r = koefisien korelasi

n = banyaknya sampel

Setelah diperoleh nilai thitung maka, langkah selanjutnya adalah menentukan ttabel dengan df = n – 2 = 501– 2 = 499 dengan nilai df = 499 dan pada nilai alpha sebesar 95% didapat nilai t(0,95;499) = 1,65

Ketiga, proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan didasarkan pada uji hipotesis dengan kriteria sebagai berikut.

1) Jika t hitung positif, dan t hitung ≥ t tabel, maka butir soal valid

2) Jika t hitung negatif, dan t hitung < t tabel, maka butir soal tidak valid

Sebagai contoh akan dihitung uji validitas untuk item soal nomor 1 pada format A.

a). Mencari atau menghitung koefisien korelasi product moment (rXY) dan t hitung dari masing-masing item. Untuk koefisien korelasi product moment item soal nomor 1 adalah 0,34 dan nilai t hitung untuk item nomor 1 adalah 7,94


(45)

b). Langkah selanjutnya setelah diperoleh t hitung adalah menentukan t tabel dengan df = n – 2 = 501 – 2 = 499, dengan nilai df = 499 maka pada nilai alpha 95% nilai t tabel adalah t(0,95;499) = 1,65

c). Dengan membandingkan nilai thitung dengan ttabel diperoleh bahwa t hitung > t tabel yaitu 7,94 > 1,65 dan oleh karena itu maka butir item/soal nomor 1 adalah valid.

Perhitungan validitas butir soal yang lainnya digunakan bantuan perhitungan program Ms Excel 2007 (terlampir) dan dari 45 pernyataan Format A diperoleh bahwa pernyataan yang valid ada 40 item dan yang tidak valid ada 5 item yaitu pernyataan nomor 5,7,11,15,34. Format B dari 46 pernyataan ada 43 pernyataan yang valid dan 3 pernyataan tidak valid yaitu pernyataan nomor 14,15 dan 44. Format C dari 35 pernyataan ada 33 pernyataan yang valid dan 2 pernyataan tidak valid yaitu 10 dan 32.

Secara lebih jelas rekapitulasi hasil perhitungan uji validitas Format A, Format B dan Format C, digambarkan pada Tabel (Terlampir pada Lampiran I hal 278-346 ).

b. Uji Reliabilitas Instrumen

Setelah diuji validitas setiap item selanjutnya alat pengumpul data tersebut diuji tingkat reliabilitasnya. Realibilitas berhubungan dengan masalah ketetapan atau konsistensi tes. Reliabilitas tes berarti bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang dipercaya atau reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya


(46)

( )

N N X X

= 2 2 2

σ

juga. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapakalipun diambil, tetap akan sama.

Dalam pengujian reliabilitas instrumen, penulis menggunakan bantuan perhitungan program Ms. Excel 2007 dengan rumus statistika Cronbach’s Alpha (

α

) dan tahapannya sebagai berikut:

Pertama, menghitung nilai reliabilitas atau r hitung (r11) dengan menggunakan rumus berikut.

       −       −

=

2

2 11 1 1 i i n n r σ σ Keterangan : 11

r = Reliabilitas tes yang dicari =

2

i

σ Jumlah varians skor tiap-tiap item

2

t

σ = Varians total n = banyaknya soal

Kedua, mencari varians semua item menggunakan rumus berikut.

(Arikunto, 2002:109)

Keterangan :

X = Jumlah Skor

X2= jumlah kuadrat skor N = banyaknya sampel


(47)

Titik tolak ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (1999 : 149) yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3-4

Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefesien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199

0,20 – 0,399 0,40 – 0,599 0,60 - 0,799 0,80 – 1,000

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Proses pengujian reliabilitas dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak MS Excel 2007. Hasil pengujian didapatkan.

Tabel 3-5

Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Kompetensi Intrapersonal

No Data Reliabilitas Keterangan

1 Self Knowledge (Format A) 0,78 Tinggi

2 Self Direction (Format B) 0,82 Sangat Tinggi

3 Self Esteem (Format C) 0,77 Tinggi

Merujuk pada pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (1999:149) dapat ditarik kesimpulan bahwa reliabilitas instrumen pengungkap Format A berada pada kategori tinggi, Format B berada pada kategori sangat tinggi dan Format C berada pada kategori tinggi. Artinya, instrumen tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang sangat tinggi. Proses dan hasil reliabilitas tertera pada Lampiran I halaman 347-475.


(48)

D. Subjek dan Lokasi Penelitian

Subjek penelitian disesuaikan dengan tahap-tahap yang ditempuh dalam pengembangan model konseling. Pada saat analisis kebutuhan dan peluang akan program konseling sebaya, yang menjadi subjek penelitian adalah guru BK SMKN 1 Bandung (konselor sekolah) dan siswa kelas XI SMKN 1 Bandung.. Pada tahap pengembangan model hipotetik, untuk validasi isi dan konseptual subjek penelitiannya adalah pakar bimbingan dan konseling yang ada di perguruan tinggi. Selanjutnya pada tahap validasi empirik untuk uji operasional model yang dijadikan subjek penelitian adalah guru BK atau konselor. Pada tahap uji efektivitas model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMKN 1 Bandung pada empat program keahlian. Dari seluruh siswa kelas XI di masing-masing program keahlian akan ditetapkan siswa yang akan menjadi kelompok eksperimen dan siswa kelompok kontrol. Anggota kelompok untuk masing-masing kelompok akan ditetapkan berdasarkan hasil pengukuran kompetensi intrapersonal siswa. Pada kelompok eksperimen di masing-masing program keahlian ditetapkan siswa yang akan menjadi konselor sebaya, sesuai kriteria yang dibuat, dan siswa-siswa yang akan menjadi konseli sebaya.

Sesuai gambaran subjek penelitian tersebut, maka lokasi penelitian untuk uji efektivitas model konseling sebaya adalah SMKN I Bandung. Secara lebih rinci, subjek penelitian ini disajikan pada tabel 3-11 berikut.


(49)

Tabel 3-6 Subjek Penelitian

No Tahapan Penelitian Subjek Jumlah

1

Studi Pendahuluan

1. XI UPW 1 27

2. XI UPW 2 31

3. XI AP 1 37

4. XI AP 2 34

5. XI AP 3 35

6. XI AP 4 33

7. XI PS 1 39

8. XI PS 2 27

9. XI PS 3 33

10. XI PS 4 36

11. XI AK 1 34

12. XI AK 2 37

13. XI AK 3 32

14. XI AK 4 33

15. XI AK 5 33

Jumlah 501

2 Uji Coba Model Kelompok Eksperimen pada masing-masing program keahlian (6 orang x 4 prodi )

24

Kelompok Kontrol pada masing-masing program keahlian (6 orang x 4 prodi)

24

Jumlah 48

E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan riset dan pengembangan (R & D), dengan mix methode kualitatif dan kuantitatif, dengan metoda deskriptif analisis, partisipatif kolaboratif, dan metoda kuasi eksperimen

Metoda deskriptif dilakukan untuk mengumpulkan data lapangan tentang masalah siswa dan penanganannya melalui layanan BK yang ada selama ini, serta peluang menyelenggarakan konseling sebaya. Untuk hal ini dilakukan pembuatan pedoman wawancara, dan melakukan wawancara kepada guru BK/konselor sekolah, ditambah dengan studi dokumentasi. Selanjutnya penelitian kualitatif dilakukan untuk


(50)

menganalisis kondisi empirik, melakukan kajian literatur dan menyusun program konseling sebaya bagi pengembangan kompetensi intrapersonal siswa.

Penelitian kuantitatif dilakukan untuk penelitian tentang tingkat kompetensi intrapersonal, pembuatan instrumen, menguji kesahihan instrumen, dan selanjutnya untuk menguji secara statistik efektivitas model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersoanal siswa SMK digunakan rangcangan ”Quasi-Eksperimental Design” dengan bentuk ”the pretest-posttest design” (P.Paul Heppener, Bruce E. Wampold, and Dennis M.Kivlighan, 2008).

Secara lebih rinci tahapan penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Tahap I Studi pendahuluan. Studi pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data tentang: (1) pelayanan Bimbingan Konseling yang sudah diberikan di SMKN 1 Bandung, (2) permasalahan yang dialami siswa dan kecenderungan siswa untuk berkonsultasi pada sebayanya, (3) profil kompetensi intrapersonal siswa, dan (4) profil kompetensi intrapersonal pada masing-masing sub kompetensi intrapersonal yang meliputi: self-knowledge, self-direction, dan self-esteem. Data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan instrumen meliputi: (1) pedoman wawancara, (2) inventori identifikasi masalah, dan (3) inventori kompetensi intrapersonal. Wawancara dilakukan terhadap Kepala sekolah dan Koordinator BK, sedangkan inventori identifikasi masalah dan kecenderungan siswa berkonsultasi, serta inventori kompetensi intrapersonal diisi oleh siswa.


(51)

Semua data tersebut digunakan untuk menyusun model layanan konseling sebaya yang sesuai untuk SMK. Melalui studi pendahuluan ini dihasilkan potret awal kebutuhan pelaksanaan konseling sebaya di SMKN 1 Bandung..

b. Tahap II Penyusunan Model Hipotetik .

Penyusunan model hipotetik konseling sebaya untuk peningkatan kompetensi intrapersonal siswa dilakukan berdasarkan kajian teoritik dan temuan studi pendahuluan. Penyusunan model dilakukan dengan merumuskan komponen-komponen model dan isi masing-masing komponen-komponen. Penyusunan model hipotetik diikuti dengan pembuatan panduan implementasi konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal siswa. Di samping itu juga dipersiapkan materi pelatihan konselor sebaya dan materi pelatihan peningkatan kompetensi intrapersonal. Pada tahap ini juga dirumuskan prosedur dan instrumen untuk mengevaluasi model.

c. Tahap III Uji Rasional.

Efektivitas Model Konseling Sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal, diuji secara rasional dengan cara meminta umpan balik dari pakar Bimbingan Konseling yang memiliki keahlian dalam mengembangkan model konseling. Selain itu juga dilakukan uji keterbacaan, dan kelayakan model berikut panduan implementasi model dengan praktisi bimbingan dan konseling (konselor di sekolah).


(52)

d. Tahap IV (Validasi Model).

Pada tahap dilakukan pengujian efektivitas model layanan konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal dengan metoda quasi-experiment dan menggunakan pola pretest-post-test ( P.Paul Heppener, Bruce E. Wampold, and Dennis M.Kivlighan, 2008). Ancaman validitas internal diantisipasi dengan adanya kelompok kontrol. Hasil validasi efektivitas desain dan implementasi model, dijadikan bahan untuk konklusi dan rekomendasi model akhir yang telah teruji (tested model).


(53)

F. Teknik Analisis Data

Data yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari data tentang kompetensi intrapersonal yang terdiri dari sub variabel self knowledge, self direction, self esteem berikut aspek setiap sub variabelnya, dan data untuk memperoleh fakta empirik tentang efektivitas model. Data yang dimaksud dianalisis untuk menjawab pertanyaan

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN (R & D)

Studi Literatur Survey lapangan untuk

analisis kebutuhan

Deskripsi dan Analisis Temuan TAHAP STUDI PENDAHULUAN

Penyusunan Model hipotetik Konseling

sebaya

TAHAP STUDI PENGEMBANGAN

Uji Rasional Model hipotetik

(TTeennaaggaaaahhlliiddaannppeellaakkssaannaa l

laappaannggaan ) n

Revisi Model

Uji Efektivitas Model konseling sebaya untuk meningkatkan kompetensi intra personal (pada siswa

SMK)

Revisi Model (Penyempurnaan)

TAHAP EVALUASI (PENYEMPURNAAN)

Implementasi

Model Akhir (Tested model)

Penyusunan Materi pelatihan konselor sebaya dan

materi peningkatan kompetensi intrapersonal


(1)

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2008). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling. Bandung: ABKIN Almasi, J.F. (1994). The Nature Of Fourth Graders' Sociocognitive Conflicts In

Peer-Led And Teacher-Peer-Led Discussions Of Literature. Reading Research Quarterly, 29, 4, 304-306.

Anthony, R. (1992). Rahasia Membangun Kepercayaan Diri. (terjemahan Rita Wiryadi). Jakarta: Binarupa Aksara.

Asmangiyah. (2008). Implementasi Pelayanan Konseling Sekolah. [Online]. Tersedia: http://www.lpmpdki.web.id/id/ Riset-dan Penelitian/ html [3 Desember 2009]

Bamberger, P., and Sonnenstuhl, W.J. (1995). Peer referral networks and utilization of a union-based EAP. The Journal of Drug Issues, Vol 25 (2), halaman 291-312.

Barclay, J.H., and Harland, L.K. (1995). Peer Performance Appraisals: The Impact of Rate Competence, Rate Location, and Rating Correctability on Fairness Perceptions. Group & Organization Management, Vol 20 (1), halaman 39-60. Bisri, Cik Hasan. (2002). Ilmu Pendidikan Tinggi dan Penelitian; Wacana dan Kiat Pengembangan Ilmu Agama Islam. Bandung: Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati.

Borg and Gall. (1989). Educational Research. New York: The Word Bank. Branden, N. (1969). The psychology of self-esteem. New York: Bantam.

Branden, N. (2001). The Psychology of Self-esteem: a Rrevolutionary Approach to Self-understanding that Launched a New Era in Modern Psychology. San Francisco: Jossey-Bass.

Burley, S., Gutkin, T., and Naumann, W. (1994). Assessing the Efficacy of an Academic Hearing Peer Tutor for a Profoundly Deaf Student. American Annals of the Deaf, Vol 139 (4), halaman 415-419.

Burns, R.B. (1993). Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Jakarta: Arcan.


(2)

Carr, R.A. (1981). Theory and Practice of Peer Counseling. Ottawa: Canada Employment and Immigration Commission.

Carr, Rey (1994). Peer Counseling. Peer Counselor Journal (p.7).

Cavanagh, Michael E. (1982).The Counseling Experience. Monterey California: Brooks/Cole Publishing Company.

Cavanagh, Michael E. & Justin E. Levitov ( 2002). The Counseling Experience ( A Theoritical and Practical Approach). Long Grove, Illinois: Waveland Press, Inc.

Centi, P. J. (1995). Mengapa Rendah Diri . Yogyakarta: Kanisius

Charlebois, P. LeBlanc, M., Tremblay, R.E., Gagnon, C. and Larivée, S. (1995). Teacher, Mother, And Peer Support In The Elementary School As Protective Factors Against Juvenile Delinquency. International Journal of Behavioral Development, Vol 18 (1), halaman 1-22..

Chen, X.Y., Li, Z.Y., and Rubin, K.H. (1995). Social functioning and adjustment in Chinese children. Developmental Psychology, Vol 31 (4), halaman 531-539. Cohen, P. (Spring, 1995). The content of their character: Educators find new ways to

tackle values and morality. Peer Counselor Journal, Vol 12 (1) Tersedia: http://www.mentors.ca/PCJ12.1NRB.html [20 Oktober 2010]

Creswell, John.W (2003). Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (2nd ed). Thousand Oaks,CA: Sage Publications.

Depdiknas (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Jurusan PPB FIP UPI.

Dirjen P4TK, Depdiknas.(2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Dolan, B. (1994). A teen hot line. The B.C. Counsellor, Vol 16 (2), halaman 28-34. Drajat , Z. (1994). Remaja, Harapan dan Tantangan. Jakarta: CV. Ruhama.


(3)

Emerson, B.L., & Hinkle, J.S. (1988). A police peer counselor uses reality therapy. Journal of Reality Therapy, Vol 8 (1), halaman 2-5. (PsychLit).

Encyclopedia Britannica. What is Self-Direction?. [Online] Tersedia: http://www.tash.org/mdnew-directions/ selfdirection.htm [22 Juni 2010] Erhamwilda (2007). Survei terhadap Kecenderungan Siswa-Siswa SMA untuk

Berkonsultasi dalam Mengatasi Masalahnya. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan.

Frisz, R.H. (1999). Multicutural Peer Counseling: Counseling the Multicultural Student. Journal of Adolescence Vol 22, halaman 515-526 [Online] Tersedia: http://www.idealibrary.com [22 Juni 2010)

Furqon. (2004). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Gallozzi, Chuck (2009). Self-Reliance. (The best place to find a helping hand is at the end of your own arm). http://www.personal-development com/chuck/ selfreliance.htm.

Gall, Meredith D, Joyce P.Gall, Walter R. Borg. (2003). Educational Research: An Introduction. Seven Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Graetz, B., and Shute, R. (1995). Assessment of peer relationships in children with asthma. Journal of Pediatric Psychology, 20, 2, 205-216.

Hakim. T, (2002), Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, Jakarta: Purwa Suara.

Handoz. (2007). Teori tentang Self-concept. [Online] Tersedia: http://erikarianto. wordpress.com /2008/01/05/konsep-diri-self-concept (22 Juni 2010)

Hartnett, Sharon. (2007) Does Peer Group Identity Influence Absenteeism in High School Students?. High School Journal, Vol 91 (2), p35-44 Dec 2007-Jan 2008. University of North Carolina Press.

Heppner, P.P, and Johnston, J.A. (1994). Peer Consultation: Faculty and Students Working Together to Improve Teaching. Journal of Counseling and Development, Vol 72 (5), halaman 492-499.

Heppner, P.Paul, I Bruce E. Wampold & I Dennis M. Kivlighan. (2008). Research Design in Counseling. Thirth Edition. Beltmont: Thomson Brooks/Cole.


(4)

Imron Rosyidi. (April 15, 2008 ). Self-Confidence. [Online] Tersedia: Blog. tentaralangitcorp-blogspot.com [22 Juni 2010]

James Manktelow & Amy Carlson.(2009). Building Self-Confidence (Believe in Yourself, and Find Success) [Online] Tersedia: http:// www.mindtools.com/selfconf.html [22 Juni 2010]

Jersild, Athur.T. (1975). Child Psychology. Sevent Edition. Englewood Clifts Nj: Prentice-Hall Inc.

Kamps, D.M., Barbetta, P.M., Leonard, B.R., and Delquardi, J. (1994). Classwide Peer Tutoring: An Integration Strategy to Improve Reading Skills and Promote Peer Interactions among Students with Autism and General Education Peers. Journal of Applied Behavior Analysis, 27, 49-61.

Kan, P.V. (1996). Peer Counseling in Explanation. (Online). Tersedia: http://www.peercoun-seling. com. [22 Juni 2010]

Lauster, P. (1997). Test Kepribadian ( terjemahan Cecilia, G. Sumekto ). Yogyakarta: Kanisius.

Leman, Martin (2000). Membangun Rasa Percaya Diri Anak. Majalah 'Anakku' ed.4, 23/08/00 [Online] Tersedia: http://percayadiri.asmakmalaikat. com/membangun rasa-percaya-diri-anak.htm.

Logue, A.W. (1995). Self-Control. Englewood Cliffs Nj: Prentice-Hall Inc.

Magin, D.J., and Churches, A.E. (1995). Peer Tutoring in Engineering Design: A Case Study. Studies in Higher Education, Vol 20 (1), halaman 73-85.

McClelland, David C. (1986). The Achievement Motive. New York: Applenter Century Crofts.

Morgan, C.T. (1986). Introduction to Psychology. New York: McGraw-Hill Book Company.

Nelson, J.R., Smith, D.J., and Colvin, G. (1995). The effects of a peer-mediated self-evaluation procedure on the recess behavior of students with behavior problems. Remedial and Special Education, Vol 16 (2), halaman 117-126. Nurhayati. (1998). Program Layanan Bimbingan dan Konseling Kesehatan Seksual


(5)

Wikipedia. (tt). Self-control. Proverbs, Vol 25:28. Tersedia: [Online] http://en.wikipedia.org/wiki/-Self_control [30 Juni 2010]

Roesener, L. (1995). Changing the culture at Beacon Hill. Educational Leadership, Vol 52 (7), halaman 28-32.

Santoso, Singgih. (tt). Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Santrock, John W. (2007). Adolescence. Ed.11.New York. McGraw-Hill International Edition.

Tanpa Nama. Self-Reliance/]Introduction. [Online] Tersedia: http://www.enotes.com/ self-reliance [22 Juni 2010}

Silver, E., Coupey, s. Bauman, L., Doctors, S., &Boeck, M. (1992). Effects Of A Peer Counseling Training Intervention On Psychological Functioning Of Adolescents. Journal of Adolescent Development, Vol 7, halamana 110-128. Stanford Encyclopedia of Philosophy. (2008). Self-Konowledge. First Published Fri

Feb 7, 2003; substantive revision Tue Oct 28, 2008. Surya, Moh.. (2009). Psikologi Konseling. Bandung: Maestro.

Suwardjo. (2008). Model Konseling Sebaya Untuk Pengembangan Daya Lentur (Resiliences). (Studi Pengembangan Modeling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Anak Asuh Panti Sosial Asuhan Anak, Propinsi Istimewa Yogyakarta). Disertasi. Bandung: Pasca UPI (tidak diterbitkan).

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. (Pendekatan, Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Cet. Ke 6. Bandung: CV.ALFABETA.

Tindall, Judy A & H.Dean Gray (1985). Peer Counseling, In Depth Look At Training Peer Helpers.Muncie, Indiana: Accelerated Development Inc.

Varenthorst, Barbara B (1984). Peer Counseling: Past Promises, Curent Status, and Future Directions. Indept: Steven D. Brown &Robert W.Lent. Handbook Of Counseling Psychology. New York: John Wiley &Son.

Wibowo, Mungin Eddy. (2005). Jumlah Guru BK Tak Seimbang. Suara Merdeka. http://www.suara merdeka.com.


(6)

Wibowo, Mungin Eddy. (2001). Model Konseling Kelompok di SMU. Disertasi. Bandung: Pasca UPI. Tidak diterbitkan.

Widoyoko, Eko Putro. (2009). Strategi Membangun Rasa Percaya Diri. [Online] Tersedia: www.e-psikologi.com. [Kamis, 15 Januari 2009 ]

Wikipedia.(2009). Self-consept. [Online] Tersedia: "http://en.wikipedia.org/wiki/Self-concept" Catego-ries: Educational psychology | Self constructs | Conceptions of self [22 Januari 2009]

Wikipedia.(2009). Self-control. [Online] Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/ Self_control [22 Januari 2009]

Wikipedia. Self-confidence. (Juli 2009). [Online] The Free Encyclopedia. Confidence Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Self-confidence. [22 Agustus 2010] Yuliawati, Elis. (2006). Hubungan Persepsi Siswa terhadap Layanan Informasi

Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Perilaku Seksualnya. Skripsi. Bandung : Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), FIP UPI.

Yusuf, Syamsu L.N. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi Press. Cet.I

---. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya.

---. 2005. Mental Hygiene (Pengembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama). Bandung: Pustaka Bani Quraisy.