MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH(Penelitian pada salah satu SMPN di Kabupaten Nias).

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa berbagai perubahan hampir di setiap aspek kehidupan. Berbagai aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi mewarnai dan menjadi salah satu faktor penting penunjang aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berkontribusi serta memiliki kesempatan yang lebih baik dalam menghadapi persaingan yang semakin terus berkembang.

Untuk menjawab tantangan tersebut maka pendidikan menjadi pilar utama. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Matematika sebagai bagian dari kurikulum sekolah tentunya diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Menurut Sumarmo (2002:2) pendidikan matematika pada hakekatnya memiliki dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah kepada pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk kebutuhan di masa


(2)

2

yang akan datang mempunyai arti lebih luas yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan yang selalu berubah. Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses dan keterampilan berpikir siswa.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang dimiliki, percaya pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3) menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaidah matematik, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematik (Romberg, 1995: 90).

Dalam kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 termuat secara jelas sejumlah kompetensi matematika yang harus dicapai oleh siswa setelah belajar matematika. Adapun tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) adalah : (1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi, (2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,


(3)

membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba, (3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta dan diagram dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas, 2002).

Tujuan tersebut menunjukkan betapa pentingnya belajar matematika, karena dengan belajar matematika sejumlah kemampuan dan keterampilan tertentu berguna tidak hanya saat belajar matematika namun dapat diaplikasikan dalam memecahkan berbagai masalah sehari-hari. Menurut Wahyudin (2008:392) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut pemahaman dan apresiasi yang signifikan terhadap matematika. Kita akan mengalami kesukaran, jika memang bisa mustahil, untuk bisa berhasil dalam dunia nyata, tanpa memiliki pengetahuan, skills, dan aplikasi matematika yang perlu.

Salah satu aspek kemampuan yang dikembangkan siswa ketika belajar matematika adalah kemampuan bernalar. Depdiknas (2002:6) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematik dua hal yang sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Dengan belajar matematika keterampilan berpikir siswa akan meningkat karena pola berpikir yang dikembangkan matematika membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematik, logis dan kreatif sehingga siswa akan mampu dengan cepat menarik kesimpulan dari berbagai fakta atau data yang mereka dapatkan atau ketahui.


(4)

4

Baroody (Dahlan, 2004:240) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa keuntungan apabila siswa diperkenalkan dengan penalaran, karena dapat secara langsung meningkatkan hasil belajar siswa. Keuntungan tersebut adalah jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri, maka siswa akan lebih mudah memahami konsep. Misalnya siswa diberikan permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, melihat pola, mereformulasikan dugaan tentang pola yang sudah diketahui dan mengevaluasinya, sehingga hasil yang diperoleh lebih informatif. Hal ini akan lebih membantu siswa dalam memahami proses yag telah disiapkan dengan cara doing mathematics dan eksplorasi matematika.

Karakteristik mata pelajaran matematika adalah obyek pembicaraannya abstrak, pembahasannya mengandalkan tata nalar, pengertian/konsep atau pernyataan/sifat sangat jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensinya, melibatkan perhitungan atau pengerjaan (operasi) serta dapat dialihgunakan dalam berbagai aspek keilmuan maupun kehidupan sehari-hari, sehingga belajar matematika membutuhkan pemahaman terhadap konsep dasar matematik secara benar walaupun sulit untuk mencapainya. Apabila siswa tidak dapat melakukannya maka akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari matematika. Uraian di atas menggambarkan pentingnya usaha mengembangkan dan meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa, sebab dengan berbekal kemampuan penalaran matematik membantu siswa senantiasa berpikir secara sistematis, mampu menyelesaikan masalah matematika dalam kehidupan


(5)

sehari-hari dan mampu menerapkan matematika pada displin ilmu lain serta mampu meminimalisir gejala-gejala pada siswa yang dapat membuat kemampuan matematikanya rendah.

Menyadari keadaan tersebut maka menggali dan mengembangkan kemampuan penalaran matematik siswa perlu mendapat perhatian guru dalam pembelajaran matematika. Siswa mestinya mendapat kesempatan yang banyak untuk menggunakan kemampuan bernalarnya, berlatih, merumuskan, berkecipung dalam memecahkan masalah yang kompleks yang menuntut usaha-usaha yang sangat besar dan kemudian didorong untuk merefleksi pada pemikiran mereka.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa pembelajaran yang dikembangkan guru selama ini kurang mendukung berkembangnya kemampuan bernalar siswa, pembelajaran bersifat satu arah, anak tidak terlibat secara aktif dalam menggali konsep-konsep atau ide-ide matematik secara mendalam dan bermakna, sehingga siswa menerima pengetahuan dalam bentuk yang sudah jadi dan lebih bersifat hafalan. Lemahnya proses pembelajaran yang dikembangkan oleh guru menjadi salah satu faktor utama kurang berkembangnya kemampuan berpikir siswa khususnya pengembangan kemampuan matematika tingkat tinggi dan minat siswa belajar matematika. Suherman dan Winataputra (1994:421) mengemukakan tidak jarang murid yang asalnya menyenangi pelajaran matematika beberapa bulan kemudian menjadi acuh terhadap matematika salah satu penyebabnya adalah cara mengajar guru yang kurang cocok penyajiannya dan praktek pembelajaran guru sehari-hari yang kurang menguntungkan siswa. Pembelajaran berlangsung


(6)

6

membosankan, kaku, sangat abstrak, tidak dikaitkan dengan kehidupan realita siswa.

Laporan hasil studi Henningsen Stein, (1997); Peterson, (1998); Mullis, dkk, (2000) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya belum memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Suryadi, 2005:65). Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (2001:1) bahwa pembelajaran matematika di sekolah kita selama ini terbiasa dengan urutan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut, (1) diajarkan teori/ definisi/ teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal.

Hal senada dikemukakan oleh Sobel dan Maletsky (2003) bahwa kegiatan pembelajaran yang biasanya dilakukan oleh guru adalah mengawali pembelajaran dengan membahas soal-soal yang lalu, memberikan penjelasan konsep yang baru secara langsung, memberikan contoh beserta prosedur penyelesaiannya, memberikan soal-soal rutin untuk latihan dan diakhiri dengan memberikan pekerjaan rumah. Pendekatan pembelajaran seperti ini sering dilakukan oleh banyak guru dalam keseharian sehingga memungkinkan kemampuan berpikir anak tidak tergali dan tidak berkembang secara maksimal disamping menimbulkan kebosanan dan merusak minat siswa. Akhirnya, anak tidak terlatih dalam memecahkan masalah-masalah yang menantang yang penyelesaiannya membutuhkan dan melibatkan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis, sistematik, logis dan kreatif.

Berdasarkan hasil penelitian Wahyudin (1999) menunjukkan bahwa kemampuan matematik siswa masih sangat rendah. Menurut Wahyudin (1999)


(7)

salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya kemampuan siswa dalam matematika kurang memilki kemampuan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika. Hal ini didukung oleh studi lain yang dilakukan oleh Priatna (2003) dan Somatayana (2005) khususnya tentang kemampuan penalaran siswa menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematik siswa masih tergolong rendah.

Pada level internasional, hasil studi sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam bidang penilaian dan pengukuran pendidikan yaitu TIMSS 1999 dan 2003 (Trend In International Mathematics And Science Study) menunjukkan data masih rendahnya kemampuan matematik siswa khususnya kelas VIII jika dilihat dari persentase jawaban benar secara umum. Berdasarkan hasil survei ini, Indonesia menempati urutan ke 34 dari 46 negara, jauh di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Korea, China Taipei, Hongkong, dan Jepang (Mullis, et al. 2004).

Berdasarkan data tersebut secara khusus menunjukkan peserta Indonesia memperoleh skor yang rendah dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (pemecahan masalah atau masalah matematik yang membutuhkan penalaran) yaitu hanya sekitar 25%. Namun mereka relatif lebih baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur (Mullis, et al. 2000).

Lemahnya penalaran matematik siswa ini tidak lepas dari kurangnya kesempatan dan tidak dibiasakannya siswa melakukan kegiatan bernalar dalam proses belajarnya. Menurut Sabandar (2007) soal-soal atau permasalahan matematika yang sifatnya menantang itu akan memberikan kesempatan kepada


(8)

8

siswa untuk memberdayakan segala kemampuan yang dimilikinya atau menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Lebih jauh Sabandar (2007) mengatakan bahwa untuk tujuan tersebut, cara pembelajaran matematika secara konvensional yang umumnya menitikberatkan pada soal-soal yang sifatnya drill atau algoritmis serta rutin, tidak banyak kontribusinya dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut, antara lain karena tidak dilatihkan.

Upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan berpikir matematik siswa khususnya kemampuan penalaran perlu mendapat perhatian dan usaha yang serius dari guru sebagai objek sentral dalam proses pembelajaran. Guru sebagai salah satu faktor penting penentu keberhasilan pembelajaran berperan dalam merencanakan, mengelola, mengarahkan dan mengembangkan materi pembelajaran termasuk di dalamnya pemilihan model, pendekatan atau metode yang digunakan sangat menentukan jenis interaksi pembelajaran yang dilakoni siswa sekaligus keberhasilan pengajaran matematika. Hal ini senada dengan pendapat Wahyudin (2003:6) bahwa salah satu cara untuk mencapai hasil belajar yang optimal dalam mata pelajaran matematika adalah jika para guru menguasai materi yang akan diajarkan dengan baik dan mampu memilih strategi atau metode pembelajaran dengan tepat dalam setiap proses pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran yang bersifat transfer of knowledge, yang beranggapan siswa merupakan sebagai objek belajar serta teacher centered yang memfokuskan pembelajaran semata-mata guru sebagai aktor utama pembelajaran jika dilihat dari situasi didaktis yang muncul cenderung parsial dan sangat lemah. Interaksi siswa dengan materi dimana seharusnya siswa terlibat aktif secara


(9)

mental dalam merekonstruksi kembali ide-ide matematik hampir tidak terjadi. Akibatnya siswa menerima konsep yang sudah jadi tanpa disertai pengertian dan pemahaman yang mendalam.

Untuk menciptakan situasi didaktis yang memungkinkan siswa melakukan aksi-aksi mental tertentu sangat ditentukan oleh setting pembelajaran yang dirancang oleh guru. Menurut Brousseau (Warfield, 2006:220) ada tiga komponen utama situasi didaktis yang harus muncul dalam pembelajaran, yaitu aksi, formulasi dan validasi. Aksi dapat diartikan sebagai situasi didaktis yang memberikan aturan-aturan atau petunjuk-petunjuk yang mampu memunculkan respon (feedback) siswa terhadap suatu situasi/masalah tertentu. Formulasi dapat diartikan sebagai situasi didaktis dimana siswa merumuskan dan merepresentasikan sejumlah informasi-informasi yang didapat dari situasi/ masalah sebelumnya secara eksplisit. Validasi dapat diartikan sebagai situasi didaktis dimana siswa membuat argumen-argumen dan mengujinya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka guru berperan dalam mendorong terjadinya proses belajar secara optimal sehingga siswa belajar secara aktif. Sumarmo (1997) mengatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan dan memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.

Paradigma baru dalam pembelajaran membuka kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan berbagai pendekatan yang berorientasi


(10)

10

kepada pengembangan kemampuan dan keterampilan berpikir siswa. Pembelajaran hendaknya menekankan keterlibatan siswa secara aktif dalam memahami konsep-konsep atau prinsip matematika sehingga memungkinkan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningfull), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi (learning to live togather).

Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Hal ini diperkuat oleh Gagne (Suherman, et al., 2001:83) mengemukakan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pendekatan pemecahan masalah.

Moffit (Permana, 2004:4) mengatakan bahwa belajar berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara optimal, memungkinkan siswa melakukan investigasi, pemecahan masalah yang mengintergrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai konten area. Pendekatan ini meliputi menyimpulkan informasi sekitar masalah, melakukan sintesis dan merepresentasikan apa yang didapat kepada orang lain.

Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dihadapkan dengan berbagai masalah yang menantang yang dapat menghadirkan kegiatan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika secara kooperatif dalam kelompok kecil, melibatkan siswa melakukan proses doing math secara aktif, mengemukakan


(11)

kembali ide matematika dalam membentuk pemahaman baru. Dengan demikian diharapkan dapat membuka kesempatan bagi upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa.

Dilihat dari aspek didaktis dan pedagogis, penggunaan pendekatan pembelajaran berbasis masalah mampu menyediakan proses pembelajaran yang ideal bagi siswa. Dari aspek pedagogis, masalah yang dihadapkan kepada siswa di awal pembelajaran dikonstruksi dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan kognitif anak dan kontekstual sehingga diharapkan adanya keinginan dan minat siswa memecahkan masalah tesebut. Dilihat dari aspek didaktis, proses pembelajaran yang diawali dengan menyajikan masalah untuk menjelaskan suatu konsep, diharapkan memunculkan respon/aksi siswa sehingga terjadinya interaksi aktif siswa terhadap materi yang mengarah kepada penyelesaian masalah selama pembelajaran berlangsung.

Kemungkinan beragamnya respon/ aksi yang diberikan siswa atas masalah yang dihadapkan kepadanya serta tidak sesuai dengan prediksi oleh guru, merupakan hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai masalah. Menurut Suryadi (2008) walaupun masih terdapat respon siswa yang kurang sesuai dengan prediksi guru, akan tetapi teknik scaffolding yang digunakan guru mampu mengubah situasi didaktis yang ada sehingga proses berpikir siswa menjadi lebih terarah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, sebagai upaya untuk membantu siswa ketika menghadapi kesulitan dalam memecahkan masalah akan menggunakan teknik scaffolding.


(12)

12

Sikap terhadap matematika juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar matematika. Sikap merujuk kepada status mental seseorang yang dapat bersifat positif dan negatif. Menurut Ruseffendi (2006: 234) siswa yang mengikuti pelajaran dengan sungguh-sunguh menyelesaikan tugas dengan baik, berpartispasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan merespon dengan baik tantangan dari bidang studi menunjukkan bahwa siswa itu berjiwa atau bersikap positif. Lebih jauh Ruseffendi (2006:234) menyatakan bahwa sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya.

Hal senada dikemukakan Sabandar (2008) bahwa kalau seseorang tidak memandang matematika sebagai subyek yang penting untuk dipelajari serta manfaatnya untuk berbagai hal, sulit baginya untuk mempelajari matematika karena mempelajarinya sendiri tidak mudah. Oleh karena itu, menyadari pentingnya sikap positif siswa terhadap matematika maka guru memiliki peranan penting untuk dapat menumbuhkan sikap tersebut dalam diri siswa, salah satunya adalah melalui pembelajaran yang dikembangkan dalam kelas. Pemilihan strategi atau pendekatan yang tepat akan dapat menumbuhkembangkan sikap positif siswa terhadap matematika. Sejalan dengan hal tersebut, maka aspek sikap dalam penelitian ini menjadi perhatian peneliti sehubungan dengan penggunaan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

Berdasarkan fenomena di atas maka penulis berkeinginan mengajukan sebuah penelitian yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Penalaran


(13)

Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah”.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)?

2. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah?

3. Bagaimanakah ketuntasan belajar siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah?

4. Bagaimana sikap (respon) siswa terhadap matematika sehubungan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah?

C. Tujuan Penelitian

1. Menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).

2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa kelompok tingi, sedang, dan rendah yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.

3. Menelaah tingkat ketuntasan belajar siswa melalui pembelajaran berbasis masalah.


(14)

14

4. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap matematika sehubungan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti dalam pemilihan kegiatan pembelajaran matematika di kelas, khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa, antara lain:

1. Menjadi acuan bagi guru matematika tentang penerapan model pembelajaran berbasis masalah sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa.

2. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah dalam proses belajar mengajar.

E. Definisi Operasional

1. Kemampuan penalaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kemampuan penalaran matematik yang dikemukakan oleh Sumarmo (2003:15) antara lain menarik kesimpulan logis, memberikan

penjelasan dengan memberikan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, memperkirakan jawaban dan proses solusi menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, memeriksa validitas argumen dan menyusun argumen yang valid.

2. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah matematika. Dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya serta bimbingan dari guru, siswa diarahkan untuk


(15)

menemukan ide-ide, konsep, aturan atau prosedur matematik melalui aktivitas pemecahan masalah.

3. Ketuntasan belajar dilihat dari dua hal yaitu ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal. Ketuntasan belajar individu dicapai seorang siswa bila telah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah sebesar 52,5 pada skala 0-100. Ketuntasan belajar klasikal dalam penelitian ini apabila 85 persen siswa telah mencapai ketuntasan minimal. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekolah merupakan nilai terendah yang diperoleh siswa untuk dikategorikan tuntas.

4. Pembelajaran biasa (konvensional) adalah pembelajaran yang diberikan secara menyeluruh dan merata kepada semua siswa dalam kelas dengan tahapan pembelajaran yang dilakukan meliputi pengenalan konsep, latihan dan tes.


(16)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-postest control group design. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran biasa. Adapun desain penelitiannya adalah sebagai berikut:

A : O X O A : O O Keterangan:

A : Pemilihan sampel secara acak.

O : Tes kemampuan penalaran matematik.

X : Pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran berbasis masalah.

Dalam penelitian ini, kelompok eksperimen selanjutnya disebut sebagai kelas eksperimen dan kelompok kontrol disebut sebagai kelas kontrol. Tindakan pembelajaran yang dirancang baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol langsung dilaksanakan oleh peneliti di kelas. Hal ini dilakukan agar tindakan pembelajaran yang telah rencanakan oleh peneliti dapat dilaksanakan dengan maksimal.


(17)

1. Menentukan tempat penelitian.

2. Merancang, mengkonsultasikan, mengujicobakan, menganalisis, merevisi dan menetapkan instrumen penelitian.

3. Merancang, mengkonsultasikan, merevisi dan menetapkan skenario pembelajaran dan materi eksperimen.

4. Melakukan tes awal. 5. Melakukan eksperimen.

6. Melakukan tes akhir untuk mengetahui kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa dengan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

7. Memberikan tes skala sikap. 8. Melakukan analisis data.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri I Gunungsitoli Utara Kabupaten Nias Tahun Pelajaran 2008/2009 sebanyak enam kelas. Dari enam kelas tersebut, sampel penelitian diambil dua kelas secara acak, yaitu dilakukan pengundian terhadap seluruh kelas VIII, sehingga seluruh populasi mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih. Kemudian kedua kelas yang telah terpilih diundi lagi untuk menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Adapun alasan pemilihan subyek penelitian adalah sebagai berikut:

a. Kabupaten Nias merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan kondisi geografis terpisah dari daratan Sumatera. Keadaan ini membawa tantangan tersendiri dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan


(18)

48

di daerah ini, yang masih membutuhkan perhatian besar terutama dalam usaha membawa serta mengimplementasikan berbagai inovasi baru dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

b. Dipilihnya SMPN I Gunungsitoli Utara sebagai lokasi penelitian karena sekolah ini merupakan salah satu sekolah berkategori menengah (berkualifikasi B) di Kabupaten Nias. Hal ini tentunya memberikan manfaat besar karena sebagian besar sekolah yang ada di Kabupaten Nias termasuk dalam kategori menengah sehingga dengan demikian hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan dalam lingkup yang lebih luas.

c. Siswa kelas VIII semester dua diperkirakan telah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat mengikuti proses pembelajaran yang akan diberikan.

d. Siswa kelas VIII sudah banyak mendapat materi prasyarat sehingga dapat dijadikan dasar untuk melaksanakan tindakan pembelajaran sesuai dengan yang dikehendaki dalam penelitian ini.

C. Variabel Peneltian

Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran matematik siswa.


(19)

D. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dikembangkan instrumen penelitian yang terdiri dalam dua jenis yaitu tes dan non-tes. Instrumen jenis tes merupakan tes kemampuan penalaran matematik yang terkait langsung dengan bahan ajar. Sedangkan instrumen non-tes terdiri dari skala sikap siswa yang berkaitan dengan sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan soal-soal penalaran matematik, pedoman observasi, dan daftar isian guru.

1. Tes Kemampuan Penalaran Matematik

Tes kemampuan penalaran matematik yang digunakan adalah tes berbentuk uraian yang terdiri dari lima soal. Tes ini diberikan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pemilihan bentuk tes ini dilakukan untuk lebih mengungkap secara lebih mendalam kemampuan penalaran matematik siswa pada kedua kelompok. Untuk kepentingan penelitian ini, penyusunan tes kemampuan penalaran matematik ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat kisi-kisi soal yang berisi sub pokok bahasan, indikator, soal, nomor soal, dan kemampuan penalaran matematik yang diukur.

b. Menyusun soal berdasarkan kisi-kisi beserta membuat kunci jawabannya. c. Menilai validasi isi soal yang berkaitan dengan kesesuaian antara indikator

dengan soal, validasi konstruk, dan kebenaran kunci jawaban oleh dosen pembimbing dan rekan mahasiswa S-2.


(20)

50

d. Mempertimbangkan keterbacaan soal yang dilakukan oleh rekan S-2, untuk mengetahui apakah soal-soal tersebut dapat dipahami dengan baik atau tidak. e. Mengujicobakan tes dan dilanjutkan dengan menghitung validasi tes, validasi

item, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda.

Kriteria penskoran tes pemahaman dan tes penalaran menggunakan panduan penskoran Holistic Scoring Rubrics Sudrajat (2001) sebagai berikut :

Tabel 3.1

Pedoman Penyekoran Tes Kemampuan Penalaran Matematik

Level 4 Level 3 Level 2 Level 1 Level 0

Jawaban benar disertai alasan benar Jawaban benar alasan tidak lengkap

Jawaban hampir benar: - kesimpulan tidak ada - rumus benar tapi

kesimpulan salah

- jawaban benar tapi alasan salah

Jawaban salah tapi ada alasan Jawaban salah tanpa alasan, Tidak ada jawaban

a. Analisis Validitas Tes

Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur atau dengan kata lain tes mengukur dengan hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri. Untuk menguji validitas setiap butir soal maka skor-skor yang ada pada butir soal yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total. Validitas tes dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson (Arikunto. 2007:72):

rxy = ∑ − ∑ ∑

∑ 2− ∑ 2 2 − ∑ 2

Keterangan :


(21)

n = banyaknya subyek. ∑ = jumlah nilai tiap soal. ∑ = jumlah nilai total.

Klasifikasi untuk menginterpretasikan besarnya koefisien korelasi (Arikunto, 2007:75) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Klasifikasi Validitas Tes

Setelah dilakukan penghitungan maka diperoleh koefisien validasi untuk setiap butir soal tes kemampuan penalaran matematik tampak seperti pada Tabel 3.3 berikut (selengkapnya lihat lampiran C):

Tabel 3.2

Rekapitulasi Analisis Validasi Tes Kemampuan Penalaran Matematik

No. Soal rxy Interpretasi

1 0,96 Sangat Tinggi

2 0,91 Sangat Tinggi

3 0,87 Sangat Tinggi

4 0,93 Sangat Tinggi

5 0,87 Sangat Tinggi

Untuk pengujian signifikansi koefisien korelasi digunakan uji t (Sudjana, 1992:369) dengan rumus :

t = r 1−−22

Keterangan:

Nilai rxy Interpretasi

0,80< rxy≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi

0,60 < rxy≤ 0,80 Validitas Tinggi

0,40 < rxy≤ 0,60 Validitas Cukup

0,20 < rxy≤ 0,40 Validitas Rendah


(22)

52

t = daya beda.

r = koefisien korelasi. n = banyaknya subyek.

Kriteria signifikan diperoleh dengan membandingkan nilai thitung dengan

nilai ttabel, untuk keadaan thitung > ttabel maka validasi sangat signifikan. Hasil

perhitungan untuk butir soal tes kemampuan penalaran matematik terlihat pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Rekapitulasi Validasi Tes Kemampuan Penalaran Matematik

No. Soal rxy thitung ttabel Interpretasi

1 0,96 18,7791 1,70 Signifikan 2 0,91 12,0217 1,70 Signifikan 3 0,87 9,6647 1,70 Signifikan 4 0,93 13,8585 1,70 Signifikan 5 0,87 9,6647 1,70 Signifikan

b. Analisis Reliabilitas Tes

Reliabilitas suatu instrumen adalah keajegan/kekonsistenan instrumen tersebut bila diberikan kepada subyek yang sama meskipun oleh orang lain yang berbeda, waktu yang berbeda, maka akan memberikan hasil yang sama atau relatif sama. Untuk menentukan koefisien reliabilitas tes yang berbentuk uraian digunakan rumus Alpha - Cronbach (Suherman, 2003: 153-154) sebagai berikut :

r11 = −1 1 − 2 2

Keterangan :

r11 = koefisien reliabilitas tes keseluruhan.

n = banyaknya butir soal.

si2 = jumlah varians skor setiap butir soal. st2 = varians skor total.


(23)

Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas tes ini menggunakan kriteria menurut Guilford (Suherman, 2003:139) sebagai berikut:

Tabel 3.4

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Nilai r Interpretasi

0,90 ≤ r11≤ 1,00 Reliabilitas sangat tinggi

0,70 ≤ r11 < 9,00 Reliabilitas tinggi

0,40 ≤ r11 < 0,70 Reliabilitas sedang

0,20 ≤ r11 < 0,40 Reliabilitas rendah

r11 < 0,20 Reliabilitas sangat rendah

Setelah dilakukan perhitungan maka diperoleh koefisien reliabilitas berkategori tinggi yaitu sebesar 0,70.

c. Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2007:211). Untuk menghitung daya pembeda atau indeks diskriminasi adalah dengan membagi dua subyek masing-masing 50%. Dalam menentukan daya pembeda tiap butir soal digunakan rumus :

Dp = 1 SA−SB 2 x N X Skor Maks

Keterangan :

Dp = Indeks daya pembeda suatu butir soal.

SA = Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok atas. SB = Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok bawah. N = Jumlah siswa pada kelompok atas dan kelompok bawah.

Tolak ukur untuk menginterpretasikan daya pembeda tiap butir soal digunakan kriteria menurut Suherman (2003:161) sebagai berikut:


(24)

54

Tabel 3.5

Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda

Nilai Dp Interpretasi

Dp≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < Dp≤ 0,20 Jelek

0,20 < Dp≤ 0,40 Cukup

0,40 < Dp≤ 0,70 Baik

0,70 < Dp≤ 1,00 Sangat Baik

Setelah dilakukan perhitungan maka diperoleh indeks daya pembeda untuk setiap butir soal tes kemampuan penalaran matematik seperti tampak pada Tabel 3.6 berikut (selengkapnya lihat pada lampiran):

Tabel 3.6

Rekapitulasi Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Penalaran

No. Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 0,56 Baik

2 0,33 Cukup

3 0,35 Cukup

4 0,38 Cukup

5 0,29 Cukup

d. Analisis Tingkat Kesukaran

Untuk menganalisis tingkat kesukaran dari setiap item soal dihitung berdasarkan proporsi skor yang dicapai siswa kelompok atas dan bawah terhadap skor idealnya, kemudian dinyatakan dengan kriteria mudah, sedang dan sukar. Untuk menghitung tingkat kesukaran tiap butir soal berbentuk uraian digunakan rumus:

Tk = + ',- ./,'(+'* Keterangan:

TK = Tingkat kesukaran.


(25)

SB = Jumlah skor siswa kelompok bawah. N = Jumlah siswa.

Klasifikasi untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran butir soal digunakan kriteria menurut Suherman (2003:170) sebagai berikut:

Tabel 3.7

Klasifikasi Tingkat Kesukaran

Nilai TK Interpretasi

TK = 0,00 Soal terlalu sukar 0,00< TK ≤ 0,30 Soal Sukar 0,30< TK ≤ 0,70 Soal Sedang 0,70< TK ≤ 1,00 Soal Mudah

TK = 1,00 Soal Terlalu Mudah

Berdasarkan hasil penghitungan diperoleh bahwa tingkat kesukaran tes kemampuan penalaran matematik berada pada kisaran 0,17-0,73 dengan makna mudah, sedang dan sukar seperti tampak pada Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Rekapitulasi Analisis Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Penalaran

No. Soal Indeks Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,59 Baik

2 0,17 Cukup

3 0.51 Cukup

4 0.52 Cukup

5 0,73 Cukup

2. Skala Sikap

Skala sikap siswa digunakan untuk mengungkap pandangan atau sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah, dan soal-soal penalaran matematik. Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap Likert yang terdiri atas


(26)

56

pernyataan dengan empat pilihan, yaitu: Sangat Setuju (ST), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Agar perangkat skala sikap ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan dosen pembimbing untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Skala sikap yang digunakan sebanyak 20 pernyataan yang terdiri dari 11 pernyataan positif dan 9 pernyataan negatif, hal ini dilakukan agar jawaban siswa menyebar tidak menuju ke satu arah. Skala sikap ini diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah postes dilaksanakan.

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui kualitas sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran menggunakan pendekatan berbasis masalah dan soal-soal penalaran matematik. Untuk keperluan tersebut maka dilihat skor siswa untuk setiap item, indikator dan klasifikasi skala sikap. Selanjutnya skor tersebut dibandingkan dengan sikap netralnya terhadap setiap item, indikator, dan klasifikasinya. Pemberian skor skala sikap ditentukan berdasarkan distribusi jawaban siswa, sehingga skor setiap butir pernyataan berlainan.

3. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan semua data tentang aktivitas siswa dalam pembelajaran, interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Observer yang melakukan pengamatan adalah guru matematika. Aspek yang diobservasi terdiri delapan aspek yang mengungkap aktivitas siswa selama pembelajaran berbasis masalah berlangsung. Data hasil observasi dinyatakan


(27)

dengan skor 5,4,3, 2, dan 1 untuk aspek yang diobservasi, skor tertinggi menunjukkan aktivitas yang sering terjadi dan skor terendah menunjukkan aktivitas yang tidak pernah terjadi.

4. Daftar Isian Guru

Daftar isian guru digunakan untuk mengungkap respon guru kelas terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah, disamping itu juga dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pembelajaran yang sedang dilaksanakan berdasarkan sudut pandangnya.

E. Pengembangan Bahan Ajar

Untuk menunjang pembelajaran melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah, maka pada penelitian ini bahan ajar dikembangkan dalam bentuk rencana pembelajaran yang disusun oleh peneliti dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pembimbing. Setiap rencana pembelajaran yang dibuat dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS) yang menyajikan permasalahan matematik yang harus dicari penyelesaiannya dan disusun dengan mempertimbangkan konsep-konsep dari materi yang akan disampaikan, partisipasi dan motivasi yang bersesuaian dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

Bahan ajar yang dikembangkan pada penelitian ini setidaknya ditujukan agar dalam pembelajaran tersebut dapat membantu siswa dalam: (1) mengembangkan kemampuan penalaran matematik seperti menarik kesimpulan


(28)

58

logis, memberikan penjelasan dengan memberikan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan, memperkirakan jawaban dan proses solusi dan menguji validasi argumen serta menarik kesimpulan yang valid, (2) memecahkan masalah non rutin yang memperlihatkan keluasan matematika, (3) mengembangkan kepercayaan diri, (4) melakukan komunikasi lisan maupun tulisan antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.

Di bawah ini adalah salah satu contoh masalah matematik yang disajikan dalam bahan ajar:

Permasalahan 1

Perhatikan sumur air di bawah ini. Untuk mengangkat air dari sumur ini digunakan roda dan tali. Misalkan jari-jari roda 9 cm.

a. Dapatkah kamu menunjukkan bahwa tali AB tegak lurus terhadap jari-jari roda OA? Berikan penjelasan.

b. Dari fakta yang kamu peroleh, dapatkah kamu menentukan panjang tali AB jika diketahui jarak pusat roda dengan ujung tali, yaitu OB = 15 cm? Berikan penjelasan.

C

O A

B


(29)

Permasalahan di atas menghadapkan siswa dalam sebuah proses berpikir

menentukan sifat-sifat garis yang memotong lingkaran pada satu titik (garis menyinggung lingkaran) serta menggunakan sifat-sifat tertentu dalam

menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam menyelesaikan permasalahan, siswa diberikan kesempatan untuk mengamati, menganalisis dan mengorganisasikan berbagai fakta, membuat konjektur dan mengambil kesimpulan logis berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki atau pengalaman belajar sebelumnya. Pengalaman belajar atau pengetahuan awal yang dimaksud berkaitan dengan materi pembahasan teorema Phytagoras, dan sifat-sifat garis pada lingkaran.

Pemanfaatan masalah kontekstual atau masalah nyata yang disimulasikan dalam pendekatan pembelajaran berbasis masalah, diharapkan pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan memacu siswa untuk melakukan doing mathematic. Menurut pendekatan kontekstual, melalui konteks yang disajikan siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep, ide atau prosedur matematik melalui proses matematisasi meliputi generalisasi dan formalisasi. Meskipun demikian, menurut Darhim (2004:25) guru harus mengetahui bahwa bisa saja terjadinya proses generalisasi dan formalisasi bukanlah hal yang esensial dalam pikiran siswa padahal kedua proses itu penting. Oleh karena itu menjadi tugas guru untuk membimbing, mengarahkan dan memotivasi siswa agar kedua proses tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya.


(30)

60

Menurut Gravemeijer (Darhim, 2004:30) penemuan model, konsep dan prosedur menyelesaikan masalah kontekstual tersebut dimulai dengan proses matematisasi secara progresif, dalam hal ini siswa memformulasikan masalah kontekstual ke dalam bentuk matematika informal maupun formal. Langkah ini ditempuh dengan dukungan konsep dan prosedur matematika yang telah diketahuinya. Bila dukungan tersebut kurang berarti, maka pengarahan guru memiliki peran yang penting. Melalui penskemaan, perumusan, dan penvisualan masalah, siswa diharapkan mencoba menemukan kesamaan dan hubungan yang terdapat pada masalah kontekstual itu serta mengubahnya menjadi model matematika.

Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas belajar yang potensial melalui penyelesaian masalah non rutin yang menuntut siswa mencari solusi yang tidak segera ditemukan. Melalui serangkaian proses penyelidikan, observasi dan penalaran dalam pemecahkan masalah, siswa akan tertantang membangun pemahaman dan pengetahuan matematiknya. Siswa melakukan aktivitas layaknya seorang matematikawan dalam menemukan konsep-konsep, aturan, dalil, atau prinsip matematika sehingga pemahaman dan pengetahuan yang diperoleh menjadi lebih bermakna serta mudah ditransfer dalam menghadapi situasi lain.

Dalam akivitas seperti ini terdapat keuntungan lain yang diperoleh siswa. Menurut Dahlan ( 2004:198) siswa akan mengetahui prasyarat-prasyarat apa yang diperlukan untuk memenuhi penggunaan dalil yang ditemukannya dan pada akhirnya mampu menerapkan dalil tersebut pada masalah matematika atau lebih


(31)

jauhnya masalah yang berkaitan dengan bidang studi lainnya. Selain itu, apa yang dilakukan tersebut tidak terbatas hanya pemahaman terhadap konsep yang dipelajari, akan tetapi secara tidak langsung mereka belajar penalaran deduktif dan induktif. Dengan demikian ada dua langkah yang telah dilakukan oleh siswa, yakni pemahaman matematik akan konsep dan prosedural serta konsep penalaran.

Kemungkinan beragamnya respon/aksi yang diberikan siswa atas masalah yang dihadapkan kepadanya serta tidak sesuai dengan prediksi guru, bahkan pada saat siswa samasekali tidak memberikan respon merupakan hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai masalah. Menurut Suryadi (2008) walaupun masih terdapat respon siswa yang kurang sesuai dengan prediksi guru, akan tetapi teknik scaffolding yang digunakan guru mampu mengubah situasi didaktis yang ada sehingga proses berpikir siswa menjadi lebih terarah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini untuk membantu siswa ketika menghadapi kesulitan dalam memecahakan masalah akan menggunakan teknik scaffolding. Pada permasalahan di atas, beberapa petunjuk atau pertanyaan yang dapat disampaikan guru untuk membantu siswa adalah sebagai berikut:

1. Jika kamu perhatikan, bentuk roda dalam permasalahan di atas berbentuk apa? oleh sebab itu sifat-sifat yang berlaku pada lingkaran dapat kita gunakan untuk menganalisis dan memecahkan masalah tersebut.

a. Gambarlah sebuah lingkaran berpusat di O dengan diameter AB, dan buatlah sebuah garis (misalkan garis k) yang melalui O dan tegak lurus AB. b. Misalkan garis k digeser sedikit demi sedikit (garis selalu tegak lurus

terhadap diameter), apakah mungkin garis k memotong lingkaran pada satu titik? Dapatkah kamu menentukan besar sudut yang terjadi ketika garis memotong lingkaran pada satu titik?


(32)

62

d. Berdasarkan kesimpulan dari hasil penyelidikannya, maka tahap selanjutnya adalah mengarahkan siswa kepada penggunaan teorema Phytagoras untuk menyelesaikan permasalahan berikutnya.

2. Cara lainnya untuk mengarahkan siswa melakukan penyelidikan sifat tali pada saat menyinggung roda, guru bisa mendemonstrasikan dan mengaitkan sifat-sifat penjumlahan sudut pada segitiga, seperti berikut:

a. Perhatikan ∆OAB dan ∆OAB’ adalah samakaki, mengapa?

Jumlah sudut pada ∆OAB’:

∠AOB’ + ∠OAB’ + ∠OB’A = 180o,

2 ∠OAB’ = 2 ∠OB’A = 180 - ∠AOB’, (mengapa?) ∠OAB’ = ∠OB’A = 34 (180 - ∠AOB’)

b. Sekarang andaikan kita memutar garis k ke arah busur yang lebih kecil dan lebih kecil lagi maka besar ∠AOB’ semakin kecil. Apabila garis k terus diputar sehingga titik k akan menyinggung lingkaran dititik A dan titik B’ berimpit dengan titik A, berapakan sudut ∠OAB’ = ∠OB’A = 34 (180 ∠AOB’)?

c. Apa yang dapat kamu simpulkan dari aktivitas yang telah kamu lakukan?

F. Prosedur Penelitian

Secara rinci tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:


(33)

1. Tahap Persiapan

Persiapan penelitian dimulai dari pembuatan proposal kemudian melaksanakan seminar proposal untuk memperoleh koreksi dan masukan dari tim pembimbing tesis. Selanjutnya, menyusun kisi-kisi dan instrumen tes serta merancang pengembangan bahan ajar (LKS) yang validasi muka dan isinya dilakukan oleh kedua dosen pembimbing dan beberapa rekan kuliah. Berikutnya dilakukan revisi, diujicobakan diluar subyek penelitian dan dianalisis hasilnya. Perangkat lain yang disusun adalah skala sikap siswa, lembar observasi aktivitas siswa, dan daftar isian guru.

Selanjutnya, peneliti berkunjung ke sekolah yang menjadi lokasi penelitian untuk mengkonsultasikan waktu, teknis pelaksanaan penelitian dan berkonsultasi dengan guru matematika. Kemudian memilih secara acak dua kelas dari seluruh kelas VIII SMPN I Gunungsitoli Utara untuk dijadikan kelas ekperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen mendapat pembelajaran pendekatan pembelajaran berbasis masalah, sedangkan kelas kontrol memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada semester genap di SMPN I Gunungsitoli Utara Kabupaten Nias. Langkah pertama yang dilakukan dalam tahap ini adalah melaksanakan tes awal di kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-masing selama 80 menit. Setelah tes awal dilakukan maka pembelajaran dilaksanakan pada kelas yang menjadi sampel penelitian. Pembelajaran dilaksanakan selama


(34)

64

lima kali pertemuan (satu kali pertemuan sama dengan dua jam pelajaran). Saat pembelajaran berlangsung peneliti berperan sebagai guru matematika dengan pertimbangan agar tidak terjadi pembiasan dalam perlakukan terhadap masing-masing kelas yang diteliti.

Setelah semua pembelajaran selesai, diberikan tes akhir pada kedua kelas dengan soal-soal yang diujikan sama dengan soal-soal pada tes awal serta pengisian skala sikap siswa di kelas eksperimen. Sedangkan daftar isian guru diisi oleh guru matematika. Adapun prosedur penelitian disajikan dalam diagram alur di bawah ini:

Diagram 3.1 Alur Kegiatan Penelitian Pembuatan Proposal

Seminar Proposal

Perbaikan Proposal

Penyusunan Instrumen

Uji Coba Instrumen

Perbaikan Instrumen Berdasarkan Hasil Analisis Uji

Tes Awal

Pelaksanaan Pembelajaran

Tes Akhir dan Pengisian Skala Sikap Analisis Data


(35)

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengelompokkan Siswa

Pengelompokkan dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan penalaran matematik yang terjadi pada siswa berbeda menurut kategori yaitu: kelompok tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokkan ini dilakukan menurut kemampuan matematik siswa dari materi sebelumnya atau hasil rata-rata ujian blok siswa.

Untuk menentukan jumlah siswa yang berada pada masing-masing kelompok, maka digunakan pedoman Arikunto (2007:264) yang menggunakan rerata kelas dan simpangan baku:

1) Bila rerata nilai tes harian siswa berada pada interval lebih dari atau sama dengan 5 + s, maka siswa dikelompokkan dalam kelompok atas.

2) Bila rerata nilai tes harian siswa berada pada interval 5 – s sampai 5 + s maka siswa dikelompokkan dalam kelompok sedang.

3) Bila rerata nilai tes harian siswa berada pada interval kurang dari atau sama dengan 5 – s maka siswa dikelompokkan dalam kelompok bawah.

2. Menguji Normalitas Data

Untuk menguji normalitas data, digunakan uji chi-kuadrat. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.


(36)

66

Dan rumus statistik χ2: ÷2= 89−8-2

89 Ruseffendi (1993:372)

8-= 8 9,:9 -; 9 </ .

89 = 8 9,:9 9 =/ .

Kriteria Uji: tolak H0 bila χ2hitung ≥ χ2tabeldalam hal lainnya diterima.

3. Menguji Homogenitas Data

Untuk menguji homogenitas varians antara kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan dengan menggunakan uji F. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : ó92= ó,2.

H1 : ó92≠ ó,2.

Dan rumus statistik Uji F:

@ℎ B C=';9 /

2

',9D E2 Ruseffendi (1993:378)

2

b

s = Varian sample terbesar.

2

k

s = Varian sample terkecil.

Kriteria Uji: tolak H0 bila Fhitung ≥Ftabel dalam hal lainnya diterima.

4. Gain Normal

Untuk melihat peningkatan penalaran matematik siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus gain skor normal:

C = FGHIJFGKL

FMNOIJFGKL Meltzer (2002)

Keterangan:


(37)

'P- = ',- P- 9 .

'=/, = ',- =/, =B=.

Kategori: Tinggi : g > 0,7 ;

Sedang: 0,3 ≤ C ≤ 0,7 ; Rendah: g < 0,3

5. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata.

Untuk menguji efektifitas penerapan pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional maka dilakukan uji perbedaan rata-rata hasil pretes, postes serta gain normal kelompok eksperimen dan kontrol.

Hipotesis yang diuji: Ho : ì9 = ì, H1 : ì9> ì,

Jika sebaran data normal dan homogen, uji statistik yang digunakan adalah uji t:

ℎ B C= X5−Y5 'X−Y2 1X+1Y

'X−Y2 = ∑X−X5

2+∑ Y−Y5 2 X+ Y−2 =

X−1 'X2+ Y−1 'Y2

X+ Y−2 (Ruseffendi, 1993:398)

Kriteria uji: tolak Ho jika thitung ≥ ttabel , dalam hal lainnya ditolak.

Apabila data tidak berdistribusi normal, maka pengujiannya menggunakan uji non parametrik untuk dua sampel yang saling bebas pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney:

Z = [ J \]^N^_


(38)

68

Kriteria uji: tolak Ho jika Zhitung≤ Ztabel pada ≥ = 0,05 dalam hal lainnya diterima.

6. Uji Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik antara Tiga Kelompok pada Kelompok Eksperimen.

Menguji hipotesis perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan kelompok siswa, hipotesis yang diuji:

Ho : ì1 = ì2 = ì3

H1 : paling sedikit satu tanda “sama dengan” tidak berlaku.

Dengan ì1 = rerata kelompok atas, ì2 = rerata kelompok sedang, dan ì3 = rerata kelompok bawah. Rumus statistik yang digunakan adalah ANOVA Satu Jalur:

F = cdecde/ (Ruseffendi, 1993:412)

Keterangan:

RJKa = varians antar kelompok.

RJKI = varians antar kekeliruan pemilihan sampel.

Kriteria uji: tolak Ho jika Fhitung≥ Ftabel, dalam hal lainnya diterima.

Sebelumnya dilakukan uji kenormalan, hipotesis yang diuji adalah: H0 : Data berdistribusi normal.

H1 : Data tidak berdistribusi normal.

Apabila data yang diperoleh tidak berdistribusi normal, maka pengujiannya menggunakan uji non parametrik untuk tiga sampel yaitu uji Kruskal-Wallis (Ruseffendi, 1993).


(39)

7. Analisis Skala Sikap Siswa

Untuk mengetahui kualitas sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran berbasis masalah, serta soal-soal penalaran matematik dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: pemberian skor skala sikap dengan berpedoman kepada model Likert, mencari skor netral,dan membandingkan dengan skor sikap siswa untuk setiap item. Indikator dan klasifikasi skala sikap dengan sikap netralnya terhadap setiap item, untuk melihat kecenderungan sikap siswa. Sikap siswa dikatakan positif jika skor sikap siswa lebih besar dari sikap netralnya, demikian juga sebaliknya.

8. Data Obsevasi

Pada setiap pertemuan di kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah, observasi dilakukan oleh guru matematika. Kegiatan pengamatan ini berpedoman pada lembar observasi dan dilakukan sebaik mungkin, hingga tidak mengganggu atau mempengaruhi aktivitas siswa di kelas selama pembelajaran. Aktivitas siswa yang diamati terdiri dari delapan aspek yang tercantum pada lembar observasi.

Hasil observasi merupakan data aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Data hasil observasi dinyatakan dengan skor 5, 4, 3, 2, dan 1 untuk setiap aspek yang diobservasi, skor tertinggi menunjukkan aktivitas yang sering terjadi dan skor terendah menunjukkan aktivitas yang tidak pernah terjadi. Skor hasil observasi ini dianalisis dengan cara mencari rata-ratanya kemudian dibandingkan dengan skor netralnya.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh Pembelajaran berbasis masalah lebih baik bila dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Persentase siswa yang tuntas belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari siswa dengan pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah secara signifikan menunjukkan perbedaan diantara siswa pada kelompok atas, sedang dan bawah. Peningkatan yang paling tinggi diperoleh siswa pada kelompok atas dan paling rendah siswa pada kelompok bawah.

3. Pembelajaran berbasis masalah secara umum memberikan dampak positif terhadap pembentukan sikap positif siswa terhadap matematika.

B. Saran

Ada beberapa rekomendasi yang penulis kemukakan sehubungan dengan penelitian ini:

1. Penggunaan pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran yang efektif dalam upaya


(41)

meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa. Dengan pembelajaran berbasis masalah kemampuan penalaran matematik siswa dapat meningkat dengan baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Namun, agar dapat mencapai hasil yang optimal maka persiapan guru memegang peranan yang sangat penting, mulai dari persiapan membuat lembar kerja siswa, memilih dan menemukan masalah sampai kepada pelaksanaan dalam kelas. 2. Oleh karena masalah menjadi titik tolak pembelajaran dalam kelas untuk

kemudian dicari penyelesaiannya oleh siswa, maka disarankan agar guru dapat mengkonstruksi dan memilih masalah yang relevan; dekat dengan keseharian siswa, menantang, dan bersifat non rutin.

3. Kemungkinan adanya kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah pada awal pembelajaran perlu diantisipasi oleh guru. Siswa tidak terbiasa dengan belajar mandiri, memecahkan masalah, dan berdiskusi bisa menjadi hambatan dalam keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu, disarankan agar guru membantu siswa mengatasi masalah menggunakan teknik scaffolding. Namun intervensi yang diberikan guru bukan dalam bentuk hasil akhir melainkan petunjuk-petunujuk yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan masalah yang dihadapi sehingga menemukan penyelesaiannya.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan bagaimana membantu siswa yang termasuk slow learner, sehingga perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematik di antara ketiga kelompok siswa tidak terlalu jauh sehubungan dengan penggunaan pendekatan pembelajaran berbasis masalah


(42)

113

4. Dalam penelitian ini, kemampuan matematik yang dikembangkan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan penalaran matematik, maka hendaknya ada peneliti lain yang mencoba menerapkan pembelajaran tersebut dalam upaya meningkatkan kemampuan matematik lainnya, misalnya kemampuan berpikir ktitis dan kreatif.

5. Subyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa SMP, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang sama, tetapi pada tingkat yang berbeda, misalnya di tingkat sekolah dasar, dan sekolah menengah atas.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (1991). Psikologi Social. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi pada PPs UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan. Darhim. (2006). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap

Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal Dalam Matematika. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan Dasril. (2007). Pedoman Penyusunan Standar Ketuntasan Belajar Minimal

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekanbaru, Riau.

Dayakisni, T & Hudaniyah. (2006). Psikologi Social. Malang: UMM Press

Depdiknas. (2002). UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

... (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

...(2004). Pedoman Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Departemen Pendidkan Nasional.

... (2006). Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidkan Nasional

Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for the Multiple Intelligences Classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Howey, K.R., et al. (2001). Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher To Enhance Student Success In The Work Place And Beyond. Washington: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.


(44)

115

Juandi (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kurniawan, R. (2006). Pembelajaran Dengan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Kariadinata, R. (2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan

Lester, J.R.F. (1994). Mising About Mathematics Problem Solving Research (Journal). Blou Mingbon : Indiana University.

Maltin, M.W. (1994). Cognition (Third Edition). New York : Harcourt Brace Publicer.

Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible "hidden variable" in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain.[ 28 Mei 2008].

Mungin, E.W. (2006). Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekanbaru, Riau.

NCTM. (2000). Princip And Standards For School Mathematics. Reston : Virginia.

Permana, Y. (2004). Mengembangkan Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Posamentier, S. A., Stepelman, J. (1990). Teaching Secondary School Mathematics, Techniques And Enrichment Unit (Third Edition). United States: Merriil Publishing Company.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Di Kota Bandung. Disertasi pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum Melaui Pembelajaran berbasis Masalah. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan

Rusefendi, E.T. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.


(45)

... (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandng: Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif. Makalah pada Seminar Nasional Matematika 2007. Bandung : tidak dipublikasikan.

...(2008). Pembelajaran Matematika Sekolah Dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuham Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sobel, A. M., dan Maletsky, M. E. (2003). Mengajar Matematika. Jakarta : Erlangga.

Soedjadi, R. (2001). Pemanfaatan Realita Dan Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Pada Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME) FPMIPA UNESA. Surabaya : Tidak Dipublikasikan. Sudrajat. (2001). Penerapan SQ3R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk

Meningkatkan kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMU. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Suhendi. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMA melalui Problem-Centered Learning. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Silver, E.A. (1997) Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. http--www.emis.de-journals-ZDM-zdm973a3 (2).pdf (20 juni 2009).

Slavin, R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Somatanaya, A. A. G. (2005). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SLTP melalui Pembelajaran dengan Metode Inkuiri. Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sudjimat, D. A. (1995). Pembelajaran Pemecahan Masalah.Tinjauan Singkat Berdasarkan Teori kognitif. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. 1 dan 2. Malang: IKIP Malang

Suherman E. dan Winataputra U. (1994). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.

Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.


(46)

117

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung : JICA Sukasno (2002). Model Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Geometry.

Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sukmadinata, N. S. (2007). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

... (1997). Analisis Contoh Soal Buku Teks Kalkulus dan Analisis Strategi Pemecahan Masalah untuk Merumuskan Dasar Pedagogi Pemecahan Masalah. Bandung: Tidak diterbitkan.

...(2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Pada Seminar Nasional FPMIPA UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

...(2003). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada pelatihan guru matematika di STKIP Siliwangi Cimahi. Bandung: tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Pendekatan Gabungan Langsung Dan Tidak Langsung Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkt Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan. ...(2008). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: suatu

Strategi Pengembangan Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak dipublikasikan.

Thomas A. R. (1995). Reform In School Mathematics and Authentic Assesment. New York: State University Of New York Press, Albany.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika Dan Siswa dalam Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

... (2003). Matematika dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mimbar Pendidikan. No.2 Tahun XXII. Bandung : University Press UPI.

... (2008). Pembelajaran Dan Model-Model Pembelajaran. Diktat Kuliah. Bandung: tidak dipublikasikan.


(47)

Warfield, V. M. (2006). Invitation to Didactique. Seattle: University of Washington.

Wijaya. (1999). Pengajaran Remedial. Jakarta: Depdikbud

Walker, F. (1997). Conditioning dan Proses Belajar Instrumental. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.

Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.


(1)

4. Dalam penelitian ini, kemampuan matematik yang dikembangkan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan penalaran matematik, maka hendaknya ada peneliti lain yang mencoba menerapkan pembelajaran tersebut dalam upaya meningkatkan kemampuan matematik lainnya, misalnya kemampuan berpikir ktitis dan kreatif.

5. Subyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa SMP, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang sama, tetapi pada tingkat yang berbeda, misalnya di tingkat sekolah dasar, dan sekolah menengah atas.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (1991). Psikologi Social. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi pada PPs UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan. Darhim. (2006). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap

Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal Dalam Matematika. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan Dasril. (2007). Pedoman Penyusunan Standar Ketuntasan Belajar Minimal

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekanbaru, Riau.

Dayakisni, T & Hudaniyah. (2006). Psikologi Social. Malang: UMM Press

Depdiknas. (2002). UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

... (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

...(2004). Pedoman Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Departemen Pendidkan Nasional.

... (2006). Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidkan Nasional

Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for the Multiple Intelligences Classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Howey, K.R., et al. (2001). Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher To Enhance Student Success In The Work Place And Beyond. Washington: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.


(3)

Juandi (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kurniawan, R. (2006). Pembelajaran Dengan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Kariadinata, R. (2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan

Lester, J.R.F. (1994). Mising About Mathematics Problem Solving Research (Journal). Blou Mingbon : Indiana University.

Maltin, M.W. (1994). Cognition (Third Edition). New York : Harcourt Brace Publicer.

Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible "hidden variable" in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain.[ 28 Mei 2008].

Mungin, E.W. (2006). Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekanbaru, Riau.

NCTM. (2000). Princip And Standards For School Mathematics. Reston : Virginia.

Permana, Y. (2004). Mengembangkan Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Posamentier, S. A., Stepelman, J. (1990). Teaching Secondary School Mathematics, Techniques And Enrichment Unit (Third Edition). United States: Merriil Publishing Company.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Di Kota Bandung. Disertasi pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum Melaui Pembelajaran berbasis Masalah. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan

Rusefendi, E.T. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.


(4)

... (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandng: Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif. Makalah pada Seminar Nasional Matematika 2007. Bandung : tidak dipublikasikan.

...(2008). Pembelajaran Matematika Sekolah Dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuham Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sobel, A. M., dan Maletsky, M. E. (2003). Mengajar Matematika. Jakarta : Erlangga.

Soedjadi, R. (2001). Pemanfaatan Realita Dan Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Pada Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME) FPMIPA UNESA. Surabaya : Tidak Dipublikasikan. Sudrajat. (2001). Penerapan SQ3R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk

Meningkatkan kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMU. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Suhendi. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMA melalui Problem-Centered Learning. Tesis pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

Silver, E.A. (1997) Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. http--www.emis.de-journals-ZDM-zdm973a3 (2).pdf (20 juni 2009).

Slavin, R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Somatanaya, A. A. G. (2005). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SLTP melalui Pembelajaran dengan Metode Inkuiri. Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sudjimat, D. A. (1995). Pembelajaran Pemecahan Masalah.Tinjauan Singkat Berdasarkan Teori kognitif. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. 1 dan 2. Malang: IKIP Malang

Suherman E. dan Winataputra U. (1994). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.

Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.


(5)

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung : JICA Sukasno (2002). Model Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Geometry.

Tesis pada PPs UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

Sukmadinata, N. S. (2007). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

... (1997). Analisis Contoh Soal Buku Teks Kalkulus dan Analisis Strategi Pemecahan Masalah untuk Merumuskan Dasar Pedagogi Pemecahan Masalah. Bandung: Tidak diterbitkan.

...(2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Pada Seminar Nasional FPMIPA UPI. Bandung : tidak dipublikasikan.

...(2003). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada pelatihan guru matematika di STKIP Siliwangi Cimahi. Bandung: tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Pendekatan Gabungan Langsung Dan Tidak Langsung Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkt Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan. ...(2008). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: suatu

Strategi Pengembangan Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak dipublikasikan.

Thomas A. R. (1995). Reform In School Mathematics and Authentic Assesment. New York: State University Of New York Press, Albany.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika Dan Siswa dalam Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.

... (2003). Matematika dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mimbar Pendidikan. No.2 Tahun XXII. Bandung : University Press UPI.

... (2008). Pembelajaran Dan Model-Model Pembelajaran. Diktat Kuliah. Bandung: tidak dipublikasikan.


(6)

Warfield, V. M. (2006). Invitation to Didactique. Seattle: University of Washington.

Wijaya. (1999). Pengajaran Remedial. Jakarta: Depdikbud

Walker, F. (1997). Conditioning dan Proses Belajar Instrumental. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.

Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis pada PPS UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.


Dokumen yang terkait

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN PEMBELAJARAN LANGSUNG PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 0 41

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN PEMBELAJARAN LANGSUNG PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 2 13

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PENDEKATAN REALISTIK :Studi Eksperimen di Salah Satu SMP Negeri di Bandung:.

0 1 44

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PENDEKATAN REALISTIK :Studi Eksperimen di Salah Satu SMP Negeri di Bandung.

0 0 44

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING.

0 1 40

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 1 74

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME (Studi Eksperimen Pada Salah Satu SMP Negeri di Kabupaten Cirebon).

0 1 132

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERSTRUKTUR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 0 41

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMU MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 1 40

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN METODE INKUIRI : Penelitian pada siswa salah satu SMA Negeri di Serui Papua.

0 0 56