Depresi Pada Lansia Di Komunitas

(1)

Referat Besar II

DEPRESI PADA LANSIA

DI KOMUNITAS

OLEH :

M. SURYA HUSADA

NOMOR REGISTER CHS : 17425

DEPARTEMEN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN 2009


(2)

KATA PENGANTAR

Usia lanjut bukanlah suatu penyakit. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan proses dari kehidupan yang tidak dapat dihindari dan akan dialami setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun secara mental khususnya

kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.1

Dalam 40 tahun terakhir, penanganan untuk orang lanjut usia menjadi perhatian khusus. Perhatian ini dikarenakan dampak meningkatnya jumlah orang lanjut usia di populasi. Meningkatnya proporsi orang lanjut usia ini diakibatkan bertambahnya usia harapan hidup.

Pada studi-studi yang dilakukan di masyarakat menunjukkan bahwa 25 persen orang lanjut usia mengeluhkan pernah mengalami simtom-simtom depresi, tetapi hanya 1 sampai dengan 9 persen yang memenuhi kriteria gangguan depresi mayor. Selain faktor biologi, faktor psikologi, sosial dan faktor medis lain dapat menjadi predisposisi pada orang lanjut usia untuk menjadi depresi. Pengobatan penderita depresi pada lanjut usia efektif dengan memberikan farmakoterapi, psikoterapi atau keduanya. Terdapat beberapa faktor yang brhubungan dengan prognosis yang lebih baik pada penderita depresi pada lanjut usia.

Melalui tulisan yang sederhana ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, komorbiditas, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis dari depresi pada lanjut usia di komunitas.

Referat besar II ini ditulis untuk memenuhi salah satu persyaratan sewaktu menjalani pendidikan di Departemen Psikiatri FK USU.

Latar belakang penulis membuat judul referat besar II ini dengan judul Depresi Pada Lansia di Komunitas adalah karena belakangan ini semakin berkembang pembahasan tentang gangguan depresi, terutama yang dialami oleh orang-orang lanjut usia, yang jumlahnya semakin lama semakin banyak di komunitas. Selain itu, penatalaksanaan terhadap gangguan tersebut juga semakin lama semakin bervariasi.


(3)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Syamsir Bs, Sp. KJ (K) selaku pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam penulisan referat besar II ini.

Akhirnya, penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.

Hormat saya,

M. Surya Husada


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………....………...……… i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN……….………. 1

BAB II DEFINISI………... 2

BAB III EPIDEMIOLOGI...………... 3

BAB IV ETIOLOGI………..…... 5

IV.A. Faktor Biologik... 5

IV.B. Faktor Psikologik... 7

IV.C. Faktor Sosial... 9

BAB V KOMORBIDITAS………... 10

BAB VI GAMBARAN KLINIS...………... 12

BAB VII DIAGNOSIS... 15

BAB VIII PENATALAKSANAAN... 18

VIII.A. Farmakoterapi... 18

VIII.B. Psikoterapi... 22

BAB IX PROGNOSIS... 23

BAB X KESIMPULAN... 25


(5)

BAB I PENDAHULUAN

Usia lanjut bukanlah suatu penyakit. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan proses dari kehidupan yang tidak dapat dihindari dan akan dialami setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun secara mental khususnya

kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.1

Dalam 40 tahun terakhir, penanganan untuk orang lanjut usia menjadi perhatian khusus. Perhatian ini dikarenakan dampak meningkatnya jumlah orang lanjut usia di populasi. Meningkatnya proporsi orang lanjut usia ini diakibatkan

bertambahnya usia harapan hidup.2 Keterbatasan mobilitas fisik dan defisit

kognitif yang sering terjadi pada orang lanjut usia meningkatkan risiko institusionalisasi pada pusat-pusat perawatan.3 Orang lanjut usia biasanya dibagi 2, yaitu orang yang “young-old” yang berusia 65 tahun sampai dengan 74 tahun dan yang “old-old” yang berusia lebih dari 75 tahun. Beberapa menggunakan istilah “oldest-old” untuk yang berusia lebih dari 85 tahun.1

Depresi merupakan gangguan psikiatrik yang sangat sering terjadi pada

lanjut usia.2,4 Pada orang lanjut usia, gangguan mood akan menyebabkan

penderitaan pada pasien dan keluarga, memperberat penyakit medis,

mengakibatkan disabilitas dan membutuhkan sistem pendukung yang luas.5

Orang lanjut usia yang menderita depresi sering tidak dikenali. Dokter dan pasien sering menganggap gejala depresi pada lanjut usia merupakan suatu proses penuaan. Alasan lain bahwa orang lanjut usia lebih menekankan gejala-gejala somatik dan tidak melaporkan mood yang depresif. Depresi pada orang lanjut usia sering terjadi pada penderita dengan penyakit-penyakit medis atau gangguan-gangguan neurologis di otak yang mempunyai gejala-gejala yang mirip dengan gejala depresi. Kadang-kadang pada beberapa kasus dapat terjadi gejala-gejala yang saling menutupi (overlap) sehingga depresi dapat didiagnosis setelah diberi obat antidepresan.5


(6)

BAB II DEFINISI

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi III (PPDGJ-III), depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama: afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya aktivitas, serta beberapa gejala lain seperti konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri,

tidur yang terganggu dan nafsu makan berkurang.6

Menurut revisi teks edisi ke-4 dari Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM-IV-TR), suatu gangguan depresi berat (juga dikenal

sebagai depresi unipolar) timbul tanpa suatu riwayat dari episode manik, campuran atau hipomanik. Suatu episode depresif berat harus ada sekurang-kurangnya 2 minggu dan secara tipikal seseorang dengan diagnosis suatu episode depresif berat juga mengalami paling sedikit 4 gejala: perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan dalam tidur dan aktifitas, berkurangnya energi, perasaan bersalah, masalah dalam berpikir dan mengambil keputusan dan pikiran yang berulang tentang kematian atau bunuh diri.7


(7)

BAB III EPIDEMIOLOGI

Simtom-simtom depresi sering dijumpai pada orang tua. Walaupun begitu prevalensi gangguan depresi mayor lebih rendah dibandingkan dengan dewasa muda. Prevalensi gangguan depresi mayor pada studi-studi di komunitas orang tua berkisar antara 1 sampai dengan 5 persen. Pada studi yang dilakukan oleh EURODEP (The European Depression Study) disimpulkan bahwa prevalensi gangguan depresi mayor pada orang lanjut usia mendekati 1,8%, gangguan

depresi minor 9,8% sedangkan yang mengalami simtom depresi 13,5%.8

Prevalensi sindroma depresi pada lanjut usia lebih sering dijumpai pada

tempat-tempat perawatan medis.9 Pada studi-studi yang dilakukan di masyarakat

menunjukkan bahwa 25 persen orang lanjut usia mengeluhkan pernah mengalami simtom-simtom depresi, tetapi hanya 1 sampai dengan 9 persen yang

memenuhi kriteria gangguan depresi mayor.10 Prevalensi gangguan depresi

mayor pada pasien yang dirawat di rumah sakit adalah 10 sampai dengan 12

persen, sedangkan prevalensi di praktek umum 6 sampai dengan 9 persen.9

Prevalensi simtom depresi pada orang lanjut usia yang berobat jalan berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen, sedangkan pada lanjut usia yang diopname prevalensi simtom depresi bahkan lebih tinggi mencapai 22 sampai dengan 34

persen.11 Namun beragam prevalensi dijumpai tergantung dari populasi yang

dijadikan sampel. Sebagai contoh, prevalensi yang lebih tinggi dilaporkan pada lanjut usia yang diopname di rumah sakit sekitar 36 sampai dengan 46 persen dan 10 sampai dengan 22 persen pada tempat perawatan jangka panjang

(long-term care facilities).12

Studi yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health

Epidemiologic Catchment Area melaporkan bahwa prevalensi gangguan depresi

mayor pada orang lanjut usia yang berusia lebih dari 65 tahun adalah kurang dari 1 persen. Wanita yang berusia lanjut ternyata mempunyai prevalensi yang lebih

besar dibandingkan dengan pria dengan perbandingan 1,4% dan 0,4%.13

Sekitar 1-4 persen populasi lanjut usia mengalami depresi mayor. Baik prevalensi maupun insidensi depresi mayor ini tampaknya meningkat dua kali setelah usia 70-85 tahun. Depresi minor mempunyai prevalensi 4-13%.


(8)

Sedangkan gangguan distimia, yang karakteristik dengan intensitas gejala-gejala depresi yang rendah selama sedikitnya selama 2 tahun atau lebih, terjadi kira-kira 2 persen pada lanjut usia.9

Copeland dkk mengatakan bahwa prevalensi depresi pada penyakit klinis yang berat kira-kira 10 persen pada yang berusia > 65 tahun dan 2-3%

cenderung depresi berat.2 Koening & Blazer melaporkan rasio depresi pada

lanjut usia sekitar 0,4-1,4% di masyarakat, 5-10% pada pasien rawat jalan, 10-15% pada pasien rawat inap dan 15-20% pada penderita yang dilakukan perawatan di rumah.2

Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, Oxford Institute of Ageing mengungkapkan bahwa 30 persen dari responden lanjut usia (usia di atas 60 tahun) tidak bahagia atau depresi.14

Berbeda dengan pada orang dewasa, pada lansia depresi yang dialami sering bersamaan dengan penyakit medis lain, tetapi hanya sedikit pengetahuan tentang diagnosis dan akibat depresi terhadap komorbiditas dengan penyakit

medis.15 Depresi pasca stroke merupakan suatu komplikasi yang terjadi pada

lebih dari 30 persen yang mengalami stroke. Kejadian depresi pasca stroke ini pada usia yang lanjut merupakan salah satu faktor predisposisi untuk terjadinya depresi.16 Begitu juga faktor risiko penyakit serebrovaskuler seperti hipertensi, diabetes dan penyakit jantung, merupakan risiko terjadinya depresi pada lanjut usia.17


(9)

BAB IV ETIOLOGI

Depresi pada orang tua dapat dibagi dalam onset awal (early-life onset) yang terjadi sebelum berusia 65 tahun yang kemudian dapat berulang kembali pada usia lanjut, dan onset akhir (late-life onset) yang terjadi setelah usia 65 tahun. Baik early-life onset maupun late-life onset penyebabnya masih belum jelas, namun faktor-faktor biologi, psikologi dan sosial dipercaya berperan untuk terjadinya depresi.13

Selain faktor biologi, faktor psikologi, sosial dan faktor medis lain dapat menjadi predisposisi pada orang lanjut usia untuk menjadi depresi. Stresor psikologis banyak dialami orang lanjut usia diantaranya perubahan dalam status yang terjadi ketika mereka yang dahulu bekerja sekarang memasuki masa pensiun. Kematian atau penyakit yang terjadi pada teman dekat dan orang yang

dicintai sangat mempengaruhi untuk berkembangnya depresi.13 Adanya

disabilitas dan gangguan kognitif juga merupakan faktor yang mempengaruhi.9

Adanya persepsi atas tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada seseorang sebelumnya dapat menjadi prediktor yang kuat akan perkembangan gejala-gejala depresif di masa depannya.18

A. Faktor Biologik

Walaupun telah diketahui bahwa risiko depresi akan lebih banyak dijumpai jika ditemukan adanya riwayat keluarga yang depresi, tidak ada faktor biologi

tunggal sebagai penyebab depresi pada lanjut usia.13 Persentase keturunan

pertama dari keluarga yang depresi dijumpai 4 sampai dengan 5 persen.2

Beberapa neurotransmiter, termasuk norepineprin, serotonin, dopamin dan

γ-aminobutyric acid (GABA), mungkin mempunyai peranan untuk

berkembangnya simtom depresi. Meskipun begitu, peranan yang pasti dari masing-masing neurotransmiter masih belum begitu jelas. Rendahnya kadar

5-hydroxy-indoleacetic acid (5-HIAA) pada cairan serebrospinal ditemukan pada

baik pasien depresi yang lanjut usia maupun yang dewasa yang melakukan bunuh diri.13


(10)

1. Norepineprin

Korelasi yang dinyatakan dalam penelitian ilmiah dasar antara pengaturan

yang menurun (down-regulation) atau berkurangnya sensitifitas reseptor β

-adrenergik dan respons antidepresan kemungkinan merupakan data yang menyatakan peranan langsung sistem noradrenergik pada depresi. Bukti lain

juga menunjukkan bahwa keterlibatan reseptor β2-adrenergik pada depresi

karena aktivasi dari reseptor tersebut akan mengakibatkan penurunan pelepasan

dari sejumlah norepineprin. Reseptor β2-adrenergik prasinaptik juga terdapat

pada neuron serotonergik dan mengatur pelepasan sejumlah serotonin. Efektivitas klinis obat antidepresan yang bekerja pada noradrenergik lebih lanjut mendukung peran norepineprin dalam patofisiologi depresi atau paling tidak terhadap gejala-gejala depresi.1

2. Serotonin

Begitu besarnya pengaruh yang diberikan oleh obat antidepresan golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) dalam pengobatan depresi sehingga serotonin telah menjadi neurotransmiter amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan depresi. Pengenalan dari subtipe reseptor-reseptor serotonin telah meningkatkan perhatian dalam penelitian untuk mengembangkan terapi yang lebih spesifik untuk depresi. Karena SSRI dan antidepresan serotonergik lain efektif dalam penanganan depresi maka serotonin dinyatakan terlibat dalam patofisiologi depresi. Berkurangnya serotonin akan mencetuskan depresi dan pada pasien-pasien yang bunuh diri mempunyai kadar metabolit serotonin yang rendah di cairan serebrospinal dan kadar serotonin yang rendah pada tempat ambilan kembali di platelet (serotonin uptake site on

platelet).1

3. Dopamin

Walaupun norepineprin dan serotonin merupakan biogenik amin yang paling sering dihubung-hubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga secara teori memiliki peran dalam depresi. Dari data-data yang ada menunjukkan bahwa kadar dopamin akan berkurang pada keadaan depresi dan meningkat dalam keadaan manik. Penemuan-penemuan terbaru dari subtipe reseptor-reseptor dopamin dan bertambahnya pemahaman tentang fungsi pengaturan dopamin prasinaptik dan pascasinaptik dalam penelitian semakin memperjelas


(11)

keterlibatan dopamin pada gangguan mood. Obat-obat atau penyakit yang menurunkan konsentrasi dopamin berhubungan dengan gejala depresi. Ada 2 teori baru tentang hubungan dopamin dan depresi, yaitu jalur dopamin di

mesolimbik kemungkinan disfungsional dan reseptor dopamin D1 kemungkinan

hipoaktif. 1

4. Neurotransmiter lain

Asetilkolin ditemukan pada neuron-neuron yang tersebar luas pada korteks serebral. Neuron-neuron kolinergik mempunyai hubungan timbal balik dengan ketiga sistem monoamin. Kadar kolin yang abnormal (yang berfungsi sebagai prekursor asetilkolin) dijumpai pada otak penderita depresi yang diotopsi. Obat-obat kolinergik agonis dapat menimbulkan letargi, anergia dan retardasi psikomotor pada orang yang sehat dan dapat mengeksaserbasi gejala-gejala depresi.1

Disamping itu, γ-aminobutyric acid dan asam amino glutamat dan glisin

dikatakan berperan namun masih memerlukan penelitian-penelitian yang lebih luas.1

B. Faktor Psikologik

Stresor psikologis banyak dialami orang lanjut usia, diantaranya perubahan dalam status yang terjadi ketika mereka yang dahulu bekerja sekarang memasuki masa pensiun. Kematian atau penyakit yang terjadi pada teman dekat dan orang yang dicintai sangat mempengaruhi untuk berkembangnya depresi.13

1. Teori Perilaku

Perilaku dari ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness), semula digunakan untuk menjelaskan perilaku pasif pada anjing yang disebabkan oleh kejutan yang tidak dapat dihindari, telah diperluas untuk menjelaskan simtom-simtom depresi sepanjang siklus kehidupan. Teori ini mengusulkan bahwa penyebab depresi adalah harapan yang mengawali tindakan di dalam lingkungan yang terus-menerus dipenuhi stres kegagalan. Hubungan depresi dengan peristiwa hidup dan kehidupan yang tidak menyenangkan yang berat dan sering dapat diinterpretasikan sebagai bagian respons perilaku terhadap stresor-stresor tidak menyenangkan yang berlanjut.


(12)

Depresi pada lanjut usia telah dihubungkan dengan sejumlah peristiwa kehidupan yang negatif dan percekcokan sehari-hari telah dihubungkan dengan depresi pada lanjut usia. Sekali terbentuk perilaku depresi mengikuti suatu stresor dan pencetus untuk episode-episode depresi berikutnya tidak perlu

seberat sebelumnya.19

2. Teori Psikodinamik

Pengertian psikodinamik dari depresi didefinisikan oleh Sigmund Freud dan diperluas oleh Karl Abraham diketahui sebagai pandangan klasik dari depresi. Teorinya memasukkan empat titik kunci : (1) gangguan dalam hubungan ibu – anak selama fase oral (10 hingga 18 bulan pertama dari kehidupan) mempredisposisi kerapuhan lanjutan kepada depresi ; (2) Depresi bisa dihubungkan kepada kehilangan objek yang nyata atau yang dikhayalkan ; (3) Introyeksi dari obyek yang meninggal dunia adalah suatu mekanisme pertahanan yang diminta untuk menghadapi tekanan yang dihubungkan dengan kehilangan obyek ; (4) karena kehilangan obyek diperhatikan dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri.1

Melanie Klein memahami depresi dengan memasukkan ekspresi agresi terhadap orang yang dicintai, sama seperti yang diutarakan Freud. Depresi terjadi ketika pasien menyadari bahwa orang atau cita-cita yang telah mereka jalani tidak pernah berespons dengan cara yang akan memenuhi harapan mereka. Ketika yang lain tidak memenuhi kebutuhan ini terdapat hilangnya kepercayaan diri yang besar yang timbul sebagai depresi. John Bowlby percaya bahwa kerusakan pada kelekatan awal dan perpisahan traumatik pada masa anak-anak mempredisposisi depresi. Kehilangan saat dewasa disebutkan menghidupkan kembali kehilangan yang traumatik pada anak dan mempresipitasi

episode depresi dewasa.1

3. Teori Kognitif

Mungkin model psikologik depresi yang paling dominan adalah distorsi kognitif. Dalam sebuah studi case-control, pasien dengan depresi mayor merasakan dampak negatif yang lebih besar dari peristiwa-peristiwa kehidupan dibandingkan pasien-pasien dengan gangguan distimik dan kontrol yang sehat. Intepretasi dari peristiwa-peristiwa kehidupan adalah kunci dalam memahami depresi menurut teori ini. Kognisi dapat didistorsikan bahwa orang lanjut usia


(13)

tersebut memiliki harapan yang tidak realistik, generalisasi yang berlebihan pada peristiwa tertentu yang tidak menyenangkan, reaksi yang berlebihan terhadap suatu peristiwa dan personalisasi suatu peristiwa. Peristiwa-peristiwa interpersonal negatif yang dirasakan telah dikaitkan dengan depresi pada lansia, terutama pada yang menunjukkan kebutuhan yang tinggi akan persetujuan dan

penentraman hati dalam konteks hubungan interpersonal.19

C. Faktor Sosial

Faktor sosial yang dapat sebagai predisposisi orang lanjut usia untuk menjadi depresi adalah menjadi janda/duda atau bercerai, sosial ekonomi yang rendah, pendukung sosial yang buruk dan kejadian kehidupan yang tidak diperkirakan dan laki-laki lebih rentan terhadap faktor-faktor ini.13

Selama tahun pertama setelah berduka, 10 sampai dengan 20 persen akan berkembang menunjukkan simtom-simtom depresi yang secara umum akan menetap jika tidak ditangani. Prevalensi depresi mayor selanjutnya akan meningkat pada tahun kedua setelah berduka sekitar 14 persen dibandingkan 1


(14)

BAB V KOMORBIDITAS

Orang lanjut usia mempunyai lebih banyak gangguan-gangguan medis dan/atau neurologis dibandingkan dewasa dan kondisi komorbiditas ini secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan terjadinya depresi pada lanjut usia.13

Depresi pada lanjut usia dipandang sebagai suatu yang heterogen. Depresi pada lanjut usia umumnya terjadi pada gangguan medis. Kadang-kadang kondisi-kondisi gangguan medis ini dapat menjadi predisposisi atau pencetus terjadinya depresi, seperti depresi pada penderita infark miokard, penderita kanker20, penderita penyakit kronis21, penyakit serebrovaskuler17,

penderita Parkinson22 yang menimbulkan disabilitas dan merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya depresi.5

Penderita depresi lebih banyak memiliki penyakit medis dibandingkan yang tidak depresi. Pasien depresi dengan penyakit medis dirawat lebih lama

dibandingkan penderita berpenyakit kronis.5 Penyakit-penyakit neurologis dan

penyakit fisik lain sering mengalami depresi dibandingkan orang lanjut usia yang tidak depresi. Gangguan depresi dengan onset pada lanjut usia (late-onset

depressive disorder) kira-kira 2/3 kasusnya mempunyai gangguan neurologis

atau medis lain.23 Depresi, baik sebagai gejala maupun sebagai diagnosis, sering dijumpai pada populasi umum. Seringnya dijumpai pada yang berpenyakit medis dikarenakan dua hal yaitu, penyakit dan pengobatan penyakit itu sendiri dan kerentanan dari faktor psikologis pasien itu sendiri. Pada suatu penelitian epidemiologi mengenai depresi pada orang lanjut usia, disimpulkan bahwa penyakit (ill health) merupakan prediktor timbulnya gejala depresi (predictor of

subsequent depressive symptoms). Terdapat juga bukti bahwa disabilitas dan

keterbatasan aktivitas sebagai prediktor munculnya gejala depresi.24

Depresi juga secara konsisten dilaporkan lebih sering terjadi pada pasien lanjut usia dengan penyakit fisik dibandingkan orang lanjut usia yang sehat. Kennedy dkk mendapatkan hasil bahwa 30 persen pasien lanjut usia dengan 4 atau lebih penyakit mengalami depresi dibandingkan dengan hanya 5 persen pada lanjut usia yang sehat.25


(15)

Depresi pasca stroke juga sering terjadi dengan rentang 18 sampai dengan 61 persen, selama periode akut pasca stroke lebih dari 50 persen pasien

stroke berkembang menjadi depresi, 23,26 sedangkan pada populasi stroke yang

dirawat jalan prevalensi depresi sekitar 30 persen. Suatu studi longitudinal selama 3 tahun pada pasien pasca stroke mendapatkan hasil bahwa prevalensi depresi mayor pada fase akut adalah 25 persen, setelah 3 bulan menjadi 31 persen, kemudian menurun menjadi 16 persen setelah setahun, 19 persen


(16)

BAB VI

GAMBARAN KLINIS

Belum dapat dibedakan dengan jelas secara klinis gangguan depresi pada lanjut usia dengan dewasa, namun terdapat beberapa gejala yang lebih

mencolok pada lanjut usia.2,27 Gejala-gejala cemas dan hipokondriasis sering

didapati pada lanjut usia.27 Jarang dikenalinya depresi pada lanjut usia mungkin karena pengamatan bahwa depresi lebih sering tampak dengan gejala somatik

daripada kelompok yang lebih muda.1 Post menyatakan bahwa pasien depresi

yang lanjut usia mempunyai gejala retardasi dan agitasi yang berat. Abas menyatakan bahwa 70 persen penderita depresi yang lanjut usia mengalami gangguan kognitif (menyelesaikan tugas, belajar, memori dan konsentrasi yang buruk).2

Gambaran klinis penderita dengan depresi adalah sebagai berikut: A. Mood Depresif.

Suatu mood depresif dan hilangnya minat atau kesenangan merupakan gejala utama dari depresi. Mood yang tertekan adalah karakteristik yang utama

pada gejala, timbul hampir pada 90 persen dari seluruh pasien.1 Gambaran diri

pasien biasanya seperti perasaan sedih, rendah diri, kosong, tidak tertolong lagi

atau putus asa, murung atau tampak seperti orang bodoh.7,28 Pasien mungkin

mengatakan bahwa mereka merasa murung, putus asa, dalam kesedihan atau tidak berguna lagi. Pasien sering kali menggambarkan gejala depresi sebagai suatu rasa nyeri emosional yang menderita sekali dan kadang-kadang mereka

mengeluhkan sudah tidak bisa menangis lagi.1

Untuk mendiagnosis depresi dengan menggunakan DSM-IV TR membutuhkan gambaran mood depresif atau kehilangan minat atau kegembiraan (anhedonia), sedangkan jika menggunakan The International Classification of

Disease (ICD-10) harus memenuhi 3 gejala, yaitu mood depresi, kehilangan

minat dan kegembiraan, dan keadaan yang mudah lelah.7,28,29

B. Kehilangan minat, Kelelahan, Gangguan Tidur, Kehilangan Nafsu Makan. Ketidakmampuan dalam menikmati aktivitas adalah yang paling umum dijumpai pada pasien depresi. Pasien atau keluarga pasien akan melaporkan


(17)

pengurangan minat pada hampir semua aktivitas yang dahulu dinikmati. Pasien atau keluarga pasien akan melaporkan pengurangan minat pada semua hal, aktivitas yang selalu dinikmati seperti seks, hobi dan kegiatan rutin sehari-hari.7,28

Hampir semua pasien depresi (97%) melaporkan kehilangan energi (tenaga). Malas dan kelelahan yang tidak biasanya dan terhambatnya efisiensi pada pekerjaan kecil atau sedang yang meyebabkan mereka kesulitan untuk menyelesaikan tugas-tugas dan kurang termotivasi.7,28

Delapan puluh persen pasien depresi mengeluhkan beberapa tipe gangguan tidur, yang paling sering adalah insomnia selama masa mereka mungkin merenungkan masalahnya. Insomnia biasanya dibagi menjadi insomnia awal (masalah susah untuk memulai tidur), pertengahan tidur (tertidur tetapi sering terbangun sepanjang malam) atau akhir tidur (pasien bangun terlalu cepat).7,28

Sekitar 70 persen pasien diobservasi mengalami pengurangan nafsu makan dan disertai kehilangan berat badan, hanya sebagian kecil pasien yang mengalami kenaikan nafsu makan, peningkatan berat badan dan tidur yang berlebihan.7,29

C. Retardasi dan Agitasi Psikomotor.

Sekitar setengah dari pasien depresi berkembang dengan terjadinya kemunduran dan perlambatan gerakan atau aktivitas. Kadang-kadang timbul keluhan seperti lambat dalam berpikir, berbicara, gerakan tubuh atau

pengurangan kosa kata dengan diam yang lama sebelum menjawab.7,28

Retardasi psikomotor tidak selalu ada dan umumnya dikaitkan dengan gambaran

melankolik atau depresi vaskuler.30 Gerakan-gerakan yang melambat ini, pada

kasus yang berat ditandai dengan pikiran yang melambat, dapat membawa meningkatnya kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan aktivitas hidup sehari-hari, diet yang buruk dan akhirnya tidak mau makan dan minum. Berkurangnya mobilitas dapat berlanjut sampai tidak ada gerakan sama sekali 29

D. Sulit Konsentrasi.

Simtom kognitif seperti laporan subyektif sulit berkonsentrasi (87%) sering terjadi. Mereka dapat merasakan bahwa mereka tidak mampu berpikir sebaik dahulu dan mereka sukar berkonsentrasi atau mereka mudah bingung. Seringkali


(18)

ragu-ragu terhadap kemampuan untuk menilai sesuatu dan menemukan kalau mereka kesulitan dalam mengambil keputusan kecil.7,28

E. Perasaan Bersalah.

Perasaan bersalah dan menyalahkan diri, perasaaan tidak berharga yang berlebihan dan rasa bersalah yang tidak sesuai pada individu.7,28

F. Bunuh Diri.

Bunuh diri kira-kira dua kali lebih sering terjadi pada orang lanjut usia

dibanding populasi umum.5,9 Banyak pasien depresi mengalami pikiran yang

berulang-ulang untuk mati, perasaan singkat bahwa orang lain akan lebih baik

dengan kematiannya, juga merencanakan untuk melakukan bunuh diri.Lebih dari

15 persen pasien depresi berat yang parah menyukai kematian dengan bunuh diri. Risiko bunuh diri pasien timbul pada episode depresif tetapi kemungkinan tinggi setelah permulaan terapi dan selama 6-9 bulan setelah periode perbaikan simtomatik. Kira-kira 2/3 dari semua pasien terdepresi merenungkan untuk

melakukan bunuh diri dan 10 sampai dengan 15 persen melakukan bunuh diri.7,28

Pada orang lanjut usia diatas 74 tahun yang melakukan bunuh diri, sekitar

80 persen menunjukkan sindroma depresi.5 Gangguan mood pada orang lanjut

usia merupakan faktor risiko bunuh diri sementara itu penyakit fisik dan disabilitas akan meningkatkan risiko bunuh diri tetapi pengaruhnya diperantarai oleh

depresi.5,9 Kebanyakan yang bunuh diri adalah mereka yang hidup sendiri

(janda/duda, tidak menikah, bercerai). Faktor yang sering mempresipitasi bunuh diri pada lanjut usia adalah masalah kesehatan fisik dan rasa kehilangan.5


(19)

BAB VII DIAGNOSIS

Menurut PPDGJ-III diagnosis gangguan depresif dapat ditegakkan dengan:6

o Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat)

• Afek depresif.

• Kehilangan minat dan kegembiraan.

• Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah

lelah (rasa lelah yang nyata sesudah bekerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

o Gejala lainnya

• Konsentrasi dan perhatian berkurang.

• Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.

• Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.

• Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.

• Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.

• Tidur terganggu.

• Nafsu makan berkurang.

o Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan

masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

o Kategori diagnosis depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat


(20)

Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33).

Kriteria DSM-IV-TR :7

A. Lima (atau lebih) gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya; sekurangnya satu dari gejala adalah salah satu dari mood yang depresi atau hilangnya minat atau kesenangan.

Catatan: Jangan memasukkan gejala-gejala yang jelas disebabkan kondisi medis umum, waham atau halusinasi yang tidak sejalan dengan mood

(mood-incongruent).

1) Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari yang dilaporkan secara subjektif (misalnya: merasa sedih atau kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya: tampak sedih).

2) Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua atau hampir semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari yang dilaporkan secara subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain.

3) Penurunan berat badan yang bermakna tanpa melakukan diet atau penambahan berat badan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.

4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh orang lain, tidak semata-mata hanya perasaan subjektif).

6) Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari.

7) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan hampir setiap hari.


(21)

8) Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau mengambil keputusan hampir setiap hari (baik oleh keterangan subjektif atau seperti yang dilihat orang lain).

9) Pikiran tentang kematian yang berulang (bukan hanya takut mati), ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana yang spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

B. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.

C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.

D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.

Terdapat suatu alat untuk menilai depresi pada lanjut usia yang disebut dengan The Geriatric Depression Scale (GDS). Pertama sekali dibuat oleh Yesavage dan kawan-kawan, alat penilaian ini telah teruji dan digunakan secara luas pada populasi kaum lanjut usia. Formulir panjang GDS merupakan suatu kuesioner singkat yang terdiri atas 30 butir pertanyaan dimana setiap peserta dimintakan untuk memberi jawaban ya atau tidak sebagai rujukan pada bagaimana perasaan mereka selama satu minggu terakhir. Formulir pendek GDS terdiri atas 15 pertanyaan yang telah dikembangkan pada tahun 1986. Dari 15 butir pertanyaan tersebut, 10 buah diantaranya mengindikasikan adanya depresi ketika dijawab dengan positif (ya), sedangkan 5 buah pertanyaan lainnya (nomor 1, 5, 7, 11, dan 13) mengindikasikan depresi ketika dijawab dengan negatif (tidak). GDS dapat dipakai baik pada lanjut usia yang sehat, yang menderita penyakit medis umum, maupun yang menderita gangguan kognitif ringan hingga sedang. Alat penilaian ini telah digunakan secara luas di dalam komunitas, di tempat-tempat perawatan akut, maupun jangka panjang. Formulir pendek GDS lebih mudah untuk digunakan pada pasien yang mengalami penyakit fisik dan menderita demensia ringan hingga sedang yang memiliki tahanan perhatian yang singkat dan/atau lebih mudah untuk merasa lelah. Dibutuhkan waktu sekitar 5 hingga 7 menit untuk menyelesaikan pemeriksaannya.31


(22)

BAB VIII

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dengan psikoterapi dan obat antidepresan biasanya memberikan perbaikan pada penderita depresi lanjut usia. Pada penderita lanjut usia, setiap pemberian obat antidepresan diperlukan perhatian khusus terhadap efek samping walaupun efek samping tersebut umumnya dapat ditoleransi pada penderita yang dewasa namun dapat memberikan masalah yang serius pada

lanjut usia.4 Karena depresi sering menambah disabilitas dan keadaan medis

yang berlebihan, seorang dokter harus memperbaiki kedua masalah ini.5

Pengobatan penderita depresi pada lanjut usia efektif dengan memberikan farmakoterapi, psikoterapi atau keduanya. Tujuan pengobatan depresi pada lanjut usia adalah mencapai remisi dari depresi dan menurunkan risiko relaps dan recurrens.5

A. Farmakoterapi

Pengobatan psikofarmakologi mempunyai kegunaan yang sama baiknya pada penderita yang lanjut usia maupun dewasa. Walaupun begitu, sebagai klinisi harus memperhatikan bahwa penuaan dan pengobatan berhubungan dengan usia yang mempunyai dampak pada farmakokinetik dan sensitifitas terhadap efek samping walaupun pada kadar konsentrasi plasma obat anti depresi yang rendah sekalipun.5

Ada 4 golongan obat antidepresan yang digunakan untuk mengobati depresi pada lanjut usia yaitu SSRI, trisiklik, monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) dan antidepresan atipikal.5

Sangat penting untuk memberikan obat antidepresan dengan dosis atau kadar plasma yang adekuat dan lama pengobatan yang cukup. Penderita depresi yang lanjut usia merespons obat anti depresi lebih lambat dibandingkan dewasa.5 Pengobatan depresi pada lanjut usia biasanya membutuhkan waktu 8 sampai 12 minggu untuk mencapai remisi penuh (full remission). Walaupun begitu, penderita yang tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam minggu ke-4


(23)

Tabel 1. Dosis Harian Antidepresan

Dosis Harian Antidepresan Awal

(mg) Anjuran (mg) Efek samping SSRI Citalopram Fluoksetin Fluvoksamin Paroksetin Sertralin Lainnya Trazodon Bupropion Mirtazapin Venlafaksin TCA Nortriptilin Despiramin 10 10 50 10 25 25 75-100 7,5-1,5 50-75 10-25 10-25 20-40 10-50 100-300 10-40 50-150 75-300 200-300 15-45 75-225 50-150 75-150

Gejala GI, disfungsi seksual

Gejala GI, disfungsi seksual, insomnia Gejala GI, disfungsi seksual

Gejala GI, disfungsi seksual Gejala GI, disfungsi seksual

Sedasi

Gejala GI, agitasi, kejang Sedasi, perubahan BB Gejala GI, hipertensi

Sedasi, abnormalitas konduksi jantung, reaksi antikolinergik, orthostasis

Reaksi antikolinergik, orthostasis, sedasi, abnormalitas konduksi jantung

Dikutip dari : Lapid MI, Rummans TA. Evaluation and management of Geriatric Depression in Primary Care. Mayo Clin Proc. 2003; 78: p.1423-9.

1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Dari pengalaman-pengalaman klinis diketahui bahwa obat-obat ini efektif

untuk pasien-pasien dengan sindroma depresi.5 Obat-obat antidepresan

golongan SSRI sekarang ini menjadi pilihan pertama dalam penanganan depresi pada lanjut usia karena efikasinya dan profil efek samping yang kurang begitu


(24)

mengganggu. Kebanyakan SSRI diberikan sekali sehari sehingga akan meningkatkan kepatuhan pasien terutama pasien-pasien lanjut usia biasanya mengkonsumsi banyak obat. Obat golongan SSRI yang sering dipakai untuk mengobati depresi pada lanjut usia adalah fluoksetin, sertralin, paroksetin, citalopram, escitalopram dan fluvoksamin.32

Interaksi obat sebaiknya dipertimbangkan pada pasien lanjut usia yang menggunakan SSRI. Perlu dilakukan penurunan dosis dan monitoring kadar

plasma obat trisiklik, antipsikotik, β-blocker dan verapamil jika diberikan

bersamaan dengan fluoksetin atau paroksetin. Demikian juga pada pasien-pasien yang menggunakan obat-obat seperti alprazolam, triazolam, karbamazepin, kuinidin, eritromisin, terfenadin dan astemizol, kadar plasmanya akan meningkat jika diberikan bersamaan dengan fluoksetin sehingga perlu dipertimbangkan pengurangan dosis obat-obat tersebut. Pada pasien yang diberikan teofilin untuk keluhan medisnya harus diberikan perhatian khusus jika pasien diterapi dengan fluvoksamin karena fluvoksamin akan menurunkan teofilin klirens.5

Penghambat ambilan kembali serotonin dan norepineprin (serotonin and

norepinephrine reuptake inhibitor = SNRI) venlafaksin, memberikan rasio remisi

yang tinggi dan diketahui sama efektifnya pada pasien-pasien depresi yang diopname, depresi yang sudah resisten dan pasien depresi dengan nyeri kronis. Karena alasan inilah maka venlafaksin sebaiknya dipertimbangkan pemberiannya pada penderita dengan depresi yang berat dan depresi yang tidak respons lagi dengan antidepresan lain.5

2. Antidepresan Trisiklik

Nortriptilin dan desipramin merupakan obat golongan obat antidepresan trisiklik yang paling banyak diresepkan untuk penderita depresi yang berusia lanjut. Obat-obat tersebut mempunyai efek antikolinergik dan sedatif yang rendah dibandingkan dengan amitriptilin, doksepin dan imipramin. Nortriptilin menunjukkan potensial yang rendah untuk terjadinya hipotensi ortostatik dibandingkan antidepresan trisiklik lainnya. Pada penderita lanjut usia sering tercapai kadar terapeutik dalam darah obat nortriptilin atau desipramin walaupun dosis harian masih kecil. Pada pasien lanjut usia lebih rentan mengalami delirium, konstipasi, retensi urin, mulut kering dan hipotensi ortostatik dari pada


(25)

dewasa. Karena alasan ini peningkatan dosis antidepresan pada orang lanjut usia lebih lambat dibandingkan dewasa. Kebanyakan pada pasien lanjut usia mencapai kadar terapeutik plasma pada dosis harian nortriptilin 1-1,2 mg/kgBB

dan desipramin 1,5-2 mg/kgBB.5

3. Monoamin oksidase Inhibitor (MAOI)

Pada lanjut usia, penelitian tentang penggunaan obat-obat golongan ini masih terbatas. Penggunaan dosis biasanya lebih kecil, 30-45 mg sehari untuk

phenelzine atau 20-30 mg sehari untuk tranylcypromine. Efek samping yang

paling sering adalah hipotensi ortostatik. Efek samping ini menjadi perhatian karena mengakibatkan terjatuh dan fraktur. Efek samping yang lain termasuk peningkatan berat badan, kehilangan energi (lack of energy) dan insomnia.5

4. Antidepresan Lain

Masih sangat sedikit penelitian-penelitian penggunaan bupropion pada lanjut usia. Bupropion tidak menyebabkan kemunduran kognitif atau sedasi, aman pada dosis yang tinggi dan kurang mengakibatkan cardiotoxicity sehingga aman diberikan pada lanjut usia dengan penyakit jantung. Walupun begitu, bupropion dapat meningkatkan tekanan darah sehingga perlu dilakukan monitor tekanan darah sebelum pemberian obat ini. Selain itu, kejang juga dapat terjadi pada penggunaan bupropion. Interaksi obat bupropion dengan obat-obat lain juga sedikit, tetapi sebaiknya tidak diberikan bersama dengan MAOI. Pasien

lanjut usia membutuhkan 150 mg bupropion 2 kali sehari.5

Mirtazapin telah banyak digunakan pada pasien depresi yang lemah dengan anoreksia. Efek samping mirtazapin berupa sedasi, hipotensi dan efek antikolinergik, pusing, nafsu makan bertambah dan peningkatan berat badan. Untuk menghindari efek sedasi maka dosis awal mirtazapin 15 mg sebaiknya diberikan sebelum tidur. Dosis harian mirtazapin pada pasien lanjut usia cukup

dengan 30-45 mg.5 Mirtazapine merupakan antagonis reseptor α2 prasinaptik

inhibitor yang sama dengan reseptor serotonin tipe 2 (5HT2) dan tipe 3 (5HT3). Mirtazapin juga antagonis terhadap reseptor histaminergik dan antagonis ringan

terhadap reseptor α1 adrenergik dan muskarinik. Sehingga efek samping


(26)

mirtazapin 20-40 jam dan waktu paruh ini meningkat sampai 40 persen pada pasien lanjut usia. Mirtazapin di metabolisme di hati oleh CYP 2D6, CYP 1A2, CYP 3A4, tetapi mirtazapin sendiri bukanlah suatu inhibitor untuk CYP.5

Nefazodon dapat menimbulkan rasa mengantuk dan mempunyai efek ansiolitik. Nefazodon aman dalam keadaan dosis yang lebih. Nefazodon tidak mempengaruhi arsitektur tidur dan tidak mengakibatkan disfungsi seksual. Walaupun begitu, sedasi dan pemberian 2 kali sehari mungkin memberi masalah pada beberapa pasien lanjut usia. Total dosis harian yang dibutuhkan adalah 300

sampai 500 mg.5

B. Psikoterapi

Terapi interpersonal, terapi kognitif-perilaku dan terapi pemecahan masalah telah diketahui efektif pada penderita lanjut usia yang depresi. Psikoterapi berperan sangat baik dalam merawat pasien lanjut usia yang depresi karena kehilangan orang yang dicintai atau pada pasien yang mengalami krisis kehidupan, kurangnya pendukung sosial, mengalami disabilitas atau kemampuan

coping yang kurang memadai terhadap situasi kehidupannya. Psikoterapi sangat

membantu pada pasien depresi lanjut usia yang merasa tidak berpengharapan (hopelessness) terutama mereka yang mempunyai riwayat percobaan bunuh diri. Psikoterapi juga sangat membantu dalam mendukung pasien lanjut usia untuk menanggulangi simtom-simtom dan untuk mematuhi pengobatan sebelum obat antidepresan menimbulkan hasil. Terapi psikososial sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi biologi.1,5

Psikoterapi berguna untuk membantu orang lanjut usia untuk dapat menerima keadaan dan masalah emosional disekeliling mereka, memahami perilaku mereka dan akibat dari perilaku mereka terhadap yang lain. Psikoterapi juga berguna untuk meningkatkan hubungan interpersonal dengan meningkatkan kepercayaan diri, penghargaan diri, mengurangi anggapan ketidakberdayaan dan


(27)

BAB IX PROGNOSIS

Sampai sekarang masih diperdebatkan mengenai hasil akhir (outcome)

pada penderita depresi yang lanjut usia dibandingkan dengan dewasa.33 Pada

suatu studi metaanalisis menunjukkan bahwa setelah 2 tahun, 21 persen penderita lanjut usia yang depresi meninggal dunia dan separuh dari yang masih

hidup tetap mengalami depresi.34 Pada penelitian lain menunjukkan bahwa

secara keseluruhan hampir 25 persen subyek lanjut usia yang menderita depresi pada akhirnya akan menunjukkan remisi penuh dari simtom-simtom depresi baik spontan maupun sesudah diberikan beberapa jenis pengobatan. Dua puluh lima persen lainnya tidak berespons terhadap intervensi apapun dan akan berlanjut simtom-simtom depresi yang berat. Sedangkan 50 persen lainnya akan menunjukkan baik remisi parsial maupun mengalami periode waktu yang bebas

simtom yang diselang-selingi dengan eksaserbasi depresi yang sering.35

Walaupun begitu terdapat juga bukti-bukti bahwa prognosis depresi pada dewasa juga buruk.36

Pada pasien lanjut usia lebih sering mengalami gangguan medis lain yang berhubungan dengan disabilitas, menurunkan kualitas hidup, meningkatkan mortalitas, lebih sensitif terhadap efek samping obat dan mengkonsumsi obat-obatan lain sehingga meningkatkan interaksi antar obat 37 sehingga jika terjadi depresi pada orang lanjut usia akan memperpanjang lamanya perawatan,

kepatuhan yang buruk pada pengobatan dan meningkatkan perawatan kembali.11

Penderita lanjut usia yang depresi dengan komorbiditas ini menunjukkan waktu pencapaian remisi yang lebih lama dan rasio remisi yang lebih kecil dibandingkan dengan depresi tanpa dijumpai komorbiditas dengan penyakit lain. Jadi onset pertama pasien depresi pada lanjut usia tanpa komorbiditas mempunyai hasil akhir yang baik, tetapi semakin banyak komorbiditas dengan penyakit lain maka hasil akhir semakin buruk. Oleh karena itu dalam implikasi klinis pasien-pasien depresi yang lanjut usia dengan komorbiditas tampaknya membutuhkan pengobatan dengan antidepresan yang lebih lama.33,37-39

Kehilangan yang dini dari ibu untuk pria dan ayah untuk wanita merupakan prediktor untuk depresi yang terjadi pada lanjut usia. Penjelasan yang paling


(28)

mungkin adalah bahwa kehilangan yang dini ini membuat individu menjadi peka terhadap kejadian-kejadian yang penuh stres dan sejalan dengan bertambahnya usia mereka menjadi bertambah peka terhadap kehilangan dan stresor pada usia lanjut. Walaupun begitu peranan stresor kehidupan sebagai prediktor yang independen pada lanjut usia membutuhkan penelitian lebih lanjut.30

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil yang baik pada penderita depresi lanjut usia meliputi adanya riwayat pemulihan dari episode sebelumnya, jenis kelamin wanita, bekerja atau dulunya memiliki pekerjaan, tidak ada penyalahgunaan zat, tidak ada riwayat gangguan psikiatri yang berat, gejala-gejala kurang berat dan tidak adanya peistiwa-peristiwa kehidupan yang besar. Kesehatan mental selama proses penuaan yang sukses mencakup edukasi dan perilaku gaya hidup seperti aktivitas fisik dan menurunkan asupan lemak jenuh. Hasil dari sejumlah studi mengusulkan adanya hubungan antara dukungan sosial


(29)

BAB X KESIMPULAN

Depresi merupakan gangguan psikiatrik yang sangat sering terjadi pada

lanjut usia. Pada orang lanjut usia, gangguan mood akan menyebabkan

penderitaan pada pasien dan keluarga, memperberat penyakit medis,

mengakibatkan disabilitas dan membutuhkan sistem pendukung yang luas.

Pada studi-studi yang dilakukan di masyarakat menunjukkan bahwa 25 persen orang lanjut usia mengeluhkan pernah mengalami simtom-simtom depresi, tetapi hanya 1 sampai dengan 9 persen yang memenuhi kriteria

gangguan depresi mayor.Prevalensi simtom depresi pada orang lanjut usia yang

berobat jalan berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen, sedangkan pada lanjut usia yang diopname prevalensi simtom depresi bahkan lebih tinggi

mencapai 22 sampai dengan 34 persen.

Selain faktor biologi, faktor psikologi, sosial dan faktor medis lain dapat menjadi predisposisi pada orang lanjut usia untuk menjadi depresi. Penderita depresi lebih banyak memiliki penyakit medis dibandingkan yang tidak depresi. Pasien depresi dengan penyakit medis dirawat lebih lama dibandingkan penderita berpenyakit kronis.

Gambaran klinis penderita dengan depresi adalah sebagai berikut: mood depresif, kehilangan minat, kelelahan, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, retardasi dan agitasi psikomotor, sulit konsentrasi, perasaan bersalah, dan bunuh diri.

Pengobatan penderita depresi pada lanjut usia efektif dengan memberikan farmakoterapi, psikoterapi atau keduanya. Tujuan pengobatan depresi pada lanjut usia adalah mencapai remisi dari depresi dan menurunkan risiko relaps dan recurrens.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil yang baik pada penderita depresi lanjut usia meliputi adanya riwayat pemulihan dari episode sebelumnya, jenis kelamin wanita, bekerja atau dulunya memiliki pekerjaan, tidak ada penyalahgunaan zat, tidak ada riwayat gangguan psikiatri yang berat, gejala-gejala kurang berat dan tidak adanya peistiwa-peristiwa kehidupan yang besar.


(30)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Synopsis of Psychiatry. Behavior Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p.53-61;527-78; 1348-58.

2. Gelder M, Gath D, Mayou R, Cowen P. Oxford Textbook of Psychiatry. 3rd

ed. New York: Oxford University Press, 1996, p.,510, 527-29.

3. Bonsdorf Mv, Rantanen T, et.al. Mobility Limitations and Cognitive Deficits as Predictors of Institutionalization among Community-Dwelling Older People. Gerontology 2006;52:359.

4. Ghaemi, SN. Mood Disorder. A Practical Guide. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003, p.242-3.

5. Alexopoulos, GS. Mood Disorders. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3677-86.

6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: 1993, hal.150-55.

7. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual Disorders (DSM-IV-TR), 4th ed, Washington DC, 2000, p.349-56.

8. Hybels CF, Blazer DG. Epidemiology of Psychiatric Disorders. In:

Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins, 2005, p.3595-610.

9. Alexopoulos, GS. Depression in the Elderly. The Lancet; June 2005; 365. p.1961-70.

10. Lebowitz BD, Pearson JL, Schneider LS, et al. Diagnosis and treatment of depression in late life: consensus statement update. JAMA 1997;278(14):1186-90.

11. German I, Feldblum I, Bilenko N, et al. Depressive Symptom and Risk For Malnutriton Among Hospitalized Elderly People. The Journal of Nutrition, Helath & Aging. May 2008; 12;5, p. 313-18.

12. Teresi J, Abrams R, Holmes D, et al. Prevalence of depression and depression recognition in nursing homes. Soc Psychiatry. Psychiatry Epidemiol 2001;36(12):613-20.


(31)

13. Lapid MI, Rummans TA. Evaluation and Management of Geriatric Depression in Primary Care. Mayo Clinic Proceedings; Nov 2003; 78, 11, p.1423-29.

14. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 30 Persen Lansia Tidak Bahagia dan Depresi. Available at : URL : www.menkokesra.go.id/content/view/11433/39/.

15. Unetzer J, Bruce ML. The Elderly. Mental Health Services Research; Dec 2002; 4, 4; p. 245-7.

16. Gabaldon L, Fuentes B, Garcia AF, Tejedor ED. Poststroke Depression:

Importance of its Detection and Treatment. Cerebrovasc Dis

2007;24(suppl 1):181–188.

17. Mast BT, Yochim B, MacNaill SE, Litshenberg PA. Risk Factor for Geriatric Depression: The Importance of Executive Functioning Within the Vascular Depression Hypothesis. The Journals of Gerontology; Dec 2004; 59A, 12;. p. 1290-94.

18. Blazer DG, Sachs-Ericsson N, Hybels CF. Perception of Unmet Basic Needs as a Predictor of Depressive Symptoms Among Community-Dwelling Older Adults. The Journals of Gerontology, 2007;62A, 2, p.191. 19. Blazer DG. Depression in Late Life: Review and commentary. J

Gerontology Med Sci 2003; 58A(3); p.249-65.

20. Rodin G. Treatment of depression in patients with cancer. The Lancet; Jul 2008; 372. p. 8-10.

21. Reynolds SL, Haley WE, Kozlenko N. The Impact of Depressive Symptoms and Chronic Diseases on Active Life Expectancy in Older Americans. The American Journal of Geriatric Psychiatry; 2008; 16,5. p. 425-32.

22. Poewe W. Depression in Parkinson Disease. J Neurol 2007; 254 (suppl 5). p.49-55.

23. Reiman EM, Alexander GE. Neuroimaging: Overview. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3636-46.


(32)

24. Mayou RA. Depression and Type of Physical Disorder and Treatment. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 31-33.

25. Walker Z, Katona CLE. Depression in Elderly People with Physical Illness. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 169-79.

26. Robertson MM. Depression in Neurological Disorders. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 305-27.

27. Gelder M, Mayou R, Geddes J. Psychiatry. 3rd ed. Oxford University Press, 2005, p.226.

28. First MB, Tasman A. DSM-IV-TR Mental Disorders Diagnosis, Etiology, and Treatment. John Wiley & Sons, Ltd, England, 2004: 736-72.

29. Evans M, Mottram MF. Diagnosis of Depression in Elderly Patients. Advances in Psychiatric Treatment. 2000; 6. p.49-56.

30. Fountoulakis KN, O’Hara R, Iacovides A, et al. Unipolar Late-Onset Depression: A Comprehensive Review. Ann Gen Hosp Psychiatry 2003, 2. p.11.

31. Kurlowicz L, Greenberg SA. The Geriatric Depression Scale (GDS). Try This : Best Practice in Nursing Care to Older Adults. New York University. 2007 : 4, p.1-2.

32. Salzman C. Psychopharmacology: Antidepressants and Mood Stabilizers In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3720-22.

33. Mitchell AJ, Subramaniam H. Prognosis of Depression in Old Age Compared to Middle Age: A Systematic review of camparative studies. American Journal of Psychiatry 2005; 162;9. p.1588-1601.

34. Cole MG, Bellavance F, Mansour A. Prognosis of Depression in Elderly Community and Primary Care Population: a systematic review and meta-analysis. American Journal of Psychiatry 1999; 156, p 1182-89.


(33)

35. Rao GS, Janicak PG, Unterman TG, Winans EA. Hormonal Therapy for Late-Onset Depression: The Case for Growth Hormone. Psychiatic Annals 2001; 31(12). p.706-12.

36. Salomon DA, Keller MB, Leon AC, et al. Recovery from Major Depression: a 10-year prospective follow-up across multiple episodes. Arch Gen Psychiatry 1997; 54. p.1001-6.

37. Charney DS, Berman RM, Miller HL. Treatment of Depression. In: Schatzberg AF, Nemeroff CB. Essentials of Clinical Psychopharmacology. Washington DC: American Psychiatric Publishing. 2001, p.353-60.

38. Lovestone S, Howard R. Depression in Elderly People. In: Cowen PJ, Lovestone S, Howard R. Depression and Sleep & Depression in Elderly People. London: Martin Dunitz, 1997, p.42-3.

39. Flint AJ, Rifat SL. Two-Year Outcome of Psychotic Depression in Late Life. American journal of Psychiatry. 1998; 155. p.178-83.

40. Blazer DG, Koenig HG. Mood Disorders. In: Buse EW, Blazer DG, eds,

Textbook of Geriatric Psychiatry. 2nd ed. Washington DC: American

Psychiatric Press, 1996. p.235-63.

41. Almeida OP, Norman P, et.al. Succesful Mental Health Aging : Results From a Longitudinal Study of Older Australian Men. The American Journal of Geriatric Psychiatry. 2006; 14, 1, p.27.


(1)

mungkin adalah bahwa kehilangan yang dini ini membuat individu menjadi peka terhadap kejadian-kejadian yang penuh stres dan sejalan dengan bertambahnya usia mereka menjadi bertambah peka terhadap kehilangan dan stresor pada usia lanjut. Walaupun begitu peranan stresor kehidupan sebagai prediktor yang independen pada lanjut usia membutuhkan penelitian lebih lanjut.30

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil yang baik pada penderita depresi lanjut usia meliputi adanya riwayat pemulihan dari episode sebelumnya, jenis kelamin wanita, bekerja atau dulunya memiliki pekerjaan, tidak ada penyalahgunaan zat, tidak ada riwayat gangguan psikiatri yang berat, gejala-gejala kurang berat dan tidak adanya peistiwa-peristiwa kehidupan yang besar. Kesehatan mental selama proses penuaan yang sukses mencakup edukasi dan perilaku gaya hidup seperti aktivitas fisik dan menurunkan asupan lemak jenuh. Hasil dari sejumlah studi mengusulkan adanya hubungan antara dukungan sosial


(2)

BAB X KESIMPULAN

Depresi merupakan gangguan psikiatrik yang sangat sering terjadi pada lanjut usia. Pada orang lanjut usia, gangguan mood akan menyebabkan penderitaan pada pasien dan keluarga, memperberat penyakit medis, mengakibatkan disabilitas dan membutuhkan sistem pendukung yang luas.

Pada studi-studi yang dilakukan di masyarakat menunjukkan bahwa 25 persen orang lanjut usia mengeluhkan pernah mengalami simtom-simtom depresi, tetapi hanya 1 sampai dengan 9 persen yang memenuhi kriteria gangguan depresi mayor.Prevalensi simtom depresi pada orang lanjut usia yang berobat jalan berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen, sedangkan pada lanjut usia yang diopname prevalensi simtom depresi bahkan lebih tinggi mencapai 22 sampai dengan 34 persen.

Selain faktor biologi, faktor psikologi, sosial dan faktor medis lain dapat menjadi predisposisi pada orang lanjut usia untuk menjadi depresi. Penderita depresi lebih banyak memiliki penyakit medis dibandingkan yang tidak depresi. Pasien depresi dengan penyakit medis dirawat lebih lama dibandingkan penderita berpenyakit kronis.

Gambaran klinis penderita dengan depresi adalah sebagai berikut: mood depresif, kehilangan minat, kelelahan, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, retardasi dan agitasi psikomotor, sulit konsentrasi, perasaan bersalah, dan bunuh diri.

Pengobatan penderita depresi pada lanjut usia efektif dengan memberikan farmakoterapi, psikoterapi atau keduanya. Tujuan pengobatan depresi pada lanjut usia adalah mencapai remisi dari depresi dan menurunkan risiko relaps dan recurrens.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil yang baik pada penderita depresi lanjut usia meliputi adanya riwayat pemulihan dari episode sebelumnya, jenis kelamin wanita, bekerja atau dulunya memiliki pekerjaan, tidak ada penyalahgunaan zat, tidak ada riwayat gangguan psikiatri yang berat, gejala-gejala kurang berat dan tidak adanya peistiwa-peristiwa kehidupan yang besar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Synopsis of Psychiatry. Behavior Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p.53-61;527-78; 1348-58.

2. Gelder M, Gath D, Mayou R, Cowen P. Oxford Textbook of Psychiatry. 3rd ed. New York: Oxford University Press, 1996, p.,510, 527-29.

3. Bonsdorf Mv, Rantanen T, et.al. Mobility Limitations and Cognitive Deficits as Predictors of Institutionalization among Community-Dwelling Older People. Gerontology 2006;52:359.

4. Ghaemi, SN. Mood Disorder. A Practical Guide. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003, p.242-3.

5. Alexopoulos, GS. Mood Disorders. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3677-86.

6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: 1993, hal.150-55.

7. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual Disorders (DSM-IV-TR), 4th ed, Washington DC, 2000, p.349-56.

8. Hybels CF, Blazer DG. Epidemiology of Psychiatric Disorders. In: Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3595-610.

9. Alexopoulos, GS. Depression in the Elderly. The Lancet; June 2005; 365. p.1961-70.

10. Lebowitz BD, Pearson JL, Schneider LS, et al. Diagnosis and treatment of depression in late life: consensus statement update. JAMA 1997;278(14):1186-90.

11. German I, Feldblum I, Bilenko N, et al. Depressive Symptom and Risk For Malnutriton Among Hospitalized Elderly People. The Journal of Nutrition, Helath & Aging. May 2008; 12;5, p. 313-18.

12. Teresi J, Abrams R, Holmes D, et al. Prevalence of depression and depression recognition in nursing homes. Soc Psychiatry. Psychiatry


(4)

13. Lapid MI, Rummans TA. Evaluation and Management of Geriatric Depression in Primary Care. Mayo Clinic Proceedings; Nov 2003; 78, 11, p.1423-29.

14. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 30 Persen Lansia Tidak Bahagia dan Depresi. Available at : URL : www.menkokesra.go.id/content/view/11433/39/.

15. Unetzer J, Bruce ML. The Elderly. Mental Health Services Research; Dec 2002; 4, 4; p. 245-7.

16. Gabaldon L, Fuentes B, Garcia AF, Tejedor ED. Poststroke Depression: Importance of its Detection and Treatment. Cerebrovasc Dis 2007;24(suppl 1):181–188.

17. Mast BT, Yochim B, MacNaill SE, Litshenberg PA. Risk Factor for Geriatric Depression: The Importance of Executive Functioning Within the Vascular Depression Hypothesis. The Journals of Gerontology; Dec 2004; 59A, 12;. p. 1290-94.

18. Blazer DG, Sachs-Ericsson N, Hybels CF. Perception of Unmet Basic Needs as a Predictor of Depressive Symptoms Among Community-Dwelling Older Adults. The Journals of Gerontology, 2007;62A, 2, p.191. 19. Blazer DG. Depression in Late Life: Review and commentary. J

Gerontology Med Sci 2003; 58A(3); p.249-65.

20. Rodin G. Treatment of depression in patients with cancer. The Lancet; Jul 2008; 372. p. 8-10.

21. Reynolds SL, Haley WE, Kozlenko N. The Impact of Depressive Symptoms and Chronic Diseases on Active Life Expectancy in Older Americans. The American Journal of Geriatric Psychiatry; 2008; 16,5. p. 425-32.

22. Poewe W. Depression in Parkinson Disease. J Neurol 2007; 254 (suppl 5). p.49-55.

23. Reiman EM, Alexander GE. Neuroimaging: Overview. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3636-46.


(5)

24. Mayou RA. Depression and Type of Physical Disorder and Treatment. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 31-33.

25. Walker Z, Katona CLE. Depression in Elderly People with Physical Illness. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 169-79.

26. Robertson MM. Depression in Neurological Disorders. In: Robertson MM, Katona CLE. Depression and Physical Illness. Chichester: John Wiley & Sons, 1997, p. 305-27.

27. Gelder M, Mayou R, Geddes J. Psychiatry. 3rd ed. Oxford University Press, 2005, p.226.

28. First MB, Tasman A. DSM-IV-TR Mental Disorders Diagnosis, Etiology, and Treatment. John Wiley & Sons, Ltd, England, 2004: 736-72.

29. Evans M, Mottram MF. Diagnosis of Depression in Elderly Patients. Advances in Psychiatric Treatment. 2000; 6. p.49-56.

30. Fountoulakis KN, O’Hara R, Iacovides A, et al. Unipolar Late-Onset Depression: A Comprehensive Review. Ann Gen Hosp Psychiatry 2003, 2. p.11.

31. Kurlowicz L, Greenberg SA. The Geriatric Depression Scale (GDS). Try This : Best Practice in Nursing Care to Older Adults. New York University. 2007 : 4, p.1-2.

32. Salzman C. Psychopharmacology: Antidepressants and Mood Stabilizers In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p.3720-22.

33. Mitchell AJ, Subramaniam H. Prognosis of Depression in Old Age Compared to Middle Age: A Systematic review of camparative studies. American Journal of Psychiatry 2005; 162;9. p.1588-1601.

34. Cole MG, Bellavance F, Mansour A. Prognosis of Depression in Elderly Community and Primary Care Population: a systematic review and meta-analysis. American Journal of Psychiatry 1999; 156, p 1182-89.


(6)

35. Rao GS, Janicak PG, Unterman TG, Winans EA. Hormonal Therapy for Late-Onset Depression: The Case for Growth Hormone. Psychiatic Annals 2001; 31(12). p.706-12.

36. Salomon DA, Keller MB, Leon AC, et al. Recovery from Major Depression: a 10-year prospective follow-up across multiple episodes. Arch Gen Psychiatry 1997; 54. p.1001-6.

37. Charney DS, Berman RM, Miller HL. Treatment of Depression. In: Schatzberg AF, Nemeroff CB. Essentials of Clinical Psychopharmacology. Washington DC: American Psychiatric Publishing. 2001, p.353-60.

38. Lovestone S, Howard R. Depression in Elderly People. In: Cowen PJ, Lovestone S, Howard R. Depression and Sleep & Depression in Elderly People. London: Martin Dunitz, 1997, p.42-3.

39. Flint AJ, Rifat SL. Two-Year Outcome of Psychotic Depression in Late Life. American journal of Psychiatry. 1998; 155. p.178-83.

40. Blazer DG, Koenig HG. Mood Disorders. In: Buse EW, Blazer DG, eds, Textbook of Geriatric Psychiatry. 2nd ed. Washington DC: American Psychiatric Press, 1996. p.235-63.

41. Almeida OP, Norman P, et.al. Succesful Mental Health Aging : Results From a Longitudinal Study of Older Australian Men. The American Journal of Geriatric Psychiatry. 2006; 14, 1, p.27.