Depresi Dan Penanganannya

(1)

DEPRESI DAN PENANGANANNYA

Oleh :

Marianne, S.Si., M.Si., Apt.

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2010


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Depresi dan Penanganannya”.

Terima kasih kepada kedua orang tua Prof. Dr. Bastian Arifin, M. Sc., dan Ir. Rosnani, M. Si yang telah banyak memberikan dukungan. Terima kasih kepada Andy Febriady, S. Si., Apt., serta kedua putriku Aisha Syahira dan Almira Syarah. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku dekan beserta dosen-dosen di Fakultas Farmasi USU yang telah mendukung selesainya karya tulis ini.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Medan, 12 November 2010


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR SINGKATAN... v

Bab I Pendahuluan... 1

Bab II Depresi ... 2

II.1 Definisi dan Prevalensi Depresi ... 2

II.2 Etiologi Depresi ... 3

II.3 Gejala Klinis Depresi ... 4

II.4 Diagnosis Depresi ... 6

Bab III Terapi Depresi ... 10

III.1 Terapi Non Farmakologi ... 10

III.2 Terapi Farmakologi... 12

Bab IV Interaksi Obat... 16

IV.1 Interaksi Obat Golongan SSRI... 16

IV.2 Interaksi Obat Golongan TCA ... 19

IV.3 Interaksi Obat Golongan MAOI... 21

IV.4 Interaksi Obat Golongan Lain ... 22

Bab V Pencegahan Berulangnya Kejadian Depresi... 25

Bab VI Kesimpulan... 26


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar III.1 Tempat kerja obat antidepresi ... 14 Gambar III.2 Algoritma untuk pengobatan depresi tanpa komplikasi... 15


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel II.1 Beberapa penyakit, psikiatrik dan/atau obat yang bisa

menginduksi terjadinya depresi ... 7

Tabel II.2 Gejala depresi berdasarkan PPDGJ III... 8

Tabel II.3 Derajat depresi ... 9

Tabel II.4 Metode pengukuran derajat depresi ... 9

Tabel IV.1 Interaksi obat SSRI dengan obat lain ... 16

Tabel IV.2 Interaksi farmakokinetika dengan obat TCA ... 19

Tabel IV.3 Interaksi farmakodinamika dengan obat TCA ... 20

Tabel IV.4 Obat yang dilarang dikonsumsi ketika mengkonsumsi MAOI ... 21

Tabel IV.5 Interaksi obat dengan antidepresan lainnya ... 22


(6)

  DAFTAR SINGKATAN Singkatan Nama WHO DSM-IV-TR NE DA 5-HT PPDGJ III CBT ECT SAD RTMS SSRI TCA MAOI

World Health Organization

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed., Text Revision

Norepinefrin Dopamin

5-Hidroksitriptamin

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III

Cognitive Behavioral Therapy Electro Convulsive Therapy Seasonal Affective Disorder

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

Tricyclic Antidepressants Monoamine Oxidase Inhibitor

               


(7)

   

Bab I

Pendahuluan

 

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri. Selain itu, depresi yang berat juga menimbulkan berbagai penyakit fisik, seperti ganggguan pencernaan, asma, gangguan pada pembuluh darah, penurunan produktivitas, dan lain-lain.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2020 depresi akan menjadi beban global karena akan menjadi penyakit kedua di dunia dengan jumlah pasien terbanyak setelah jantung iskemik. Prevalensi penyakit depresi diperkirakan 5% - 10% per tahun. Depresi dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak maupun dewasa, pria maupun wanita, ataupun dari ras apa saja.

Kelainan depresi mayor dan kelainan distimik merupakan dua tipe kelainan depresi yang tercantum pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed., text revision (DSM-IV-TR). Gambaran penting pada kelainan depresi mayor adalah keadaan klinis yang ditandai dengan satu atau lebih episode depresi tanpa riwayat mania, gabungan depresi-mania, atau hipomania. Kelainan distimik adalah gangguan suasana hati (mood) kronis yang melibatkan depresi suasana hati dan sekurangnya terdapat dua gejala lain, dan kelainan ini pada umumnya lebih ringan dibandingkan kelainan depresi mayor. Pada makalah ini lebih difokuskan pada penyakit depresi mayor.


(8)

Bab II

Depresi

II.1 Definisi dan Prevalensi Depresi

Depresi atau yang lebih dikenal dengan depresi mayor adalah gangguan jiwa atau

mood (suasana hati) berupa perasaan sedih atau kehilangan minat/kesenangan dalam semua aktifitas minimal selama dua minggu. Disertai dengan gejala-gejala seperti kehilangan berat badan, kesulitan berkonsentrasi, dll. Depresi terjadi tanpa ada sejarah mania, campuran atau hipomania.

Berdasarkan usia, depresi dapat terjadi pada semua usia, mulai dari anak-anak sampai manula. Namun depresi paling sering terjadi pada usia 25-44 tahun. Menurut the National Mental Health Association, kejadian depresi di negara-negara maju lebih sering terjadi dan dari penelitian disebutkan bahwa satu dari tiga anak di Amerika menderita depresi.

Berdasarkan jenis kelamin, depresi dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. Pada wanita, risiko depresi meningkat sejak masa remaja sampai usia 50-an dengan tingkat kejadian depresi 1,7 – 2,7 kali lebih besar dibandingkan pria. Pada usia 65-80 tahun, prevalensi depresi pada wanita sebesar 20,4% sedangkan pria 9,6%.

Depresi juga merupakan penyakit yang diturunkan. Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa 8-18% pasien depresi memiliki keluarga yang mengalami depresi. Kejadian ini lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang memiliki keluarga tanpa sejarah depresi, yaitu sebesar 5,6%. Apabila salah seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi, maka 27% anaknya berpeluang mengalami gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita depresi maka kemungkinannya meningkat menjadi 50-75%. Pada orang kembar, 39% pasien mengalami depresi karena faktor hubungan darah, sedangkan 61% karena dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing.


(9)

II.2 Etiologi Depresi

Etiologi penyakit depresi sangat kompleks dan belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor endogen dan eksogen diduga saling terkait dalam menimbulkan keadaan depresi. Faktor-faktor endogen yang diduga berperan dalam kejadian depresi adalah terjadinya perubahan kesetimbangan neurotransmitter di dalam tubuh, genetika dan hormonal. Sedangkan faktor eksogen yang diduga berperan memicu timbulnya depresi adalah keadaan lingkungan sosial.

a. Faktor Endogen

Adanya perubahan kesetimbangan neurotransmitter di otak diduga sangat berperan dalam menimbulkan kejadian depresi. Neurotransmitter yang terutama berperan pada kejadian depresi adalah neurotransmitter monoamin seperti norepinefrin, serotonin dan dopamin. Berikut ini merupakan hipotesa yang berhubungan dengan neurotransmitter tersebut.

1. Hipotesis amin biogenik, menyatakan bahwa depresi dapat disebabkan terjadinya penurunan kadar neurotransmitter norepinefrin (NE), serotonin (5-HT) dan dopamin (DA) di otak.

2. Teori perubahan post sinaptik pada sensitivitas reseptor, menyatakan bahwa perubahan sensitivitas reseptor NE atau 5-HT2 berhubungan dengan awal penyakit depresi.

3. Hipotesis deregulasi, teori ini menekankan kegagalan regulasi homeostatik pada sistem neurotransmitter, bukan sekedar penurunan atau peningkatan aktivitas neurotransmitter.

4. Hipotesis 5-HT/NE, sistem serotonergik dan noradrenergik dibutuhkan sebagai antidepresi.

5. Peranan dopamin, peningkatan DA pada inti accumbens dapat dihubungkan dengan mekanisme antidepresi.


(10)

Dari berbagai hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan depresi dapat terjadi akibat menurunnya kadar neurotransmitter di dalam otak, atau akibat perubahan sensitivitas reseptor dari neurotransmitter tersebut maupun akibat perubahan kesetimbangan baik komposisi atau jumlah dari neurotransmitter yang dianggap bertanggung jawab pada keadaan depresi.

Selain kesetimbangan neurotransmitter, faktor genetika juga berperan dalam menyebabkan kejadian depresi. Gen dominan yang diduga berperan pada depresi terikat pada kromosom 11. Hormon juga berperan penting dalam mencetuskan keadaan depresi. Pada perempuan, faktor hormonal ikut mendorong terjadinya depresi. Hal ini umumnya terjadi saat siklus haid, kehamilan atau pasca persalinan, dan menjelang menopause. Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik-hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu pada depresi juga ditemukan penurunan hormon lain seperti growth hormone, luteinizing hormone, folicle stimulating hormone dan testosteron.

b. Faktor Eksogen

Faktor eksogen diduga berperan sangat penting dalam mencetuskan timbulnya depresi, seperti adanya peristiwa dalam kehidupan dan stress lingkungan. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi, seperti kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun, kehilangan pasangan, kehilangan orang yang dicintai, terisolasi dari pergaulan sosial, perubahan hidup yang besar, kesulitan keuangan, pola asuh penuh keharusan, dan sebagainya.

Selain faktor endogen dan eksogen, tipe kepribadian tertentu juga diduga ikut berperan terhadap keadaan depresi. Tipe kepribadian yang dimaksud seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif, perfeksionis, pemalu, sensitif, mudah khawatir, harga diri kurang, mengkritik diri sendiri, tidak asertif, dan sebagainya.


(11)

II.3 Gejala Klinis Depresi

Gejala klinis depresi tampak dari emosional, sikap fisik, intelektual dan psikomotorik penderita.

1. Gejala Emosional

‐ Kehilangan ketertarikan dan kesenangan pada aktivitas yang biasa dilakukan (hobbi) atau pekerjaan

‐ Perasaan sedih yang berlebihan

‐ Pesimis

‐ Ingin bunuh diri

‐ Cemas (dialami oleh 90% pasien) ‐ Rasa bersalah yang tidak realistis

‐ Pasien merasa seperti dihukum dan melihat penyakit yang mereka derita seperti suatu hukuman

‐ Simptomp psikotik, dapat mendengar suara (auditori halusinasi) yang mengatakan bahwa mereka orang yang buruk dan mereka seharusnya bunuh diri.

2. Gejala Fisik

‐ Rasa lelah yang tidak hilang dengan beristirahat ‐ Nyeri, terutama nyeri kepala

‐ Gangguan tidur

‐ Gangguan selera makan (meningkat atau menurun) ‐ Kehilangan ketertarikan seksual (penurunan libido)

‐ Keluhan pada saluran pencernaan dan jantung (palpitasi/berdebar) 3. Gejala Intelektual


(12)

‐ Ingatan yang kurang untuk peristiwa yang baru terjadi ‐ Bingung

4. Gejala Psikomotorik

‐ Retardasi psikomotor yaitu berupa pergerakan fisik dan berbicara yang lamban

‐ Psikomotor yang bergejolak, yaitu berupa perbuatan yang tidak diketahui maksudnya. Misalnya : meremas-remas tangan, melangkah tanpa tujuan, dll.

II.4 Diagnosis Depresi

Menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed., Text Revision. Washington, American Psychiatric Association, 2000).

diagnosis depresi dapat ditegakkan sebagai berikut :

A. Terdapatnya 5 (atau lebih) gejala berikut dalam satu periode (2 minggu berturut-turut) yang merupakan perubahan dari fungsi sebelumnya, minimal terdapat satu dari 2 gejala berikut ini yaitu (1) suasana hati tertekan atau (2) hilangnya minat atau kesenangan

1. Mood depresi sepanjang hari dan hampir setiap hari

2. Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata dalam semua hal sepanjang hari dan hampir setiap hari

3. Perubahan berat badan yang signifikan tanpa adanya diet (terjadinya penurunan atau peningkatan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan), diakibatkan adanya kenaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (keadaan ini diamati pula oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif)

6. Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari

7. Perasaan tidak berharga atau bersalah berlebihan (delusi) hampir setiap hari


(13)

8. Berkurang kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keraguan hampir setiap hari.

9. Pikiran berulang tentang kematian (tidak hanya takut akan kematian), berulang kali memiliki rencana untuk bunuh diri tanpa rencana yang spesifik, atau usaha untuk bunuh diri.

B. Gejala yang dapat menyebabkan keadaan menderita atau keadaan yang buruk pada kehidupan sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

C. Gejala yang tidak terkait langsung dengan efek fisiologis dari suatu obat (seperti penyalahgunaan obat atau akibat penggunaan obat tertentu), atau kondisi medis umum (seperti: hipotiroidisme). Untuk memastikannya dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, antara lain : pemeriksaan darah rutin, uji fungsi tiroid serta elektrolit darah.

D. Gejala yang tidak dapat dikaitkan dengan reaksi yang dialami akibat kehilangan orang yang dicintai; gejala bertahan selama lebih dari 2 bulan atau ditandai dengan gangguan fungsional yang signifikan; dipenuhi pemikiran yang tidak wajar mengenai perasaan tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikosis, retardasi psikomotor.

Tabel II.1 Beberapa penyakit, psikiatrik dan/atau obat yang bisa menginduksi terjadinya depresi

Penyakit Endokrin  Hipotirodisme  Penyakit Addison  Penyakit Cushing Gangguan Metabolisme  Ketidakseimbangan elektrolit ‐ Hiponatremia ‐ Hipokalemia

 Ensefalopati hepatik

Psikiatrik

 Kecanduan

alkohol

 Kecemasan

 Gangguan pola

makan  Skizofrenia Keadaan Defisiensi  Anemia pernisiosa  Ensefalopati wernicke

 Anemia berat

Penyakit Kardiovaskular

 Penyakit arteri koroner

 Gagal jantung kongestif

 Infark miokard

Terapi Antihipertensi

 Klonidin

 Diuretik

 Guanetidin sulfat

 Hidralazin HCl

 Metildopa


(14)

 Reserpin Infeksi  AIDS  Ensefalitis  Influenza  Mononukleosis  Penyakit menular seksual  TBC Penyakit Saraf

 Penyakit alzheimer

 Epilepsi

 Penyakit huntington

 Multiple sklerosis

 Nyeri

 Penyakit parkinson

 Pasca stroke

Terapi Hormon

 Kontrasepsi oral

 Hormon steroid/adrenokor tikotropik Gangguan kolagen  Lupus eritematosus sistemik

Penyakit Ganas Terapi Jerawat

 Isotretionin

Lainnya

 Interferon-beta-1a

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) Diagnosis depresi ditegakkan sebagai berikut

Tabel II.2 Gejala depresi berdasarkan PPDGJ III

Gejala Utama Gejala Tambahan

Suasana perasaan yang sedih/murung Konsentrasi dan perhatian berkurang

Kehilangan minat dan kegembiraan Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

Perasaan bersalah dan tidak berguna

Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik

Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

Gangguan tidur Berkurangnya energi yang menuju kepada

meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas

Nafsu makan berkurang

Berdasarkan gejala di atas, maka dapat ditentukan derajat depresi berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien tersebut.


(15)

Tabel II.3 Derajat depresi No Derajat

Depresi

Kriteria

1 Ringan (Mild)

Jika terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala tambahan yang sudah berlangsung minimal 2 minggu. Tidak boleh ada gejala yang berat

2 Sedang (Moderate)

Jika terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama ditambah sekurang-kurangnya 3 (sebaiknya 4) gejala tambahan

3 Berat (Severe)

Jika terdapat 3 gejala utama ditambah sekurang-kurangnya 4 gejala tambahan, beberapa diantaranya harus berintensitas berat.

Untuk menentukan derajat depresi seorang pasien dapat ditentukan dengan beberapa metode yaitu Hamilton Depression Rating Scale, Beck’s Depression Inventory, Zung Self Depression Scale.

Tabel II.4 Metode pengukuran derajat depressi

No Metode

Pengukuran

Penjelasan

1 Hamilton

Depression Rating Scale (HDRS)

Suatu skala pengukuran depresi terdiri dari 21 items pernyataan dengan fokus primer pada gejala somatik dan penilaian dilakukan oleh pemeriksa


(16)

Inventory (BDI) pernyataan yang diberikan oleh pemeriksa, namun dapat juga digunakan oleh pasien untuk menilai derajat depresinya sendiri.

3 Zung Self

Depression Scale

Suatu skala depresi terdiri dari 20 kalimat dan penilaian derajat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri.

Bab III

Terapi Depresi

Terapi depresi dapat dilakukan secara non farmakologi, farmakologi ataupun kombinasi keduanya tergantung tingkat keparahan depresi yang dialami oleh seseorang. Namun terapi depresi dengan kombinasi keduanya menunjukkan efikasi yang jauh lebih baik dibandingkan bila salah satu saja. Adapun tujuan terapi episode depresi akut adalah untuk mengeliminasi atau mengurangi gejala depresi, meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan terhadap pengobatan, membantu pengembalian ke tingkat fungsi sebelum sakit dan mencegah episode depresi lebih lanjut.

III.1 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat-obatan. Terapi ini kerap diberikan karena pemberian obat antidepresi kadangkala tidak langsung memberikan hasil yang optimal atau bahkan tidak memberikan hasil. Yang termasuk ke dalam terapi ini adalah cognitive behavioral therapy, electro convulsive therapy, bright light therapy, serta repetitive transcranial magnetic stimulation.

a. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi ini memperbaiki cara pandang pasien terhadap kehidupan ke arah yang lebih positif. Cara ini merupakan first line terapi untuk depresi ringan. Biasanya terapi ini tetap dilakukan dan merupakan upaya untuk mencegah tidak berulangnya kembali kejadian depresi.


(17)

b. Electro Convulsive Therapy (ECT)

Terapi ini disebut juga terapi listrik atau terapi kejut dan lebih diutamakan untuk pasien depresi kronik sedang atau berat yang tidak memberi respon pada penggunaan antidepressan. Dengan pemberian muatan listrik akan terjadi peningkatan pelepasan neurotransmitter pada celah sinaps sehingga diharapkan terjadi perbaikan gejala depresi. Cara penggunaan ECT adalah dengan meletakkan elektroda yang bermuatan listrik pada bagian otak. Terapi ini nantinya akan menyebabkan kejang, namun memberi respon cepat, yaitu sekitar 10-14 hari.

Metode ECT ini ada 2, yaitu bilateral dan unilateral. Pada metode bilateral setiap elektrode diletakkan pada setiap bagian hemisfer otak. Efek samping ECT, seperti kehilangan ingatan, lebih sering terjadi pada metode ini. Pada metode unilateral kedua elektrode diletakkan pada hemisfer nondominan, yaitu pada bagian kiri hemisfer.

c. Bright Light Therapy

Metode ini diperuntukkan bagi penderita SAD (Seasonal Affective Disorder)

yaitu orang yang depresi akibat kegelapan terutama pada musim dingin. Caranya dengan memandang lampu/cahaya sekitar 2 jam pada pagi dan sore hari.

d. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)

Metode ini diperuntukkan bagi pasien depressi yang resisten terhadap pengobatan yang standar dan terapi kejut.Terapi ini merupakan metode non invasif untuk membangkitkan sel-sel saraf pada otak dengan cepat melalui gelombang elektromagnetik yang lemah. RTMS juga merupakan alat untuk meneliti fungsi otak.


(18)

Metode ini mempengaruhi aktivitas listrik di otak dengan memberikan impuls melalui medan magnet pada korteks prefrontal otak kiri atau bagian depan kiri otak. Wilayah otak ini terkait dengan emosi positif dan pengendalian diri. Artinya stimulasi bagian ini akan mengurangi depresi.

Alat ini berupa kumparan berbentuk kupu-kupu yang diletakkan pada kepala pasien, dan setiap 30 detik pasien merasakan serangkaian impuls selama 2 detik. Prosedur ini dilakukan selama 30 menit.

III.2 Terapi Farmakologi

Obat-obat antidepressi mempengaruhi sistem cortical, limbic, hipotalamus dan

brainstem yang merupakan hal mendasar pada pengaturan kesadaran, mood dan fungsi otonom. Keputusan menggunakan antidepressan didasarkan pada riwayat pasien terhadap respon obat, riwayat keluarga terhadap respon obat, sub tipe depresi, keadaan klinis pada saat tersebut, derajat keparahan, potensi terjadinya interaksi obat, efek samping serta biaya obat.

Obat-obat antidepresi diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu golongan selective serotonin reuptake inhibitor, tricyclic antidepresants, monoamine oxidase inhibitors, serta golongan lainnya.

a. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Mekanisme kerja SSRI adalah menghambat pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan tinggi) di pre sinaps sehingga meningkatkan jumlah 5-HT yang akan berikatan dengan reseptor di pasca sinaps. Obat golongan ini memiliki efek antikolinergik yang minimal, sehingga lebih disukai dan menjadi pilihan pertama dalam terapi depresi untuk pasien-pasien tanpa adanya komplikasi atau kontra indikasi terhadap obat tersebut.

Contoh SSRI adalah fluoksetin, sertralin, fluvoksamin, paroksetin, sitalopram dan escitalopram.


(19)

Mekanisme kerja TCA adalah menghambat pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan rendah sampai tinggi) dan NE (dengan kemampuan rendah sampai sedang). Potensi dan selektivitas sangat bervariasi, tergantung jenis obatnya. TCA mempengaruhi sistem reseptor lain, yaitu : kolinergik (sebagai antikolinergik), neurologik dan sistem kardiovaskular. Amin tersier bekerja pada sistem serotonergik. Amin sekunder bekerja mengaktifkan sistem norepinefrin. Karena banyak mempengaruhi sistem reseptor lain, obat-obat golongan ini perlu dipertimbangkan pemberiannya terutama pada pasien-pasien manula dan keadaan klinis tertentu.

Contoh amin tersier adalah amitriptilin, klomipramin, doksepin, imipramin, trimipramin. Amin sekunder contohnya adalah amoksapin, maprotilin, desipramin, nortriptilin serta protriptilin.

c. MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitors)

Mekanisme kerja MAOI adalah meningkatkan konsentrasi NE, 5-HT dan DA dalam sinaps neuronal melalui inhibisi enzim MAO. Enzim MAO ini berfungsi untuk memetabolisme neurotransmitter monoamin. Penggunaan kronik dapat menyebabkan downregulation reseptor β-adrenergik, α -adrenergik dan serotonergik.

Terdapat inhibitor MAO A dan MAO B. Inhibitor MAO A lebih efektif dalam menyembuhkan depresi mayor dibandingkan inhibitor MAO B. Selegiline sebagai inhibitor MAO B digunakan untuk pengobatan penyakit parkinson. Selegiline juga mempunyai efek anti depresi, khususnya pada dosis > 10 mg yang juga menghambat MAO A Contoh obat golongan MAOI adalah fenelzin, tranilsipromin, moklobemid.

d. Golongan Lain

Golongan lain adalah kelompok obat yang mekanisme kerjanya tidak termasuk ke dalam golongan obat SSRI, TCA dan MAOI, melainkan memiliki mekanisme kerja tersendiri.


(20)

- Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitor, contohnya venlafaksin. - Atypical Antidepressants, contohnya bupropion, nefazodon, dll. - Dopamine Reuptake Inhibitor, contohnya amineptin.

- Selective Serotonin Reuptake Enhancer, contohnya tianeptin. - Ekstrak St John’s wort (Hypericum perforatum)


(21)

Gambar III.1 Tempat kerja obat antidepresi

Keterangan : Gambar di atas menjelaskan peristiwa biokimiawi di ujung (terminal) noradrenergik. L-tirosin dioksidasi menjadi dihidroksifenilalanin (L-DOPA) oleh tirosin hidroksilase (TH), kemudian didekarboksilasi menjadi dopamin (DA) oleh asam amino aromatik-L dekarboksilase (AAD) aromatik, selanjutnya disimpan di dalam vesikel. Di vesikel terjadi oksidasi rantai samping dopamin oleh dopamine b-hidroksilase (DbH) sehingga DA berubah menjadi NE. Selanjutnya terjadi pelepasan NE akibat depolarisasi oleh Ca2+. Norepinefrin yang


(22)

dilepaskan akan berinteraksi dengan reseptor a dan b adrenergik di pasca sinaps dan juga autoreseptor a2 di pra sinap. Senyawa-senyawa biogenik amin ini nantinya akan dibersihkan dari celah sinaps melalui berbagai cara yaitu pengikatan dengan reseptor pasca sinaps, pengikatan dengan reseptor pra sinaps serta pengambilan kembali ke dalam neuron pra sinaps melalui transpor aktif atau katabolisme. Obat-obat antidepresan seperti TCA dan SSRI bekerja dengan menghambat transpor aktif (reuptake) neurotransmitter menuju terminal pra sinaps. Obat MAOI bekerja dengan menghambat deaminasi skunder (oleh monoamine oksidase mitokondria).

Berikut ini merupakan panduan pemilihan obat dalam terapi depresi


(23)

Bab IV

Interaksi Obat

 

IV.1 Interaksi Obat Golongan SSRI

Secara umum interaksi dengan obat golongan SSRI adalah sebagai berikut :

‐ Interaksi dapat terjadi antara SSRI dengan obat yang dimetabolisme melalui sistem sitokrom P450. SSRI menghambat enzim sitokrom P450. ‐ Reaksi serius dan fatal dapat terjadi dengan pemberian SSRI bersamaan

dengan MAOI. Oleh sebab itu pemberiannya kontraindikasi.

‐ Interval waktu 2 minggu direkomendasikan sebelum pemberian MAOI. Khusus fluoxetin, interval waktu 5 minggu sebelum pemberian MAOI. ‐ Terjadi peningkatan konsentrasi plasma TCA ketika diberi bersamaan

dengan fluoxetin, sertraline, paroxetin.

Tabel IV.1 Interaksi obat SSRI dengan obat lain

Obat SSRI Interaksi Obat Efek

Simetidin Menurunkan klirens oral citalopram

Fluvoksamin Meningkatkan konsentrasi plasma

citalopram Sitalopram

TCA Meningkatkan AUC TCA

Alprazolam Meningkatkan konsentrasi plasma dan waktu paruh alprazolam; meningkatkan gangguan psikomotorik

Antikoagulan Meningkatkan risiko pendarahan Penghambat reseptor

β adrenergik

Meningkatkan konsentrasi serum metoprolol dan bradikardia; block jantung

Buspiron Menurunkan respon terapetik buspiron

Karbamazepin Meningkatkan konsentrasi plasma

karbamazepin dengan simptomp toksisitas karbamazepin

Fluoksetin


(24)

Obat SSRI Interaksi Obat Efek

Haloperidol Meningkatkan konsentrasi haloperidol dan meningkatkan efek samping ekstrapiramidal Lithium Neurotoksisitas-bingung, ataksia, pening,

tremor, absence, kejang

MAOI Reaksi fatal atau berat-bingung, mual,

penglihatan ganda, hipomania, hipertensi, tremor, sindrom serotonin

Fenitoin Meningkatkan konsentrasi plasma fenitoin dan simptomp toksisitas fenitoin

TCA Sangat meningkatkan konsentrasi plasma

TCA dengan simptomp toksisitas TCA Terfenadin Aritmia, bernafas pendek, ortostasis Trazodon Sakit kepala, pening, sedasi

Triptofan Agitasi, gelisah, konsentrasi rendah, mual Valproat Meningkatkan konsentrasi serum valproat Alprazolam Meningkatkan AUC alprazolam sampai

96%, meningkatkan waktu paruh alprazolam sampai 71%, dan meningkatkan gangguan psikomotorik

Astemizol Meningkatkan konsentrasi plasma astemizol dengan efek yang serius pada kardiovaskular

Penghambat reseptor β-adrenergik

Meningkatkan konsentrasi serum propanolol sampai 5 kali lipat; bradikardia dan hipotensi apabila mengkombinasi flufoksamin dan metoprolol

Karbamazepin Toksisitas karbamazepin, meskipun studi terkontrol tidak mendukung hal ini

Flufoksamin

Klozapin Meningkatkan konsentrasi serum klozapin dan meningkatkan risiko terjadinya kejang


(25)

Obat SSRI Interaksi Obat Efek dan hipotensi ortostatik

Diazepam Menurunkan klirens diazepam dan

metabolit aktifnya Diltiazem Bradikardia

Haloperidol Meningkatkan konsentrasi plasma

haloperidol

Lithium Meningkatkan efek serotonergik; kejang, mual dan tremor

MAOI Potensial untuk krisis hipertensi, sindrom serotonin, kejang dan delirium

Metadon Meningkatkan konsentrasi plasma metadon dengan simptom toksisitas metadon

TCA Meningkatkan konsentrasi plasma TCA

Terfenadin Meningkatkan konsentrasi plasma

terfenadin dengan efek yang serius pada kardiovaskular

Teofillin Meningkatkan konsentrasi serum teofillin dengan simptom toksisitas teofillin

Triptofan Meningkatkan efek serotonergik dan

muntah berat

Warfarin Meningkatkan respon hipoprotrombinemia dari warfarin

Simetidin Meningkatkan konsentrasi serum paroksetin Desipramin Meningkatkan konsentrasi plasma dan

waktu paruh desipramin

MAOI Krisis hipertensi, sindrom serotonin, kejang, delirium

Paroksetin

Warfarin Meningkatkan risiko pendarahan


(26)

Obat SSRI Interaksi Obat Efek karbamazepin

Diazepam Penurunan kecil pada klirens diazepam

MAOI Sindrom serotonin, myoclonus, violent

shaking

TCA Meningkatkan konsentrasi plasma amin

skunder (desipramin, nortriptilin) Tolbutamid Menurunkan klirens tolbutamid (16%) Warfarin Meningkatkan waktu protrombin

IV.2 Interaksi Obat Golongan TCA

Secara umum interaksi dengan obat golongan TCA adalah sebagai berikut :

‐ TCA dimetabolisme di hati melalui sistem sitokrom P450. Oleh sebab itu TCA berinteraksi dengan obat yang mempengaruhi sistem enzim di hati ‐ TCA berikatan dengan protein secara ekstensif. Dapat menyebabkan

interaksi obat melalui displacement dari tempat ikatan protein

‐ TCA dapat membalikkan efek hipotensi antihipertensi tertentu (seperti guanetidin, metildopa, dan klonidin) karena penghambatan uptake

antihipertensi pada pra sinaps atau penurunan sensitifitas reseptor α2-adrenergik

‐ Efek samping bertambah jika dberikan dengan obat dengan efek farmakologi yang mirip (seperti : antikolinergik, sedatif, atau obat hipotensi)

Tabel IV.2 Interaksi farmakokinetika dengan obat TCA

No Interaksi Obat Konsentrasi Plasma Konsentrasi Plasma

1 Cimetidin √

2 Diltiazem √

3 Etanol √

4 SSRIs √


(27)

No Interaksi Obat Konsentrasi Plasma Konsentrasi Plasma

6 Labetalol √

7 Metilfenidat √

8 Kontrasepsi oral √

9 Fenotiazin √

10 Propoksifen √

11 Quinidin √

12 Verapamil √

13 Barbiturat √

14 Karbamazepin √

15 Etanol (pemakaian kronis) √

16 Fenitoin √

Tabel IV.3 Interaksi farmakodinamik dengan obat TCA

No Interaksi Obat Efek

1 Alkohol Meningkatkan efek depresan SSP 2 Amfetamin Meningkatkan efek amfetamin 3 Androgen Delusions, hostility

4 Antikolinergik Efek antikolinergik yang berlebihan 5 Bepredil Meningkatkan efek antiaritmia 6 Klonidin Menurunkan efikasi antihipertensi 7 Disulfiram Acute organic brain syndrome

8 Estrogenal Meningkatkan atau menurunkan respons antidepresan ; meningkatkan toksisitas

9 Guanadrel Menurunkan efikasi antihipertensi 10 Insulin Menurunkan efek hipoglikemi

11 Lithium Efek addisi menurunkan ambang kejang

12 Metildopa Menurunkan efikasi antihipertensi; takikardia; stimulasi SSP


(28)

IV.3 Interaksi Obat Golongan MAOI

Secara umum interaksi obat golongan MAOI dengan obat lain adalah sebagai berikut :

‐ Hipotensi postural meningkat dengan pemberian antipsikotik, antidepressan heterosiklik, obat antihipertensi, dan pasien dengan CHF. ‐ Hindari penggunaan bersamaan dengan buspiron, antidepressan

heterosiklis, meperidin, obat simpatomimetik, SSRI, dan MAOI lainnya. ‐ Diperlukan interval waktu 1-2 minggu untuk mengganti dari MAOI ke

TCA, tapi jika sebaliknya, interval waktu tidak diperlukan.

‐ Meskipun tidak sering, krisis hipertensi dapat terjadi dengan penggunaan bersamaan simpatomimetik amin atau konsumsi makanan dan minuman mengandung tiramin. Hindari makanan dan minuman tinggi tiramin. Tiramin yang terdapat pada makanan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien yang mengkonsumsi MAO inhibitor. MAO ditemukan pada saluran pencernaan dan berfungsi menginaktifkan tiramin; obat MAO inhibitor mencegah proses ini. Tiramin eksogen dan monoamin lain yang diabsorbsi menyebabkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan epinefrin dari kelenjar adrenal. Jika terdapat neurotransmitter dalam jumlah yang cukup, akan terjadi palpitasi, sakit kepala berat, dan krisis hipertensi.

Tabel IV.4 Obat yang dilarang untuk dikonsumsi ketika mengkonsumsi MAOI

Amfetamin Levodopa

Penekan nafsu makan Anastetik lokal yang berisi vasokonstriktor simpatomimetik

Inhalasi asma Meperidin

Buspiron Metildopa Karbamazepin Metilfenidat

Kokain Antidepressan lainnya (dapat dikombinasi

dengan TCA, namun perlu perhatian khusus)


(29)

Dekongestan

(topikal dan sistemik)

Reserpin

Dekstrometorfan Rizatriptan Dopamin Stimulan Efedrin Sumatriptan Epinefrin Simpatomimetik Guanetidin Triptofan

IV.4 Interaksi Obat Golongan Lain

Tabel IV.5. Interaksi obat dengan antidepresan lainnya

Obat Interaksi Obat Efek

Amoksapin Obat-obat yang berinteraksi dengan TCA

Respon yang sama dengan interaksi yang diperlihatkan oleh TCA

Maprotilin Obat-obat yang berinteraksi dengan TCA

Respon yang sama dengan interaksi yang diperllihatkan oleh TCA

Mirtazapin MAOI Dapat terjadi sindrom serotonin sentral Alprazolam Meningkatkan konsentrasi plasma

alprazolam

Astemizol Meningkatkan konsentrasi plasma astemizol dengan efek samping yang serius pada kardiovaskular

Digoksin Meningkatkan Cmax, Cmin, dan AUC digoksin sampai 29%, 27%, dan 15% berturut-turut

Haloperidol Menurunkan klirens haloperidol sampai 35%

Nefazodon

MAOI Krisis hipertensi; sindrom serotonin; delirium; koma; kejang; hiperpireksia


(30)

Obat Interaksi Obat Efek

Propranolol Menurunkan Cmax dan AUC propranolol; meningkatkan Cmax, Cmin dan AUC dari metabolit m-CCP nefazodon

Ritonavir Meningkatkan AUC ritonavir dengan peningkatan adverse event: sakit kepala, mulut kering, mula, somnolence, pening Terfenadin Meningkatkan konsentrasi plasma

terfenadin dengan efek samping yang serius pada kardiovaskular

Triazolam Meningkatkan konsentrasi plasma triazolam; meningkatkan gangguan psikomotorik

Depresan susunan saraf pusat

Meningkatkan depressi pada susunan saraf pusat

Digoksin Meningkatkan konsentrasi serum digoksin Etanol Peningkatan gangguan pada motor skill

Fluoksetin Meningkatkan konsentrasi plasma trazodon MAOI Dapat terjadi sindrom serotonin sentral

Neuroleptik Meningkatkan hipotensi

Fenitoin Meningkatkan konsentrasi serum fenitoin Triptofan Agitasi, gelisah, penurunan konsentrasi,

mual Trazodon

Warfarin Menurunkan respon hiprotrombinemia MAOI Meningkatkan toksisitas bupropion Pengobatan yang

menurunkan ambang kejang

Meningkatkan insidens kejang

Levodopa Meningkatkan insidens adverse experiences

Bupropion

Ritonavir Meningkatkan level darah dari bupropion dengan risiko kejang


(31)

Obat Interaksi Obat Efek

Simetidin Menurunkan klirens Venlafaksin sampai 43%. AUC dan puncak konsentrasi serum venlafaksin meningkat sampai 60% Venlafaksin

MAOI Krisis hipertensi, sindrom serotonin, kejang dan delirium

Evaluasi Hasil Terapi

‐ Monitoring konsentrasi plasma obat ‐ Monitoring efek samping

‐ Evaluasi pada perubahan kehidupan sosial masyarakat dan pekerjaan ‐ Evaluasi tekanan darah secara berkala

‐ Pretreatment ECG sebelum pemberian TCA dan evaluasi secara berkala (>40 tahun)

‐ Evaluasi keinginan untuk bunuh diri

‐ Evaluasi progress pengobatan dengan psychometric rating instrument dan interview anggota keluarga atau teman


(32)

Bab V

Pencegahan Berulangnya Kejadian Depresi

 

Anjuran Untuk Pasien

‐ Melakukan aktifitas positif

‐ Menetapkan target harian yang ringan dan dapat dicapai ‐ Merencanakan hal-hal menyenangkan yang akan dilakukan

‐ Berkumpul bersama orang lain dan anggota keluarga untuk berbagi rasa ‐ Melatih diri agar bisa fleksibel

‐ Memiliki fisik yang sehat

‐ Mendalami ajaran agama yang berperan menimbulkan rasa damai ‐ Yoga dan olah raga

‐ Meditasi dan relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan depresi, karena merangsang otak untuk beristirahat

Anjuran Untuk Keluarga Pasien

‐ Keluarga harus mengenali keluhan fisik akibat depresi ‐ Mengawasi kondisi pasien

‐ Memotivasi untuk sembuh


(33)

Bab VI

Kesimpulan

Dari uraian mengenai depresi serta penanganannya maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Depresi dapat timbul pada diri seseorang karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor endogen, eksogen maupun sikap pribadi tertentu.

2. Terapi depresi dapat dilakukan secara lebih optimal dengan terapi non farmakologi serta farmakologi.

3. Pemberian obat-obat antidepresi terhadap pasien harus memperhatikan efikasi yang paling baik namun efek samping yang paling minimal.

4. Pencegahan untuk berulangnya kejadian depresi dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan positif oleh pasien serta didukung penuh oleh keluarga pasien.

   


(34)

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. O., Knoben, J. E., Troutman, W. G. (2002). Handbook of Clinical Data. Edisi 10, USA : The McGraw-Hill Companies. Hlm. 450

Aria. (2005). Penanganan Depresi dengan Medan Magnet. Suara Merdeka Perekat Komunitas Jawa Tengah. http://www.suaramerdeka.com/ 

Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I. (2008). Drug Therapy of Depression and Anxiety Disorder dalam Goodman&Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. Hlm. 288

Idrus, M.F. (2007). Depresi Pada Penyakit Parkinson. Cermin Dunia Kedokteran No. 156. Hlm. 130

Kando, J. C., Wells, B. G., Hayes, P. E. (2005). Depressive Disorder dalam

Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Edisi 6, Editor : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. USA : The McGraw-Hill Companies. Hlm. 1235-1255

Pratama, F.E. (2008). Peranan Antidepresan pada Aksis HPA dan Atrofi Hipokampus. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/092001/top-1.htm

Sianturi, G. (2006). Depresi, Pintu Masuk Berbagai Penyakit.

http://www.suarapembaruan.com

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P., Kusnandar, A. (2008). Penyakit Depresi dalam ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan. Hlm. 215


(35)

(1)

Obat Interaksi Obat Efek

Propranolol Menurunkan Cmax dan AUC propranolol; meningkatkan Cmax, Cmin dan AUC dari metabolit m-CCP nefazodon

Ritonavir Meningkatkan AUC ritonavir dengan peningkatan adverse event: sakit kepala, mulut kering, mula, somnolence, pening Terfenadin Meningkatkan konsentrasi plasma

terfenadin dengan efek samping yang serius pada kardiovaskular

Triazolam Meningkatkan konsentrasi plasma triazolam; meningkatkan gangguan psikomotorik

Depresan susunan saraf pusat

Meningkatkan depressi pada susunan saraf pusat

Digoksin Meningkatkan konsentrasi serum digoksin Etanol Peningkatan gangguan pada motor skill Fluoksetin Meningkatkan konsentrasi plasma trazodon MAOI Dapat terjadi sindrom serotonin sentral Neuroleptik Meningkatkan hipotensi Fenitoin Meningkatkan konsentrasi serum fenitoin Triptofan Agitasi, gelisah, penurunan konsentrasi,

mual Trazodon

Warfarin Menurunkan respon hiprotrombinemia MAOI Meningkatkan toksisitas bupropion Pengobatan yang

menurunkan ambang kejang

Meningkatkan insidens kejang

Levodopa Meningkatkan insidens adverse experiences Bupropion

Ritonavir Meningkatkan level darah dari bupropion dengan risiko kejang


(2)

Obat Interaksi Obat Efek

Simetidin Menurunkan klirens Venlafaksin sampai 43%. AUC dan puncak konsentrasi serum venlafaksin meningkat sampai 60% Venlafaksin

MAOI Krisis hipertensi, sindrom serotonin, kejang dan delirium

Evaluasi Hasil Terapi

‐ Monitoring konsentrasi plasma obat ‐ Monitoring efek samping

‐ Evaluasi pada perubahan kehidupan sosial masyarakat dan pekerjaan ‐ Evaluasi tekanan darah secara berkala

‐ Pretreatment ECG sebelum pemberian TCA dan evaluasi secara berkala (>40 tahun)

‐ Evaluasi keinginan untuk bunuh diri

‐ Evaluasi progress pengobatan dengan psychometric rating instrument dan interview anggota keluarga atau teman


(3)

Bab V

Pencegahan Berulangnya Kejadian Depresi  

Anjuran Untuk Pasien

‐ Melakukan aktifitas positif

‐ Menetapkan target harian yang ringan dan dapat dicapai ‐ Merencanakan hal-hal menyenangkan yang akan dilakukan

‐ Berkumpul bersama orang lain dan anggota keluarga untuk berbagi rasa ‐ Melatih diri agar bisa fleksibel

‐ Memiliki fisik yang sehat

‐ Mendalami ajaran agama yang berperan menimbulkan rasa damai ‐ Yoga dan olah raga

‐ Meditasi dan relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan depresi, karena merangsang otak untuk beristirahat

Anjuran Untuk Keluarga Pasien

‐ Keluarga harus mengenali keluhan fisik akibat depresi ‐ Mengawasi kondisi pasien

‐ Memotivasi untuk sembuh

‐ Menciptakan suasana yang kondusif


(4)

Bab VI

Kesimpulan

Dari uraian mengenai depresi serta penanganannya maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Depresi dapat timbul pada diri seseorang karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor endogen, eksogen maupun sikap pribadi tertentu.

2. Terapi depresi dapat dilakukan secara lebih optimal dengan terapi non farmakologi serta farmakologi.

3. Pemberian obat-obat antidepresi terhadap pasien harus memperhatikan efikasi yang paling baik namun efek samping yang paling minimal.

4. Pencegahan untuk berulangnya kejadian depresi dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan positif oleh pasien serta didukung penuh oleh keluarga pasien.

   


(5)

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. O., Knoben, J. E., Troutman, W. G. (2002). Handbook of Clinical Data. Edisi 10, USA : The McGraw-Hill Companies. Hlm. 450

Aria. (2005). Penanganan Depresi dengan Medan Magnet. Suara Merdeka Perekat Komunitas Jawa Tengah. http://www.suaramerdeka.com/ 

Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I. (2008). Drug Therapy of Depression and Anxiety Disorder dalam Goodman&Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. Hlm. 288

Idrus, M.F. (2007). Depresi Pada Penyakit Parkinson. Cermin Dunia Kedokteran No. 156. Hlm. 130

Kando, J. C., Wells, B. G., Hayes, P. E. (2005). Depressive Disorder dalam Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Edisi 6, Editor : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. USA : The McGraw-Hill Companies. Hlm. 1235-1255

Pratama, F.E. (2008). Peranan Antidepresan pada Aksis HPA dan Atrofi Hipokampus. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/092001/top-1.htm

Sianturi, G. (2006). Depresi, Pintu Masuk Berbagai Penyakit. http://www.suarapembaruan.com

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P., Kusnandar, A. (2008). Penyakit Depresi dalam ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan. Hlm. 215


(6)