PENDAHULUAN Analisis Efektifitas Biaya Antara Obat Angiotensin Converting Enzyme (Ace) Inhibitor Dengan Calcium Channel Blocker (Ccb) Pada Pengobatan Penyakit Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Tahun 2013.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung seperti infark miokard, stroke, gagal jantung dan kematian. Menurut JNC-VII, hampir satu milyar orang menderita hipertensi di dunia. Tiga juta orang meninggal tiap tahun karena hipertensi (Chobanian et al., 2003). Hipertensi menyumbang 4,4% beban penyakit secara global dan prevalensinya sama antar negara maju dan negara berkembang (Wisløff et al., 2012). Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah tinggi (≥140/90 mmHg) dengan persentase biaya yang cukup besar tiap tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi yang ada di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991 (DEPKES,2006).

Seseorang dikatakan hipertensi ditandai dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg. Pengobatan hipertensi bertujuan mendapatkan target tekanan darah dalam rentang yang normal, yaitu ≤140/90 mmHg pada berbagai kondisi pasien. Khusus pasien hipertensi dengan diabetes mellitus dan penyakit ginjal, tekanan yang dicapai adalah ≤130/80 mmHg (Chobanian et al., 2003). Harga dari obat antihipertensi sangat bervariasi, sehingga harga obat menjadi salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan penggunaan obat bagi pasien. Analisis efektivitas biaya perlu dilakukan agar dapat membantu dalam pengambilan keputusan pemilihan obat yang efektif secara manfaat dan biaya (Wisloff et al., 2012)

Pengobatan hipertensi yang cukup menarik perhatian adalah banyaknya penggunaan ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker sebagai pilihan terapi hipertensi. Sejak JNC (1997) dan WHO (1989) ACE-Inhibitor telah menjadi suatu golongan antihipertensi alternatif pertama setelah diuretik. ACE-Inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang sampai berat. Sebagai monoterapi, ACE-Inhibitor


(2)

sama efektivitasnya dengan golongan antihipertensi lainnya. ACE-Inhibitor efektif sebagai antihipertensi pada 70% penderita (Setiawati dan Bustami,1995). Calcium Channel Blocker digunakan sebagai alternatif pilihan dan atau sebagai tambahan pada pasien hipertensi. Dibandingkan dengan antihipertensi lainnya, Calcium Channel Blocker lebih sering digunakan untuk mengontrol tekanan darah sebagai monoterapi pada pasien usia lanjut (Jackson,2007).

Angka kejadian penyakit hipertensi di RSUD Karanganyar pada tahun 2013 adalah 520 pasien. Melihat banyak serta besarnya biaya penggunaan ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui efektivitas dari ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker dalam mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi tanpa penyulit.

Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi pola penggunaan obat antihipertensi ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker untuk mengetahui efektifitas penggunaan ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker dari sisi efek farmakologi dan sisiekonomi sehingga dapat diketahui antihipertensi yang lebih cost effectiveness diantara ACE-Inhibitor dan Calcium Channel Blocker.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :

1. Berapa besar rata-rata biaya medik langsung (direct medical cost) pasien hipertensi rawat inap dengan antihipertensi selama masa perawatan di RSUD Karanyanyar tahun 2013?

2. Berapakah nilai cost-effective dari penggunaan antihipertensi antara golongan ACE-Inhibitor dan golongan Calcium Channel Blocker pada pasien hipertensi rawat inap di RSUD Karanganyar berdasarkan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)?


(3)

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengukur besar biaya medik langsung pada terapi antihipertensi antara golongan ACE-Inhibitor dan golongan Calcium Channel Blocker pasien hipertensi rawat inap di RSUD Karanganyar tahun 2013.

2. Untuk menetapkan antihipertensi antara golongan ACE-Inhibitor dan golongan Calcium Channel Blocker pada pasien hipertensi rawat inap di RSUD Karanganyar yang paling cost effective berdasarkan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER).

D.Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah melebihi nilai ambang tertentu (Giles et al., 2009). Laporan ke tujuh Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) menyatakan, keadaan hipertensi ditandai dengan meningkatnya tekanan darah di atas 140/90 mmHg (Chobanianet al.,2003).

a. Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tekanan darahnya >140/90 mmHg. Pembagian yang lebih rinci, JNC 7 membuat klasifikasi sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7 (Chobanian et al., 2003)

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

Normal < 120 mmHg < 80 mmHg

Prehipertensi 120 -139 mmHg 80 – 89 mmHg

Hipertensi tipe 1 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg

Hipertensi tipe 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg

Berdasarkan etiologinya hipertensi dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer

Yaitu hipertensi dengan kelainan patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi esensial. Faktor genetik dapat mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh terhadap vasokonstriktor, rentensi insulin dan lain-lain. Faktor lingkungan yang


(4)

berpengaruh seperti diet, kebiasaan merokok, stres emosi dan lain-lain (Nafrialdi, 2007)

2) Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, hipertensi akibat obat-obatan dan lain-lain (Viera & Neutze, 2010).

b. Gejala Hipertensi

Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala dan tanda. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tekanan darah, melalui pemeriksaan laboratorium dan tambahan seperti ginjal dan pembuluh (Tjay & Rahardja, 2002).

c. Tujuan Terapi Hipertensi

Tujuan dari pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena pada umumnya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya tekanan darah sistolik. Target tekanan darah bila tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg, sedangkan pada pasien dengan kelainan diabetes mellitus atau kelainan ginjal, tekanan darah harus diturunkan dibawah 130/80 mmHg (Nafrialdi, 2007).

d. Tatalaksana Terapi Hipertensi

1) Terapi Farmakologi

Pengobatan hipertensi secara farmakologi pada tahap pertama ditujukan untuk menurunkan tekanan darah. tujuan akhir dari terapi ini adalah untuk menghindarkan pasien hipertensi dari komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup (Tjay & Rahardja, 2002). Pengobatan hipertensi tanpa penyakit penyerta untuk tipe 1 dengan TDS 140-159 atau TDD 90-99 mmHg lini pertama yaitu dengan diuretik golongan tiazid dan dapat dipertimbangkan dengan menggunakan ACE-I, ARB, BB, CCB atau kombinasi. Sedangkan untuk tipe 2 dengan TDS ≥160 atau TDD ≥100 mmHg menggunakan antihipertensi kombinasi dua obat, biasanya diuretik golongan tiazid dan ACE-I atau ARB atau BB, CCB (Gambar 1.) (Chobanian et al., 2003).


(5)

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi (Chobanian et al., 2003)

2) Terapi Non-farmakologi

Pasien hipertensi maupun prehipertensi disarankan untuk memperbaiki gaya hidup (Chobanian et al., 2003). Seperti penurunan berat badan, membatasi asupan garam, memperbanyak aktivitas fisik, melakukan diet rendah kolesterol tinggi serat dan mengurangi asupan alkohol (Dipiro et al., 2008).

Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup pada Pasien Hipertensi

Modifikasi Rekomendasi Rata-rata penurunan

tekanan darah

Penurunan berat badan Menjaga berat badan normal (indeks massa tubuh 18,5-24,9 kg / m2).

5-20 mmHg Dietary Sodium

Reduction

Mengkonsumsi diet kaya buah-buahan, sayuran,susu rendah lemak dan makanan dengan kandungan minyak jenuh rendah.

8-14 mmHg

Diet rendah garam Mengurangi asupan garam tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 g natrium atau 6 gram natrium klorida).

2-8 mmHg

Aktivitas fisik Rutin melakukan aktivitas fisik seperti jalan cepat (Setidaknya 30 menit per hari).

4-9 mmHg Membatasi konsumsi

alkohol

Batasi konsumsi tidak lebih dari 2 gelas pada pria, dan tidak lebih dari 1 gelas per hari pada wanita.

2-4 mmHg


(6)

e. Pemilihan Obat Antihipertensi

Golongan obat yang bekerja sebagai obat penurun tekanan darah, yaitu Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blocker (CCB), dan diuretik tipe tiazid (Chobanian et al., 2003).

1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Obat-obat golongan ini mengurangi tekanan darah dengan cara menurunkan tahanan pembuluh darah tepi. Secara umum ACEI dibedakan atas dua kelompok, yaitu:

a) Bekerja langsung menghambat pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II, contohnya Captopril dan Lisinopril.

b) Prodrug contohnya Enalapril, Kuinapril, Perindopril, Ramipril, Silazapril, Benazepril, dan Fosinopril. Obat tersebut dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu berturut-turut Enalaprilat, Kuinaprilat, Perindoprilat, Ramiprilat, Silazaprilat, Benazeprilat, dan Fosinoprilat (Nafrialdi, 2007).

ACEI biasanya dapat menyebabkan batuk kering (Gray et al., 2006). Angiotensin II selain berperan membantu produksi aldosteron yang dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah, juga berperan dalam penghancuran bradikinin didalam tubuh. Penghambatan pembentukan angiotensin II dari angiotensin I oleh ACEI menyebabkan produksi aldosteron terhambat sehingga tekanan darah turun. Selain itu proses penghancuran bradikinin juga terhambat (Peter, 2006). Akibat dari proses penghancuran bradikinin ini akan menyebabkan jumlah bradikinin didalam tubuh meningkat. Bradikinin merupakan suatu mediator penyebab batuk kering. Peningkatan jumlah bradikinin didalam tubuh akan menyebabkan batuk kering (Kabo, 2011).

2) Calcium Channel Blocker (CCB)

Obat-obat yang termasuk dalam golongan CCB memiliki mekanisme kerja memblokade kanal kalsium pada membran sehingga menghambat kalsium untuk masuk ke dalam membran (Kabo, 2011). Dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh, maka berefek pada vasodilatasi dan


(7)

relaksasi pada pembuluh darah (Rahardja & Tjay, 2002). Contoh dari obat-obatan CCB yaitu; Nifedipin, Verapamil, Diltiazem, Amlodipin, Nikardipin, dan lain-lain (Nafrialdi, 2007)

2. Evaluasi Farmakoekonomi

Evaluasi Farmakoekonomi merupakan cara untuk menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah tambahan keuntungan dari suatu intervensi sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, dan humanistik) dari produk pelayanan farmasi (Andayani, 2013).

Studi farmakoekonomi memiliki empat tipe dasar yaitu, meliputi cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, cost-benefit analysis dan cost-utility analysis.

Tabel 3. Empat Tipe Dasar Analisis Farmakoekonomi

Metode Unit Biaya Unit Outcome

cost-minimization analysis (CMA) Rupiah atau unit moneter Kelompok yang dibandingkan diasumsikan ekuivalen

cost-effectiveness analysis (CEA) Rupiah atau unit moneter Unit natural (Tekanan darah, Kadar glukosa, kepadatan tulang)

cost-benefit analysis (CBA) Rupiah atau unit moneter Rupiah atau unit moneter cost-utility analysis (CUA) Rupiah atau unit moneter Quality-adjusted life year

(QALY) atau utility yang lain.

(Voogenberg, 2001)

Pada unit outcome yang dimaksud dengan CMA ialah kelompok yang dibandingkan diasumsikan ekuivalen (tetapi diproduksi dan dijual oleh perusahaan yang berbeda sehingga hanya perbedaan biaya obat yang digunakan untuk memilih salah satu yang nilainya paling baik). Pada CEA dapat memperkirakan biaya tambahan yang disebabkan oleh setiap tambahan outcome karena tidak ada ukuran sejumlah uang untuk outcome klinik yang menggambarkan nilai dari outcome tersebut. Sedangkan pada CUA mengukur outcome berdasarkan tahun kehidupan yang disesuaikan dengan pertimbangan


(8)

‘utility’, dengan rentan dari 1,0 untuk kesehatan yang sempurna sampai 0,0 untuk kematian, sehingga morbiditas dan mortalitas merupakan outcome yang penting dalam terapi. Untuk CBA mengukur baik biaya maupun benefit dalam mata uang mempunyai dua kelebihan utama, yang pertama klinisi dan pengambil keputusan yang dapat menentukan apakah keuntungan dari suatu program atau intervensi lebih tinggi daripada biaya yang diperlukan untuk implementasi. Kedua klinis dan pengambil keputusan dapat membandingkan beberapa program atau intervensi dengan outcome yang sama atau outcome yang sama sekali tidak berhubungan.

a. Cost-effectiveness analysis (CEA)

Cost-effectiveness analysis (CEA) merupakan bentuk analisis ekonomi yang dilakukan dengan mendefinisikan, menilai dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. Input dalam CEA diukur dalam unit fisikdan dinilai dalam unit moneter, biaya ditetapkan berdasar perspektif penelitian (misal, pemerintah, pasien, pihak ketiga atau masyarakat). Perbedaan CEA dengan analisis farmakoekonomi yang lain adalah pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non-moneter, yaitu unit natural dari perbaikan kesehatan, misalnya nilai laboratorium klinik, years of life saved atau pencegahan penyakit.

Kelebihan CEA yaitu tidak perlu merubah outcome klinik dari suatu nilai mata uang. Selain itu, terapi berbeda dengan manfaat yang sama dapat dibandingkan. Kekurangan CEA adalah alternatif yang dibandingkan harus memiliki outcome yang diukur dengan satuan klinik yang sama. Hasil dari CEA digambarkan dengan rasio yaitu Average cost-effectiveness ratio (ACER) atau sebagai Incremental cost-effectiveness ratio (ICER). Hasil ACER menggambarkan total biaya dari suatu program atau alternatif dibagi dengan outcome klinik, dipresentasikan sebagai berapa rupiah per outcome klinik spesifik yang dihasilkan, tidak tergantung pada pembandingnya. Alternatif yang paling cost-effective tidak selalu alternatif yang biayanya paling murah untuk mendapatkan tujuan terapi yang spesifik. Rumus perhitungan ACER didefinisikan sebagai berikut :


(9)

Biaya pada ACER merupakan rata-rata biaya medik langsung dari tiap obat, sedangkan efektivitas terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah setelah mengkonsumsi obat yang diukur dengan persentase pasien yang mencapai target terapi. Hasil dari ACER diinterpretasikan sebagai rata-rata biaya per unit efektivitas. Semakin kecil nilai ACER, maka alternatif obat tersebut semakin cost-effective(Andayani, 2013).

Hasil dari CEA dapat disimpulkan dengan Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Definisi ICER adalah rasio perbedaan antara biaya dari dua obat dengan perbedaan efektivitas dari masing-masing obat yang dihitung dengan rumus berikut :

(Thompson, 2011) Jika, perhitungan ICER memberikan hasil negatif, maka suatu terapi dinilai lebih cost-effective dibanding terapi pembandingnya (Andayani, 2013).

E. Landasan Teori

Dari beberapa penelitianterdahulu mengenai pola pengobatan hipertensi, dari penelitian yang dilakukan oleh Salwa (2013), 46% dari keseluruhan pasien hipertensi rawat inap menggunakan obat antihipertensi kombinasi. Pola pengobatan hipertensi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan obat yang banyak diresepkan pada terapi antihipertensi dengan kombinasi adalah ACEI+CCB dan ACEI+Diuretik (Chiburdanidze, 2013). Penelitian mengenai efektivitas biaya terapi antihipertensi dua kombinasi yang dilakukan Nintyasari (2011)di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, menunjukkan biaya tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi Enalapril + Bisoprolol. Terapi hipertensi dengan biaya terendah ditunjukkan oleh kombinasi Captopril + Hidroklorotiazid sehingga kombinasi ini dianggap paling cost effective. Penelitian lain mengenai pola penggunaan obat antihipertensi yang dilakukan pada 300 resep antihipertensi menunjukkan bahwa monoterapi paling banyak dilanjutkan dengan terapi


(10)

kombinasi (35,04%). Obat yang paling cost effective untuk terapi hipertensi adalah diuretik (Rachana et al., 2014).

F.Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengobatan yang paling cost-effective pada terapi antihipertensi pasien rawat inap, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan pola pengobatan dan pembiayaan yang bermanfaat guna mendukung terapi antihipertensi dan pengembangan pelayanan kesehatan.


(1)

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi (Chobanian et al., 2003) 2) Terapi Non-farmakologi

Pasien hipertensi maupun prehipertensi disarankan untuk memperbaiki gaya hidup (Chobanian et al., 2003). Seperti penurunan berat badan, membatasi asupan garam, memperbanyak aktivitas fisik, melakukan diet rendah kolesterol tinggi serat dan mengurangi asupan alkohol (Dipiro et al., 2008).

Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup pada Pasien Hipertensi

Modifikasi Rekomendasi Rata-rata penurunan

tekanan darah

Penurunan berat badan Menjaga berat badan normal (indeks massa tubuh 18,5-24,9 kg / m2).

5-20 mmHg

Dietary Sodium Reduction

Mengkonsumsi diet kaya buah-buahan, sayuran,susu rendah lemak dan makanan dengan kandungan minyak jenuh rendah.

8-14 mmHg

Diet rendah garam Mengurangi asupan garam tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 g natrium atau 6 gram natrium klorida).

2-8 mmHg

Aktivitas fisik Rutin melakukan aktivitas fisik seperti jalan cepat (Setidaknya 30 menit per hari).

4-9 mmHg Membatasi konsumsi

alkohol

Batasi konsumsi tidak lebih dari 2 gelas pada pria, dan tidak lebih dari 1 gelas per hari pada wanita.

2-4 mmHg


(2)

e. Pemilihan Obat Antihipertensi

Golongan obat yang bekerja sebagai obat penurun tekanan darah, yaitu Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blocker (CCB), dan diuretik tipe tiazid (Chobanian et al., 2003).

1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Obat-obat golongan ini mengurangi tekanan darah dengan cara menurunkan tahanan pembuluh darah tepi. Secara umum ACEI dibedakan atas dua kelompok, yaitu:

a) Bekerja langsung menghambat pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II, contohnya Captopril dan Lisinopril.

b) Prodrug contohnya Enalapril, Kuinapril, Perindopril, Ramipril, Silazapril, Benazepril, dan Fosinopril. Obat tersebut dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu berturut-turut Enalaprilat, Kuinaprilat, Perindoprilat, Ramiprilat, Silazaprilat, Benazeprilat, dan Fosinoprilat (Nafrialdi, 2007).

ACEI biasanya dapat menyebabkan batuk kering (Gray et al., 2006). Angiotensin II selain berperan membantu produksi aldosteron yang dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah, juga berperan dalam penghancuran bradikinin didalam tubuh. Penghambatan pembentukan angiotensin II dari angiotensin I oleh ACEI menyebabkan produksi aldosteron terhambat sehingga tekanan darah turun. Selain itu proses penghancuran bradikinin juga terhambat (Peter, 2006). Akibat dari proses penghancuran bradikinin ini akan menyebabkan jumlah bradikinin didalam tubuh meningkat. Bradikinin merupakan suatu mediator penyebab batuk kering. Peningkatan jumlah bradikinin didalam tubuh akan menyebabkan batuk kering (Kabo, 2011).

2) Calcium Channel Blocker (CCB)

Obat-obat yang termasuk dalam golongan CCB memiliki mekanisme kerja memblokade kanal kalsium pada membran sehingga menghambat kalsium untuk masuk ke dalam membran (Kabo, 2011). Dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh, maka berefek pada vasodilatasi dan


(3)

relaksasi pada pembuluh darah (Rahardja & Tjay, 2002). Contoh dari obat-obatan CCB yaitu; Nifedipin, Verapamil, Diltiazem, Amlodipin, Nikardipin, dan lain-lain (Nafrialdi, 2007)

2. Evaluasi Farmakoekonomi

Evaluasi Farmakoekonomi merupakan cara untuk menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah tambahan keuntungan dari suatu intervensi sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, dan humanistik) dari produk pelayanan farmasi (Andayani, 2013).

Studi farmakoekonomi memiliki empat tipe dasar yaitu, meliputi cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, cost-benefit analysis dan cost-utility analysis.

Tabel 3. Empat Tipe Dasar Analisis Farmakoekonomi

Metode Unit Biaya Unit Outcome

cost-minimization analysis (CMA) Rupiah atau unit moneter Kelompok yang dibandingkan

diasumsikan ekuivalen

cost-effectiveness analysis (CEA) Rupiah atau unit moneter Unit natural (Tekanan darah, Kadar glukosa, kepadatan tulang)

cost-benefit analysis (CBA) Rupiah atau unit moneter Rupiah atau unit moneter

cost-utility analysis (CUA) Rupiah atau unit moneter Quality-adjusted life year

(QALY) atau utility yang lain.

(Voogenberg, 2001)

Pada unit outcome yang dimaksud dengan CMA ialah kelompok yang dibandingkan diasumsikan ekuivalen (tetapi diproduksi dan dijual oleh perusahaan yang berbeda sehingga hanya perbedaan biaya obat yang digunakan untuk memilih salah satu yang nilainya paling baik). Pada CEA dapat memperkirakan biaya tambahan yang disebabkan oleh setiap tambahan outcome karena tidak ada ukuran sejumlah uang untuk outcome klinik yang menggambarkan nilai dari outcome tersebut. Sedangkan pada CUA mengukur outcome berdasarkan tahun kehidupan yang disesuaikan dengan pertimbangan


(4)

‘utility’, dengan rentan dari 1,0 untuk kesehatan yang sempurna sampai 0,0 untuk kematian, sehingga morbiditas dan mortalitas merupakan outcome yang penting dalam terapi. Untuk CBA mengukur baik biaya maupun benefit dalam mata uang mempunyai dua kelebihan utama, yang pertama klinisi dan pengambil keputusan yang dapat menentukan apakah keuntungan dari suatu program atau intervensi lebih tinggi daripada biaya yang diperlukan untuk implementasi. Kedua klinis dan pengambil keputusan dapat membandingkan beberapa program atau intervensi dengan outcome yang sama atau outcome yang sama sekali tidak berhubungan.

a. Cost-effectiveness analysis (CEA)

Cost-effectiveness analysis (CEA) merupakan bentuk analisis ekonomi yang dilakukan dengan mendefinisikan, menilai dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. Input dalam CEA diukur dalam unit fisikdan dinilai dalam unit moneter, biaya ditetapkan berdasar perspektif penelitian (misal, pemerintah, pasien, pihak ketiga atau masyarakat). Perbedaan CEA dengan analisis farmakoekonomi yang lain adalah pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non-moneter, yaitu unit natural dari perbaikan kesehatan, misalnya nilai laboratorium klinik, years of life saved atau pencegahan penyakit.

Kelebihan CEA yaitu tidak perlu merubah outcome klinik dari suatu nilai mata uang. Selain itu, terapi berbeda dengan manfaat yang sama dapat dibandingkan. Kekurangan CEA adalah alternatif yang dibandingkan harus memiliki outcome yang diukur dengan satuan klinik yang sama. Hasil dari CEA digambarkan dengan rasio yaitu Average cost-effectiveness ratio (ACER) atau sebagai Incremental cost-effectiveness ratio (ICER). Hasil ACER menggambarkan total biaya dari suatu program atau alternatif dibagi dengan outcome klinik, dipresentasikan sebagai berapa rupiah per outcome klinik spesifik yang dihasilkan, tidak tergantung pada pembandingnya. Alternatif yang paling cost-effective tidak selalu alternatif yang biayanya paling murah untuk mendapatkan tujuan terapi yang spesifik. Rumus perhitungan ACER didefinisikan sebagai berikut :


(5)

Biaya pada ACER merupakan rata-rata biaya medik langsung dari tiap obat, sedangkan efektivitas terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah setelah mengkonsumsi obat yang diukur dengan persentase pasien yang mencapai target terapi. Hasil dari ACER diinterpretasikan sebagai rata-rata biaya per unit efektivitas. Semakin kecil nilai ACER, maka alternatif obat tersebut semakin cost-effective(Andayani, 2013).

Hasil dari CEA dapat disimpulkan dengan Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Definisi ICER adalah rasio perbedaan antara biaya dari dua obat dengan perbedaan efektivitas dari masing-masing obat yang dihitung dengan rumus berikut :

(Thompson, 2011) Jika, perhitungan ICER memberikan hasil negatif, maka suatu terapi dinilai lebih cost-effective dibanding terapi pembandingnya (Andayani, 2013).

E. Landasan Teori

Dari beberapa penelitianterdahulu mengenai pola pengobatan hipertensi, dari penelitian yang dilakukan oleh Salwa (2013), 46% dari keseluruhan pasien hipertensi rawat inap menggunakan obat antihipertensi kombinasi. Pola pengobatan hipertensi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan obat yang banyak diresepkan pada terapi antihipertensi dengan kombinasi adalah ACEI+CCB dan ACEI+Diuretik (Chiburdanidze, 2013). Penelitian mengenai efektivitas biaya terapi antihipertensi dua kombinasi yang dilakukan Nintyasari (2011)di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, menunjukkan biaya tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi Enalapril + Bisoprolol. Terapi hipertensi dengan biaya terendah ditunjukkan oleh kombinasi Captopril + Hidroklorotiazid sehingga kombinasi ini dianggap paling cost effective. Penelitian lain mengenai pola penggunaan obat antihipertensi yang dilakukan pada 300 resep antihipertensi menunjukkan bahwa monoterapi paling banyak dilanjutkan dengan terapi


(6)

kombinasi (35,04%). Obat yang paling cost effective untuk terapi hipertensi adalah diuretik (Rachana et al., 2014).

F.Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengobatan yang paling cost-effective pada terapi antihipertensi pasien rawat inap, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan pola pengobatan dan pembiayaan yang bermanfaat guna mendukung terapi antihipertensi dan pengembangan pelayanan kesehatan.


Dokumen yang terkait

STUDI PENGGUNAAN GOLONGAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (CCB) PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian Dilakukan di Instalasi Rawat Inap RS Muhammadiyah Lamongan)

3 19 78

STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN CCB(Calcium Channel Blocker)PADA PASIEN STROKE ISKEMIK (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

0 13 30

STUDI PENGGUNAAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (CCB) PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang)

0 53 36

Whey Kefir Characteristic and Its Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor Activity

1 9 42

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA DAN MONITORING PENGGUNAAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

0 6 26

ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA ANTARA OBAT ANGIOTENSIN Analisis Efektifitas Biaya Antara Obat Angiotensin Converting Enzyme (Ace) Inhibitor Dengan Calcium Channel Blocker (Ccb) Pada Pengobatan Penyakit Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Tahun 2013.

0 2 15

ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA ANTARA OBAT ANGIOTENSIN Analisis Efektifitas Biaya Antara Obat Angiotensin Converting Enzyme (Ace) Inhibitor Dengan Calcium Channel Blocker (Ccb) Pada Pengobatan Penyakit Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Tahun 2013.

0 4 13

ANALISIS BIAYA PADA PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT “X” SURAKARTA Analisis Biaya Pada Pasien Skizofrenia Rawat Inap Di Rumah Sakit “X” Surakarta Tahun 2012.

0 2 16

Analsis Efektivitas Biaya Pengobatan Hipertensi dengan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe-2 Menggunakan Angiotensin Converting Enzyme - Ubaya Repository

0 0 1

Studi penggunaan angiotensin converting enzim inhibitor (ace-inhibitor) pada pasien stroke iskemik rawat inap di RSU. Dr Saiful Anwar Malang - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 15