ZUHROTUS SOFIYAH BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi Guru Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Persepsi Persepsi merupakan sebuah istilah yang sudah sangat familiar

  didengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah persepsi berasal dari bahasa inggris “perception”, yang diambil dari bahasa latin “perceptio”, yang berarti menerima atau mengambil. Dalam kamus Inggris Indonesia, kata perception diartikan dengan “penglihatan” atau “tanggapan” (Echols

  & Shandily dalam Desmita,2009:117) Menurut Leavit dalam Desmita (2009:117) perception dalam pengertian sempit adalah “penglihatan”, yaitu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas, perception adalah “pandangan”, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

  Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterprestasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Jadi persepsi pada dasarnya menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, bagaimana ia mengerti dan menginterpretasikan stimulus yang ada di lingkungannya dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Setelah individu mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian ia memproses hasil pengindraannya itu, sehingga timbullah makna tentang objek itu.

  (Desmita,2009:118) Menurut Walgito (2005:99), Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterprestasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi.

  Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterprestasikan. (Davidoff dalam Walgito, 2005: 100). Karena itu dalam penginderaan orang akan mengkaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di sekitarnyadan juga keadaan diri sendiri.

  Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dalam diri individu sendiri. Namun demikian sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui macam-macam alat indera yang ada pada diri individu, tetapi sebagian besar persepsi melalui alat indera penglihatan. Karena itulah banyak penelitian mengenai persepsi adalah persepsi yang berkaitan dengan alat penglihatan.

  Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman- pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff dalam Walgito, 2005: 100).

  Menurut Sarwono (2010:86) persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk kedalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman.

  Pemahaman ini yang kurang lebih disebut persepsi.

  Dari beberapa pengertian tentang persepsi di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk mengolah, menyeleksi dan memberikan tanggapan terhadap sesuatu yang telah diterima secara langsung dan bersifat subyektif.

2. Proses Terbentuknya Persepsi

  Proses pembentukan persepsi diawali dengan masuknya sumber melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan manusia, diterima oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk sensation. sensation sebagian besar yang diperoleh dari proses pertama (sumber) kemudian diseleksi dan diterima. penyaringan atau seleksi dijalankan oleh faktor-faktor seperti harapan individu, motivasi, dan sikap (Riadi 2012).

  Menurut Walgito (2012: 102) proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terkhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk.

  Dari pendapat para ahli diatas, dapat ditarik simpulan bahwa proses pembentukan persepsi berawal dari masuknya sumber/data melalui pendengaran, penglihatan, pengamatan kemudian ditangkap oleh panca indera selanjutnya diolah melalui proses penalaran dan perasaan sehingga menimbulkan suatu persepsi.

3. Faktor-Faktor Yang Berperan Dalam Persepsi

  Menurut Walgito (2005:101), dalam persepsi individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus yang diterimanya, sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan dengan faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan adanya beberapa faktor, yaitu:

  a. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu.

  b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagi alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris. c. Perhatian Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

  Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan adanya beberapa faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu (1) objek atau stimulus yang dipersepsi, (2) alat indera dan syaraf-syaraf serta pusat susunan syaraf, (3) perhatian.

B. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

  Istilah pendidikan kewarganegaraan pada satu sisi identik dengan pendidikan kewarganegaraan. Namun, di sisi lain, istilah Pendidikan Kewargaan, menurut Rosyada secara subtantif tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan kewargaan secara subtantif lebih luas cakupannya dari istilah Pendidikan Kewarganegaraan. (Taniredja, 2009: 3)

  John J. Cogan (dalam Winarno, 2014: 4) membedakan istilah pendidikan kewarganegaraan (bahasa Indonesia) dalam dua pengertian:

  

civic education dan citizenship education atau education for citizenship.

Civic education adalah pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian

  sempit, yaitu sebagai bentuk pendidikan formal, seperti mata pelajaran, mata kuliah, atau kursus dilembaga sekolah, universitas, atau lembaga formal lain. Sedangkan citizenship education mencakup tidak hanya sebagai bentuk formal pendidikan kewarganegaraan, tetapi bentuk- bentuk informal dan non formal pendidikan kewarganegaraan.

  

Citizenship education adalah pengertian pendidikan kewarganegaraan

  yang generic (umum) dan dalam arti luas. Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian yang luas seperti “citizenship education” atau “education for citizenship” mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan diluar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warga negara yang cerdas dan baik.

  Pendidikan kewargaan menurut Azra (dalam Taniredja dkk, 2009: 2) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas daripada Pendidikan Demokrasi dan Pendidikan HAM. Karena, pendidikan Kewargaan mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi dan lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerja sama, keadilan sosial, pengertian antar budaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM).

  Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Civic

  

Education sebagai Pendidikan Kewargaan (citizenship education) selain

  mendidik generasi muda agar menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya, juga mempersiapkan warga negara menjadi warga dunia.

  Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan di Indonesia, mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) pada hakekatnya merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dijelaskan bahwa:

  “Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang menfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945”.

  Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian Pendidikan kewarganegaraan (PKn) ini pada intinya membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

  Menurut somantri (Djahiri, 2006: 172), Pendidikan Kewarganegaraan juga menjadi pilar bagi pendidikan politik bangsa, pendidikan nilai dan moral, sebagai pendidikan budi pekerti, pendidikan kesadaran hukum, pendidikan demokrasi, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan sebagai pendidikan sosial yang secara keseluruhan berbasis pada ideologi nasional Indonesia dengan tetap menggunakan pendekatan- pendekatan keilmuan yang bersifat sintesis. Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan moral dan budi pekerti, pada dasarnya membangun nilai-nilai moral para siswa untuk dapat berkembang menjadi kepribadian Indonesia yang bebas dan mandiri dengan tetap berbasis pada nilai-nilai pancasila. Pendidikan nilai juga diharapkan dapat memberdayakan peserta didik menjadi warga negara yang baik yang sadar akan tanggung jawabnya dan berpartisipasi aktif kepada kelangsungan kehidupan bangsa dan bernegara. Sedangkan sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan kewarganegaraan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran hukum masyarakat melalui pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang hukum, isi hukum, sikap yang positif terhadap hukum, dan kepatuhan hukum. Jadi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan hukum bukan semata- mata pendidikan pengetahuan hukum, namun lebih mengacu pada upaya pembinaan kesadaran hukum nasional yang bersumber pada nilai-nilai moral bangsa Indonesia.

2. Peran Pendidikan Kewarganegaraan

  Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada Bab II ada ketentuan bahwa :

  “Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan pendidikan akan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia”.

  Kesadaran dan wawasan yang dimaksud di atas adalah wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotrisme bela negara, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajuan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme.

  Berdasarkan penjelasan di atas salah satu peningkatan kesadaran dan wawasan adalah ketaatan terhadap hukum maka melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan dapat membina siswa menjadi warga negara yang baik yang taat pada hukum dan peraturan yang berlaku, seperti halnya yang terdapat pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan mentaati hukum atau aturan yang berlaku.

  Pendidikan kewarganegaraan juga mempunyai peran dalam mengemban misi sebagai pendidikan hukum, yaitu pendidikan kewarganegaraan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran hukum masyarakat. Maka dapat disimpulkan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bukan semata mata memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga harus mampu menanamkan kesadaran kepada siswa untuk taat kepada hukum, sehingga siswa berperilaku taat pada norma atau aturan baik dilingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara (Djahiri, 2006: 173).

3. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

  Menurut Winataputra dalam (Winarno, 2014: 11), visi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang berfungsi dan berperan sebagai program kulikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal, program aksi sosial-kultural dalam kontks kemasyarakatan, dan sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Visi ini mengandung dua dimensi, yakni dimensi substansif berupa muatan pembelajaran dan objek telaah serta objek pengembangan dan dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran, sedangkan misi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substansif-akademis.

  Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Misi sosio- kultur adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada tumbuh kembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebijakan kewarganegaraan dan civic

  culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan

  pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio- pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya. (Winarno, 2014: 12-13) C.

   Hakikat Civic Virtue 1.

   Pengertian Civic Virtue

  Quigley, CN, Buchanan, JH and Bahmuller, CF dalam Civitas: A

  framework for Civic Education , (1991) menyatakan bahwa civic disposition merupakan bagian dari civic virtue. Dikatakan sebagai

  berikut.

  Civic virtue is described in terms of civic dispositions and civic commitment. Civic disposition refer to those attitudes and habits of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democtaric system. Civic commitments refer to the freelygiven, reasoned commitment of the citizen to the fundamental values and principles of American constitutional democracy.

  Civic virtue merupakan kemauan warga negara untuk

  menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Civic atau kebajikan kewarganegaraan terdiri atas unsur watak dan

  virtue

  komitmen kewarganegaraan. Watak kewarganegaraan merujuk pada sejumlah kebiasaan dan sikap warga dalam menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan umum dalam sistem demokrasi. Komitmen kewarganegaraan merujuk pada kesediaan secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi Amerika. (Winarno, 2014:181)

  Civic virtues include the traits of character, dispositions, and

commitments necessaryforthe preservation and improvement of

democratic governance and citizenship.Examples ofcivic virtues are

respect for the worth and dignity of each person, civility,integrity,self-

discipline, tolerance, compassion, and patriotism. Commitments include

adedication tohuman rights, the common good, equality, and a rule of

law, (Quigley.2000). Maksud kesemua itu adalah Kebajikan

  kewarganegaraan mencakup sifat-sifat karakter, disposisi, dan komitmen yang diperlukan untuk pelestarian dan peningkatan tata pemerintahan dan kewarganegaraan yang demokratis. Contoh kebajikan masyarakat adalah penghormatan terhadap nilai dan martabat setiap orang, kesopanan, integritas, disiplin diri, toleransi, kasih sayang, dan patriotisme. Komitmen termasuk adedikasi terhadap hak asasi manusia, kebaikan bersama, persamaan, dan peraturan hukum.

  Civic virtue bisa dikatakan sebagai tujuan akhir dari pendidikan

  kewarganegaraan, yaitu terbentuknya kebajikan kewaganegaraan pada diri setiap warga yang tentu saja disesuaikan dengan sistem demokrasi konstitusional yang sejalan dengan ideologi nasional negara yang bersangkutan. Contoh civic virtue di AS adalah komitmen dan sikap yang sejalan dengan prinsip dan nilai demokrasi Amerika. Di Indonesia, civic

  

virtue itu hendaknya sejalan dengan prinsip demokrasi Indonesia, sebagimana yang dicontohkan dengan 10 pilar demokrasi Indonesia dari Prof. Dr. Achmad Sanusi (2006). (Winarno, 2014: 181) 2.

   Cakupan Civic virtue

  Rumusan dari “Civitas: A frame work for civic education” (Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah, 2007:56) membagi civic dalam:

  a. Civic Virtue,

  b. Civic Participation, c. Civic Knowledge and Skills.

  Pengertian Civic Virtue menurut Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:60) adalah

  “…the willingness of citizen to set aside privateinterests and personal concerns for the sake of the common good”. Yakni kemauan warga negara untuk

  menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic

  Virtue memiliki dua unsur, yaitu:

  a. Civic Disposition, adalah sikap atau kebiasaan berpikir warga negara yang mendorong berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi.

  Meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni: “Civility

  (respect and civil discourse), individual responsibility, self- discipline, civil-mindedness, openmindedness (openness, skepticism, recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles and limit to compromise), toleration of diversity, patience and persistence, compassion, generosity, and loyalty to the nation and its principles

  ”. Maksud semua itu adalah kesopanan yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsi-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi terhadap keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya.

  b. Civic Commitment, adalah komitmen warga negara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental demokrasi konsitusional Amerika ya ng meliputi: “popular

  souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation ofpowers, checks and balances, minority rights, civilian control of the military,separation of church and state, power of the purse, federalism, common good,individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit ofhappiness), justice, equality

(political, legal, social, economic), diversity, truth, andpatriotism

  ”. Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan kontitusional, prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hakminoritas, kontrol masyarakat terhadap militer, pemisahan negara dan agama,kekuasaan anggaran belanja, federalism, kepentingan umum, hak-hak individualyang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi, dankebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang poitik, hukum, sosial, ekonomi),kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air.

  CIVITAS describes civic virtue in terms of civic dispositions and

civic commitment. Civic dispositions refer to those attitudes and habits of

mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and

common good of the democratic system. Civic commitments refer to the

freely given, reasoned commitment of the citizen to the fundamental

values and principles of American constitutional democracy,

  (Bahmueller.1992) Yang dimaksud adalah CIVITAS menggambarkan kebajikan kewarganegaraan dalam hal disposisi kewarganegaraan dan komitmen kewarganegaraan. Pemosisian civic mengacu pada sikap dan kebiasaan pikiran warga negara yang kondusif terhadap fungsi sehat dan kebaikan bersama dari sistem demokrasi. Komitmen masyarakat sipil mengacu pada komitmen beralasan yang diberikan secara bebas kepada warga negara terhadap nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Amerika.

  Jadi kesimpulannya bahwa pengembangan civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan. Dimensi civic participation ini dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan “…the knowledge and skills required to

  

participate effectively.. prtical experience in participation designed to

foster among students a sense of competence and efficacy

  ”, dan mengmbangkan “…an understanding of the importance of citizen

  

participation (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim

  Budimansyah, 2007: 62), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warga negara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan “ A knowledge of the

  

fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts

related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the

situation, a disposition to act in accord with the traits of civic characters,

and a commitment to the realization of the fundamental values and

principles” (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim

  Budimansyah, 2007: 62). Yang dimaksud adalah pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan substansi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara.

  Jika dilihat dari sasaran dikembangkannya “civic virtue” dan “civic participation”, dapat disimpulkan bahwa salah satu dimensi dari “civic education” di Amerika adalah pengembangan watak dan karakter warganegara yang peka, tanggap, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa, dan negaranya.

  Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pengembangan civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan

  civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education atau pendidikan kewaganegaraan. Sehubungan dengan

  beberapa pendapat dari para pakar mengenai civic virtue di atas dapat disimpulkan bahwa civic virtue adalah suatu kebajikan warga negara yang berupa sikap baik dan komitmen untuk nilai-nilai yang mewujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

D. Hakikat Lalu lintas 1. Pengertian Lalu Lintas

  Di dalam bab 1 ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa “lalu lintas adalah gerakan kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan”. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “lalu lintas adalah berjalan bolak-balik, hilir mudik, dan perihal perjalanan di jalan d an berhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lainnya”. Dengan demikian lalu lintas adalah merupakan gerak lintas manusia dan barang dengan menggunakan barang atau ruang di darat, baik dengan alat gerak ataupun kegiatan lalu lintas di jalan yang dapat menimbulkan permasalahan seperti terjadinya kecelakaan dan kemacetan lalu lintas.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan lalu lintas adalah kegiatan kendaraan dengan menggunakan jalan raya sebagai jalur lalu lintas umum sehari-hari. Lalu lintas identik dengan jalur kendaraan bermotor yang ramai yang menjadi jalur kebutuhan masyarakat umum.

2. Tujuan Lalu Lintas

  Berdasarkan Undang-undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa yang disebut dengan lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Adapun tujuan diselenggarakannya lalu lintas dan angkutan angkutan jalan pada pasal 3 yaitu:

  a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

  c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat Berdasarkan tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan lalu lintas di sekolah memiliki beberapa tujuan, yaitu agar generasi muda secara sadar mampu mengimplementasikan sistem nilai, yaitu etika dan budaya berlalu lintas yang aman, tertib, santun, selamat, dan lancar yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mengubah perilaku pemakai jalan, menurunkan pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas, dan memberikan info lalu lintas.

3. Unsur Pembentuk Lalu Lintas

  Lalu lintas merupakan pergerakan kendaraan (sarana) prasarana sebenarnya meliputi seluruh moda yang ada yaitu, moda jalan raya, moda jalan rel, moda angkutan laut dan sungai, dan moda angkutan udara. Lalu lintas tersusun dari berbagai unsur yakni manusia sebagai pemakai jalan (road user yang dapat berfungsi sebagai pengemudi, penumpang dan pejalan kaki), kendaraan (vehicle), prasarana jalan, dan lingkungan.

  Keempat unsur tersebut saling berinteraksi sehingga membentuk lalu lintas (Arif dan Amirotul, 2007: 9) Manusia merupakan salah satu unsur dalam lalu lintas yang spesifik, artinya setiap individu mempunyai komponen fisik dasar tertentu dan nonfisik yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal kemampuannya. Komponen tersebut meliputi pendengaran, penglihatan, tenaga, pendidikan, dan psikologis. Kombinasi komponen tersebut akan menghasilkan suatu perilaku pengambilan keputusan yang berbeda pada saat menghadapi satu permasalahan lalu lintas. Arif dan Amirotul, 2007 Menyebutkan bahwa karakteristik manusia sebagai pengemudi adalah sebagai berikut: a. Perseption merupakan kesadaran akan adanya suatu objek atau rangsangan yang datang dari luar sehingga dibutuhkan suatu respon atau tindakan.

  b. Intelection atau identification yaitu proses identifikasi atau interpretasi terhadap objek atau rangsangan. c. Emotion atau decision yaitu penentuan sikap atau hasil telaah terhadap objek atau rangsangan tersebut, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan akan tindakan apa yang diambil, (apakah harus berhenti, cukup mengurangi kecepatan saja, membelok ringan atau membanting stir, menyalip, atau cukup membunyikan klakson).

  d. Volition atau reaction yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan sebagai hasil dari keputusan tahap sebelumnya.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi keempat karakteristik manusia sebagai pengemudi adalah sebagai berikut: a. Faktor usia

  Kondisi mental dan emosi antara orang muda dan orang tua sangat berbeda, semakin tua tingkat kepekaan dan agresivitas terhadap rangsangan semakin menurun, untuk itu sebaiknya ada pembatasan usia maksimum untuk dapat mengendarai kendaraan seperti halnya adanya pembatasan usia minimum yang diizinkan untuk memliki Surat Izin Mengemudi.

  b. Kondisi Fisik Mengemudikan kendaraan bermotor memerlukan konsentrasi penuh mengingat bahwa tingkat pengambilan keputusan dalam mengemudi sangatlah singkat dalam hitungan detik. Keterlambatan pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat tersebut dapat menyebabkan kondisi fatal seperti kecelakaan. c. Kondisi Lingkungan Lingkungan sekitar, di kanan kiri jalan, dapat menyebabkan terciptanya kondisi yang berlainan pada pengemudi. Perasaan pengemudi ketika melewati daerah tengah kota yang rumit tentu memerlukan konsentrasi yang penuh dibandingkan dengan ketika melintas di jalan antar kota dengan pemandangan yang hijau di kanan kiri jalan yang kadang justru kurang konsentrasi.

  d. Faktor Pendidikan Faktor perbedaan tingkat pendidikan dapat pula berpengaruh pada perilaku mengemudi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula kesadaran dalam menaati aturan lalu lintas karena pengetahuan tentang bahaya yang akan terjadi apabila melanggar lalu lintas akan semakin dimengerti. Disamping itu, pendidikan yang tinggi akan dapat membentuk watak serta kepribadian yang lebih baik, lebih bertoleransi terhadap pengendara lain, dan ada perasaan malu jika melanggar aturan.

  Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik setiap pengemudi di jalan raya memiliki perbedaan yang dipengaruhi oleh usia, kondisi fisik pengemudi, keadan lingkungan sekitar jalan raya dan pendidikan yang mempengaruhi tingkat kesadaran seseorang untuk patuh dan taat pada peraturan lalu lintas yang berlaku.

E. Pendidikan Lalu Lintas 1. Aturan Dalam Berkendara

  Etika dalam berlalu lintas adalah pedoman sikap atau aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain di dalam berlalu lintas.

  Etika tidak hanya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saja, namun etika juga sangat penting diterapkan dalam berlalu lintas. Prinsip etika yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berlalu lintas hampir sama yaitu tenggang rasa dan saling menghargai. Dalam berlalu lintas kita harus tenggang rasa dengan pengguna jalan lain dan jangan bersikap egois. (Raharjo, 2014:37).

  Hal demkian juga terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu dikatakan tertib, lancar, aman, dan terpadu apabila dalam berlalu lintas berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban pengguna jalan serta bebas dari hambatan dan kemacetan jalan. Tanpa adanya etika berlalu lintas, maka pengemudi akan mengemudi seenaknya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan orang lain, lalu lintas di jalan akan berjalan semrawut, sehingga rawan kecelakaan, serta akan terjadi kemacetan.

  Maka dapat disimpulkan bahwa ketertiban dan keamanan dalam berkendara akan terwujud apabila setiap pengguna jalan raya mau bersikap tenggang rasa dan saling menghargai serta tidak bersikap egois, dengan demikian selain menciptakan ketertiban dan keamanan dalam berkendara juga dapat mengurangi kecelakaan lalu lintas yang sering kali terjadi akibat pengguna jalan raya yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas.

2. Landasan Yuridis Mengenai Tata Cara Berlalu Lintas

  Tata cara berlalu lintas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan paragraph 1 tentang ketertiban dan keselamatan diatur dalam pasal 105 yaitu sebagai berikut:

  Setiap orang yang menggunakan jalan wajib:

  a. Berperilaku tertib, dan/atau

  b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan, keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. Pada pasal 106 menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. (2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. (3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. (4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: a. Rambu perintah atau rambu larangan,

  b. Marka jalan,

  c. Alat pemberi isyarat lalu lintas,

  d. Gerakan lalu lintas,

  e. Berhenti dan parkir,

  f. Peringatan dengan bunyi dan sinar,

  g. Kecepatan maksimal atau minimal, dan/atau,

  h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.

  (5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukkan:

  a. Surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor, b. Surat Izin Mengemudi,

  c. Bukti lulus uji berkala, dan/atau d. Tanda bukti lain yang sah. (6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dijalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. (7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau leih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (Satu) orang. Pada pasal 107 menyebutkan bahwa : (1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. (2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Pada pasal 108 menyebutkan bahwa: (1) Dalam berlalu lintas pengguna jalan harus menggunakan jalur jalan sebelah kiri. (2) Penggunaan jalur jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika: a. Pengemudi bermaksud akan melewati kendaraan di depannya, atau b. Diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.

  (3) Sepeda motor, kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan kendaraan tidak bermotor berada pada jalur kiri jalan. (4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului kendaraan lain. Pada pasal 109 menyebutkan bahwa: (1) Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandan yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup. (2) Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jalur jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan. (3) Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati kendaraan tersebut. Pada pasal 110 menyebutkan bahwa: (1) Pengemudi yang berpapasan dengan kendaran lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan kendaraan. (2) Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau pengguna jalan lain di depannya wajib mendahulukan kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Pada pasal 111 menyebutkan bahwa:

  Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bag kendaraan untuk saling berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada kendaraan yang mendak. Pada pasal 112 menyebutkan bahwa: (1) Pengemudi kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, di samping, dan di belakang kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.

  (2) Pengemudi kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, di samping, dan di belakang kendaraan serta memberikan isyarat. (3) Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu lintas. Pada pasal 113 menyebutkan bahwa: (1) Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi wajib membrikan hak utama kepada:

  a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan rambu lalu lintas atau marka jalan;

  b. Kendaraan dari jalan utama jika pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan jalan;

  c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;

  d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus atau; e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus. (2) Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali lalu lintas yang berbenduk bundaran, pengemudi harus memberikan hak utama kepada kendaraan lain yang datang dari arah kanan. Pada pasal 114 menyebutkan bahwa:

  Pada perlintasan sebidang antara jalur kreta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib: a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kreta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain; b. Mendahulukan kreta api dan

  c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

  Pasal 115 menyebutkan bahwa: Pengemudi kendaraan bermotor dijalan dilarang:

  a. Mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan/atau b. Berbalapan dengan kendaraan bermotor lain. Pada pasal 116 menyebutkan bahwa: (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan rambu lalu lintas.

  (2) Selain sesuai dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:

  a. Akan melewati kendaraan bermotor umum yang sedang menurunkan dan menaikkan penumpang; b. Akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring c. Cuaca hujan dan/atau genangan air

  d. Memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan rambu lalu lintas e. Mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kreta api dan/atau f. Melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan menyebrang. Pada pasal 117 menyebutkan bahwa:

  Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi lalu lintas di samping dan di belakang kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan kendaraan lain. Pada pasal 118 menyebutkan bahwa: (1) Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap

  Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:

  a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh; b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran

  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau c. di jalan tol. Pada pasal 119 menyebutkan bahwa: (1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti. (2) Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan

  Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara. Pada pasal 120 menyebutkan bahwa: Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

  Pada pasal 121 menyebutkan bahwa: (1) Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.

  (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping. Maka dapat disimpulkan bahwa tata cara berlalu lintas yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009