I Made Putra Aryasa 201302027 I Gede Yudarta, SSKar., M.Si, , I Nyoman Pasek, SSKar., M.Si Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar ABSTRAK - KUPAT WANTAL - ISI Denpasar

KUPAT WANTAL

  

I Made Putra Aryasa

201302027

  

I Gede Yudarta, SSKar., M.Si, , I Nyoman Pasek, SSKar., M.Si

Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia Denpasar

  

ABSTRAK

Tradisi unik yang dimiliki oleh Desa Adat Kapal adalah Tradisi Aci Rah Pengangon atau

lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat Bantal. Berdasarkan hasil

wawancara, Perang Tipat Bantal atau Aci Rah Pangangon adalah bentuk ungkapan syukur dalam

pemujaan kemakmuran oleh masyarakat subak Desa Adat Kapal. Ungkapan syukur dilaksanakan

dengan mempertemukan kedua unsur simbolik sumber kemakmuran, yaitu tipat (unsur

perempuan/feminim) dan bantal (unsur laki-laki/maskulin). Keduanya dipertemukan di udara

sebagai sebuah sanggama rohani mencipta benih kemakmuran jatuh dan dikandung oleh bumi

sebagai ibu pertiwi. Kutipan lontar Aci Rah Pangangon milik Bapak I Ketut Sudarsana tersebut,

menunjukkan bahwa sarana pokok dalam pelaksanaan Aci Rah Pangangon adalah tipat dan bantal

yang dalam lontar disebutkan dengan kupat lawan wantal, maka penggarap menuangkan karya

seni karawitan Kupat Wantal menggunakan media ungkap dua barungan gamelan selonding

sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan. Struktur garapan ini terdiri dari tiga

bagian, yaitu pangawit, pangawak, dan pangecet. Kupat Wantal berbentuk karya seni karawitan

inovasi dengan memberikan nuansa religi, menggunakan teknik-teknik komposisi dan mengolah

unsur-unsur karawitan seperti melodi, ritme, tempo, dan dinamika. Karya seni karawitan Kupat

Wantal dipentaskan secara konser pada panggung gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia

Denpasar, dimainkan oleh sepuluh pemain gamelan selonding, delapan pemain instrument suling,

empat pemain instrumen kendang, satu pemain kecek, satu pemain kajar trenteng, dan satu pemain

gong lanang dan wadon maka, jumlah pemain sebanyak dua puluh lima orang termasuk penata

yang memiliki spesialis memainkan kendang dengan durasi waktu 12 menit. Kata Kunci: Aci Rah Pengangon, Kupat Wantal, Selonding

  

ABSTRACT

Unique tradition that is owned by the Village People is the tradition of Aci Rah Boats

Pengangon or better known by local people as a tradition Tipat War Pillow. Based on the

interview, Tipat War Pangangon Pillow or Aci Rah is a form of gratitude in the worship of

prosperity by society Subak Ship Indigenous Village. Gratitude implemented to bring the two

elements of the symbolic source of prosperity, that tipat (elements female / feminine) and pillows

(elements male / masculine). Both are reunited in the air as a spiritual copulation creating the seed

of prosperity falls and conceived by the earth as motherland. Excerpts ejection Aci Rah Pangangon

owned by Mr. I Ketut Sudarsana demonstrates that the principal means in the implementation of

Aci Rah Pangangon is tipat and pillows were in Lontar with kupat opponent wantal, then tenants

pouring works of musical arts Kupat Wantal using the media said two barungan gamelan

Selonding as Mainstream media and some additional instruments. This structure consists of three

parts, namely kawitan, pengawak, and pengetak. Wantal kupat artwork shaped musical innovation

by providing religious nuance, using the techniques of composition and processing of musical

elements such as melody, rhythm, tempo, and dynamics. Works of musical arts Kupat Wantal

performed in concert on the stage of the building Natya Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar,

played by ten players gamelan Selonding, six players instrument flute, four players of instruments

drums, one player gup, one player Kajar trenteng, and one player hanging gongs and Gentorag

  

then, the number of players as many as twenty-three people including stylist who has a specialist

to play drums with a duration of 12 minutes.

  Keywords: Aci Rah Pengangon, Kupat Wantal, Selonding PENDAHULUAN

  Desa Adat Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi Perang Tipat Bantal.

  Perang Tipat Bantal merupakan tradisi tua yang diwariskan oleh tetua-tetua Desa

  Adat Kapal sebagai masyarakat agraris pada jamannya. Kondisi lingkungan, tanah yang subur, masyarakat yang tekun dan ulet menggarap persawahan menjadikan keadaan masyarakat Desa Adat Kapal pada jamannya maju dalam pertanian. Melimpahnya hasil panen memenuhi setiap lumbung padi di setiap pekarangan perumahan petani. Mayoritas masyarakat Desa Adat Kapal pada jamannya bergelut dalam dunia pertanian dan menjadi petani unggul dengan hamparan persawahan yang luas.

  Penduduk Desa Adat Kapal yang mayoritas bergelut dalam dunia pertanian, mewariskan banyak tradisi ritus pemujaan terhadap kesuburan sebagai sumber kemakmuran. Persawahan adalah kunci kemakmuran karena dalam proses bertani semua unsur alam dijaga, dipelihara, dan dihidupkan sesuai peran dan fungsinya. Dimulai dari merawat tanah, sumber air, tanaman penunjang, sampai pada keberlangsungan semua itu dirawat dan disentuh langsung oleh petani. Kompleksnya komponen-komponen yang dirawat oleh petani sebagai perannya penggerak kemakmuran kemudian berpengaruh pada religius. Ritual persembahan dan pemujaan terhadap kemakmuran pun berlanjut di persawahan sebagai pelaku utamanya adalah petani.

  Aci Rah Pengangon

  atau yang lebih dikenal dengan Perang Tipat Bantal adalah salah satu ritus pemujaan terhadap kesuburan. Upacara ini dilakukan setiap setahun sekali tepatnya dalam rentangan Oktober mengikuti kondisi aktifitas persawahan. Pelaku utama dalam tradisi ini adalah petani di lingkungan Desa Adat Kapal, namun belakangan pelaksanaannya sudah melibatkan Krama Desa Adat Kapal dalam pelaksanaannya dengan dasar pemikiran bahwa semua yang hidup sekalipun tidak berprofesi sebagai petani dapat hidup dari beras dan hasil olahan persawahan. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat Desa Adat Kapal diperankan sebagai pelaku dalam tradisi ini.

  Pada mulanya, petani Desa Adat Kapal sangat ulet menggarap sawah tekun dalam bekerja dan bhakti kepada Dewi Kesuburan. Namun, dalam perjalanannya kondisi di persawahan paceklik panen, hasil persawahan menurun. Keadaan yang demikian mengakibatkan kebimbangan, sebab cadangan makanan menipis sebagai akibat gagal panen. Pada saat yang bersamaan Patih Bali pada masanya Ki Kebo Taruna/Kebo Iwa sedang berada di Desa Adat Kapal untuk merestorasi Pura Purushada atas perintah Raja Bali yaitu Asta Sura Ratna Bhumi Banten. Ki Kebo Iwa terketuk dan iba akan keadaan masyarakat melarat kekurangan pangan.

  Bersamadilah Kebo Iwa memohon petunjuk di Pura Purushada akan permasalahan tersebut dan pemecahannya. Dalam samadhi, terdengarlah suara awang- awang yang tiada lain adalah sabda Ida Bhatara di Pura Purushada dalam prabawa Beliau sebagai Sanghyang Pasupati bersama Dewi Uma yang disebut Sanghyang Druwe Rsi. Dalam sabda tersebut diwejangkan agar masyarakat Desa Kapal melaksanakan pemujaan terhadap sumber kemakmuran dengan sarana ketupat (tipat) dan jajanan bantal.

  (feminim/ketupat) dipertemukan di udara sebagai bentuk sanggama rohani memuja kesuburan dan menghasilkan benih maha utama di persawahan. Proses pertemuan

  

purusha predhana ini dilakukan di depan Dhalem Gelgel yaitu di Pura Desa Adat Kapal.

  Atas dasar wejangan tersebut, maka patih Ki Kebo Iwa memerintahkan pelaksanan pemujaan yang dikenal dengan Aci Rah Pengangon tersebut kepada masyarakat Desa Adat Kapal. Dengan penuh rasa bakti dan ketekunan bertani untuk pertama kalinya dilaksanakan pada Isaka 1263 atau tahun 2341 Masehi. Sejak saat itu, kondisi persawahan mulai membaik dan makin membaik masyarakat tidak kekurangan sandang pangan. Tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat Bantal secara rutin digelar dan tidak berani untuk dilewatkan.

  Sejarah singkat pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal tersebut di atas juga ditelusuri keberadaannya melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat. Salah satunya adalah Bapak I Ketut Sudarsana. Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Sudarsana selaku Kelihan Desa Adat Kapal, tanggal 8 Desamber 2016 di kediaman beliau Br. Basangtamiang, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung menyatakan bahwa:

  Tradisi Perang Tipat Bantal berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakat Desa Adat Kapal, dimana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kehidupan yang diciptakan-Nya, serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi Aci Rah Pengangon dilaksanakan setiap bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September-Oktober. Pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat

  Bantal . Tipat atau ketupat adalah olahan makanan yang terbuat dari beras yang

  dibungkus dalam ulatan atau anyaman janur/daun kelapa yang masih muda dan berbentuk segi empat, sedangkan bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan, yang juga dibungkus dengan janur namun tidak dianyam seperti halnya

  tipat , serta berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari

  keberadaan energi maskulin dan feminim yang ada di semesta ini, dimana dalam konsep Hindu disebut sebagai purusha dan predhana. Pertemuan kedua hal inilah dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia. Segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan purusha dan predhana. Berdasar pada hasil wawancara tersebut di atas, yang dimaksudkan dengan

  Perang Tipat Bantal

  atau Aci Rah Pangangon adalah bentuk ungkapan syukur dalam pemujaan kemakmuran oleh masyarakat subak Desa Adat Kapal. Ungkapan syukur dilaksanakan dengan mempertemukan kedua unsur simbolik sumber kemakmuran, yaitu

  tipat

  (unsur perempuan/feminim) dan bantal (unsur laki-laki/maskulin). Keduanya dipertemukan di udara sebagai sebuah sanggama rohani mencipta benih kemakmuran jatuh dan dikandung oleh bumi sebagai ibu pertiwi.

  Lontar Aci Rah Pengangon menyebutkan bahwa sarana utama dalam upacara ini adalah tipat dan bantal, seperti tampak dalam kutipan di bawah ini. … … ...., (3.b.) mangke yan kita mahyun gemah ripah lohjinawi, tar kerang

  pangan mwang kenum , (4.a.) wenang ta kita ngadakaken aci tabuh rah pengangon, aci rare angon, ngaken awarsha, sadhananing aci ika, wenang kupat lawan wantal, tika pu rusha predhana ngarania, …. … …

  Artinya: ……., (3.b.) sekarang jika kalian menginginkan kemakmuran, tidak kekurangan melaksanakan upacara Aci Rah Pangangon, yang juga disebut Aci Rare Angon, dilaksanakan setiap tahun, sebagai sarana upacara tersebut, adalah ketupat dan bantal, sebagai simbolik unsur laki dan perempuan, … Kutipan lontar Aci Rah Pangangon milik Bapak I Ketut Sudarsana tersebut di atas, menunjukkan bahwa sarana pokok dalam pelaksanaan Aci Rah Pangangon adalah

  

tipat dan bantal yang dalam lontar disebutkan dengan kupat lawan wantal. Lontar ini

  menjelaskan secara jelas tentang latar belakang diadakannya upacara Perang Tipat Bantal dengan sarana upacara pokoknya berupa tipat dan bantal.

  Dari tradisi Perang Tipat Bantal tersebut mucul ide menarik yang dapat diangkat menjadi judul garapan. Kata kupat dan wantal dalam Lontar Aci Rah Pengangon tersebut di atas, sudah mewakili ritual upacara tersebut secara keseluruhan. Berdasar pada hal tersebut, maka kupat wantal dipilih sebagai judul garapan ini dengan harapan dari kata

  

kupat wantal sudah mampu mewakili penggambaran secara simbolik tradisi Perang Tipat

Bantal

  secara unik dengan permainan konsonan berupa pergeseran konsonan dari tipat menjadi kupat dan dari bantal menjadi wantal. Keduanya, kupat wantal mengesankan sebuah bentuk penghormatan dengan nilai rasa lebih halus dibandingkan dengan tipat

  bantal .

  Ide tradisi unik serta bentuk dari tipat dan bantal tersebut, penata mencoba menuangkannya ke dalam garapan komposisi karawitan Bali dengan menggunakan gamelan selonding sebagai media pokok. Gamelan selonding merupakan gamelan yang termasuk dalam golongan tua yang berlaraskan pelog tujuh nada dengan mempergunakan lima nada pokok dan dua nada yang lain disebut penyorog dan pemero yang keseluruhannya berbentuk bilah (Tusan, 2001:472). Berdasar pada pandangan Tusan tersebut maka dapat diketahui bahwa jenis barungan gamelan selonding tergolong ke dalam barungan gamelan kuno Bali. Selanjutnya juga disebutkan dalam Tusan, bahwa gamelan selonding digunakan untuk mengiringi tradisi dan upacara khas di Desa Tenganan sebagai asal muasal gamelan selonding. Fungsinya yang demikian sakral sebagai pengiring ritual upacara menimbulkan karakteristik gamelan selonding sebagai gamelan sakral melekat baik secara fisik gamelan ataupun jenis gending yang dimainkan.

  Berdasar pada pandangan tersebut di atas, maka penata tertarik untuk memadukan ide tradisi Aci Rah Pangangon yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan

  

Perang Tipat Bantal dengan judul Kupat Wantal dalam media ungkap pokok gamelan

selonding . Tradisi Perang Tipat Bantal tergolong tradisi tua dan sakral sebagai bentuk

  pemujaan terhadap kemakmuran sangat layak untuk dipadukan dengan karakter gamelan

  

selonding yang cenderung bersifat sakral. Oleh sebab itu, ide tradisi Perang Tipat Bantal

dengan judul Kupat Wantal layak diungkap menggunakan gamelan selonding.

  Instrumen gamelan selonding secara umum terdiri dari satu tungguh Nyongnyong

  

Ageng, satu tungguh Nyongnyong Alit, satu tungguh Peenem, satu tungguh Petuduh, dua

tungguh Gong, dan dua tungguh Kempul. Nyongnyong ageng dan nyongnyong alit

  merupakan instrumen yang berbilah besi yang merupakan bagian dari barungan gamelan

  

selonding , masing-masing terdiri dari delapan bilah nada. Adapun nada dalam instrumen

nyongnyong ageng : 5 6 7 1 2 3 4 5 dan nada dalam instrumen nyongnyong alit : 7 1 2 3

  4 5 6 7 . Peenem dan Petuduh adalah instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding, masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada 6 7 1 2dan nada dalam instrumen petuduh : 3 4 5 6. Gong dan dalam instrumen peenem :

  Kempul

  yaitu instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding, masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada dalam instrumen gong : 4 5 6 7 dan nada dalam instrumen kempul : 1 2 3 4 (Pratama, 2015:42). Pemanfaatan saih dalam garapan karawitan, pada hakekatnya menunjukan berdasarkan kararakter dari masing-masing saih dan patet melainkan ditata sesuai keindahan dan kebutuhan komposisi karawitan ini. Dengan kata lain bahwa pemanfaatan

  

saih dan patet pada masing-masing bagian dari garapan selain menunjukan karakter dari

  masing-masing suasana yang ingin diwujudkan dalam karya seni karawitan Kupat

  

Wantal . Mengungkapan saih dan patet dalam karya seni karawitan Kupat Wantal

  bertujuan untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan pepatutan Bali pada umumnya gamelan yang berlaras pelog tujuh nada dan khususnya dalam gamelan

  selonding (Pratama, 2015:45).

  Ide Garapan

  Ide atau gagasan merupakan hasil dari suatu proses pemikiran yang terus menerus dari seseorang terhadap lingkungan secara kompleks. Ide tidak muncul begitu saja, karena apapun sumber penciptaan yang dilahirkan dalam sebuah karya seni perlu pertanggungjawaban. Dalam komposisi karya seni, ide tercipta berdasarkan fenomena tradisi Aci Rah Pengangon atau perang tipat bantal yang berada di Desa Adat Kapal. Adanya tipat bantal tersebut menimbulkan ide untuk mencoba diungkapkan lewat bahasa musik melalui pola jalinan-jalinan nada serta permainan melodi dan tempo. Memperhatikan hal tersebut, menimbulkan inspirasi yang kemudian menjadikan sebuah ide untuk menuangkannya ke dalam komposisi karawitan Bali melalui media ungkap dua

  barungan

  gamelan selonding sebagai media pokok, serta memperhatikan unsur-unsur musik yang ada, seperti: melodi, ritme, harmoni, dinamika, dan tempo yang dikemas dalam sebuah bentuk komposisi karawitan. Gamelan selonding digunakan sebagai media ungkap garapan Kupat Wantal karena gamelan selonding identik dengan ritual dan mampu membangkitkan suasana sakral dalam sebuah upacara.

  Salah satu contoh dapat dilihat dalam tradisi Perang Pandan atau Mekare-kare yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem, diiringi dengan gamelan selonding. Sehingga adanya ketertarikan penata untuk menuangkan ide garapan Kupat Wantal ke dalam media pokok gamelan selonding dengan pengembangan instrumen dan penambahan beberapa instrumen guna menunjang garapan Kupat Wantal.

  Komposisi barungan gamelan selonding sebagai media ungkap pokok Kupat

  Wantal

  dilakukan pengembangan dan penambahan beberapa instrumen. Penata mencoba menuangkan ke dalam dua barungan gamelan selonding, saih cenik/kecil dan saih

  

gede /besar. Gamelan selonding saih gede/besar memiliki suara lebih besar mewakili dari

  penggambaran tipat (Pradhana) sedangkan gamelan selonding saih cenik/kecil memiliki suara lebih kecil mewakili dari penggambaran bantal (Purusha). Dalam garapan karya seni karawitan Kupat Wantal, penata berpedoman pada pola tri angga, yang terdiri dari

  Pangawit, Pangawak,

  dan Pangecet. Ketiganya menjadi satu kesatuan untuk mengungkap Kupat Wantal baik dari sisi karakter ketupat atau tipat dan bantal dalam nilai simbolik kekuatan perempuan dan laki-laki maupun dalam pengkarakteran gending.

  Konsep Tri Angga dalam karya seni karawitan Kupat Wantal dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pangawit, penata mengenalkan perbedan saih dalam gamelan

  

selonding satu dengan gamelan selonding yang kedua dan beberapa instrumen tambahan

  sebagai penunjang karya seni karawitan Kupat Wantal. Selanjutnya, 2) Pangawak terdiri dari dua bagian yang masing-masingnya mengungkap ide menggunakan jalinan-jalinan nada yang menggambarkan jalinan daun kelapa membentuk tipat dan motif atau ornamentasi yang polos menggambarkan begitu polosnya daun pembukus yang membentuk bantal. 3) Pangecet, jalinan nada-nada bertemu dengan motif atau ornamentasi yang polos, menggambarkan pertemuan tipat dengan bantal.

  Tujuan Garapan

  Setiap kegiatan yang dilakukan sudah tentu ada tujuan yang ingin dicapai, demikian juga terhadap penggarapan karya seni yang dilakukan perlu adanya tujuan yang jelas.Dalam karya seni karawitan Kupat Wantal terdapat dua tujuan yang dicapai yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Berikut ini diuraikan kedua tujuan-tujuan tersebut: Tujuan Umum

  Secara umum, mengungkap keberadaan sebuah tradisi Aci Rah Pangangon atau

  Perang Tipat Bantal

  yang terdapat di Desa Adat Kapal dalam bentuk karya seni karawitan Bali. Tujuan Khusus 1. Mentransformasikan ide garapan menjadi karya seni karawitan Kupat Wantal.

  2. Menjadikan bentuk dan struktur karya seni karawitan Kupat Wantal.

  3. Untuk menyangkup aspek-aspek musikalitas dan estetika komposisi musik karya seni karawitan Kupat Wantal.

  Manfaat Garapan

  Adapun manfaat yang diperoleh dari penciptaan komposisi karawitan ini adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kreativitas berkarya dalam berkesenian, khususnya dalam penciptaan sebuah komposisi karawitan Bali serta menambah wawasan penata dan pengalaman dalam menggarap.

  2. Menambah khasanah seni pertunjukan di lingkungan Institut Seni Indonesia Denpasar, khususnya seni karawitan, serta sebagai bahan perbandingan dalam meningkatkan kreativitas seni kalangan akademik.

  3. Memberikan pengetahuan tradisi Perang Tipat Bantal ke khalayak umum atau masyarakat, tentang karakteristik tipat bantal yang di ungkapkan ke dalam karya seni karawitan Kupat Wantal dan upaya pelestarian tradisi leluhur.

  Ruang Lingkup

  Untuk membatasi ruang tafsir dan apresiasi terhadap garapan komposisi yang berjudul Kupat Wantal ini, penata memberikan pemaparan dan batasan karya sebagai berikut: 1. Garapan Seni Karawitan ini berjudul Kupat Wantal.

  2. Ide garapan, yaitu tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat Bantal sebagai bentuk penggambaran tipat dan bantal dalam karya seni karawitan Kupat Wantal.

  3. Karya seni karawitan Kupat Wantal adalah garapan yang berbentuk komposisi karawitan Bali dengan menggunakan pola tri angga, yang terdiri dari pawitan,

  pangawak, dan pangecet. Perkembangannya terdapat pada pola-pola permainan

  dan pengolahan unsur-unsur musikal seperti nada, melodi, irama, tempo, harmoni, dan dinamika. Sifat estetis seperti kesatuan, kekuatan, keyakinan, dan kerumitan tetap dijadikan pijakan serta acuan dalam mewujudkan karya yang berkualitas.

  4. Garapan ini secara khusus disajikan dengan menggunakan dua barungan gamelan

  selonding sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan sebagai

  penunjang karya seni karawitan Kupat Wantal. Adapun instrumen gamelan yang digunakan adalah dua tungguh Nyongnyong Ageng, dua tungguh Nyongnyong

  Alit,

  dua tungguh Peenem, dua tungguh Petuduh, empat tungguh Gong, empat

  tungguhKempul, satu tungguh ceng-ceng ricik, satu pasang kendang krumpungan,

  satu pasang kendang gupekan, delapan instrumen suling, dua tungguh gong

KAJIAN SUMBER

  Terwujudnya suatu garapan komposisi seni karawitan yang tidak terlepas dari sumber-sumber dan informasi. Untuk menghasilkan karya seni yang di dalamnya mengandung nilai filsafat, etika dan sistematika, maka komposisi karawitan ini didukung dengan beberapa sumber, diantaranya:

   Sumber Tertulis Lontar Tabuh Rah Pengangon

  milik Bapak I Ketut Sudarsana (Kelihan Desa Adat Kapal) sekaligus salinannya menerangakan sejarah pelaksanaan Tradisi Aci Rah

  

Pengangon sebagai sumber ide garapan karya seni karawitan Kupat Wantal. Naskah

  Lontar Tabuh Rah Pangangon memiliki tebal 5 lembar lontar dengan panjang 27cm dan lebar 3,5cm beraksara Bali, kode naskah lontar: 201/Sr./1390 berbahasa Bali Kawi. Informasi yang diperoleh dari naskah lontar Tabuh Rah Pangangon adalah mengenai latar belakang pelaksanaan aci rah pangangon dan pelaksanaan yang pertamakalinya serta sarana yang terkait pelaksanaan upacara.

  Diceritakan pada awal mulanya, masyarakat Desa Adat Kapal adalah masyarakat agraris pengolah tanah handal dengan hamparan persawahan begitu luas. Aktifitas bertani menjadi kegiatan rutinitas dan mayoritas hal ini juga berdampak pada aktifitas religious masyarakat sebagai manusia yang taat melaksanakan upacara dan ritual keagamaan. Aktifitas tani yang tertata baik menjadikan masyarakat Desa Adat Kapal makmur dalam pangan.

  Namun, pada suatu ketika terjadi paceklik panen, hasil pertanian terkena musibah. Panen yang diharapkan mampu maksimal menjadi merugi. Masyarakat dilanda kebimbangan sebab jika hal tersebut tidak diatasi maka akan berdampak negative bagi kehidupan masyarakat ke depannya. Pada saat yang bersamaan, Ki Kebo Iwa sedang mengadakan perbaikan terhadap pura Purusadha di Desa Adat Kapal atas perintah Raja Bali Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten. Sebagai seorang abdi raja dan abdi rakyat, Ki Kebo Iwa merasa terhenyuh dan tergerak untuk membantu masyarakat Desa Adat Kapal yang terlanda musibah paceklik panen. Berhubung Ki Kebo Iwa sedang memperbaiki Pura Purusadha, maka di sana beliau bersamadi dan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.

  Samadhi yang begitu khusyuk menurunkan sabda awing-awang berupa wejangan bijak Beliau yang berstana di Pura Purusadha. Wejangan tersebut mengisaratkan untuk melaksanakan pemujaan terhadap sumber benih kehidupan dalam simbul purusha (bantal) dan predhana (ketupat/tipat). Kedua sarana tersebut dipertemukan dalam sanggama rohani di udara, layaknya tajen sehingga kemudian disebut tajen pangangon yaitu Aci Rah Pangangon. Prosesi ini dilaksanakan di Dalem Gelgel di Pura Desa Adat Kapal pada bulan Oktober/November. Demikian intisari wejangan Beliau yang berstana di Pura Purusadha dalam prabhawa sebagai Dewa Pasupati bersama Dewi Uma yang disebut dengan Sanghyang Druwe Rsi menitahkan agar melaksanakan Aci Rah Pangangon sebagai sarana pemuliaan benih kemakmuran dalam simbul ketupat dan bantal dan dilaksanakan di Dalem Gelgel Pura Desa Adat Kapal.

  Berdasarkan uraian singkat sejarah dan penggunaan simbolik yang termuat dalam Lontar Tabuh Rah Pangangon di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan aci rah pangangon bertujuan untuk memuliakan benih kehidupan dalam symbol ketupat dan wantal. keduanya dipertemukan dalam sanggama rohani menghasilkan benih kemakmuran untuk lingkungan persawahan sebagai sumber pangan, sumber kehidupan manusia. Upacara ini adalah bentuk ucapan syukur dan memuliakan kembali benih-benih

  Uraian sejarah pelaksanaan Aci Rah Pangangon dalam Lontar Tabuh Rah Pangangon kemudian dipakai sebagai landasan penggarapan “kupat wantal” yaitu untuk memperkuat latar belakang pelaksanaan sekaligus sebagai pematangan konsep nilai simbolik yang terdapat dalam ritual Aci Rah Pangangon yang lebih dikenal dengan siat

  tipat bantal .

  Artikel Bali Post Bali Orti berjudul “Aci Tabuh Rah Pengangon Antuk Parikrama

  

Nguyagang Merta ” yang terbit hari Minggu, 28 Mei 2017, menurut (was) menguraikan

  tentang pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kapal yang bertujuan memohon kesuburan dan sembari berterima kasih atas rahmat yang telah diberikan, sehingga kehidupan masyarakat Desa Adat Kapal menjadi makmur sejahtera. Artikel ini memberikan pemahaman mendalam tentang tradisi yang dilaksanakan di Desa Adat Kapal.

  SELONDING: Tinjauan Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV, oleh Pande Wayan Tusan, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudyaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali, 2001. Menguraikan tentang gamelan selonding yang berperan dalam memberikan pemahaman tentang karakter gamelan selonding dan fungsinya.

  Sumber Diskografi

  Karya ini juga mempergunakan sumber diskografi berupa rekaman audio dan rekaman audio visual, di antaranya : Rekaman video lomba baleganjur PKB Duta Kabupaten Badung, Siat Tipat

  

Bantal karya Putu Tiodore Adi Bawa, S.Sn., M.Sn, 2016. Rekaman vidio ini sangat

  mendukung tentang cerita serta menambah pengetahuan penata dalam membuat jalinan nada agar terdengar harmoni dan cara menonjolkan karakteristik dari masing-masing instrumen dalam sebuah komposisi.

  Rekaman video liputan mahasiswa Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar,

  

Perang Pandan/Mekare-kare , Arga Setiawan, 2015. Rekaman video liputan ini

  mendukung serta memberikan inspirasi tentang keadaan perang pandan penata dalam penggarapan komposisi karawitan.

  Rekaman video Festival Nasional Tari Tradisi TMII, Tari Pertiwi Jati karya Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn.,M.Sn, 2015. Rekaman video ini, penata mendapatkan keharmonisan suara pada iringan Tari Pertiwi Jati yang menceritakan tentang purusha pradhana mengangkat konsep tradisi dipadukan dengan tembang dan musik bercitarasa tradisi kekinian sehingga menimbulkan inspirasi bagi penata untuk mengolahnya kembali dan menuangkannya ke dalam karya seni karawitan Kupat Wantal.

PROSES KREATIVITAS

  Semua yang terjadi dalam komposisi karya seni karawitan ini, merupakan upaya kreativitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru mengenai pembaharuan konsep-konsep estetika, teknik, dan fungsinya. Proses tersebut tidak saja berjalan dengan lancar, kadang terjadi hambatan yang tidak akan pernah diduga sebelumnya.

  Terwujudnya suatu karya seni tentu dimulai dengan adanya proses yang merupakan tahapan penting, berawal dari adanya rangsangan dan dorongan batin seorang seniman untuk dapat mewujudkan sebuah karya sampai karya itu menjadi kenyataan berdasarkan pada pemikiran serta keinginannya. Proses tidak dapat dijalani dengan mudah jika pada awalnya si seniman kurang memiliki konsep yang pasti dan adanya keragu-raguan. Dalam kenyataannya memang cukup sulit melahirkan karya seni yang berkualitas dan berbobot. Proses kreativitas memerlukan pikiran-pikiran kreatif dan ide segar agar nantinya garapan yang ditampilkan tidak monoton, serta yang paling integral adalah garapan yang dituangkan sesuai dengan keinginan, gagasan, dan konsep penata sendiri untuk memotivasi pembentukan sebuah jati diri sehingga perlu dibuat garapan dengan rasa orisinalitasnya.

  Setiap tahap pada proses ini dan hasil karya sang seniman selalu akan mengandung ciri khas sebagai akibat dari segala pengaruh serta pengalaman-pengalaman sang seniman. Pengaruh tersebut berkaitan dengan lingkungan hidupnya, pendidikannya, dan apa yang pernah dibaca, serta pengalaman yang khusus dan latar belakang kebudayaannya.

  Dalam proses penggarapan karya seni karawitan, terdapat tiga tahapan penting yang harus dilalui. Adapun ketiga tahapan yang dipakai dalam proses penggarapan guna mewujudkan sebuah karya seni karawitan adalah tahap penjajagan (eksplorasi), tahap percobaan (improvisasi), dan tahap pembentukan (forming) (Garwa, 2008:4).

  Tahap Penjajagan (Eksplorasi)

  Tahapan ini merupakan langkah awal dalam suatu proses penataan termasuk berpikir, berimajinasi, serta membayangkan tentang sesuatu yang akan dibuat. Dalam hal ini penata melakukan dua hal pokok, yaitu mencari ide dan memastikan ide, selanjutnya menerjemahkan ide tersebut menjadi sebuah bentuk garapan seni karawitan.

  Penataan karya seni karawitan memerlukan proses penjajagan tidak hanya dilakukan menjelang tahap pelaksanaan Ujian Tugas Akhir. Karya seni karawitan Kupat

  

Wantal ini muncul ketika penata ujian komposisi IV. Pada ujian komposisi ini diwajibkan

  untuk memperlihatkan embrio yang akan digunakan sebagai Ujian Tugas Akhir melali rekaman video serta presentasi.

  Beranjak dari arahan dan bimbingan dosen pengampu mata kuliah Komposisi Karawitan IV yang memberi masukan serta dukungan dan telah mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, maka penata semakin yakin untuk memilih karya karawitan ini sebagai karya dalam Ujian Tugas Akhir. Bagi penata, judul dan konsep karya seni karawitan Kupat Wantal yang dapat membingkai dan menjadi landasan teori dari karya karawitan ini.

  Selanjutnya, penata menentukan pendukung dan tempat yang digunakan pada saat latihan, dalam hal ini penata mencari pendukung yang memang mampu memainkan gamelan selonding serta instrumen pendukung garapan Kupat Wantal. Tempat latihan adalah di Jaba Pura Dalem Salunding di Jalan Menuh II, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

  Kegiatan berikutnya dilanjutkan dengan pengumpulan proposal pada Ketua Jurusan Karawitan pada hari kamis, 16 Februari 2017. Kemudian dilakukan seleksi proposal pada hari kamis & jumat, 23-24 Februari 2017. Setelah dinyatakan lulus sampai pengumpulan proposal, kegiatan yang dilakukan dalam memulai proses penataan karya seni karawitan Kupat Wantal seiring mencari hari baik untuk melaksanakan nuasen, yaitu upacara mengawali proses penuangan karya seni karawitan Kupat Wantal. Menurut kepercayaan Umat Hindu agar mendapatkan keselamatan, memiliki spirit atau disebut dengan taksu dan selalu dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2017 penata hanya bisa melaksanakan latihan ringan dikarenakan kesibukan pendukung menyambut hari raya Nyepi serta hari raya Galungan dan Kuningan. Tempat pelaksanaan upacara nuasen dilaksanakan di Jaba Pura Dalem Salunding pada Minggu, 30 April 2017.

  Tahap Percobaan (Improvisasi)

  Tahap percobaan (improvisasi) merupakan tahap kedua dalam proses penggarapan. Penuangan ide-ide dalam bentuk percobaan secara intensif mulai dilakukan. Penata mencari kemungkinan saih yang dihasilkan dari gamelan Selonding yang nantinya digunakan untuk mengangkat suasana dan nuansa yang diinginkan sesuai konsep ciptaan. dituangkan pada garapan sesuai dengan struktur garapan. Pada latihan pertama yaitu Minggu, 30 April 2017, diawali dengan memberikan penjelasan kepada pendukung karawitan mengenai ide dan konsep garapan karya seni karawitan Kupat Wantal, agar para pendukung dapat memahami ide dan konsep tersebut untuk kelancaran proses penuangan gending. Setelah para pendukung memahami ide dan konsep tersebut, dilanjutkan dengan penuangan bagian pangawit, berkat kesungguhan para pendukung, bagian pangawit dapat terselesaikan setengahnya.

  Latihan selanjutnya pada Rabu, 3 Mei 2017, karena keterbatasan pendukung yang bisa hadir dalam latihan ini, penata hanya mengingatkan bagian yang sudah setengahnya rampung dan melakukan sedikit penambahan materi, sehingga bagian pangawit sudah lumayan dapat terbentuk.

  Penuangan selanjutnya dilaksanakan pada Minggu, 7 Mei 2017. Pada pertemuan ini dilakukan pemantapan bagian pangawit yang sudah terbentuk dan melakukan perbaikan, sehingga bagian pangawit dapat terbentuk seutuhnya.

  Penuangan selanjutnya dilaksanakan pada Kamis, 11 Mei 2017, didahului dengan pemantapan bagian pangawit karena beberapa pendukung tidak hadir pada latihan sebelumnya dan menyebabkan penata kembali mengulang bagian pangawit. Bimbingan skrip karya dan garapan juga senantiasa dilakukan baik di kampus maupun di luar kampus guna mendapatkan saran dan masukan untuk kesempurnaan garapan yang akan diwujudkan.

  Minggu, 14 Mei 2017, penata menuangkan bagian transisi dari bagian pangawit menuju bagian pangawak. Penuangan bagian transisi yang cukup lancar, menjadikan penata untuk langsung menuangkan bagian pangawak. Pada bagian pangawak, merupakan tahap yang perlu diberikan konsentrasi penuh karena penata mencoba memasukkan beberapa motif yang nantinya memberikan kesan perbedaan laki-laki dan perempuan atau yang disebutkan dalam skrip karya yaitu purusha dan pradhana. Namun pada hari itu, bagian pangawak belum dapat dirampungkan secara utuh karena keterbatasan waktu.

  Dalam proses penuangan karya seni karawitan Kupat Wantal penata menemukan kendala yaitu, dari tanggal 15-21 Mei 2017 penata tidak bisa mengadakan latihan dikarenakan Komunitas Seni Taksu Agung melakukan latihan iringan Drama Tari yang akan dipakai untuk ngayah di Pura Kahyangan Dalem, Desa Adat Sedang, Abiansemal, Badung yang melibatkan semua anggota Komunitas dan menggunakan tempat yang penata sering pakai untuk latihan.

  Latihan kembali dilanjutkan Senin, 22 Mei 2017. Pada latihan tersebut penata mengingat materi yang di cari sebelumnya serta merampungkan bagian pangawak. Penuangan bagian pangawak cukup lancar namun ada beberapa pendukung yang berhalangan hadir.

  Penuangan selanjutnya Rabu, 23 Mei 2017, materi garapan yang diberikan adalah menyelesaikan serta memantapkan bagian pangawak dan menambahkan ke transisi menuju bagian pangecet.

  Tahap Pembentukan ( Forming)

  Tahap ketiga penggarapan adalah pembentukan (forming). Tahap akhir dari karya seni karawitan Kupat Wantal yaitu pembentukan menjadi sebuah komposisi karawitan yang utuh. Bagian-bagian yang telah selesai dituangkan, dirangkai menjadi satu kesatuan bentuk yang utuh walaupun terdapat bagian-bagian yang masih perlu penataan kembali. Dalam hal ini penata juga perlu memperhatikan dinamika (keras lirih) yang berkaitan dengan masalah ngumbang ngisep suatu gending.

  Bimbingan-bimbingan baik karya cipta maupun karya tulis lebih intensif karawitan Kupat Wantal. Penyatuan rasa juga perlu dilakukan, sehingga dapat terbentuk garapan yang benar-benar utuh. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan agar karya seni karawitan Kupat Wantal lebih rapi dan apik. Aksentuasi tertentu ditonjolkan sebagai suatu identitas agar diperoleh sebuah komposisi musik yang berkualitas.

  Setelah tahapan ini dilakukan tahap finishing untuk mengakhiri proses kreativitas dengan lebih sempurna dan menghayati garapan. Penjiwaan dan kekompakan pendukung sangat dibutuhkan karena hal tersebut sangat berperan dalam penyampaian kesan dan pesan yang terkandung dalam garapan kepada penikmat. Penata juga melakukan pembakuan terhadap setting gamelan yang dipergunakan dan dicoba pada Jumat, 28 Juli 2017 sebelum dilaksanakannya gladi kotor dan gladi bersih pada Minggu, 30 juli 2017 serta Ujian Tugas Akhir (TA) pada Senin, 7 Agustus 2017.

WUJUD GARAPAN

  Wujud merupakan salah satu bagian dari tiga unsur-unsur estetika (wujud, isi/bobot, dan penampilan), serta menjadi unsur mendasar yang terkandung dalam karya seni (Djelantik, 2004:15). Wujud adalah sesuatu yang dapat dilihat secara nyata dan dipersepsikan melalui mata atau telinga secara abstrak yang dapat dibayangkan dan dianalisa sesuai komponen-komponen penyusunnya (Djelantik, 2004:17).

  Karya seni karawitan Kupat Wantal merupakan sebuah garapan karawitan inovasi yang masih berpegang teguh pada pola-pola tradisi karawitan Bali. Pola-pola tradisi tersebut dikembangkan baik dari segi struktur lagu, teknik permainan maupun motif- motif lagu atau gendingnya dengan penataan yang mengolah dari unsur-unsur karawitan seperti nada, melodi, ritme, tempo, harmoni, dan dinamika. Disamping itu juga dilakukan penataan dalam penyajiannya agar komposisi karawitan yang disajikan tidak hanya enak didengar tetapi juga enak dilihat.

  Deskripsi Garapan Kupat Wantal merupakan sebuah garapan seni karawitan inovasi dengan

  menggunakan gamelan selonding sebagai media ungkap pokok serta beberapa instrumen tambahan sebagai penunjang garapan. Untuk mewujudkan karya seni karawitan Kupat

  

Wantal penata mengolah unsur-unsur karawitan seperti melodi, ritme, tempo, dan

  dinamika. Karya seni karawitan Kupat Wantal penata melangkah awal dimulai dari mencari media gamelan selonding dan langkah selanjutnya penata mencari konsep yang masuk akal dalam nuansa religi yang dimana gamelan selonding yang bersifat sakral.

  Karya seni karawitan Kupat Wantal menggunakan media ungkap dua barungan gamelan selonding sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan. Karya seni karawitan Kupat Wantal dipentaskan secara konser pada panggung gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar dengan jumlah pemain sebanyak dua puluh tiga orang termasuk penata yang memiliki spesialis memainkan kendang dengan durasi waktu 12 menit. Karya seni karawitan Kupat Wantal diharapkan dapat memacu kreativitas dalam berkarya dan berkomposisi seni karawitan untuk pengembangan potensi diri.

  Adapun ide yang diangkat dalam garapan ini adalah fenomena Tradisi Aci Rah

  

Pengangon atau Perang Tipat Bantal yang berada di Desa Adat Kapal. Ide ini diangkat

  karena sebuah tradisi yang menjadi ruang untuk masyarakat yang berada di Desa Adat Kapal dalam melakukan pemujaan sebagai ungkapan sujud bakti, rasa syukur, dan sarana introspeksi diri agar dapat menjadi orang yang lebih baik ke depannya. Ide tersebut diatas disesuaikan dengan struktur garapan agar dapat menjadi satu kesatuan yang utuh. Struktur garapan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pangawit, pengawak, dan pengecet.

  Instrumentasi

  Instrumen gamelan selonding secara umum terdiri dari satu tungguh Nyongnyong

  

tungguh Gong, dan dua tungguh Kempul. Nyongnyong ageng dan nyongnyong alit

  merupakan instrumen yang berbilah besi yang merupakan bagian dari barungan gamelan

  

selonding , masing-masing terdiri dari delapan bilah nada. Adapun nada dalam instrumen

nyongnyong ageng : 5 6 7 1 2 3 4 5 dan nada dalam instrumen nyongnyong alit : 7 1 2 3

  4 5 6 7 . Peenem dan Petuduh adalah instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding, masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada dalam instrumen peenem : 6 7 1 2dan nada dalam instrumen petuduh : 3 4 5 6. Gong dan

  

Kempul yaitu instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding,

  masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada dalam instrumen gong : 4 5 6 7 dan nada dalam instrumen kempul : 1 2 3 4 (Pratama, 2015:42). Untuk mewujudkan karya seni karawitan Kupat Wantal, penata menggunakan dua barungan gamelan selonding sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan untuk penunjang diantaranya : Instrumen Pokok.

1) Nyongnyong Ageng dan Nyongnyongan Alit

  Instrumen nyongnyong ageng dan nyongnyong alit adalah instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding yang masing-masing instrumen terdiri dari delapan bilah nada secara umum, yang diantaranya myongnyong ageng:

  ndeng, ndeung, ndung, ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng,

  dan nyongnyong alit: Ndung,

  

ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung. Adapun fungsi instrumen ini adalah:

   Nyongnyong Ageng: 1.