BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam cuka 2.1.1 Pengertian Asam Cuka - ANALISIS KADAR ASAM CUKA DARI FERMENTASI MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DAN Acetobacter aceti PADA BONGGOL PISANG (Musa paradisiaca L.) VARIETAS AMBON NANGKA, AMBON BAWEN DAN AMBON W

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asam cuka

2.1.1 Pengertian Asam Cuka

  Asam cuka merupakan senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C

2 H

  4 O 2 . Rumus ini sering ditulis dalam bentuk CH

  3 COOH. Asam cuka o

  murni adalah cairan higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16,7 C. Asam cuka merupakan hasil olahan makanan melalui fermentasi. Fermentasi glukosa secara anaerob menggunakan khamir Saccharomyces cerevicae menghasilkan etanol. Fermentasi etanol secara aerob menggunakan bakteri Acetobacter aceti menghasilkan asam cuka (Buckle et al., 2010).

  Menurut Desrosier (2008), asam cuka dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang mengandung gula atau pati melalui fermentasi glukosa yang diikuti oleh fermentasi etanol. Produk ini merupakan suatu larutan asam cukadalam air yang megandung cita rasa, zat warna, dan substansi yang terekstrak misal: asam buah, ester, dan garam organik yang berbeda-beda sesuai dengan asalnya. Cuka yang dijual mengandung paling sedikit 4% asam cuka (4 g asam cuka per 100 ml), dalam kondisi segar dan dibuat dari buah-buahan yang layak dikonsumsi.

  Menurut Janeta (2011), proses pembuatan asam cuka melalui dua tahapan proses fermentasi. Tahap pertama adalah fermentasi gula hasil hidrolisis secara anaerob menjadi etanol oleh aktivitas yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tahap

  6 kedua adalah fermentasi secara aerob dilakukan oleh bakteri Acetobacter aceti untuk mengoksidasi etanol menjadi asam cuka. Penggunaan bahan dasar (bonggol pisang) dalam pembuatan cuka harus memiliki kandungan gula yang tinggi untuk masuk ke dalam tingkat fermentasi.

2.1.2 Fermentasi Glukosa menjadi Etanol

  Fermentasi gula menjadi etanol diperlukan serangkaian proses yang dilakukan sehingga menghasilkan etanol dengan mutu tinggi. Secara umum menurut Nugroho (2012) terdapat tiga tahapan dalam fermentasi glukosa menjadi etanol yaitu:

  A.

   Penyiapan Bahan Baku

  Bahan baku fermentasi glukosa menjadi etanol yang dapat difermentasi adalah bahan baku yang mengandung glukosa, sehingga dapat dihidrolisis menjadi glukosa. Bahan baku tersebut seperti: gula (sukrosa), bahan berpati, dan bahan berselulosa (Ma’ruf & Damajanti, 2012). Bahan baku fermentasi glukosa menjadi etanol yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme adalah glukosa. Glukosa yang akan digunakan dalam proses fermentasi glukosa menjadi etanol dapat berasal dari pati bonggol pisang. Bonggol pisang merupakan bagian tanaman yang mengandung pati 76% (Solikhin et al., 2012). Untuk mengubah pati bonggol pisang menjadi glukosa, maka diperlukan proses hidrolisis. Proses hidrolisis merupakan reaksi kimia yang terjadi antara air dan pati yang menghasilkan zat baru berupa glukosa (Retno & Nuri, 2011). Proses hidrolisis bertujuan untuk menghasilkan monomer-monomer glukosa dari selulosa maupun hemiselulosa (Yulianto et al., 2009). Hidrolisis dapat dilakukan dengan bantuan asam (misalnya H

2 SO 4 dan HCl) atau Enzim pada temperatur, pH, dan waktu tertentu (Ma’ruf & Mulyadi, 2009).

  Bahan baku untuk fermentasi glukosa menjadi etanol, dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi memerlukan proses hidrolisis asam.

  Larutan asam yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah larutan asam kuat. Larutan asam kuat tersebut yaitu asam sulfat (H

  2 SO 4 ) dan asam klorida (HCl) (Gusmawarni et al., 2010).

  Proses hidrolisis antara pati dengan air berlangsung sangat lambat, sehingga diperlukan katalisator yang dapat mempercepat keaktifan air. Dengan penambahan katalisator, maka proses hidrolisis berjalan dengan cepat. Katalisator yang digunakan adalah asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H

  2 SO 4 ) (Retno &

  Nuri, 2011). Persamaan reaksi hidrolisis pati menggunakan katalisator asam klorida (HCl), sebagai berikut:

  HCl n(C

  6 H

  10 O 5 ) n(H 2 0) n(C

  6 H

  

12 O

+ 6 ) ......................(Retno & Nuri, 2011).

  Pati air Glukosa B.

   Fermentasi Glukosa menjadi Etanol

  Fermentasi dapat diartikan sebagai deasimilasi anaerobik senyawa- senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Fermentasi juga merupakan suatu proses penguraian gula menjadi etanol ( C H OH) dan

  2

  5

  karbondioksida (CO

  2 ) yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel S. cerevisiae secara anaerob ( Agustina, 2008; Buckle et al., 2010).

  Hasil dari fermentasi glukosa menjadi etanol secara anaerob menurut Buckle et al., (2010) mempunyai persamaan sebagai berikut :

  S. cerevisiae

  C

  6 H

  12 O 6 n(C

  2 H

  5 OH)+ n(CO

2 ) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya fermentasi glukosa menjadi etanol menurut Satuhu & Supriyadi (2008) yaitu: 1) Jumlah S. cerevisiae

  Jumlah S. cerevisiae yang terlibat di dalam proses fermentasi glukosa menjadi etanol sangat mempengaruhi cepat dan lambatnya keberlangsungan proses fermentasi. Penggunaan jumlah S. cerevisiae yang bervariasi dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk berubah-ubah. Jumlah S.

  cerevisiae yang ditambahkan berkisar 3-10% dari volume medium fermentasi.

  Hasil penelitian Solikhin et al. (2012) jumlah S. cerevisiae yang paling baik untuk proses fermentasi adalah 8%.

  2) Nutrisi

  Semua mikroorganisme membutuhkan energi untuk aktivitas metabolismenya. Energi yang dibutuhkan untuk metabolisme berasal dari nutrisi yang ada pada media. Nutrisi yang dibutuhkan adalah: karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P), mineral,dan vitamin (Fardiaz, 1992). Karbon merupakan komponen utama dan penting bagi sistem hidup, khususnya sebagai kerangka makromolekul seluler. Mikroorganisme yang berperan pada fermentasi glukosa menjadi etanol disebut mikroorganisme heterotrof. Mikroorganisme heterotrof yaitu mikroorganisme yang menggunakan sumber karbon dari senyawa organik untuk menghasilkan energi. Nitrogen adalah penyusun protein dan asam amino. Asam amino dan protein digunakan oleh mikroorganisme sebagai penyusun sel. Fosfor pada mikroorganisme dibutuhkan sebagai komponen ATP, asam nukleat dan sejumlah koenzim seperti NAD, NADP, dan flavin. Mineral merupakan bagian dari sel yang berfungsi sebagai penyusun sel, mengatur tekanan osmosis,

  • mengatur kadar ion H (keasaman), dan mengatur proses oksidasireduksi media sedangkan vitamin adalah senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan mikroorganisme. Vitamin berfungsi membentuk substansi yang mengaktifkan enzim. Jumlah nutrisi dalam media fermentasi yang sedikit akan memperlambat proses fermentasi bahkan fermentasi tidak dapat berlangsung (Waluyo, 2009).

  3) pH

  Proses fermentasi glukosa menjadi etanol dapat berjalan dengan baik pada pH antara 4,8-5,0. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan cara menambahkan larutan yang bersifat asam misalnyaHCl 0,1 N jika substratnya basa, dan menambahkan NaOH 0,1 N jika substrat tersebut terlalu asam (Satuhu & Supriyadi, 2008).

  4) Suhu

  Mikroorganisme mempunyai suhu pertumbuhan minimal, maksimal dan optimal. Suhu optimal adalah suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Suhu optimal yang diperlukan untuk fermentasi

  o o o o S. cerevisiae yaitu suhu antara 28 - 30 C dan suhu maksimal 35 - 47

  C. (Solikhin

  et al. , 2012). Suhu selama proses fermentasi akan mempengaruhi produk akhir

  fermentasi glukosa salah satunya yaitu etanol. Pada suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan enzim yang dihasilkan S. cerevisiae mengalami denaturasis edangkan pada suhu rendah S. Cerevisiae akan mengalami inaktif yaitu tidak aktifnya S. cerevisiae. Akibatnya proses fermentasi tidak akan berlangsung.

  (Ma’ruf & Mulyadi, 2010).

  5) Udara

  Fermentasi glukosa menjadi etanol yang dilakukan oleh S. Cerevisiae berlangsung secara anaerob yaitu tidak memerlukan oksigen. Karena S. cerevisiae akan tumbuh optimal tanpa adanya oksigen. Jika terdapat oksigen, S. cerevisiae tidak akan tumbuh secara optimal sehingga proses fermentasi akan berjalan lambat (Fardiaz, 1992).

  6) Waktu Fermentasi

  Waktu fermentasi yang diperlukan S. cerevisiae untuk mengubah glukosa menjadi etanol antara 3-14 hari. Waktu fermentasi yang terlalu singkat akan membuat substrat (glukosa) yang terdapat dalam medium belum teruraikan semua, sehingga menghasilkan kadar etanol yang rendah. Jika waktu fermentasi terlalu lama maka substrat (glukosa) yang terkandung dalam medium habis terpakai, sehingga etanol yang dihasilkan akan digunakan sebagai nutrisi. Karena

  

S. cerevisiae menggunakan etanol sebagai nutrisi, maka kadar etanol tersebut

  menurun (Retno & Nuri, 2011). Hasil penelitian Solikhin et al. (2012) waktu fermentasi untuk menghasilkan kadar bioetanol tertinggi pada fermentasi bonggol pisang adalah 5 hari.

  C.

   Pemurnian

  Proses pemurnian merupakan proses pemisahan etanol dari air yang dihasilkan dari proses fermentasi untuk mendapatkan etanol dengan konsentrasi yang tinggi. Kadar etanol dari hasil fermentasi berkisar 15-20%, sehingga harus dilakukan pemurnian agar diperoleh etanol dengan kadar yang lebih tinggi (Ma’ruf & Damajanti, 2012). Pemurnian etanol menggunakan proses destilasi. Destilasi adalah proses pemisahan dua atau lebih cairan dalam larutan dengan o

  berdasarkan perbedaan titik didihnya. Titik didih air 100 C sedangkan titik didih

  o o

  etanol 78

  C, sehingga suhu dalam destilasi yang digunakan adalah 78

  C. Pada

  o

  suhu 78 C menyebabkan etanol menguap melalui unit kondensasi menghasilkan etanol 95% (v/v) (Ma’ruf& Mulyadi, 2010).

2.1.3 Fermentasi Asam Cuka

  Asam cuka dihasilkan melalui proses fermentasi etanol menjadi asam cuka dengan menggunakan Acetobacter aceti. Asam cuka adalah senyawa yang sangat penting dalam pengolahan bahan pangan baik sebagai bumbu maupun bahan pengawet. Menurut Effendi (2002), fermentasi asam cuka berlangsung dalam keadaan aerob menggunakan bakteri A.aceti dengan substrat etanol. Pertumbuhan

  A. aceti akan optimal pada kondisi aerob. Hal ini karena bakteri A. aceti termasuk

  dalam bakteri aerob obligatif yaitu bakteri yang tidak dapat hidup tanpa adanya oksigen. Pada umumnya perubahan yang terjadi pada fermentasi etanol menurut Buckle et al. (2010) ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut :

  Acetobacter aceti

  C H OH+ O CH COOH +H O

  2

  5

  2

  3

  2 Perubahan etanol menjadi asam cuka merupakan hasil dari aktivitas

  A. aceti . Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi fermentasi etanol

  menjadi asam cuka menurut Waluyo (2005) yaitu:

  1) Jumlah A. aceti

  Jumlah A. aceti yang terlibat selama proses fermentasi etanol menjadi asam cuka sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses fermentasi. Jumlah

  A. aceti yang digunakan dalam proses fermentasi ini berkisar antara 5-15% dari

  jumlah media fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2002), jumlah

  A. aceti yang paling baik dalam proses fermentasi etanol menjadi asam cuka adalah 10% dari volume media fermentasi.

  2) pH

  Proses fermentasi etanol menjadi asam cuka dapat berjalan dengan baik pada pH optimal antara 5,4-6,3. Pada pH yang terlalu tinggi akan mengakibatkan mengalami kerusakan sel dan pada pH rendah A. aceti akan mengalami

  A. aceti inaktif, akibatnya proses fermentasi tidak akan berlangsung (Bergey’s, 1994).

  3) Suhu

  Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi. Setiap mikroorganisme memiliki suhu maksimal, minimal dan optimal.Suhu

  

o o

  pertumbuhan A. aceti berkisar antara 5 -42 C dan suhu optimal berkisar antara

  o o

  25 -30

  C. Berdasarkan hasil penelitian Fahmi (2012), suhu yang paling baik

  o

  selama proses fermentasi yaitu 25 C.

  4) Udara

  Fermentasi untuk menghasilkan asam cuka berlangsung secara aerob obligatif yaitu menggunakan oksigen untuk pertumbuhanA. aceti. A. aceti tidak akan tumbuh jika tidak terdapat oksigen sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung (Buckle et al., 2010).

  5) Nutrisi A. aceti membutuhkan nutrisi untuk melakukan fermentasi etanol menjadi

  asam cuka. Nutrisi pada media fermentasi adalah zat-zat yang mengandung fosfor dan nitrogen seperti: super phosphat, amonium sulfat, amonium phosphat, urea, dan magnesium sulfat. A. aceti membutuhkan unsur C, H, O, N, dan P dalam jumlah besar. Jika kekurangan unsur C, H, O, N, dan P maka A. aceti tidak akan tumbuh dan berkembangbiak dengan baik (Dewati, 2008).

2.1.4 Manfaat Asam Cuka

  Asam cuka memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Menurut Awad et al. (2012) mamfaat asam cuka yaitu: A.

   Industri Makanan

  Dalam industri makanan, asam cuka digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan.

  B.

   Pereaksi Kimia

  Asam cuka digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam cuka dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).

  C.

   Industri Bahan Kimia

  Asam cuka merupakan bahan yang berguna bagi produksi bahan kimia.Asam cuka digunakan untuk memproduksi anhidrida asetat, aspirin, dan ester.

  D.

   Bidang kesehatan

  Di bidang kesehatan, dalam konsentrasi rendah asam cuka digunakan sebagai antiseptik, antibakteri, dan deodorant alami yaitu zat penghilang bau.

  Antiseptik adalah senyawa yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri dan jamur pada jaringan hidup. Antibakteri adalah senyawa kimia alami yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Setyaningsih et al. , 2013).

  E.

   Penghilang Bau Anyir Produksi Perikanan Asam cuka merupakan hasil fermentasi etanol menggunakan A. aceti.

  Asam cuka merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai penghilang bau anyir pada pasca produksi perikanan (Poernomo et al., 2004).

2.2 Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

  Tumbuhan pisang merupakan nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang. Pisang masuk dalam famili Musaceae dari ordo Scitaminae dan terdiri atas dua genus, yaitu genus Ensete dan Musa. Genus Ensete terbagi dalam dua golongan yaitu: Superbum dan Glaucum, sedangkan genus Musa terbagi dalam empat golongan yaitu: Rhodochlamys,

  

Callnimusa, Australimusa, dan Eumusa. Golongan Australimusa dan Eumusa

  merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi, baik segar maupun olahan. Buah pisang yang dimakan segar sebagian besar berasal dari genus musa, yaitu Musa

  acuminata dan Musa balbisiana (Suhardiman, 2008; Sunyoto 2011; Wong et al., 2002).

  Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tumbuhan pisang dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut: Divisio : Magnoliophyta Classis : Liliopsida Sub classis : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Familia : Musaceae Genus : Musa Species : Musa paradisiaca L.

  Tumbuhan pisang termasuk dalam tumbuhan monokotil tahunan berbentuk pohon. Tumbuhan ini memiliki 5 bagian yaitu akar, batang, daun, bunga, dan buah.

  A.

   Akar

  Tumbuhan pisang tidak memiliki akar tunggang. Akar tumbuhan pisang berpangkal pada umbi batang dan banyak terdapat pada bagian bawah tanah. Akar yang tumbuh dibagian bawah pertumbuhannya sampai kedalaman 75-150 cm sedangkan akar yang ada dibagian samping umbi pertumbuhannya bisa mencapai 4-5 m ( Satuhu& Supriyadi, 2008).

  B.

   Batang

  Tumbuhan pisang mempunyai batang semu yang tersusun atas tumpukan pelepah daun yang tumbuh dan berkembang dari batang bawah tanah. Ketebalan batang semu tumbuhan pisang mencapai 20-50 cm. Tinggi batang semu ini berkisar 3,5-7,5 m tergantung jenisnya. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bagian bawah batang semu dan tersembunyi di dalam tanah disebut bonggol. Tumbuhan pisang selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, melalui tunas yang tumbuh pada bonggolnya (Sunyoto, 2011; Satuhu & Supriyadi, 2008).

  C.

   Daun

  Daun yang paling muda terbentuk di bagian tengah tanaman, keluarnya daun menggulung dan terus tumbuh memanjang, kemudian secara progresif membuka. Helaian daun berbentuk lanset memanjang, dengan panjang 1,5-3 m, dan lebar 30-70 cm. Permukaan bawah daun berlilin dan tulang daun terlihat nyata. tersusun sejajar dan menyirip, dan berwarna hijau (Suhardiman, 2008).

  Tangkai daun tumbuhan pisang panjangnya antara 30-40 cm. Daun pisang mudah sekali sobek atau terkoyak oleh hembusan angin yang keras, karena tidak mempunyai tulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun (Satuhu & Supriyadi, 2008).

  D.

   Bunga

  Bunga tumbuhan pisang termasuk bunga majemuk, yang tiap kuncup bunga dibungkus oleh seludang berwarna merah kecoklatan. Seludang bunga tersebut akan lepas dan jatuh ke tanah jika bunga telah membuka. Bunga betina akan berkembang secara normal, sedangkan bunga jantan yang terdapat di ujung tandan tidak akan berkembang dan tetap tertutup oleh seludang dan disebut jantung pisang (Satuhu & Supriyadi, 2008).

  E.

   Buah

  Buah pisang umumnya tidak berbiji atau bersifat partenokarpi. Buah pisang tersusun dalam tandan. Tiap tandan terdiri atas beberapa sisir, dan tiap sisir terdiri dari 6-22 buah pisang tergantung pada varietasnya. Buah pisang pada umumnya tidak berbiji atau disebut 3n (triploid), kecuali pada pisang batu (klutuk) bersifat diploid (2n) (Luqman, 2012).

  Ukuran buah pisang bervariasi. Panjang buahnya berkisar antara 10-18 cm dengan diameter 2,5-4,5 cm. Buah berlingir 3-5 alur, bengkok dengan ujung meruncing atau membentuk leher botol. Daging buah (mesokarpa) tebal dan lunak. Kulit buah (epikarpa) yang masih muda berwarna hijau, namun setelah tua (matang) berubah menjadi kuning dan strukturnya tebal sampai tipis (Cahyono, 2009).

  Buah pisang termasuk dalam buah buni, bentuknya bulat memanjang namun membengkok, tersusun seperti sisir dua baris, dengan kulit berwarna hijau, kuning, atau coklat. Tiap kelompok sisir terdiri atas beberapa buah pisang. Buah pisang ada yang berbiji dan tidak biji. Biji buah pisang ukurannya kecil, bulat, dan berwarna hitam. Buah pisang dapat dipanen setelah 80-90 hari sejak keluarnya jantung pisang (Rukmana, 2012).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pisang (Musa

  paradisiaca L.)

  Tumbuhan pisang merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Asia Tenggara (Sunarjono, 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pisang menurut Sunyoto (2011) yaitu:

  A.

   Ketinggian Tanah

  Tumbuhan pisang termasuk tumbuhan yang mudah tumbuh di dataran rendah. Di dataran rendah yang terbuka dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl produktivitas tumbuhan pisang akan optimal. Di atas 1000 m dpl produktivitas tumbuhan ini kurang optimal dan waktu berbuah menjadi lebih lama serta kulitnya lebih tebal (Satuhu & Supriyadi, 2008; Sunyoto, 2011).

  B.

   Suhu

  Tumbuhan pisang mempunyai suhu optimal untuk pertumbahannya. Suhu optimal untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah 25°C-28°C (Suhardiman, 2008; Sunyoto, 2011).

  C.

   Iklim

  Iklim tropis basah, lembab, dan panas mendukung pertumbuhan tumbuhan pisang. Iklim yang paling baik untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah iklim basah dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan yang optimal untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah 2000-3000 mm/tahun (Satuhu & Supriyadi, 2008; Sunyoto, 2011; Kaleka, 2013).

  D. pH Tanah

  Menurut Sunyoto (2011), derajat keasaman tanah akan mempengaruhi produktivitas tumbuhan pisang. Produktivitas tumbuhan pisang akan optimal jika ditanam pada tanah datar yang terbuka dengan keasaman tanah (pH) 4,5-7,5.

  E.

   Unsur Hara

  Tumbuhan pisang banyak membutuhkan zat mineral seperti kalium dan fosfor untuk pertumbuhannya. Zat mineral ini banyak terdapat pada tumbuhan yang telah membusuk seperti sampah, kompos, dan lain-lain. Tanah yang mengandung kapur, tergolong jenis tanah yang baik untuk tumbuhan pisang (Kuncarawati & Mumpuni, 2004; Satuhu & Supriyadi, 2008).

  F.

   Angin

  Menurut Cahyono (2009) kecepatan angin yang melebih 4 m/s (14,4 km/jam) dapat merobohkan tumbuhan pisang, terutama tumbuhan pisang yang telah berbuah dan membuat daun tumbuhan pisang sobek. Daun yang sobek membuat proses fotosintesis akan terganggu dan pertumbuhan tumbuhan pisang kurang optimal, sehingga mengakibatkan tumbuhan pisang tidak berbuah.

  G.

   Kelembaban Tanah

  Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam tempat tertentu (Yuniarti, 2009). Sunyoto (2011) kelembaban tanah yang optimal untuk pertumbuhan tumbuhan pisang tidak kurang dari 60-70%.

2.2.3 Manfaat Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

  Tumbuhan pisang memiliki banyak kandungan yang berguna bagi tubuh manusia, sehingga memiliki banyak manfaat. Bagian-bagian tumbuhan pisang yang dapat dimanfaatkan manusia antara lain: A.

   Bunga

  Bunga pisang memiliki kandungan protein, vitamin, lemak, dan karbohidrat yang tinggi. Masyarakat memanfaatkan bunga pisang sebagai sayur, manisan, dan acar (Sunyoto, 2011).

  B.

   Daun

  Masyarakat pedesaan memanfaatkan daun tumbuhan pisang yang masih muda sebagai pembungkus makanan, terutama daun pisang batu. Daun yang telah tua dicacah untuk pakan ternak seperti kambing, kerbau, dan sapi karena banyak mengandung unsur yang diperlukan oleh hewan. Daun tumbuhan pisang juga dapat dijadikan kompos (Sunyoto, 2011).

  C.

   Batang

  Masyarakat memanfaatkan batang tumbuhan pisang untuk membuat lubang pada bangunan, makanan hewan rumansia, alas untuk memandikan mayat, menutup saluran air, sebagai tancapan wayang, membungkus bibit, tali industri, dan kompos. Batang pisang jenis abaca dapat diolah menjadi serat untuk bahan dasar pembuatan pakaian atau kertas. Selain itu air dari batang pisang juga bisa dijadikan sebagai penawar racun dan bahan baku dalam pengobatan tradisional (Satuhu & Supriyadi, 2008).

  D.

   Buah dan Kulit Buah Pisang

  Buah pisang mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh manusia (Tabel 2.1). Daging buah pisangdigunakan sebagai buah segar, produk olahan, dan obat. Sebagai produk olahan seperti: sale pisang, sari buah, sirup, keripik, tepung pisang, berbagai olahan kue, dan selai pisang yang mempunyai daya awet yang cukup tinggi. Sebagai obat tradisional digunakan untuk: menyembuhkan penderita anemia, membantu program diet, menghilangkan pengaruh nikotin, membantu sistem saraf, mencegah stroke, mengontrol suhu badan bagi ibu hamil, dan menetralkan asam lambung (Satuhu & Supriyadi, 2008).

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Buah Pisang per 100 Gram

  Kandungan Gizi Jumlah Dalam satuan massa Dalam persen (%)

  Kalori

  • 90 kkal
  • Karbohidrat 22,84 gram
  • Gula 12,23 gram Serat
  • 2,26 gram
  • Protein 1,09 gram Vitamin A 3 ug Thiamin (Vitamin B1) 0,31 mg 2% Riboflavin (Vitamin B2) 0,073 mg 5% Niasin (Vitamin B3) 0,665 mg 4% Asam fantothnik (Vitamin B5) 0,334 mg 7%

  Piridoksin (Vitamin B6) 0,367 mg 28% Asam folat (Vitamin B9) 20 ug 5% Kalsium 8,7 mg 15% Zat besi 5 mg 1% Vitamin C 0,26 mg 2% Magnesium 27 mg 7% Fosfor 22 mg 3% Potassium 358 mg 8% Zeng 0,15 mg 1%

  Sumber: Kaleka (2013)

  Kulit buah pisang merupakan makanan lezat bagi ternak seperti kambing, sapi, babi, dan lain-lain. Kulit buah pisang ini bernilai gizi tinggi. Secara sederhana kulit buah pisang segar ini dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol, anggur, nata, dan asam cuka karena disamping mengandung gula juga mempunyai aroma yang menarik (Kuncarawati dan Mumpuni, 2004).

  Menurut Satuhu & Supriyadi (2008), kulit pisang dapat digunakan untuk campuran cream anti nyamuk dan diekstrak untuk membuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tumbuhan pisang. Manfaat lain dari kulit pisang dapat digunakan untuk membunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit urea dan pemberian bakteri.

  E.

   Bonggol Pisang

  Bonggol pisang adalah bagian dasar pohon pisang yang merupakan batang sejati yang tertimbun oleh tanah. Bonggol pisang mengandung karbohidrat dan mineral (Tabel 2.2). Bonggol pisang yang masih muda dimanfaatkan sebagai kripik dan krupuk, sedangkan yang sudah tua dapat dijadikan soda sebagai bahan baku sabun, etanol, dan pupuk kalium. Air bonggol pisang kepok secara tradisional dipercaya dapat digunakan sebagai obat disentri dan pendarahan usus besar (Satuhu & Supriyadi, 2008; Sunyoto, 2011; Luqman, 2012).

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Bonggol M. paradisiaca L.

  Komponen Basah (%) Kering (%)

  Pati

  96

  76 Kalori 43 425 Protein 0,6 3,4

  Karbohidrat 11,6 66,2 Ca 60 150

  P 0,5

  2 Fe 0,11 0,04 Vitamin

  12

  4 Air

  86

  20 Sumber: Solikhin et al. (2012)

2.3 Saccharomyces cerevisiae

2.3.1 Klasifikasi dan Karakteristik Saccharomyces cerevisiae

  Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu fungi yang termasuk

  dalam golongan yeast (khamir). S. cerevisiae berasal dari kata Saccharo yang berarti sugar dan myces yang berarti jamur, sehingga disebut cendawan gula (Buckle et al., 2010).

  Menurut Fardiaz (1992) klasifikasi S. cerevisiae dalam taksonomi sebagai

  berikut: Filum : Fungi Kelas : Ascomycetes Sub Kelas : Hemiascomycetidae Ordo : Endomycetales Famili : Saccharomycetaceae Sub Famili : Saccharomycoideae Genus : Saccharomyces Spesies : Saccharomyces cerevisiae

  S. cerevisiae adalah khamir bersel satuyang memiliki ciri morfologi

  mikroskopis membentuk blastopora, berbentuk bulat lonjong, silindris, oval bahkan bulat telur pendek dengan panjang dipengaruhi strain (Fardiaz, 1992).

  Morfologi makroskopis S. cerevisiae yaitu: koloni berbentuk bulat, berwana putih, krem, abu-abu hingga kecoklatan, permukaan koloni berkilau sampai kusam licin, dengan tekstur lunak (Ahmad, 2008).

  S. cerevisiae berkembangbiak menggunakan dua cara yaitu seksual dan

  aseksual. Secara aseksual dengan pembelahan diri membentuk tunas kecambah multipolar. Tunas tersebut akan terbentuk di seluruh permukaan dinding

  

S. cerevisiae . Sedangkan perkembangbiakan seksual dengan membentuk

  askospora di dalam askus. Spora yang terdapat dalam askus berjumlah 4. Spora tersebut memiliki bentuk yang bermacam-macam dan diameter spora berukuran 5- 10μ (Luqman, 2012).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan S. cerevisiae

  S. cerevisiae dapat tumbuh dan berkembang pada gula sederhana seperti

  glukosa maupun gula kompleks seperti sukrosa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. cerevisiae menurut Ahmad (2008) yaitu:

  A.

   Nutrisi S. cerevisiae dalam melaksanakan metabolismenya membutuhkan energi

  agar dapat berlangsung secara optimal. Energi yang diperlukan berasal dari nutrisi yang ada pada media yaitu berupa karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P), mineral dan vitamin (Fardiaz, 1992).

  B. pH

  Setiap mikroorganisme mempunyai kisaran pH yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. S. cerevisiae adalah mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH antara 4,8-5,0. Jika pH terlalu tinggi dan rendah maka akan membuat S.

  cerevisiae tidak dapat tumbuh secara optimal (Buckle et al., 2010).

  C.

   Suhu

  Mikroorganisme mempunyai suhu pertumbuhan minimal, maksimal dan optimal. Suhu optimal adalah suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Suhu optimal yang diperlukan untuk pertumbuhan S.

  o o o o cerevisiae yaitu suhu antara 28 - 30 C dan suhu maksimal 35 -47

  C. Suhu yang rendah akan membuat enzim pada sel S. cerevisiae berubah sehingga enzim tidak dapat bergabung dengan substrat, akibatnya S. cerevisiae tidak aktif yang disebut inaktif. Pada suhu yang tinggi enzim pada sel S. cerevisiae akan mengalami kerusakan yang disebut denaturasi (Solikhin et al., 2012).

  D.

   Udara S. cerevisiae merupakan bakteri yang bersifat anaerob yaitu tidak

  memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Jika terdapat oksigen, S. cerevisiae tidak akan tumbuh secara optimal (Fardiaz, 1992).

2.3.3 Manfaat S. cerevisiae.

  S. cerevisiae adalah mikroorganisme yang banyak bermanfaat bagi

  kehidupan makhluk hidup. Menurut Ahmad (2005) manfaat S. cerevisiae bagi kehidupan adalah :

  A.

   Pengembang Adonan Roti

  Sejak jaman Mesir kuno, manusia menggunakan S. cerevisiae sebagai pengembang adonan roti. S. cerevisiae memanfaatkan gula yang ada di adonan roti untuk fermentasi sehingga beraroma alkohol (Ahmad, 2008).

  B.

   Penghasil Alkohol

  Dalam bidang industri, manusia memanfaatkan S. cerevisiae sebagai mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi. Fermentasi ini menghasilkan produk etanol, wine, dan bir (Ahmad, 2008).

  C.

   Bidang Teknologi

  Seiring dengan perkembangan teknologi, manusia menggunakan

  S. cerevisiae untuk keperluan pengembangan pengetahuan dasar mengenai fungsi

  dan organisasi dari fisiologi sel eukariot. Manusia menggunakan S. cerevisiae dalam bidang teknologi khususnya pada rekayasa genetika untuk memproduksi vaksin hepatitis B.

  D.

   Bidang Peternakan dan Perikanan

S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang berperan di bidang

  peternakan sebagai probiotik dan imunostimulan (Tabel 2.3). Probiotik merupakan salah satu pilihan pakan tambahan berbentuk mikroba hidup pada ternak yang sehat dan aman bagi lingkungan. Di bidang peternakan penggunaan probiotik bermanfaat untuk kesehatan, produksi, dan pencegahan penyakit.

  Imunostimulan merupakan adaptasi pertahanan tubuh melalui antigen untuk menanggulangi serangan infeksi (Ahmad, 2005).

  Tabel 2.3Manfaat S. cerevisiae bagi Peternakan dan Perikanan Jenis Ternak Manfaat Sumber

  Rumansia Meningkatkan produksi susu dan Wina (2000) Sapi bobot badan Domba Meningkatkan bobot badan Ratnaningsih (2002)

  Unggas Meningkatkan bobot badan Kompiang (2002); Ayam Menurunkan kuman E.coli Kumpreci-rr et al.

  (1994), kumprechtova et al. (2001) Hewan air Meningkatkan bobot badan Fox (2002)

  Udang Meningkatkan sistem kekebalan tubuh Ikan Meningkatkan sistem kekebalan tubuh Fox (2002)

  Kelinci Meningkatkan bakteri yang Tedesco et al. (1994) menguntungkan

  Sumber: Ahmad (2005)

2.4 Acetobacter aceti

2.4.1 Klasifikasi dan Karakteristik Acetobacter aceti

  Acetobacter aceti merupakan salah satu jenis bakteri yang termasuk dalam

  genus Acetobacter. Acetobacter memiliki 7 spesies. Ketujuh spesies ini merupakan bakteri penghasil cuka. Menurut Bergey’s (1994) klasifikasi A. aceti dalam taksonomi sebagai berikut : Divisi : Protobacteria Kelas : Alphaprotobacteria Ordo : Rhodospirillales Famili : Pseudomonadaceae Genus : Acetobacter Spesies : Acetobacter aceti

  A. aceti merupakan bakteri yang memiliki sel berbentuk bulat panjang

  sampai batang dan termasuk dalam bakteri gram negative. Bentuknya lurus atau membengkok. Ukuran selnya yaitu 0,6-0,8 x 1,0-3,0 mm. A. aceti biasa hidup tunggal atau berkelompok membentuk rantai dan memiliki motil dengan flagelum peritrikus atau nonmotil (Pelczar & Chan, 2005).

  A. aceti mempunyai kemampun membentuk asam cuka dari etanol secara

  oksidasi diekspresikan ke dalam media. A. aceti termasuk bakteri gram negatif yang bergerak lambat dengan flagella peritrik, memiliki toleransi terhadap asam yang tinggi dan aktivitas peptolitik yang rendah. A. aceti termasuk dalam famili pseudomonadaceae yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sel berbentuk batang pendek atau bola, bakteri gram negatif, sel bergerak dan tidak bergerak, tidak mempunyai endospora, tidak bersifat patogen, bersifat aerob, energi diperoleh dari oksidasi etanol menjadi asam cuka, mampu hidup dalam air, padatan, daun, buah, dan lain-lain. A. aceti digolongkan menjadi peroksidan jika mampu menumpuk asetat (Buckle et al., 2010).

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan A. aceti

  Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. aceti menurut Buckle et al. (2010) yaitu: A.

   Suhu

  Mikroorganisme dalam pertumbuhannya memiliki suhu optimal, minimal, dan maksimal yang berbeda-beda. A. aceti mampu tumbuh pada suhu antara

  o o

  5-42 C dan akan tumbuh optimal pada suhu 25-30 C.

  B. pH

  Setiap mikroorganisme memiliki pH optimal, minimal dan maksimal untuk pertumbuhannya. A. aceti tumbuh optimal pada pH 5,4-6,3. Pada pH rendah

  A. aceti akan mengalami inaktif sedangkan pada pH tinggi A. aceti akan mengalami denaturasi (Bergey’s, 1994).

  C.

   Udara

  A. aceti tumbuh pada medium sederhana maupun kompleks. A. aceti

  bersifat aerob obligatif yaitu memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Jika tidak terdapat oksigen A.aceti tidak akan tumbuh (Pelczar & Chan, 2005).

2.4.3 Manfaat A.aceti

  A. aceti merupakan mikroorganisme yang berperan dalam proses

  fermentasi secara aerob. Menurut Chen et al. (2011) manfaat A.aceti dalam kehidupan yaitu:

  A.

   Penghasil Asam Cuka

  Manusia memanfaatkan A. aceti dalam pembuatan asam cuka. Hal ini karena A. aceti mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi etanol menjadi asam cuka.Pada saat nutrisi yang terkandung pada media telah habis, A. aceti akan mengoksidasi asam cuka menjadi karbondioksida dan air (Pelczar & Chan, 2005).

  B.

   Pembuatan Kambucha

  A. aceti juga berperan dalam proses pembentukan kambucha atau yang

  lebih akrab dikenal dengan jamur teh atau jamur dipo. Kambucha adalah fermentasi teh menggunakan A. aceti dan khamir sehingga diperoleh teh yang memiliki cita rasa asam dan terbentuk nata (Hidayatet al., 2009).

  C.

   Penghasil Asam Karboksilat

  A. aceti merupakan mikroorganisme yang berperan dalam proses

  fermentasi secara aerob. A. aceti membentuk asam karboksilat dari etanol yang dihasilkan oleh khamir. A. aceti merupakan bakteri gram negatif, bersifat aerob obligatif, dan tidak membentuk endospora. Khamir merupakan mikroorganisme uniseluler (bersel satu) yang masuk ke dalam kingdom fungi (Chen et al., 2011).

2.5 Penelitian Terdahulu

  Agustina (2008) melakukan penelitian terhadap kandungan asam cuka yang berasal dari bonggol pisang kapok dengan penambahan induk cuka (A. aceti) yang berbeda-beda. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin banyak induk cuka yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula kadar asam cuka yang diperoleh.

  Effendi (2002) melakukan penelitian kandungan asam cuka yang berasal dari limbah cairan pulm kakao dengan menggunakan berbagai penambahan induk cuka. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa penambahan induk cuka terbaik terdapat pada penambahan induk cuka (A. aceti) sebesar 10% (v/v) yaitu mendapatkan kadar asam cuka sebanyak 4,01%.

  Fahmi (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu fermentasi asam cuka terhadap hasil asam cuka yang diperoleh. Kesimpulan dari penelitian

  o

  tersebut menunjukan bahwa suhu fermentasi yang paling baik yaitu 25 C menghasilkan 1,2% asam cuka setalah 12 jam.