BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita - Dimas Akhmad Ardiyanto BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita 1. Pengertian Balita adalah bayi dan anak yang berusia tahun kebawah (Marimbi,

  2010). Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya (Supartini, 2004). Menurut Muaris (2006), anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun.

  Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

  Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

  Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa balita adalah bayi dan anak yang berusia 5 tahun kebawah yang perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

2. Karakteristik Balita

  Karakteristik balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.

  Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS, 1999).

B. Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) 1.

  Definisi ISPA Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab penyakit kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan balita. Penanganan dini terhadap penyakit ISPA terbukti dapat menurunkan kematian (Widoyono, 2008).

  ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung sampai 14 hari. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Setiowulan, 2001).

  Dalam penentuan klasifikasi penyakit ISPA dibedakan atas 2 kelompok yaitu kelompok umur 2 bulan sampai ≤ 5 tahun dan kelompok umur < 2 bulan. Klasifikasi untuk kelompok 2 bulan sampai

  ≤ 5 tahun yaitu (Dinkes Jateng, 2005) : a.

  Pneumonia berat b.

  Pneumonia c. Bukan pneumonia

  Klasifikasi untuk kelompok umur < 2 bulan dibagi atas: a.

  Pneumonia berat b.

  Bukan pneumonia Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi untuk kelompok umur < 2 bulan adalah infeksi serius dan infeksi bakteri lokal 2. Penyebab ISPA

  Penyebab ISPA terdiri dari : a.

  Bakteri penyebab ISPA Bakteri penyebab ISPA antara lain Genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corynebacterium.

  b.

  Virus Virus penyebab ISPA antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus,

Koronavirus, Pikomavirus, Mikooplasma, Herpesvirus dan lain-lain.

  c.

  Jamur Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergilus sp, Candida albicans, Histoplasma.

  d.

  Aspirasi Aspirasi penyebab ISPA antara lain makanan, asap kendaraan bermotor, cairan amnion pada saat lahir, benda asing (mainan plastik, biji – bijian dll) dan penggunaan kipas angin (Mandal et.al, 2008).

3. Gejala dan Tanda ISPA

  Gejala dari ISPA adalah badan pegal-pegal (myalgia), beringus

  

(rhinorrhea) , batuk, sakit kepala, sakit pada tengorokan. Tanda-tanda klinis

  dari ISPA adalah (Widoyono, 2008) : a.

  Sistem pernafasan adalah nafas tak teratur dan cepat, retraksi/tertariknya kulit kedalam dinding dada, nafas cuping hidung, sesak kebiruan, suara nafas lemah atau hilang, suara nafas seperti ada cairannya sehingga terdengar keras.

  b.

  Sistem peredaran darah dan jantung denyut jantung cepat atau lemah, hipertensi, hipotensi dan gagal jantung.

  c.

  Sistem saraf adalah gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan coma.

  d.

  Hal umum adalah letih dan berkeringat banyak.

  e.

  Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk.

  f.

  Tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, mendengkur, mengi, demam dan dingin.

4. Cara Penularan ISPA

  Penulran ISPA menurut Alsagaff (2002), yaitu: a. Air ludah b.

  Darah c. Udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernafasannya.

  Selain itu, faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA dimana ventilasi berguna untuk penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara dari ruang tertutup. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dan udara segar kedalam rumah menyebabkan naiknya kelembaban udara, selain itu dapat menyebabkan terakumulasinya polutan di dalam rumah khususnya kamar tidur sehingga memudahkan terjadinya penularan (Umbul, 2004).

5. Faktor risiko ISPA

  Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak , serta faktor perilaku.

  a.

  Faktor lingkungan 1)

  Pencemaran udara dalam rumah Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya sehingga tingkat pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

  2) Kepadatan hunian rumah

  Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8 m². Dengan kriteria tersebut, diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

  Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini (Nastiti et al, 2008).

  3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

  Penyakit ISPA ini termasuk penyakit menular dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pencemaran udara dalam rumah, kepadatan hunian dan keadaan rumah. Dengan perilaku hidup bersih dan sehat akan menjadikan rumah yang bersih dan menyehatkan pula sehingga penyakit ISPA dapat dicegah (Umbul, 2004).

  Hubungan antara PHBS dengan kejadian ISPA dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa semakin baik PBHS maka kejadian ISPA dapat diminimalisir atau berkurang. Menurut Rihadi dalam Vijay Khana (2006) bahwa kesehatan lingkungan berangkat dari konsep konvensional dari pencegahan, termasuk dalam upaya pencegahan primer yang menekankan pencegahan secara dini kejadian suatu penyakit, ditujukan terutama kepada penghambatan perkembangbiakan dan penularan serta kontak manusia dengan agen, vektor ataupun faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit (seperti kuman patogen, vektor dan polutan). Misalnya mencuci tangan dengan air bersih dan sabun cukup efektif memutuskan mata rantai infeksi bakteri. Demikian pula klonirasi air minum dapat mengurangi pemajanan kuman patogen. Kedua upaya seperti ini dicontohkan diatas dapat merupakan cara sederhana guna mengurangi risiko timbulnya beberapa penyakit seperti ISPA, diare dan lain-lain.

  b.

  Faktor individu anak 1)

  Umur anak Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan.

  2) Berat badan lahir

  Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan- bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.

  3) Status gizi

  Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. 4)

  Vitamin A Sejak tahun 1985 setiap enam bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. 5)

  Status Imunisasi Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA (Nastiti et al, 2008).

  c.

  Faktor perilaku Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit

  ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.

  Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.

  Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini

  ISPA dan pneumonia serta kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktik penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktik penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat (Prabu, 2009).

6. Pencegahan ISPA

  Pencegahan ISPA dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan PHBS yang meliputi mencuci tangan sampai bersih dengan menggunakan sabun menyebabkan infeksi kuman dari luar keluarga terutama yang menular melalui sentuhan tangan dapat dihindari. Upaya pencegahan ISPA juga dapat dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh keluarga melalui aktifitas fisik yang dilaksanakan setiap hari. Terjadinya ISPA juga dapat dilaksanakan dengan menghindari faktor pemungkin yaitu menjaga kondisi udara dalam rumah tetap sehat melalui kebiasaan tidak merokok di dalam rumah (Depkes RI, 2009).

C. Perilaku Hidup Bersih Sehat 1.

  Batasan perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan lain sebagainya. Secara singkat, aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu (Notoatmodjo, 2007) : a.

  Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, misalnya berjalan, bernyanyi, tertawa dan lain-lain.

  b.

  Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari dalam) misalnya berfikir, berfantasi, bersikap dan lain-lain.

2. Perilaku Kesehatan

  WHO merumuskan kesehatan sebagai suatu keadaan sehat jasmani, mental dan sosial yang sempurna dan bukan hanya keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Kesehatan merupakan suatu kesatuan yang utuh dari manusia, sebagai hasil dari hubungan yang seimbang antara komponen jasmani, psikologi dan sosio-kultural. Konsep kesehatan yang dikembangkan oleh Halbert (1996) dalam Sumijatun et al, (2005) dikatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan ketika seseorang dapat berfungsi dengan baik karena potensi orang tersebut sedang di puncaknya. Menurut Undang-Undang tentang kesehatan No.36 Tahun 2009 mencakup 4 aspek yaitu : a.

  Kesehatan fisik Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara klinis tidak ada penyakitnya. Semua organ tubuh berfungsi dengan normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh.

  b.

  Kesehatan mental (jiwa) Kesehatan mental mencakup 3 komponen yaitu :

  1) Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang, yaitu mampu berpikir logis (masuk akal) atau berpikir secara runtut.

  2) Emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misal takut, gembira, khawatir, sedih dan lain sebagainya.

  3) Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang mengekspresikan rasa syukur, pujian atau penyembahan terhadap sang pencipta alam

  (Allah SWT). Secara mudah, spiritual yang sehat itu dapat dilihat dari praktik keagamaan atau kepercayaanya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

  c.

  Kesehatan sosial Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang lain, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik dan saling menghargai serta toleransi.

  d.

  Kesehatan aspek ekonomi Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari seseorang itu produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong secara finansial terhadap hidupnya sendiri atau keluarga.

  Perilaku kesehatan adalah tindakan yang dilakukan orang untuk memahami status kesehatan, mempertahankan status kesehatan optimal, mencegah penyakit dan cedera, dan mencapai potensi mental dan fisik maksimum (Blais et al, 2006). Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007).

  Menurut Skinner (1928) dalam Notoatmodjo (2007), maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat di klasifikasikan menjadi 3 kelompok (Maulana, 2009) : a.

  Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu (Wawan dan Dewi, 2010) : 1)

  Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

  2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

  3) Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. b.

  Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health

  seeking behavior).

  Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan lain.

  c.

  Perilaku kesehatan lingkungan Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya (Maulana, 2009).

  Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan : a.

  Perilaku hidup sehat.

  Perilaku hidup sehat adalah hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. b.

  Perilaku sakit Perilaku sakit adalah segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, termasuk juga kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut (Wawan dan Dewi, 2010). Pada saat orang sakit atau anaknya, ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul antara lain : 1)

  Didiamkan saja (No action) artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalan kegiatan sehari-hari.

  2) Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self

  treatment) . Pengobatan sendiri ini ada 2 cara yakni : cara tradisional

  (kerokan, minum jamu, obat gosok) dan cara modern, misalnya minum obat yang dibeli di warung, toko obat atau apotek.

  3) Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke fasilitas pelayanan kesehatan, yang dibedakan menjadi dua, yakni : fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (dukun, paranormal), dan fasilitas atau pelayanan kesehatan modern atau professional (Puskesmas, Poloklinik, Dokter atau Bidan, Rumah Sakit dan sebagainya).

  c.

  Perilaku peran sakit Perilaku peran sakit adalah segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

  Perilaku peran orang sakit ini antara lain (Maulana, 2009) :

1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

  2) Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan.

  3) Melakukan kewajibannya sebagai pasien antara lain mematuhi nasihat-nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya.

  4) Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhannya.

  5) Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya dan sebagainya.

3. Perilaku Hidup Bersih Sehat

  Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku guna membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri sehingga masyarakat sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Sosial Suport) dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment).

  Terdapat 5 tatanan PHBS yaitu PHBS Rumah Tangga, PHBS Sekolah, PHBS Tempat Kerja, PHBS Sarana Kesehatan, PHBS Tempat-tempat Umum (Dinkes Jateng, 2009).

4. Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Keluarga a.

  PHBS Keluarga PHBS keluarga adalah wahana atau wadah dimana orang tua

  (bapak dan ibu) dan anak serta anggota keluarga yang lain dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari bertolak dari pengertian di atas PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (Dinkes Jateng, 2009).

  b.

  Manfaat Perilaku hidup bersih dan sehat sangat banyak bermanfaat bagi penduduk Indonesia, yaitu (Kamisah, 2009) :

  1) Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit. 2)

  Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota keluarga.

  3) Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga.

  4) Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di bidang kesehatan.

  5) Meningkatkan citra pemerintah dalam bidang kesehatan. 6) Dapat menjadikan percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain. c.

  Manajemen Pelaksanaan Sasaran PHBS pada keluarga adalah seluruh anggota keluarga yaitu pasangan usia subur, ibu hamil dan menyusui, anak dan remaja, usia lanjut dan pengasuh anak (Kamisah, 2009).

  d.

  Indikator PHBS Keluarga Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS keluarga yang digunakan yaitu mengacu kepada standar pelayanan minimal bidang kesehatan antara lain (Dinkes, 2009) : 1)

  Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan (Dokter atau Bidan) Pertolongan persalinan pada ibu yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, paramedis lainnya) sebagai penolong pertama dalam proses lahirnya janin bayi, pemotongan tali pusat dan keluarnya plasenta

  2) Bayi diberi ASI saja sejak usia 0-6 bulan tanpa makanan tambahan lain termasuk susu formula

  3) Penimbangan balita dilakukan satu bulan sekali /minimal 8 kali setahun di sarana kesehatan (Posyandu, PKD, puskesmas dan lain- lain).

  4) Anggota keluarga mengkonsumsi makanan yang bergizi dan beraneka ragam

  Anggota keluarga yangberumur 15 tahun keatas mengkonsumsi sayur dan buah dengan perimbangan minimal 2 porsi sayur dan 3 porsi buah atau sebaliknya 3 porsi sayur dan 2 porsi buah selama 7 hari dalam seminggu.

  5) Anggota keluarga menggunakan air bersih untuk keperluan sehari- hari

  Sumber air minum rumah tangga yang berasal dari sumber air dalam kemasan, leding, pompa, sumur terlindung, serta mata air terlindung minimal berjarak 10 meter dari tempat penampungan kotoran atau limbah.

  6) Anggota keluarga menggunakan jamban sehat. 7) Anggota keluarga membuang sampah pada tempatnya. 8) Setiap anggota keluarga menempati ruangan rumah minimal 9 m². 9)

  Anggota keluarga yang berumur 10 tahun keatas melakukan aktifitas fisik / olahraga.

  10) Semua ruangan rumah berlantai kedap air (bukan tanah) dan dalam keadaan bersih.

  11) Anggota keluarga tidak ada yang merokok. 12)

  Anggota keluarga mencuci tangan sebelum makan dan sesudah BAB.

  13) Anggota keluarga menggosok gigi minimal 2 kali sehari sesudah makan dan sebelum tidur.

  14) Anggota keluarga tidak minum minuman keras dan tidak menyalahgunakan narkoba.

  15) Anggota keluarga menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (Dana Sehat, Askes Maskin, Jamsostek dan lain- lain).

  16) Anggota keluarga melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).

  e.

  Cara Ukur PHBS Pengukuran dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung.

  Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotetis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur untuk indikator PHBS.

  Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus

  

kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut, dengan jumlah

  soal sebanyak 30 dengan kriteria jawaban sangat selalu, sering, kadang- kadang dan tidak pernah. Untuk nilai skor jawaban menggunakan skala likert adalah sebagai berikut: 1) : 4

  Selalu 2) : 3

  Sering 3) : 2

  Kadang-kadang 4) : 1

  Tidak pernah Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut:

  1) Tentukan skor maksimal ideal dengan cara skor tertinggi dari jawaban dikali dengan jumlah butir soal.

  2) Tentukan skor minimal ideal dengan cara skor terendah dari jawaban dikali dengan jumlah butir soal.

  3) Tentukan nilai rentang dengan cara skor mak ideal dikurangi skor min ideal kemudian dibagi 3.

  Sehingga didapatkan nilai sebagai berikut:

  a) : 120 Nilai Maksimal (tertinggi)

  b) : 30 Nilai Minimal (terendah)

  c) : 30 Rentang Nilai

  Jadi kriteria beban kerja berdasarkan skala linkert adalah

  a) : 90-120 Baik

  b) : 60-89 Cukup

  c) : 30-59 Kurang

  Jadi responden akan diketahui memiliki PHBS baik jika memperoleh nilai sejumlah 90-120, memiliki PHBS cukup jika memperoleh nilai 60- 89 dan memiliki PHBS kurang jika memperoleh nilai 3-0-59.

  f.

  Karaktersitik Keluarga dengan PHBS 1.

  Umur Bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan perilaku dan dengan bertambahnya umur seseorang akan sulit menerima informasi, mereka kurang aktif, mudah terserang penyakit dan cederung mengabaikan PHBS. Menurut Suryanto dalam

  Wantiyah (2004) mengatakan bahwa usia muda lebih mudah menerima informasi dan lebih bersifat dinamis dibandingkan usia tua sehingga lebih mudah menerima perubahan perilaku. Disamping itu pada usia dewasa muda apabila dilihat dari perkembangan kongnifnya maka kebiasaan berfikir rasional mereka meningkat, juga biasannya mereka cukup aktif dan jarang menerima penyakit yang berat.

  Hal ini didukung oleh hasil penelitian Harwinta (2008) yang menyebutkan bahwa ada pengaruh variabel umur terhadap tingkat PHBS. Dan ada interaksi signifikan antara variabel tindakan dengan umur. Responden yang umurnya < 40 tahun memiliki probabilitas peningkatan tingkat PHBS tatanan rumah tangga sebesar 55,9%. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Yuningsih dalam Wantiyah (2004) menyatakan bahwa ada hubungan yang negatif bermakna antara umur dan perilaku, yaitu semakin muda umur seseorang maka makin baik perilakunnya. Maulana (2009) menjelaskan bahwa umur merupakan variabel yang kurang berkorelasi terhadap perilaku karena dianggap diperantai oleh sikap.

2. Pendidikan

  Pendidikan merupakan salah satu usaha pengorganisasian masyarakat untuk meningkatkan kesehatan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku sehat keluarga dengan tingkat pendidikan yang kurang mendukung akan menyebabkan rendahnya kesadaran lingkungan, semakin baik tingkat pendidikan formal sehingga akan mematangkan pemahaman tentang pengetahuan kesehatan lingkungan dan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan termasuk penerapan prinsip - prinsip PHBS.

  Mubarak (2007) juga menjelaskan bahwa pendidikan sebagai suatu proses dalam rangkaian mempengaruhi dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan perilaku pada diri nya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi kesehatan. Sebaliknya jika seseorang yang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan seseorang terhadap penerimaan, informasi kesehatan dan nilai – nilai baru yang diperkenalkan.

  Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kusumawati, et. al (2008) menjelaskan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Zaahara dalam Kusumawati, et. al (2008) yang juga mengemukakan bahwa status sosial ekonomi yang didalamnya termasuk pendidikan mempunyai hubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Adanya keterkaitan antara pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Hasil penelitian Amalia

  (2009) menyebutkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan PHBS.

3. Pekerjaan

  Di dalam lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh informasi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku Hidup Bersih dan sehat keluarga tidak hanya diukur dari aspek fisik dan mental saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi sehingga diharapkan dapat lebih mendorong atau memfasilitasi keluarga untuk PHBS.

  Hal ini didukung oleh hasil penelitian Zaahara dalam Kusumawati, et. al (2008) yang menjelaskan jenis pekerjaan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat dalam keluarga. Makin tinggi status sosial ekonomi yang meliputi jenis pekerjaan, maka makin tinggi pula semakin baik perilaku hidup bersih dan sehat dalam keluarga, dan sebaliknya semakin rendah makin buruk perilaku hidup sehatnya.

D. Kerangka Teori

  Perilaku a.

  Batasan perilaku b.

  Perilaku kesehatan c. Perilaku hidup bersih sehat

  PHBS dalam Keluarga a.

  Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan b.

  Bayi diberi ASI eksklusif 0-6 bulan c. Penimbangan balita dilakukan 1 bulan sekali (minimal 8 kali setahun) d.

  Anggota keluarga mengkonsumsi makanan yang bergizi e. Anggota keluarga menggunakan air bersih f. Anggota keluarga menggunakan jamban sehat g.

  Setiap anggota keluarga membuang sampah pada tempatnya h. Setiap anggota keluarga menempati ruangan 9 m². i.

  Anggota keluarga melakukan aktifitas fisik /olahraga j. Semua ruangan rumah berlantai kedap air k.

  Anggota keluarga tidak ada yang merokok l. Anggota keluarga mencuci tangan sebelum makan dan sesudah BAB m.

  Anggota keluarga menggosok gigi minimal 2 kali sehari n. Anggota keluarga tidak minum miras dan menyalahgunakan NAPZA o. Anggota keluarga menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan p. Anggota keluarga melakukan PSN seminggu sekali

  Kejadian ISPA pada Balita

  ISPA pada balita dipengaruhi oleh : a.

  Umur b.

  Status Gizi c. Status Imunitas d.

  Vitamin A e. Polusi Udara

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Notoatmodjo (2007), Widoyono (2008), Nastiti et al (2008).

E. Kerangka Konsep Penelitian

  ISPA b.

  c. Pekerjaan

  b. Pendidikan

  Karakteristik Keluarga dengan PHBS: a. Umur

  Umur b. Status Gizi c. Status Imunisasi d. Vitamin A e. Polusi Udara

  ISPA pada balita dipengaruhi oleh : a.

  Tidak ISPA

  Kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :

  Variabel Bebas Variabel Terikat

  Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Pada Keluarga

  Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan (Hidayat, 2007). Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori diatas maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara

   Hipotesis

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian F.

  : Diteliti : Tidak ditelit

  Variabel Luar Keterangan

  Kejadian ISPA pada balita : a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernafasan atas pada balita.