Tanah Ulayat Orang Melayu di Sumatera Ut

Tanah Ulayat Orang Melayu di Sumatera Utara:
Diantara Pengakuan dan Pemasungan *
Oleh: edy Ikhsan**
Pengantar
Sengketa tanah “adat” (ulayat) orang Melayu di Sumatera Timur bisa dikatakan sebagai satu
dari ratusan bahkan ribuan sengketa tanah yang sangat panjang, dinamis dan complicated
dalam sejarah perebutan kuasa atas tanah di Indonesia. Sejak awal sekali kita melihat benih
konflik mulai terbuka tatkala konsesi-konsesi perkebunan tembakau diberikan oleh
Kesultanan Deli kepada para planters asing yang avonturir. Pelzer berkata: ”As to the
agrarian rights of the local population whose villages and fields were located within the
boundaries of a concession, the early contract made, at best, desultory provision by rulling
that village land, fileds and orchards, in particular nutmeg and papper gardens, be respected
by the planters. But nothing was said as to amount of land that must be spared.1
Jauh sebelum pernyataan Pelzer tersebut, Deli, Serdang dan kawasan-kawasan sekitarnya
telah menjadi rebutan dari berbagai kerajaan lokal dan negeri-negeri kolonial. Tarik menarik
antara Kerajaan Siak, Johor dan Aceh pada abad ke 16, 17 dan 18 2 dan kompetisi politik
ekonomi antara Belanda dan Ingggris (yang kemudian diakhiri dengan Traktat London pata
tahun 1824) di kawasan ini menunjukkan betapa berharga dan bernilainya wilayah ini di mata
orang luar. Kesuburan dan kekayaan tanah di kawasan ini digambarkan Anderson dengan
cukup detail dan menunjukkan kelak potensinya yang tinggi dalam perebutan kuasa atas
tanah di wilayah ini. Walaupun sayangnya laporan atau kisah naratif Anderson tersebut

memang hampir tidak menyentuh soal pengaturan-pengaturan atas tanah dan sumber daya
alam lainnya. Anderson Menulis: “Tanah, yang saya saksikan merupakan tanah endapan
yang yang sangat istimewa, dan tanaman sayuran tumbuh dengan subur. Deli, Langkat dan
Bulu China, tanah-tanah tersebut sangat berlimpah, seperti sebuah cetakan yang berwarna
hitam, di beberapa lokasi, kedalamannya mencapai 8 sampai 10 kaki, di posisi atas berupa
tanah liat yang kental, dan di bagian bawahnya pasir dan krikil Namun semakin ke Asahan,
tanahnya tidak begitu bagus. Jika kamu berlanjut menuju wilayah pegunungan, akan dijumpai
tanah-tanah merah dan berpasir, bercampur dengan butir-butir granit dan biji-biji buah yang
terkelopak.”3 Tentang hasil-hasil produksi yang penting, Anderson berkata:” Hampir tidak
ada bagian yang bisa dihuni di bumi ini melampaui Sumatera Timur dalam keberagaman dan
1

*Disampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang Kemelayuan dan
Keindonesiaan. Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan, 23 Pebruari 2011.
** Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Karl J. Planters and Peasant: Colonial Policy and The Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1947,
(Verhandelingen KITLV No.84, ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff, 1978)hal. 69.
2
Di tahun 1591 sebenarnya Deli sudah berada ditangan Johor, tetapi berhasil direbut oleh Aceh kembali pada
tahun 1812. Tahun 1619 Aceh kembali menyerang Deli, karena disana berada kekuatan Portugis yang

mendukung Deli. Tahun 1669, Deli pernah menyatakan diri terlepas dari Aceh (akibat melemahnya kesultanan
Aceh), disusul Batubara. Johor dengan keberaniannya berusaha merebut kembali pada tahun 1710. Sumatera
Timur tetap tidak aman oleh ulah Aceh, Johor dan Siak. Supremasi Siak secara aktif atas Deli terjadi pada tahun
1780 dengan menaklukkan Deli. Lihatlah, Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan:Penerbit Waspada,
1981, hal 269. Husny, Tengku Lah. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisisir Deli di
Sumater Timur 1612-1950. Medan:Badan Penerbit Husny, 1975. Hal. 48. Pelly, Usman dkk. Sejarah
Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli dan Serdang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986. Hal.76.
3
Anderson, Jhon. Mission to the East Coast of Sumatra Under the Direction of the Government of Prince of
Wales Island. William Blackwood, Edinburgh: And T.Cadell, Strand. (London: Blackwood, 1826), hal. 97.

1

nilai dari produksi sumber daya alamnya. Berikut ini bisa dihitung sebagai sebagai barangbarang utama dalam perdagangan eksport dari wilayah ini: emas, champor, gading, lilin, lada
(hitam dan putih), benjamin, kayu manis, gambir, rotan, sulfur (belerang), tembakau,
batubara, kayu gaharu, dye-woods, kayu ebony, beragam kayu untuk kapal, tali ijuk untuk
kabel, telur-telur ikan, sirip ikan hiu, gula, tikar, bermacam kcang-kacangan, beras, dragon’s
blood, sutera dan kuda-kuda. Disamping itu, ada banyak lagi barang-barang yang
diperuntukkan untuk kebutuhan penduduk.”4

Menurut catatan Anderson, Deli sepertinya sebuah wilayah yang penting di masa-masa lalu,
seperti yang disebutkan Marsden, mencoba melepaskan diri dari kesetiannya kepada Aceh di
tahun 1669; dan di tempat-tempat lain telah mengalami invasi dalam periode-periode yang
berbeda. Sejarah awal dari negara (kerajaan, pen) ini, seperti juga kebanyakan negara-negara
pesisir, relatif tidak begitu jelas; tidak ada data yang pasti di masa lalu, yang disimpan oleh
orang-orang di wilayah ini; dan jikapun usah-usaha dilakukan untuk menunjukkan
kemunculan dan progresnya, terlalu banyak fiksi dan tradisi takhyul bercampur aduk dalam
penceritaanya, sehingga sulit memisahkan (mana yang benar dan tidak, pen) dan mencapi
kesimpulan yang memuaskan. Orang-orang Melayu adalah orang-orang yang suka
bertakhyul; dan banyak dari mereka menempatkan kepercayaan secara implisit di dalam
tradisi-tradisi yang absurd dan takhyul, that they will not bear repitition.5
Kedatangan para Pekebun Asing dan Konsesi Jangka Panjang
Paruh ketiga abad ke 19, Deli, Serdang dan kawasan sekitarnya diperkenalkan dengan sesuatu
yang sangat baru dalam kehidupan sosial ekonominya. Kedatangan planters asing merubah
total mental masyarakat, terutama para pemimpinnya 6. Pelzer menyebutkan, selama Sultan
Deli memberikan konsesi-konsesi hanya di dalam batas-batas wilayahnya sendiri, segala
sesuatunya tampaknya berjalan dengan lancar; tetapi ketika menjelang tahun 1871 ia mulai
menyewakan tanah yang terletak di distrik-distrik Batak Karo, di luar wilayahnya sendiri,
kepala-kepala Suku Batak Karo, yang dianggapnya sebagai bawahanannya, menentang
dengan perasaan benci dan marah. Daripada mengumumkan perang kepada Sultan, kepalakepala suku ini menyerang sumber penghasilan baru Sultan itu dengan membakari bangsalbangsal pengeringan tembakau perkebunan, terutama ketika sedang penuh berisi tembakau.7

Konsesi-konsesi tersebut dalam catatan Mahadi bukan merupakan masalah pada awalnya,
karena hak-hak rakyat cukup dikodifikasikan di dalam-akta-akta yang ada (sejak contoh akta
1892). Hanya pelaksanannya disana sini mengalami kemacetan. Seterusnya segi-segi
negatipnya selalu baru dihadapi setelah menjelma, seperti batas kebun hampir sampai
ketangga rumah rakyat, perlakuan-perlakuan pihak kebun yang tidak senonoh terhadap para
4

Anderson, Ibid. hal .204.
Anderson, Ibid. Hal.271-272
6
De Ridder menyebutkan satu bentuk masyarakat dengan mental yang baru hasil percampuran (pengaruh
mempengaruhi) antara masyarakat adat dan masyarakat eropah yang modern, yang dia sebut dengan “de
koloniale wissel werking”. Lebih jauh lihatlah De Ridder.J. De Invloed van de Westersche Cultures op de
Autochtone Bevolking ter Oostkust van Sumatra. Wageningen: H.Veenman&Zonen. 1935, hal.9.
7
Penyelidikan-penyelidikan setelah kejadian itu menunjukkan fakta bahwa datuk-datuk (kepala suku) Batak
Karo tidak diajak berunding oleh Sultan mengenai konsesi-konsesi tanah di dalam wilayah mereka, datuk-datuk
ini menentang dan menuduh bahwa Sultan Deli dengan pemberian konsesi-konsesi ini telah melanggar hukum
adat yang sudah ada sebelum Belanda dan pengusaha-pengusaha ondeneming datang. Sebaliknya, karena tahu
sedang didukung oleh kekuatan Belanda dan karena rakus akan pembayaran yang lebih banyak dari pengusaha

onderneming, serta merasa jauh lebih unggul daripada kepala-kepala suku Batak Karo, maka sultan
mengabaikan adat itu. Pelzer.Ibid. hal.70.
5

2

buruh, tindakan yang yang kejam dan sebagainya.8 Satu contoh pengakuan hak tanah
penduduk dalam akta 1877 antara lain berbunyi: “apabila dalam perbatasan tanah terdapat
pohon buah-buahan, kepunyaan penduduk terdahulu (behoorende aan vroegere bewoners),
pihak perkebunan wajib membayar harga pohon-pohon itu secara patut. Kalau terdapat
perselisihan paham, diputuskan oleh Sultan setelah, jika dikehendaki oleh Sultan, berunding
dengan Gewestelijk of Plaatselijk Bestuur.” 9
Menurut Said, akte konsesi tidak jelas ada ditekankan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi
kampung atau perladangan tidak turut menjadi tanah konsesi. Akta konsesi sebagai itu hanya
terdapat kemudian, itupun dalam prakteknya tidak diperlindungi oleh raja jika ada tuntutan.
Lebih lanjut Said mengutip Schade: “Menjadi pertanyaan benar-benar apakah para pengusaha
perkebunan yang terdahulu senantiasa mengindahkan hak-hak penduduk atas tanah dan
tanaman-tanaman mereka, bilamana tanah sedemikian dipilih untuk dijadikan perkebunan,
dan memanglah harus diketahui bahwa walaupun penduduk secara tidak langsung turut
mendapat keuntungan dari perkebunan-perkebunan eropah itu, namun kadang-kadang mereka

langsung menderita kerugian karenanya.10
Said secara terus terang menunjuk Konsesi sebagai faktor yang mempercepat meletusnya
perang Sunggal (1872-1859). Tentang ini, Sinar menulis: “Karena Rakyat Sunggal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk
konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedangkan keuntungannya
tidak untuk rakyat disitu, mulailah Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara. Kejadian
meledak ketika di tahun 1870, Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan tanah subur kepada
maskapai Belanda “De Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah Sunggal.11
Dalam bahasa yang hampir sama Schadee melanjutkan: “De uitgifte van gronden voor
landbouwondernemingen in Deli had groot vordeel gebracht aan de Sultan van dit rijk door
de stijging der opbrengsten van monopolies en belastingen, doch de bevolking zag zich
daardoor in de beschikking over den grond beperkt. Het is zeer de vraag of de eerste planters
wel altijd nauwkeurig rekening hielden met de rechten van der bevolking op gronden en
gewassen, wanneer deze gelegen waren in het terrein, dat zij voor ontginning hadden
uitgekozen en het moet wel worden aangenomen, dat de bevolking, hoewel indirect ook eenig
voordeel trekkende van de Europeesche ondernemingen, somtijds daarvan eenige directe
nadeelen ondervond. Zoo onstond onder de bevolking een zekere tegenzin ten aanzien van de
voortgaande uitbreiding der ondernemingen.” 12 (Pemberian tanah-tanah untuk perusahaan
perkebunan di Deli telah membawa keuntungan kepada Sultan kerajaan ini melalui kenaikan
hasil dari monopoli-monopoli dan pajak-pajak, namun bagi penduduk melihat hal ini sebagai

8

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (1800-1975),
(Bandung: Penerbit Alumni,1976), Hal.42. Tentang kekerasan yang dialami buruh atau kuli di perkebunanperkebunan di Sumatera Timur bisa dilihat dalam beberapa karya antara lain, Jan Breman, Koelies,Planters en
Koloniale Pollitiek, Het Arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het
begin van de twintigtste eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1992), T.Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi
tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), (Medan: Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004) dan Budi Agustono, Violence on North Sumatra Plantations, dalam
Colombijn and Linblad (eds), Roots of Violence in Indonesia, (Leiden:KITLVPress, 2002)
9
Mahadi, op.cit. hal.52.
10
WHM.Schadee, Geschiedenis der Sumatra’s Oostkust, 1 dan II, hal.188 dalam H.Mohammad Said, Suatu
Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya, (Medan: Percetakan
Waspada, 1977), hal. 35.
11
Said, Ibid. Untuk uraian panjang tentang Perang Sunggal, bisa dibaca tulisan T.Luckman Sinar SH, Perang
Sunggal (1872-1895), (Medan: Percetakan Perwira, 1987).
12
Schadee, loc.cit.


3

sebuah pembatasan atas tanah-tanah (mereka). Sesungguhnya ada pertanyaan di sini apakah
para pekebun awal dengan cermat memperhitungkan hak-hak atas tanah dan tanamantanaman yang dimiliki penduduk, yang terletak di kawasan konsesi, yang telah mereka
tentukan untuk penanaman dan harus diterima, bahwa penduduk juga mendapatkan
keuntungan tidak langsung dari perkebunan-perkebunan orang-orang Eropah, namun kadangkadang mengalami kerugian karena itu. Demikianlah dikalangan penduduk timbul
ketidaksenangan terkait perluasan perkebunan-perkebunan ini.
Perlawanan-Perlawanan Awal
Batak Oorlog dengan nama lainnya Perang Sunggal menjadi satu bentuk resistensi yang
sangat jelas terhadap keputusan-keputusan sepihak Sultan Deli dan hal ini berimplikasi luas
pada masa itu. Sinar menuliskannya sebagai berikut: “Karena rakyat Sungal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan daerah Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan
untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedang
keuntungannya tidak untuk rakyat disitu. Mulailah Sunggal mulai berjaga-jaga dan
menentang cara-cara yang tidak bersahabat tersebut. Kejadian meledak ketika di tahun 1870
Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan tanah subur kepada maskapai Belanda “De
Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah Sunggal. 13 Selanjutnya dari Pihak
pemerintah Belanda mencari-cari juga apa sebenarnya latar belakang perlawanan rakyat ini.
Resident Rier melaporkan kepada Governour Generaal (GG) dengan surat tanggal 9-8-1872

No.2001/1 bahwa ada pendapat dari bekas kontrolir Deli bernama De Haan yang mengatakan
bahwa mungkin sebab-sebab perlawanan itu karena ketidakpuasan dari datuk-datuk/Suku dan
Penghulu-penghulu Karo di wilayah-wilayah urung karena tuan-tuan kebon Belanda
bersimaharajalela di Deli dan bersama mereka dimasukkan pula orang-orang Cina sehingga
penduduk asli jadi terdesak kehidupannya. Sudah diketahui Belanda bahwa memang pernah
ada rapat rahasia antara ke 4 datuk –datuk Raja-Raja urung di Deli yang berlangsung di
Sunggal bahkan inti usul mereka secara terang-terangan sudah disampaikan kepada Sultan
Deli yaitu: a. Apakah wilayah urung akan diobah karena adanya pemberian tanah-tanah
secara besar-besaran oleh Sultan Deli kepada pengusaha-pengusaha perkebunan eropah? 2.
Apakah dengan itu, kekuasan hukum para kepala-kepala urung akan juga berkurang,
misalnya kepada orang-orang Cina?14 3. Apakah kepala-kepala urung dan penghulupenghulunya berhak atas andil atas sewa tanah yang diberikan oleh Sultan kepada pengusahapengusaha perkebunan eropah itu.15
Ketegangan-ketegangan antara penduduk dengan para penguasaha onderneming terkait hakhak tanah adat mereka ternyata menjurus kepada sengketa fisik. Gouw Giok Siong
mengutarakan:”dari penjelasan-penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ketika
Sultan Mahmud (Sultan Deli pada saat itu) memberikan konsesi-konsesi kepada para
ondernemer baik kepada Nienhuijs maupun kepada lain-lain yang kemudian menjadi Deli
13

Tengku Luckman. Sinar. Perang Sunggal (1872-1895).Medan: Percetakan Perwira: 1987, hal.10.
Tentang kedatangan, tantangan dan bagaimana imigran Cina hidup di Deli dan sekitarnya, lihatlah
Bruin.A.G. Mededeling No.I. De Chinezeen ter Oostkust van Sumatra. Leiden: E.J.Brill, 1918. Juga, Bool. H.J.

De Chineese Immigratie naar Deli. Pertumbuhan yang sangat pesat dari para imigran ini terlihat di halaman 1
dan 91-nya. Dari sejumlah 37.608 jiwa per April 1915 menjadi 132.000 jiwa per tanggal 5 April 1916 .
15
Ibid. Hal. 24. De Ridder, J. Menambahkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan Batak Oorlog meletus.
Pertama adalah adanya kesulitan yang besar dari pemegang konsesi dan Sultan Deli untuk menentukan posisi
hukum para penduduk Batak yang datang dan tinggal dalam dan di luar batas-batas areal konsesi (yang dalam
hukum adat mereka sebelumnya bukan merupakan suatu masalah) dan yang kedua adalah para pemimpin Batak
di kawasan itu tidak mendapatkan bagian dari pembayaran pihak perkebunan kepada Sultan Deli) pada tahuntahun pertama konsesi perkebunan dibuka.
14

4

Maatschappij, yaitu daerah Mabar hingga Deli Tua, tanpa memperhatikan hak-hak rakyat
telah menimbulkan kesulitan-kesulitan. Begitu hak-hak adat tanah rakyat digencet, begitu
timbul chaos dengan terjadinya pembakaran-pembakaran bangsal-bangsal tembakau dan
perusakan tahunan. Baru sesudah diakui hak mereka dan hal itu kemudian disesuaikan
dengan adanya konsesi. Banyak hak-hak rakyat itu ditambahkan pada akte konsesi dilakukan
dengan pasal supletoir tentang hak-hak dari pada rakyat tersebut. Proses tembakau Bremen
juga berhasil karena diakui bahwa hukum adat masih berlaku di atas areal tembakau Deli.16
Gugatan-gugatan atas hak-hak yang dimiliki pemegang konsesi dalam kaitannya dengan hakhak masyarakat lokal yang telah ada sebelumnya terus terjadi dalam tahun-tahun sesudahnya,

dan ini bisa dilihat dari perubahan model akte konsesi dari tahun 1877 sampai dengan tahun
1892. Sampai tahun 1933 sajapun perdebatan tentang itu masih berlangsung. Buffart secara
tajam menuliskan: “Kami ingin menguraikan tentang hak-hak dari penduduk pribumi
melalui cara-cara penyerahan tanah dengan cara yang disebutkan di atas, melalui penyerahan
tanah untuk konsesi pertanian, karena hak-hak tersebut dalam konteks ini sangat intensif
(lekat) akibat penyerahan tanah melalui konsesi tersebut. Padahal walaupun telah ada
penyerahan tanah dengan cara-cara konsesi, di atas mana ada hak-hak penduduk asli, tidaklah
benar bahwa pemegang konsesi memiliki hak penguasaan tunggal (mutlak) atas tanah
tersebut. Konsesi pertanian mengandung juga pengaturan tentang tanah-tanah penduduk dan
oleh karena itu konsesionaris mesti memperhitungkan tentang hak-hak penduduk atas tanah
tersebut. Perjumpaan yang sama dari dua pemagang hak atas sebuah alas tanah yang sama
akan menimbulkan persoalan besar, terutama karena hak-hak penduduk tidak tertuliskan,tapi
bersandar dalam hukum tak tertulis, hukum kebiasaan atau seperti umum saat ini
mengenalnya sebagai apa yang disebut dengan hukum adat. Hak-hak penduduk yang mana,
seluas apa, tentulah akan menjadi satu hal yang menjadi sumber persengketaan.”17
Kepemilikan Asal: Kerajaan atau Rakyat?
Uraian-uraian di atas secara tersirat hendak meneguhkan bahwa sejak awalnya (sebelum
kedatangan para planters dan onderneming), orang Melayu di Sumatera Utara telah memiliki
hak tanah mereka, baik secara individu maupun komunal. Catatan Anderson pada awal abad
ke 19 menyebutkan: “hutan-hutan banyak sekali ditumbuhi tumbuhan akar-akaran dan daundaunan yang juga digunakan sebagai sayuran. Orang-orang kampung melakukan cocok
tanam perladangan di hutan-hutan yang dibuka sementara, tidak jauh dari tepi-tepi sungai. Di
tempat-tempat tertentu, saya terpaksa berjalan kaki, karena perahu bergerak terlalu lambat, ia
mengikuti jalan-jalan kecil yang membentang menyusuri sungai. Ia sering menemukan orang
laki-laki sibuk menebangi kayu hutan untuk membuka ladang.18
Ridder, mencontohkan satu kondisi komunalisme di kalangan penduduk di kawasan Pantai
Timur Sumatera dengan mengutip satu laporan di wilayah Panei. “Op bladzijde 572 e.v. van
een bericht “over het landschap Panei”19 blijkt, dat het grondgebied communaal was. Slechts
bij het kiezen van een stuk grond om een ladang aan te leggen, dient de kamponghoofd te
raadplegen. De diensten, welke de bevolking moet verrichten zijn: a. Wachtdiensten in de
kampong; b. Hulp in nood, b.v wanneer eene kampong wordt bedreigd door vijandelijke
16

Gouw Giok Siong, Perkara Tembakau Indonesia di Bremen, (Jakarta:Penerbit Pesat NV, 1958), hal.10.
JFA.M. Buffart, .Dr. “Rechten van de Bevolking op in Landbouw Concessie Uitgegeven Gronden.” Overdruk
uit “Indische Gids”, Juli – Aflevering 1933. Uitgave Vereeniging Indie Nederland. Hal.3
18
Anderson, op.cit. hal.4.
19
Dirujuk dari sebuah artikel dengan judul: “Mededelingen betreffende het Landschap Panei en het
Radjahgebied”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Ned-Indie, 7e. Volgreeks, Deel II, 1904. Lebih
jauh lihatlah de Ridder, op.cit. hal.14
17

5

banden; c. Het bouwen van een huis voor den Vorst en het leveren van de bouwmaterialen
daarvoor; d. Het bewerken en beplanten van ladangs voor den Vorst en ook voor de andere
hoofden; e. Het vergezellen van zijn Vorst op zijne reizen. (di halaman 572 dari sebuah berita
tentang wilayah Panei, kelihatan bahwa lahan tanah bersifat komunal. Hanya, jika seseorang
memilih sebidang tanah untuk dijadikan ladang, dia mesti meminta izin kepada kepala
kampung. Kewajiban/Tugas yang setiap penduduk (dewasa) harus laksanakan adalah: a.
Menjaga kampung; b.Pembangunan sebuah rumah untuk Raja dan pengadaan bahan-bahan
bangunan untuk itu; c. Mengerjakan dan menanami tanaman di ladang untuk kepentingan
Raja dan kepala-kepala (pimpinan kampung) lainnya; e. Mengiringi Raja jika bepergian) 20
Kelihatannya ada perbedaan-perbedaan yang tegas tentang corak penguasaan tanah
dikalangan orang-orang Batak di dataran tinggi dan orang-orang Melayu di pesisir (dataran
rendah). Ridder mengungkapkannya dengan kalimat: In de Bataksche Landschappen behoort
de grond aan de heerschenden stam die zich het eerst in het land heeft gevestigd, dan wel dit
van de oorspronkelijke bezitters heeft veroverd, gerepresenteerd door de stam, tevens
landschapshoofden. In de praktijk is de beschikking over den grond echter bij de
dorpshoofden, als vertegenwoordigers van het stamhoofd. .. In het Maleische gedeelte kende
men alleen het recht verkregen door feitelijke inbezitname of door de wil van de radja. (Di
wilayah-wilayah Batak, tanah berada pada suku yang pertama sekali mendiami, pemilikpemilik terdahulu yang telah ditaklukkan, diwakili oleh Suku (penakluk, pen), dan juga
kepala-kepala kampung. Di dalam prakteknya, penguasaan atas tanah berada pada kepalakepala kampung, yang menjadi wakil kepala suku. Di wilayah orang-orang Melayu, orang
hanya mengenal hak-hak yang (tanah) yang diperoleh melalui kepemilikan faktual atau atas
kemauan (persetujuan) Raja.21
Namun begitu, Mahadi berpendirian: “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi hak-hak
itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu mendapat kodifikasi,
memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan.” Jadi seandainya ada Raja
memandang semua tanah adalah kepunyaannya, namun di dalam kenyataan, rakyat bebas
membuka hutan, boleh berladang secara berpindah-pindah, dimungkinkan membuka dan
memelihara kebun seluas kesanggupan, boleh kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga,
boleh dengan memakai tenaga upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk
bermacam-macam keperluan, diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan
sehari-hari tetapi untuk diperniagakan kemudian setelah hubungan manusia dengan tanah
yang didudukinya sudah bersifat demikian mencekamnya sehingga terbuka pula kesempatan
untuk memperoleh suatu surat keterangan tentang hubungan yang sudah kontinu dan stabil
itu, surat itu mula-mula bernama surat kampung, kemudian surat Datuk dan seterusnya geran
(sertifikat), maka kami (Mahadi) memberanikan diri untuk menduga bahwa sejenis hak
ulayat22 ada pada suku Melayu di Sumatera Timur dengan persekutuan hukumnya
ditingkatkan ke taraf Swapraja setelah Raja-Raja memperoleh kedudukan yang kuat.
Terkait pernyataan Mahadi soal bahwa akhirnya ada semacam pengukuhan dan pengakuan
atas tanah-tanah penduduk dalam akte-akte konsesi, oleh Buffart diberi makna lain yang
membuat kita kembali mempertanyakan apakah pengakomodasian itu benar-benar didasarkan
20

Ridder (walau tidak terlalu setuju) mencoba mengikuti pandangan Schumpeter tentang dualisme corak
masyarakat, yakni: Statische en Dynamische maatschappij. Dan masyarakat Sumatera Timur masa itu adalah
mewakili kelompok statis dengan memakai sebutan “adatrechtelijk traditionalisme”. Ridder, ibid. hal.16-17.
21
Ridder. Ibid. hal. 23-24.
22
Secara historis dan antropologis, ini menjadi entry point untuk menelusuri dan menemukannya dalam
penelitian ini.

6

pada pemahaman yang benar tentang hak-hak asli penduduk tersebut. Beliau secara kritis
mempertanyakan apakah sebenarnya bukan sesuatu yang terbalik meletakkan (atau mungkin
lebih tepat melekatkan) hak-hak penduduk atas tanah dalam akte-akte konsesi hanya sebagai
asesoris saja yang kesemuanya disandarkan atas perjanjian atau permufakatan antara
pemerintahan swapraja (kesultanan) dan para konsesionaris (pemegang hak konsesi).
Padahal, menurut beliau, hak penduduk atas tanahlah yang sebenarnya harus menjadi pilar
penting dalam penyusunan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak-pihak di dalam
perjanjian konsesi tersebut.
Dengan sedikit sinis ia mengatakan: “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian
antara dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini
bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum
Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para
penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak tersebut , tapi
hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang ada dalam
kontrak atas hak-hak penduduk. Hak-hak penduduk oleh karena itu hanya dituliskan secara
insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh karena itu mungkin bisa dihilangkan juga
dari akte konsesi tersebut.”23
Tentang hak-hak penduduk atas tanah di wilayah ini, kepustakaan hukum adat ternyata telah
menghimpun dan mengurai disana-sini tentang hak-hak tersebut di kawasan ini. 24 Beberapa
kutipan di bawah bisa menggambarkan situasi pada saat itu: Di alam bebas, hutan berada
pada punguasaan anggota-anggota dari suku yang hanya mempunyai hak untuk
mengumpulkan. Pemilikan privat atau penggunaan hutan untuk menikmati hasil-hasil hutan
(secara perorangan) tidak dijumpai. 25 Kehidupan bersama di kampung-kampung, di saat itu
tidak ada perubahan. Namun sekarang, dimanapun bisa dijumpai pemilikan privat dan
pengunaan hutan untuk kepentingan pribadi. Disebabkan karena pertambahan anggotaanggota suku dan kebutuhan tanah untuk tempat tinggal, rumah-rumah harus dibangun, dan
konsekuensinya hutan mesti dibuka. Dengan demikian bidang-bidang tanah yang merupakan
hak masyarakat secara komunal mulai terbuka. Hak mengumpulkan hasil-hasil hutan dan
membuka hutan tidak terpisah satu dengan lainnya. Penggunaan untuk pribadi atau
kepemilikab atas hutan masih tetap tertutup (dilarang); tanah-tanah suku, lahan-lahan yang
dulunya menjadi lokasi pengumpulan menjadi tanah dari masyarakat hukum stempat,
pengumpulan hasil hutan dan pembukaan tanah-tanah kosong (hutan liar) oleh orang asing
tidak dibenarkan (dilarang). 26
23

Buffart, op.cit. hal. 6.
Sembilan belas (19) lingkaran hukum adat yang dikembangkan Van Vollenhoven kemudian dipakai oleh
murid-muridnya, C.H.Bosman, E.E.V.Brouwer, H.A.Idema, W.J.Keuskamp, L.W.H.de Leeuw dan J.M. van
Walsem dalam menyusun Pandecten van Het Adatrecht (I) tentang Het Beschikkingsrecht over Grond en Water.
Catatan-catatan tentang Deli tidak secara spesifik tertulis namun narasi mereka di wilayah hukum adat Gayo,
Alas dan Tanah Batak serta Melayu setidaknya bisa menggambarkan suasana di wilayah Deli. Lebih jauh lihat
Pandectecten van Het Adatrecht (I) ,Het Beschikkingsrecht over Grond en Water. Uitgave van het Instituut,
Druk van J.H. de Bussy, Amsterdam 1914. Dan tentang hak-hak atas tanah yang bersifat individu bisa
ditelusururi melalui Pandecten van Het Adatrecht IVb. “de Overige Rechten op Grond en Water. Uitgave van het
Instituut. Druk van J.H. De bussy, Amsterdam, 1918.
25
Pada satu sisi, catatan ini menjadi sesuatu tantangan lainnya dalam konteks ini untuk melihat posisi Kerajaan
– Kerajaan (Kesultanan) Melayu dan relasinya dengan penguasaan tanah adat orang Melayu sementara pada sisi
lainnya membuka kemungkinan penjelasan atau tafsir antropologis dari komunitas orang Melayu atas
kekuasaan dan atau kewenangan yang dimiliki Kesultanan Deli selama ini.
26
Lihatlah Pandecten I hal.11. jo. Kooreman Boschproducten 486-487. “Het recht van de Inlandsche bevolking
der Buitenbezettingen om boschproducten in te zemelen, 1914).
24

7

Di dalam batas-batas yang dipakai bersifat alamiah, biasanya oleh sungai-sungai gunung atau
perbukitan, seluruh anggota suku memiliki hak yang sama. Anggota-anggota dari suku yang
lain dilarang mengambil atau mengumpulkan hasil bumi di dalam batas-batas tersebut.
Seandainya juga jika orang masih membutuhkan lahan dan meminta batas-batasnya dengan
penduduk yang langka dan hutan yang sangat ketat pengaturannya, maka biasanya dia akan
dibatasi oleh hak-hak untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan saja. Orang-orang biasanya
akan merujuk ke titik-titik atau batas-batas dimana penduduk satu dengan lainnya boleh
mengambil hasil hutan.27
Zooals gezegd, had elk gemeentelid het rect om woesten grond te ontginnen. Van zijn
voornemen was hij verplicht aanzijn hoofd kennis te geven; ook moest hij met staken
aangeven, hoeveel grond hij voornemens was te ontginnen, want volgens adat mocht hem
niet meer grond worden afgestaan, dan hij al of niet met bijstand van anderen, ontginnen
kon. De taak van de hoofden bepaalde zich tot het onderzoeken of niet te veel grond werd
aangevraagd, of de aangevraagde grond al of niet een te voren bepaalde stemming had, of
anderen oudere rechten op den grond konden doen gelden. (seperti dikatakan, seorang
anggota masyarakat memiliki hak untuk membuka lahan-lahan kosong/hutan liar. Dia
diwajibkan memberitahu kepala (kampung); selain itu ia harus memberikan tanda, berapa
banyak yang dia mau buka, karena jika berdasarkan adat, kepadanya tidak boleh lagi
diserahkan tanah maka dia tidak bisa menerimanya. Tanggungjawab/tugas dari para kepala
adalah melakukan penelusuran luas tidaknya tanah yang diminta/diajukan, atau apakah tanah
yang diminta sudah atau belum ada tanda-tanda sebelumya, atau diatasnya ada hak-hak yang
masih berlaku.)28
Dalam versi yang sangat mutakhir, ingatan tentang adanya hak tanah orang Melayu Deli ini
juga dituliskan kembali oleh Nuh. Ia mengatakan: “Sebelum bertani menetap, rakyat Melayu
di Sumatera Timur menggunakan ladang berpindah. Ini dikenal dengan istilah petani Reba
atau berladang Reba, yaitu petani yang membuka hutan atau menebang hutan. Petani berdiam
di sekitar Sumatera Timur. Meski cara berladangnya berpindah-pindah dari satu hutan ke
hutan yang lain, tidak berarti hutan rusak karenanya. Proses berladang petani diatur oleh
ketua adat atau pemangku adat. Pemangku adat berpedoman kepada hukum adat dalam
mengatur peruntukan lahan.”29
Dalam membuka hutan mereka bergotong royong dan mengadakan tepung tawar. Tepung
tawar adalah upacara adat. Dalam tepung tawar ada ketan kuning, daun pandan, sirih, kapur
sirih dan beberapa jenis bunga tertentu. Tepung tawar dilakukan di hutan, disana mereka
bersama-sama memanjatkan doa keselamatan untuk mengolah hutan. Sesudah hutan dibuka
dan dibersihkan tiba waktunya dibakar. Setelah selesai lalu tepung tawar kembali dilakukan
sembari memanjatkan doa supaya terhindar dari gangguan binatang buas. Kemudian selang
beberapa hari sisa pembakaran dibersihkan. Setelah tanah bersih dimulailah menanam padi.30
Dalam versi yang lain Sinar mendeskripsikannya; “ Apabila sampai musim dimana terlihat
Bintang Sandaran Lamang, maka orang Melayu mulai menanam padi turun ke ladang.
Sebelum datangnya bpengaruh suku Jawa, Banjar dan lain-lainnya, orang Melayu di daerah
27

Kooreman Boschproducten, ibid. hal 485.
Ibid. hal.487.
29
Afnawi Nuh, Dari Petani Reba ke Petani Jaluran, dalam Pembangunan Berbuah Sengketa; Kumpulan KasusKasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, (Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara
(SPSU), 1998), hal.135.
30
Mahadi op.cit hal.226.
28

8

pantai seberang khususnya dan di pantai Sumatera Timur umumnya menanam padi dengan
cara ladang, bukan dengan bersawah. Setelah sebidang tanah (hutan) dekat kampungnya di
tebang lalu tanah dibakar, kemudian tanah yang bersangkutan ditugal dengan memakai kayu
yang diruncingi atasnya. Di dalam lobang yang ditugal itu dimasukkan padi bibit, kemudian
dilakukan pekerjaan merumput dan menyisip ialah dimana padi yang besar rumpunnya
dibelah dan dipindahkan ke tempat yang osong. Sebelum padi di potong, sedang saat-saat
padi bunting diadakanlah upacara menjamu padi dengan menepungtawarinya dan dibuatlah
makanan-makanan rujak dan bubur merah putih yang lalu ditaburkan di sekeliling padi-padi
itu sebagai sajian-sajiannya.31
Dalam konteks pengusaan tanah, Darus dengan mengutip HJ.Bool mengatakan:”Adanya
kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai Sumatera Timur itu tidak merubah keinsyafan rakyat
terhadap hukum adat tanah tersebut. Bahwa kedudukan raja hanyalah sebagai pemangku adat
yang mengurus, mengatur dan mengawasi kelancaran dan tertibnya pelaksanaan hukum adat
tanah dan bukan pemilik tanah. Bahwa hak pertuanan itu adalah hak rakyat.”32
Adat Rechtsbundel mencatat dalam versi yang sama soal ini: “De vorst, die de concessie gaf,
was zelf in zijn rechten beperkt door de gebruiksrechten, welke de bevolking ontleent aan de
volksinstellingen, die de vorst bij zijn optreden bezworen heeft te eerbiedigen.” (bahkan Raja,
yang memberikan konsesi, hak-haknya dibatasi oleh hak-hak untuk menggunakan/hak pakai
yang diserahkan rakyat kepadanya, dan oleh karena itu raja dengan tindakan-tindakannya
telah berjanji untuk respek (dengan rasa hormat) kepada rakyat). Di kampung orang-orang
Batak, hak pakai atas tanah itu oleh suku-suku lain dengan kompensasi bahwa mereka
dikenakan wajib untuk menjaga kampung dan sebagi penduduk yang tinggal di ladangladang. Kepala rumah tangga, janda dengan anak-anaknya, kadang-kadang duda dengan
anak-anaknya juga memiliki hak untuk menggunakan lahan/hak pakai. Untuk orang-orang
“kecil (biasa)”, mereka hanya mempunyai hak pakai di kampung dimana mereka tinggal.
Sama sekali tidak ada bedanya, apakah kampung iti dipimpin oleh orang Batak atau orang
Melayu..33
In de kwestie der toekenning van gebruiksrechten op bouwgrond door de kamponghoofden
der Bataks als representanten van den stam, die over den grond te zeggen heeft, brengt de
Maleische overheersing dus geen verandering. Hierom ook moet de betrokken Bataksche
hoofden in de uitgifte eener concessie gekend worden, en moeten zij een aandeel in de cijns
hebben, want zij verliezen door de uitgifte het recht om over de woeste gronden te
beschikken ten behoeve van nieuwaangekomen Bataks. (Di dalam penentuan hak pakai untuk
lahan pertanian, posisi kepala-kepala kampung orang Batak, sebagai wakil dari suku, tidak
ada perubahan yang dilakukan penguasa Melayu atas mereka namun dalam hal ini, kepalakepala Batak yang terkait haruslah diberitahu adanya pemberian konsesi itu, dan kepada
mereka juga mestilah diberikan bagian disebabkan karena akibat pemnyerahan konsesi
tersebut mereka kehilangan untuk menguasai lahan tersebut yang bisa diperuntukkan untuk
orang-orang batak yang akan datang berikutnya).34
Kembali ke posisi hak tanah penduduk dalam konsesi-konsesi yang dibuat oleh Sultan
(terutama kesultanan Deli) dan pengusaha asing, setelah bertahun-tahun berjalan barulah
31

T.Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang, 1971. Hal.219
Bool, H.J.Mr. Landbouw Concessie in de Residentie Oostkust van Sumatra, dalam Nyonya Mariam Darus SH,
Masalah Tanah Jaluran, paper seminar, 1968. Hal.2.
33
Adat rechtbundels, VII. 55-56
34
Ibid. Hal.57.
32

9

kementrian dalam negeri Belanda dan juga pemerintahan kolonial di Batavia menyadari
bahwa konsesi-konsesi awal, yang dirundingkan antara raja-raja kecil itu dengan pengusahapengusaha onderneming tanpa peran serta dari seorang wasit yang mewakili kepentingankepentingan ekonomi dan hukum pihak kawula (rakyat), adalah sangat tidak adil terhadap
rakyat kecil. Serangkaian contoh kontrak disusun, tetapi para pengusaha onderneming itu
keberatan dan keras terhadap gagasan untuk memperbaiki konsesi-konsesi awal. 35 Di dorong
oleh kekecewaan mereka, tidak jarang para petani itu membakari bangsal-bangsal
pengeringan yang penuh daun tembakau panenan. Sebenarnya sumber utama dari
ketidakpuasan itu adalah jumlah lahan yang tidak cukup tersedia bagi penduduk kampung itu.
Agrarische Wet dan Kontrol atas Tanah Adat
Di tingkat kebijakan yang lebih luas, tantangan terhadap eksistensi hak tanah adat (hak ulayat
adat) sebenarnya mulai jelas kelihatan tatkala Agrarisch Wet 1870 dengan pernyataan domein
dalam pasal 1 Agrarische Besluit (Staatsblad No.118 tahun 1870) diberlakukan. Pasal 1-nya
menyatakan: “ dengan perkecualian atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5 dan 6
dari pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting van Nederland Indie, semua tanah yang tidak
memiliki hak yang dapat dibuktikan maka ia menjadi milik negara. Aturan ini bagaimanapun
juga mendapat tantangan hebat dari para ahli hukum adat seperti, Ter Haar, Van Vollenhoven
dan Logemann. Menurut mereka, aturan tersebut berisi maksud para perancang undangundang untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan bila perlu sampai
puncak-puncak gunung, jika masyarakat mempunyai hak yang nyata maupun secara diamdiam diakui, tanah itu bukan tanah negara.36
Satu dari beberapa hak tanah adat yang dikenal di kalangan orang Melayu Deli dan sekitarnya
serta menimbulkan polemik yang cukup panjang di kalangan pemegang konsesi dan
pemerintahan Hindia Belanda adalah tanah jaluran. Ini merupakan tanah bekas tanaman
tembakau yang diserahkan kepada opgezetenen (rakyat penunggu) untuk ditanami padi dan
atau jagung dalam satu periode waktu tertentu (sekali dalam setahun, satu musim panen).
Kata opgezetenen ini menimbulkan bermacam tafsir. Perkebunan menyatakan yang berhak
memperoleh tanah jaluran hanya orang-orang yang pada saat pemberian konsesi sudah
mempunyai rumah dalam persil konsesi. Namun pernyataan ini dipandang terlalu sempit.
Malah dalam akta konsesi 1884, pengertian opgezetenen berubah menjadi “semua kepala
keluarga baik yang telah tinggal di tanah yang bersangkutan maupun sesudah penyerahan
tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah.37
Tentang tanah jaluran, Ardiwilaga mengatakan: “bahwa rakyat disamping hak atas tanah
selingan, juga harus mempunyai kemungkinan untuk menanam padi di kebun yang baru
dituai. Dalam pasal 11 model akte 1884, pengusaha wajib menyerahkan tanah tersebut untuk
ditanam padi atau jagung dalam satu musim. Luasnya maksimum satu setengah bahu untuk
tiap penduduk yang harus membayar retribusi dan menjual hasilnya pada pemegang konsesi.
Dalam model akte 1892 (pasal 9), kata-kata satu musim dirubah dengan satu panen. Luas
35

Pelzer, op.cit hal. 137.
Lebih jauh lihat Herman Slaats, Erman Rajagukguk dkk, Masalah Tanah di Inonesia dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2007), hal.12
37
Burhan Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX (Medan:Skripsi FH
USU, 1981), hal.37. Tiga studi penting tentang tanah jaluran dalam periode awal abad 20 bisa dilihat dalam
Bool.H.J. “Landbouwconcessies in de Residentie Oostkust van Sumatra.”, Jansen, Gerard. “Granrechten in Deli.
Uitgave vanSumatra-Instituut. 1925 dan Buffart. Op.cit.(1933). Kelak dalam Peraturan Rakyat Penunggu (Ra’jat
Penoenggoe Regeling) tahun 1924, sekurangnya ada 8 golongan yang dikategorikan sebagai “de rechthebbenden
op djaloeran” (pemegang hak jaluran). Lihatlah lebih jauh, de Ridder. Hal.46.
36

10

tanah jaluran ditetapkan separuhnya, sedang syarat wajib menjual padi dan jagung kepada
pemegang konsesi dihapuskan. Dalam syarat umum tentang landbouwconcessie di wilayah
swapraja, dalam hal ini kekuasaan dipegang oleh Gubernement (1902) dimuat ketentuanketentuan yang isinya sama seperti model akte 1982, hanya pasal 9 menegaskan bahwa bila
luasnya tanah jaluran itu adalah kurang dari 1 Ha untuk tiap keluarga, maka membagikannya
kepada rakyat penunggu yang berkepentingan akan dilakukan oleh Residen.38
Sekurang-kurangnya, dalam kacamata pemegang konsesi, ada 3 kesulitan utama dalam
pengaturan tanah jaluran ini: Pertama, Areal tanah jaluran itu terbatas, sehingga tanaman
yang bisa ditanami oleh penduduk menjadi lebih kecil; selain itu akibat krisi, areal tembakautembakau yang ditanami diperkecil. Kedua, Dari pihak pemerintah diusulkan untuk membagi
dua kelompok pemegang hak jaluran, yakni mereka-mereka dan keturunan-keturunan orang
yang pada saat penyerahan konsesi telah terlebih dahulu ada/tinggal di kawasan konsesi dan
yang kedua, kelompok yang setelah penyerahan konsesi, berdasarkan aturan-aturan dari
rakyat penunggu dianggap sebagai orang-orang yang memiliki hak atas tanah jaluran.
Kesulitan datang, jika orang-orang pada kelompok kedua ini ingin merubah pembagian yang
sudah diputuskan sebelumnya, yang jelas-jelas itu tidak bisa dilakukan. di dalam pembagian
itu ; Ketiga, Jauh sebelumnya, pemegang konsesi telah mempunyai pendirian akan
memberikan jaluran kepada pemegang hak jaluran saja, seperti tertera dalam kontrak konsesi;
sebab dengan dihapuskannya poenale sanctie dan menurunnya upah kuli, jaluran menjadi
pengikat untuk mempertahankan tenaga kerja pribumi (Meer dan vroeger stellen zich de
concessionarissen op het standpunt, slechts aan djaloerans ter beschikking van de
rechthebbenden af te staan, wat contractueel is bedongen; omdat met afschaffing der poenale
sanctie en de sterk verminderde koeliloonen, de djaloerans een voornaam bindmiddel vormen
voor het behoud der inlandsche werkkrachten).39
Konsesi pertama di tahun 1864 yang diberikan kepada Nienhuijs misalnya, belum diatur
secara lengkap syarat-syarat mengenai hak rakyat. Hanya yang diatur jangka waktu
pemberian konsesi dan luas tanah yang diberikan. Pada tahun 1877 barulah untuk pemberian
konsesi ditentukan dalam model kontrak (Gouvernements Besluits 27 Januari 1877 No.4
Beijblad No.3381), pun di dalam model kontrak itu belum diadakan syarat-syarat yang
sempurna baik bagi rakyat setempat, maupun bagi pemegang konsesi. Hak rakyat setempat
hanya di ataur dalam satu ketentuan yang secara ringkas yang menyatakan manakala dalam
perusahaan tanan konsesi kedapatan kampung-kampung atau tanah-tanah yang masih dipakai
oleh rakyat, maka pemegang konsesi tidak boleh menguasai tanah itu.
Pemberian konsesi pada pengusaha-pengusaha Belanda atas tanah yang menjadi hak dari
masyarakat hukum (kampung) setempat membawa akibat bagi hak masyarakat hukum itu
atas tanah, baik untuk mereba (ontgeningrecht) maupun untuk mengambil hasil-hasil hutan,
berladang dan sebagainya. Oleh karena itu model Kontrak 1877 juga tidak dipandang
sempurna dan karena itu diadakan peninjauan dan penambahan terhadap syarat-syarat yang
sebenarnya di dalam akte konsesi. Demikianlah pada tahun 1878 model kontrak yang kedua
untuk perjanjian konsesi itu, dimana pertama kalinya terdapat suatu ketentuan tentang
kewajiban pemegang konsesi menyediakan tanah-tanah kebun kepada penduduk. Pasal 6
konsesi tersebut berbunyi: “jika dalam batas-batas tanah yang dimaksud dalam pasal 1
perjanjian ini terdapat rakyat, maka tanah-tanah yang mereka pergunakan , sendiri untuk
pertanian, ditambah dengan tanah yang cocok yang diperlukan untuk pengganti sampai luas
38
39

R.Roestandi , Ardiwilaga. Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Penerbit Masa Baru, 1962), hal.370.
De Ridder, Op.cit. hal.47.

11

sejumlah empat bahu (1 bahu setara dengan 0.7 ha) untuk tiap-tiap rakyat harus tetap dapat
mereka pergunakan dengan bebas.”40
Tarik menarik posisi tanah adat orang Melayu dalam konsesi terus terjadi dan itu bisa dilihat
dalam berbagai contoh-contoh konsesi 1877/1878, 1884, 1892 dan seterusnya sampai
berakhirnya kekuasan kolonial di pertengahan abad ke 20. Masuknya Jepang dan pergolakan
politik lokal (“revolusi sosial 1946, pembentukan Negara Sumatera Timur) menandakan
berakhirnya rezim konsesi perkebunan kolonial secara formal namun tidak secara
keseluruhan mengembalikan posisi hak adat yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam bahasa
yang lain, ini malah menandakan zaman baru pergolakan dan perebutan jang menjurus
kepada sengketa jangka panjang yang lebih melelahkan bagi penduduk yang terlibat.
Nasionalisasi atau Perampasan Hak?
Nasionalisasi perkebunan pada Desember 1957 mendorong terjadinya berbagai tindakan
penguasaan kembali lahan perkebunan tembakau oleh penduduk setempat. Pelzer menulis:
“whereas by 1 October 1957 a total some 121,000 hectares were occupied by squatters, the
area had increased to 122,000 hectares by the end of 1957 and to 126,000 hectares by the
end of 1958. Clash between the autochtonous population and plantation laborers over the
use of harvested tobacco fields had continued unabated and particularly pierce one erupted
in July 1958 as 500 estate workers battled, reportedly for an hour, with 100 villagers of
Kampong Kelambir on the ex- United Deli Company estate Bulu Cina in the Kecamatan
Hamparan Perak.41
Sejak akhir 1957, kebanyakan perusahaan-perusahaan perkebunan diambil alih oleh negara.
Akibatnya, penataan kembali hubungan-hubungan antara negara, perkebunan dan petani
dengan pembaruan perundang-undangan agraria menjadi tak terelakkan. Dilatar belakangai
dengan kejadian-kejadian ini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diumumkan dalam
tahun 1960 dengan menghapuskan Agrarische Wet dan Agraraische Besluit 1870. Dengan
perundang-undangan baru ini, dualisme hukum dalam masalah-masalah agraria diakhiri
dengan hukum-hukum adat lokal tunduk pada hukum nasional. Hak menempati individual
petani ditingkatkan menjadi hak milik. Hak penggunaan tanah oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan disatukan ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha yang baru dan hanya
diberikan kepada warga negara Indonesia atau perusahaan-perusahaan domestik. Semua jenis
tanah dianggap sebagai tanah negara. Dalam pengertian ini jiwa pernyataan domein negara
tetap diwarisi dari periode kolonial meskipun Agrarische Besluit yang lama telah
dihapuskan.42
Pengambilalihan yang dilakukan negara secara total atas tanah dan bangunan di atas lahan
yang selama ini menjadi objek kontrak konsesi antara kesultanan Melayu di Sumatera Utara
dengan perusahaan-perusahaan Belanda tidak menyisakan sedikitpun hak-hak yang sediakala
dimiliki oleh Kesultanan dan rakyatnya. Padahal di dalam konsepsi hukum perjanjian,
konsesi merupakan satu jenis perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara
kedua belah pihak. Tak ada satu norma hukumpun yang boleh mengakhiri atau

40

Soewanda, Usra. Masalah Tanah Jaluran sebagai Ujud Hukum Adat Tanah Melayu Sumatera Timur, skripsi
Institut Ilmu Pemerintahan, (Jakarta:1974). Hal.43-44.
41
Pelzer, Planters against Peasants, op cit. hal.166.
42
Hiroyoshi, Kano. Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Konflik Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan, dalam
Noer Fauzi (Penyunting), Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 38-39.

12

menghapuskan perjanjian tersebut jika ia telah memenuhi kriteria yang diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata.43
Nasionalisasi atas tanah-tanah ulayat orang Melayu di Sumatera Utara menjadi tonggak
penting dalam sejarah hukum tanah untuk menunjukkan secara jelas ketidaksahihan konsepsi
hukum adat yang selalu mengagung-agungkan bahwa jika hak ulayat mengecil, maka hak
perorangan membesar, begitu juga sebaliknya. Yang terjadi adalah bahwa semakin mengecil
dan hilangnya hak ulayat atas tanah-tanah orang Melayu di wilayah ini lebih disebabkan
campur tangan negara dengan ragam kebijakan yang dihasilkan dan dijalankannya.
Melewati 50 tahun sejak berakhirnya kekuasan onderneming Belanda di Sumatera Utara,
telah terjadi begitu banyak kisah turun naiknya posisi dan pengakuan (recognition) hak-hak
atas tanah orang Melayu di tanahnya sendiri. Pukulan itu tidak saja pada aspek pengakuan
akan keberadaan hukum asli orang Melayu itu melainkan menjurus pada upaya kriminalisasi
para pendukungnya.44
Catatan Penutup
Perubahan kedua UUD 1945 di tahun 2000 menghasilkan satu pasal baru yang
membangkitkan kembali harapan akan sebuah pengakuan hak-hak masyarakat adat. Dalam
Pasal 18b ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadikan kerangka hukum dasar ini sebagai
medan perjuangan baru untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama ini
dirampas oleh negara dan perusahaaan-perusahaan yang diback-up negara. Sebuah RUU
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat telah berhasil di-draft dan dimajukan dalam
Prolegnas 2010-2014. Dalam pikiran penggiat hak-hak tanah adat di Indonesia, inilah
peluang yang paling progressif dan terbuka untuk memulihkan dan mengembalikan hak-hak
tradisional yang dimiliki masyarakat Adat di Indonesia, termasuk hak-hak atas tanah
ulayatnya.45

43

Untuk logika hukum perjanjian terkait masalah ini, lihatlah Tan Kamello. Kontemplasi Pertanahan di
Sumatera Utara: Eks Hak Guna Usaha PTPN II: Milik Siapa? Paper dalam Seminar Refleksi Penanganan
Masalah Pertanahan di Sumatera Utara. FH USU. Januari 2011. Lihat juga: OK. Saidin..Konflik Penguasaan
Hak Atas Tanah Eks Konsesi Kesultanan Deli dalam Hasim Purba dkk. Sengketa Pertanahan dan Alternatif
Pemecahan: Studi Kasus di Sumatera Utara. Medan,Cahaya Ilmu:2006.
44
Sampai awal tahun 2011 ini, sejumlah kasus yang mengkriminalisasi para penduduk yang dianggap
menguasai lahan PTPN II masih sedang berlangsung di beberapa Pengadilan Negeri Medan, Deli Serdang dan
Langkat. Dengan pasal UU Perkebunan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2004 t