Aplikasi Perspektif Realisme dengan Inte

APLIKASI PERSPEKTIF REALISME DENGAN KONSEP INTERNAL
BALANCING PADA SENGKETA WILAYAH KASHMIR
ANTARA INDIA DAN PAKISTAN

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan Dra. Siti Daulah K., M.A.

Risalah ini ditulis untuk memenuhi
tugas akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional A

Oleh:
Meilinda Sari Yayusman
(11/312161/SP/24501)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

DAFTAR ISI


Halaman Depan
Daftar Isi .............................................................................................................................

1

Bab I Pendahuluan ...........................................................................................................

2

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................

2

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................

3

1.3 Landasan Konseptual .................................................................................................

3


1.4 Hipotesis .....................................................................................................................

4

Bab II Pembahasan ..........................................................................................................

5

2.1 Sengketa Wilayah Kashmir antara India dan Pakistan ...............................................

5

2.2 Upaya Peningkatan Kekuatan India dan Pakistan ......................................................

7

2.2.1 India ...................................................................................................................

8


2.2.2 Pakistan ..............................................................................................................

10

2.3 Analisis : Internal Balancing sebagai Upaya India dan Pakistan dalam Sengketa Wilayah
Kashmir ......................................................................................................................

12

Bab III Penutup ...............................................................................................................

15

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................

15

Daftar Pustaka ...................................................................................................................


16

1

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejak terbebas dari kolonialisme Inggris, wilayah India telah disepakati akan dibagi
menjadi dua bagian, yakni India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas
Muslim. Namun, Kashmir, wilayah diantara India dan Pakistan, menjadi rebutan oleh kedua
negara tersebut. Pembagian wilayah India pada tahun 1947 pasca penjajahan Inggris ini
merupakan awal mula konflik sengketa wilayah yang belum berakhir hingga sekarang.1
Mulanya, The Maharaja of Kashmir, Hari Singh Dogra, memilih untuk tidak bergabung
bersama India maupun Pakistan. Akan tetapi, pecahnya beberapa perang besar antar kedua
negara membuat wilayah Kashmir menjadi arena militer guna saling menyeimbangkan
kekuataan mereka. Terdapat tiga perang besar yang terjadi selama persengketaan terjadi,
Perang Indo-Pakistan ditahun 1947-1948 yang berakhir dengan keterlibatan Resolusi Dewan

Keamanan PBB untuk mengupayakan gencatan senjata dengan memerintah Pakistan menarik
pasukan militernya dari wilayah Kashmir pada 31 Desember 1948. Dilanjutkan dengan
Perang Indo-Pakistan kedua pada tahun 1965 dengan penempatan-penempatan angkatan
militer bersenjata Pakistan dan India. Perang ini harus melibatkan pihak luar, Amerika
Serikat dan Uni Soviet, dalam upaya mendamaikan kedua negara dan membentuk Tashkent
Declaration. Terakhir, Perang Indo-Pakistan pada tahun 1971 dengan kekalahan militer
Pakistan yang mengharuskan negara tersebut menandatangani The Silma Agreement dengan
menyepakati line-control antara kedua negara.2 Meskipun demikian, setelah ketiga perang ini
berlangsung, konflik antar kedua negara tetap berlanjut.
Dalam konflik sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, upaya internal
balancing terlihat pada kedua negara. Baik India maupun Pakistan berlomba-lomba untuk
mempertahankan kekuatannya dengan menggunakan sumber daya negara yang dimiliki dan
menggunakan perekonomian mereka seefisien mungkin untuk meningkatkan pertahanan
dengan military build-up. Hal ini lebih banyak terlihat dilakukan oleh Pakistan untuk
menyeimbangkan kekuatan India yang sejak bangsa Inggris pergi, terjadi partisi wilayah
antara India dan Pakistan dengan kekuatan yang dimiliki oleh India jauh lebih besar. Sampai

 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1

S.P. Cohen, Shooting for A Century: The India-Pakistan Conundrum, Brookings Institute, Washington, 2013,

p. 275.
2
Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September
2013, , diakses pada 2 Januari 2014.

2

 

tahun 1990-an, defence budget Pakistan untuk meningkatkan kualitas militernya mencapai
6% dari total GNP. Berbeda dengan India, negara ini juga berusaha untuk menggunakan
sumber daya negaranya untuk mempertahankan kekuatan negara dalam ancaman konflik
Kashmir ini. Namun, military spending yang dilakukan oleh India hanya setengah dari
pengeluaran Pakistan. Pada tahun 1990-an, India hanya mengalokasikan 3% dari GNP untuk
upaya pertahanan negara. Perimbangan kekuatan internal dengan military build-up ini terus
dilakukan oleh kedua negara, kompetisi diantara kedua negara juga berpotensi untuk terjadi
di wilayah Kashmir. Mengingat kedua negara masih ingin mempertahankan kedaulatan
mereka di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Risalah ini akan berfokus untuk menjawab sebuah rumusan masalah, yakni “Bagaimana
upaya internal balancing yang dilakukan India dan Pakistan dalam menghadapi sengketa
wilayah Kashmir?”

1.3 Landasan Konseptual
Untuk menganalisis lebih dalam upaya perimbangan kekuatan yang dilakukan oleh India
dan Pakistan, penulis akan menggunakan konsep Internal Balancing dari perspektif
realisme.

Internal Balancing
Menurut Kenneth Waltz, dalam sistem internasional yang anarkis, setiap unit atau negara
harus mampu menjaga diri karena tidak ada unit lain yang dapat menjadi tumpuan untuk
diandalkan.3 Dengan kata lain, sistem internasional menuntut negara untuk menerapkan selfhelp guna mempertahankan power negaranya. Internal balancing merupakan salah satu cara
yang dilakukan oleh negara guna menyeimbangkan kekuatan negaranya terhadap negara lain
dengan merealokasikan sumber daya untuk keamanan nasional.4 Dalam internal balancing,
negara berupaya membangun kekuatan militer suatu negara dengan military build-up sebagai
perwujudan self-help. Waltz juga menjelaskan, ‘moves to increase economic capability, to
increase military strength, to develop clever strategies’5 dengan aspek tersebut, kapabilitas
ekonomi dan kekuatan militer menjadi strategi self-help dalam internal balancing. Untuk itu,


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3

S. Burchill, et.al., Theories of International Relations, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York, 2005, p. 35.
S. Burchill, et. al., p. 36.
5
B. Frankel, Realism: Restatements and Renewal, Frank Cass and Company, London, 1996, p. 130.
4

3

 

military spending dianggap sebagai salah satu indikator seberapa besar negara melakukan
military build-up. Implikasinya, peningkatan anggaran militer atau military spending untuk
memperkuat keamanan nasional ini dapat berpotensi sebagai dua hal, yakni pertahanan
negara atau berakhir pada kompetisi antarnegara dengan menggunakan kekuatan militer.

1.4 Hipotesis
Sengketa wilayah Kashmir menuntut kedua negara untuk melakukan perimbangan
kekuatan dengan meningkatkan militer negaranya. Kedua negara melakukan berbagai upaya
untuk memperkuat keamanan nasional. Military build-up merupakan salah satu cara untuk
menyeimbangkan kekuatan kedua negara guna mempertahankan kedaulatan bahkan
mengambil seluruh wilayah Kashmir yang diperebutkan. Namun, Pakistan terlihat lebih
signifikan dalam upaya melakukan perimbangan kekuatan dengan India. Hal ini terlihat dari
upaya melipatgandakan alokasi anggaran militer untuk menyeimbangi India. Akan tetapi,
perimbangan kekuatan militer kedua negara ini berpotensi menjadi eskalasi konflik dengan
dibuktikan adanya kompetisi dalam tiga peperangan besar yang terjadi.

4

 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sengketa Wilayah Kashmir antara India dan Pakistan
Di tahun 1945 sampai dengan 1947, pengaruh Inggris di wilayah India mulai berkurang
hingga akhirnya Inggris pergi meninggalkan India. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun
1945 membuat banyak perubahan pada bidang militer, politik, dan ekonomi Inggris saat itu.
Melemahnya pengaruh Inggris di India karena terfokus pada Perang Dunia yang sebelumnya
terjadi, membawa kesempatan bagi India untuk melakukan transformasi politik secara
radikal. Para politisi India mulai membicarakan liberalisasi nasional untuk benar-benar
terbebas dari pengaruh Inggris. Namun, proses kemerdekaan pun diliputi oleh dinamika yang
terjadi di dalam negeri. Sejak tahun 1945, Kongres mulai membicarakan tentang
kemerdekaan India sebagai satu kesatuan, sementara Liga Muslim (the Muslim League) justru
memprakarsai ‘Pakistan for Independence’.6 Ide kemerdekaan Pakistan ini sebenarnya sudah
diinisiasikan sejak tahun 1940, mayoritas Muslim yang berada di wilayah barat-laut dan
timur-laut India menginginkan partisi wilayah dengan mayoritas Hindu.
Kesepakatanpun tak kunjung dicapai oleh Kongres dan Liga Muslim. Pada Agustus
1946, Liga Muslim mulai melakukan pergerakan yang dikenal dengan ‘Direct Action’. Pada
Direct Action Day, 16 Agustus 1946, kekerasan banyak terjadi antara orang-orang Hindu
dengan Muslim di Calcutta.7 Tidak berhenti disitu, aksi kekerasan dan pembunuhan terus
berlanjut sampai ke Bombay, Bengal Timur, Bihar, Garhmukteshwar, dan Punjab pada
Januari 1947.8 Kerusuhan semakin memburuk dengan terjadinya insiden pembunuhan
kolektif 90 orang wanita dan anak-anak di Desa Thoa Khalsa.9 Aksi pergerakan yang terus
terjadi ini adalah wujud realisasi permintaan warga Muslim di barat-laut dan timur-laut India
untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai negara merdeka dengan mayoritas Muslim guna
meminimalisir gangguan dari orang-orang Hindu dan menyeimbangi dominasi Hindu.10
Setelah serangkaian dinamika terjadi, pada Agustus 1947, India secara resmi merdeka
sebagai negara berdaulat dengan disepakatinya Indian Independence Act dengan kepergian
Inggris secara resmi. Kemerdekaan ini juga didorong oleh kesepekatan antara Jinnah dan

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6

G. Pandey, Remembering Partition: Violence, Nationalism, and History in India, Cambridge University Press,
Cambridge, 2004, p. 21.
7
G. Pandey, p. 23.
8
G. Pandey, p. 23.
9
G. Pandey, p. 24.
10
G. Pandey, p. 26.

5

 

Jawaharlal Nehru yang sudah mulai menyepakati pembagian wilayah. Pada Desember 1947,
pemerintah India mendeklarasikan Pakistan sebagai wilayah asing dengan kata lain, bukan
lagi bagian dari India.11
Permasalahan tidak behenti sampai partisi dua wilayah berhasil dilakukan. Munculnya
permasalahan sengketa wilayah terjadi juga antara India dan Pakistan. Wilayah Kashmir yang
semula berada di bawah otoritas penuh Inggris diserahkan kepada The Maharaja of Kashmir,
Hari Singh Dogra.12 Saat itu, Maharaja Hari Singh belum memutuskan Kashmir sebagai
wilayah asesi dari India atau Pakistan. Ia menunda pemberian keputusan sampai Inggris
benar-benar menarik diri dari India. Sejak Inggris menarik diri dari India pada Agustus 1947,
keputusan belum juga dibentuk oleh Maharaja Hari Singh. Mulanya, ia tidak ingin bergabung
pada India maupun Pakistan. Namun, kesalahan terjadi ketika Maharaja Hari Singh
menandatangani kesepakatan dengan India pada Oktober 1947, yakni menyepakati intervensi
militer India di wilayah Kashmir sebagai kelanjutan dari perjanjian yang India ajukan pula
pada Pakistan, tetapi tidak berjalan.13 Kesepakatan ini memberikan asumsi bagi India bahwa
Maharaja Hari Singh lebih memihak pada India dibandingkan Pakistan, dengan kata lain
memberikan legalitas Kashmir sebagai wilayah tambahan India. Sementara menurut
pandangan Pakistan, wilayah ini sudah selayaknya menjadi wilayah bagian Pakistan. Hal ini
dikarenakan oleh orang-orang Kashmir yang mayoritas merupakan Muslim, dengan kata lain
mayoritas Muslim merupakan identitas dari Pakistan.14 Selain itu, orang-orang Pakistan
menambahkan bahwa Maharaja Hari Singh tidak mendapatkan dukungan dan legitimasi dari
kebanyakan orang Kashmir. Maharaja sesungguhnya mengontrol wilayah Kashmir atas dasar
paksaan, yakni pemberian otoritas dari Inggris sebelumnya.
Perdebatan dua pandangan yang berbeda ini membawa pada sengketa yang tidak
kunjung berhenti dan menemukan titik temu terhadap wilayah Kashmir. Alhasil, berujung
kepada peperangan yang terjadi di wilayah tersebut. Penandatangan the Instrument of
Accession yang dilakukan oleh Maharaja Hari Singh dengan India mengantarkan pada
peperangan antara India dan Pakistan pada tahun 1947. Peperangan yang terjadi sampai tahun
1948 ini akhirnya melibatkan Dewan Keamanan PBB dengan dikeluarkannya resolusi agar
Pakistan

segera

menarik

mundur

seluruh

pasukannya

dan

India

diperbolehkan


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
11

G. Pandey, p. 42.
R. G. Wirsing, India, Pakistan, and the Kashmir Dispute: On Regional Conflict and Its Resolution,
Macmillan Press, London, 1998, p. 2.
13
R. G. Wirsing, p. 10.
14
Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September
2013, , diakses pada 2 Januari 2014.
 
12

6

 

mempertahankan sebagian kecil pasukannya di wilayah Kashmir.15 Akan tetapi, upaya
gencatan senjata ini justru memicu eskalasi konflik yang lebih besar akibat rasa tidak terima
Pakistan terhadap keputusan ini. Selanjutnya, perang antar kedua negara terjadi pada tahun
1965, pasukan-pasukan ditempatkan di wilayah Kashmir. Pada peperangan kali ini, kedua
negara melibatkan pihak luar, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dalam upaya mendamaikan
kedua negara dan membentuk Tashkent Declaration pada 4-10 Januari 1966.16 Terakhir, di
tahun 1971 peperangan antara India dan Pakistan di wilayah Kashmir kembali terjadi dengan
berujung pada penandatanganan The Simla Agreement yang membagi line control antara
India, Pakistan, dan Cina yang kala itu juga terlibat dalam sengketa wilayah Kashmir ini,
serta menyepakati untuk membicarakan hal-hal terkait sengketa dengan cara damai.17 Namun,
perjanjian ini tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Persengketaan wilayah Kashmir terus terjadi dengan dinamika konflik yang beragam. Di
tahun 1989, tercatat sudah 72.000 orang meninggal dunia dan 8.000 orang hilang di wilayah
ini.18 Namun, di tahun 1992, kedua negara sempat melakukan gencatan senjata mengingat
posibilitas terjadinya eskalasi konflik yang lebih besar lagi, akan tetapi tetap tidak
menemukan penyelesaian masalah di wilayah ini.19 Sampai data terakhir di tahun 2013,
Kashmir terbagi menjadi tiga wilayah administrasi. 43% wilayah dikelola oleh India dengan
Jammu, Bukit Kashmir, Ladakh, dan Siachen Glacier termasuk di dalamnya. 37% dikontrol
oleh Pakistan dengan Azar Kashmir dan wilayah utara Gilgit serta Baltistan termasuk di
dalamnya. Sisanya, 20% dikontrol oleh Cina sebagai hasil dari Perang Sino-Indian di tahun
1962, dengan Bukit Shakam termasuk di dalamnya.20

2.2 Upaya Peningkatan Kekuatan India dan Pakistan
Pasca partisi wilayah antara India dan Pakistan, upaya untuk memperkuat kekuatan guna
mempertahankan wilayah Kashmir sebagai bagian dari negara mereka terus dilakukan.
Terlebih pada usaha kedua negara dengan mengalokasikan anggaran dana negara untuk

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
15

M. J. K. S. Bajwa, Jammu and Kashmir War (1947-1948): Political and Military Perspective, Har-Anand
Publications, New Delhi, 2004, p. 228.
16
K. R. Gupta, India-Pakistan Relations with Special Reference to Kashmir, Atlantic Publishers and
Distributors, New Delhi, 2003, pp. 156-157.
17
Z. Mustafa, ‘The Kashmir Dispute and the Simla Agreement’, Pakistan Horizon, vol. 25, no. 3, 1972, p. 38.
18

 Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September
2013, , diakses pada 2 Januari 2014.
 
19
D. Zagoria, ‘India, Pakistan, and the Kashmir Dispute,’ Foreign Affairs, vol. 74, no. 3, May 1995, p. 188.
20

 Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict (daring), September
2013, , diakses pada 2 Januari 2014.
 

 

7

 

meningkatkan kapabilitas militer. Baik India maupun Pakistan berupaya menggunakan
sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan kapabilitas internal negara guna
menyeimbangi satu sama lain dalam merebutkan wilayah Kashmir. Hal ini lebih terlihat
dilakukan oleh Pakistan. Mengingat ketidakseimbangan kekuatan antara India dan Pakistan
terlihat begitu jelas.21 India terlihat lebih kuat dibandingkan Pakistan dari semua aspek
kekuatan. Dari segi populasi, penduduk di India dapat dikatakan sepuluh kali lebih banyak
dari Pakistan. Faktanya, minoritas Muslim di India sama dengan seluruh penduduk Muslim di
Pakistan, selain itu ekonomi India pun lebih besar enam kali dibandingkan Pakistan dan yang
paling krusial adalah angkatan militer India berjumlah dua kali lebih banyak dibandingkan
Pakistan.22 Hal ini didukung oleh pembagian militer Inggris saat partisi ditahun 1947, India
mendapatkan dua kali lebih banyak jumlah angkatan militer dibandingkan Pakistan. Beberapa
hal mendasar ini yang menyebabkan Pakistan perlu berupaya lebih untuk menyeimbangkan
kekuatan dengan India.

2.2.1 India
Dalam rangka memperjuangkan wilayah Kashmir agar menjadi bagian dari India, negara
ini turut meningkatkan kekuatan negaranya. Peningkatan ekonomi dianggap sebagai faktor
pendukung dalam meningkatkan kapabilitas militer India. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ekonomi India terhitung enam kali lebih besar daripada Pakistan. Ditambah lagi,
India lebih terindustrialisasi dibandingkan Pakistan, termasuk di dalamnya industri militer
yang dikategorikan sebagai industri terbesar diantara negara-negara berkembang di dunia.
Dari segi militer, India memiliki angkatan militer dua kali lebih besar dari Pakistan. Di tahun
1960-an, India menghabiskan 3% dari GNP sebagai anggaran pertahanan negaranya.
Meskipun terlihat lebih kecil dalam alokasi anggaran negara untuk pertahanan dan military
spending, namun kenyataannya, alokasi tersebut masih jauh lebih besar enam sampai tujuh
kali dari yang dikeluarkan oleh Pakistan. Hal ini dikarenakan oleh pendapatan India jauh
lebih besar dibandingkan dengan Pakistan. Pada tahun 1960-an ini pula, perang antara India
dan Cina di wilayah Kashmir terjadi, sehingga peningkatan anggaran militer India pun turut
dilakukan namun presentase dari GNP tetap tidak sebesar Pakistan. Di tahun 1970-an, India
menghabiskan 2,99% dari GNP sebagai military spending, yang terhitung sebesar $ 2,43

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
21

K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), International Relations in India: Theorising the Region and Nation,
Orient Longman, New Delhi, 2004, pp. 154-155.
22
R. Rajagopalan, ‘Neo-realist Theory and the India-Pakistan Conflict,’ The Institute for Defence Studies and
Analysis (daring), 2001, , diakses pada 3 Januari 2014.

8

 

milyar.23 Selanjutnya, di tahun 1975, India menghabiskan 3,32% dari GNP untuk military
build-up, yang terhitung sebesar $ 3,3 milyar.24 Di tahun 1980, India tetap konsisten pada
angka 3% dari total GNP untuk pengeluaran anggaran pertahanan. Sampai dengan tahun
1990-an, justru anggaran pertahanan dan military build-up India cenderung menurun di
bawah 3%.25
Selain itu, di tahun 1970-an, India juga turut mengembangkan persenjataan nuklirnya
sebagai realisasi pertahanan negara. Di tahun 1974, India melakukan percobaan nuklir di
wilayah Kashmir yang dikenal dengan ‘peaceful nuclear explosion’.26 Selain itu, mengingat
eskalasi konflik yang terus terjadi, India berupaya untuk melakukan military build-up dengan
meningkatkan kualitas dari para pasukan militer negara. Pelatihan militer secara besarbesaran ini dilakukan oleh India untuk meningkatkan kapabilitas pasukan dengan melibatkan
sejumlah infanteri, pelatihan serangan udara, dan melatih 400.000 tentara yang ditempatkan
di wilayah 100 mil dari Pakistan.27 Pelatihan militer ini dilakukan pada tahun 1986 dan
diesekusi pada tahun 1987 yang dikenal dengan Operasi Brasstacks.28 Pelatihan militer ini
ditangani langsung oleh Perdana Menteri India kala itu, Rajiv Gandhi, beserta beberapa
penasihat kepercayaannya, termasuk Menteri Pertahanan Negara dan Kepala Staff Angkatan
Darat, Jenderal K. Sudarji.29 Selain untuk meningkatkan pertahanan negara, Operasi
Brasstacks ini juga dilakukan untuk menentukan strategi nuklir bagi India, mengingat mulai
berdatangan ancaman nuklir yang juga dilakukan oleh Pakistan untuk menyeimbangi
kekuatan India di wilayah Kashmir.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
23


 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 157.
 

 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 157.
 
25

 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 157.
 
26
L. Dittmer (ed.), South Asia’s Nuclear Security Dilemma: India, Pakistan, and China, M.E. Sharpe, Inc., New
York, 2005, p. 155.
27
W. E. Burrows and R. Windrem, Critical Mass: The Dangerous Race for Superweapons in a Fragmenting
World, Publishers: Simon & Schuster, 1994, p. 77.
28
M. A. K. Niazi, ‘India Toying with Dangerous Cold Start War Doctrin – Analysis,’ Eurasia Review (daring),
29 October 2011, , diakses pada 3 Januari 2014.
29
J. Bandyopadhyaya, The Making of India’s Foreign Policy, 3rd edn, Allied Publisher Private Limited,
Mumbai, 2003, p. 272.
24

9

 

2.2.2 Pakistan
Pakistan terlihat sebagai kekuatan yang jauh lebih lemah dibandingkan India, sehingga
negara ini perlu mengeluarkan upaya jauh lebih besar untuk menyeimbangi India.
Ketidakseimbangan ini sudah terjadi sejak Inggris pergi meninggalkan wilayah India. Saat
partisi, militer Inggris yang ditinggalkan dibagi kepada dua negara ini dengan porsi yang
tidak seimbang. Pakistan hanya mendapatkan setengah dari militer peninggalan Inggris.
Perangkat militer yang dimiliki Pakistan juga tergolong alat-alat tempur dan pesawat terbang
seri lama yang sudah usang. Contohnya adalah tank buatan Cina seri T-59, buatan Amerika
Serikat seri M-48/60. Alat-alat militer ini merupakan buatan tahun 1960-an yang masih
dipakai oleh Pakistan.30
Menurut sejarawan keturunan Amerika-Pakistan, Alesha Jalal, sejak tahun 1947,
Pakistan sudah menyisihkan porsi yang cukup besar dari sumber daya negara untuk
menyeimbangi India bahkan dapat dikatakan politik-ekonomi Pakistan lebih berorientasi
pada pertahanan daripada pembangunan.31 Upaya paling signifikan Pakistan adalah terkait
dana yang dikeluarkan untuk menganggarkan military build-up negaranya. Di tahun 1950-an,
Pakistan menghabiskan 4% dari GNP untuk pertahanan. Meskipun di awal tahun 1950
terdapat friksi politik dimana Perdana Menteri Khwaja Nazimuddin menginginkan agar
negara menurunkan pengeluaran untuk pertahanan. Namun, penggantinya Mohammed Ali
Bogra langsung mengubah kebijakan tersebut dan meninggikan kembali anggaran pertahanan
untuk Pakistan. Di tahun 1960-an, pengeluaran Pakistan untuk pertahanan militer negaranya
mencapai 6% dari GNP. Di tahun 1970-an, Pakistan menghabiskan 5,75% dari total GNP
atau terhitung $ 325 juta untuk pertahanan dan military build-up. Pengeluaran untuk
pertahanan negara kembali meningkat di tahun 1975, Pakistan menghabiskan 6,28% dari
GNP atau terhitung $ 622 juta. Di tahun 1980-an, anggaran yang dihabiskan untuk
pertahanan tetap bertahan, yakni 6% dari GNP. Sampai pada tahun 1990-an dan dekade
terakhir, Pakistan tetap mengeluarkan dana sekitar lebih dari 6% untuk terus meningkatkan
pertahanan dan military build-up negara.32
Selain itu, upaya lain yang dilakukan oleh Pakistan adalah pelaksanaan Operasi Gibraltar
di awal tahun 1965. Pakistan memperkuat pasukan militer negara untuk menerobos masuk ke
wilayah perbatasan Kashmir yang dikontrol oleh India.33 Hal ini bertujuan untuk memicu

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
30


 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 155.
 

 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 156.
 
32

 K. Bajpai and S. Mallavarapu (ed.), p. 157.
 
33

 L. Dittmer (ed.), p. 114.
 
31

10

 

konflik dan ketegangan masyarakat Kashmir serta pasukan India diperbatasan. Namun,
operasi yang dipimpin oleh Mayor Jendral Akhtar Hussain Malik ini gagal. Pakistan tidak
berhasil membuat kecaman bagi India, tetapi memicu eskalasi konflik semakin besar di
wilayah Kashmir. Bermula dari inisiasi Operasi Gibraltar inilah pecah perang besar kedua
antara India dan Pakistan di tahun 1965 dimana kedua pasukan militer masing-masing negara
menempatkan pasukannya di wilayah perbatasan.
Pasca eskalasi konflik ini, pengembangan nuklir mulai begitu populer bagi kedua negara.
Nuklir dipercaya sebagai alat untuk mempertahankan keamanan nasional. Bagi Pakistan,
inisiasi mengenai senjata nuklir sebenarnya telah dibicarakan sejak tahun 1950.34 Namun,
Pakistan sendiri masih menyadari kapabilitas kemampuan negaranya. Sementara India terus
melakukan ekspansi militernya akibat perang yang juga terjadi antara India dan Cina pada
tahun 1962, senjata nuklir merupakan salah satu alat yang terus dikembangkan oleh negara
ini. Sampai dengan implementasi pada tahun 1974, percobaan nuklir di wilayah Kashmir
untuk melakukan kecaman pada Pakistan dengan ‘peaceful nuclear explosion’. Isu nuklir
yang semula belum dijadikan prioritas, kini menjadi fokus bagi Pakistan sebagai upaya
pertahanan negara dalam sengketa wilayah. Pakistan mulai menampakan keseriusannya
terhadap urgensi nuklir bagi negara dengan membentuk kebijakan nuklir yakni: senjata nuklir
dianggap penting untuk mengimbangi superioritas India, ancaman dipusatkan kepada pusat
populasi India, jumlah senjata nuklir relatif sedikit kurang dari 100, perintah dan kontrol
senjata nuklir berada ditangan pasukan militer.

35

Selain itu, dalam Doktrin Nuklir Pakistan

pun dijelaskan tiga poin penting, yakni: pengembangan nuklir Pakistan berpusat pada India,
Pakistan tidak dapat menjamin kalau mereka tidak akan menyerang terlebih dahulu, Pakistan
akan menjaga kapabilitasnya agar nuklir ini tidak berujung pada perang nuklir.36 Kebijakankebijakan ini dibentuk oleh Pakistan untuk mengatur penggunaan senjata nuklir agar tidak
menciptakan bahaya bagi negaranya sendiri.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
34


 L. Dittmer (ed.), p. 114.
 

 L. Dittmer (ed.), p. 116.
 
36

 L. Dittmer (ed.), p. 116.
 

35

11

 

2.3 Analisis : Internal Balancing sebagai Upaya India dan Pakistan dalam Sengketa
Wilayah Kashmir
Sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan ini memicu upaya meningkatkan
kekuatan masing-masing negara sebagai wujud self-help. Kedua negara yang bersengketa
mempercayai bahwa masing-masing dari mereka adalah ancaman bagi satu sama lain,
sehingga penting untuk meningkatkan kekuatan dimulai dari ruang lingkup internal.
Menganalisis lebih dalam dengan menggunakan konsep internal balancing dari perspektif
realisme, upaya mempertahankan kekuatan yang dilakukan oleh India dan Pakistan
merupakan realisasi dari internal balancing. Kedua negara berusaha untuk mengalokasikan
sumber daya negara guna menyeimbangkan kekuatan satu sama lain. Untuk itu, analisis
konsep internal balancing dalam konflik ini dapat dirumuskan menjadi dua fokus.
Pertama, gagasan Kenneth Waltz, yakni ‘moves to increase economic capability, to
increase military strength, to develop clever strategies,’ merupakan representasi yang sesuai
dengan upaya India dan Pakistan dalam military build-up. Kapabilitas ekonomi yang lebih
besar akan mempengaruhi kekuatan militer negaranya. Dengan kata lain, kondisi
perekonomian negara menentukan signifikansi kontribusi military build-up sebuah negara.
Alasan mengapa Pakistan cenderung lebih berusaha mengimbangi India terlihat pada military
spending negara ini untuk pertahanan negaranya. Terlihat bahwa Pakistan selalu
mengeluarkan presentase dua kali lebih besar daripada India dalam military spending.
Ditahun 1960-an, Pakistan mengeluarkan 6% dari GNP negara, sedangkan India hanya 3%
dari GNP negara. Ditahun 1970, Pakistan mengeluarkan 5,75% dari GNP terhitung $ 325
juta, sedangkan India hanya 2,99% dari GNP, namun terhitung $ 2,43 milyar. Ditahun 1975,
Pakistan mengeluarkan 6,28% dari GNP, terhitung $ 622 juta, sedangkan India 3,32% dari
GNP, namun terhitung $ 3,3 milyar. Ditahun 1980-an, Pakistan mengeluarkan 6% dari GNP,
sedangkan India tetap konsisten 3% dari GNP. Terakhir, ditahun 1990-an, Pakistan semakin
meningkatkan pengeluarannya untuk pertahanan dengan lebih dari 6% dari GNP negara,
sedangkan India justru kurang dari 3% dari GNP negara. Akan tetapi, anggaran yang
dikeluarkan oleh India untuk military build-up ternyata jauh lebih besar daripada Pakistan.
Hal ini dikarenakan oleh perekonomian India yang jauh lebih berkembang, sehingga
kekuatan India masih lebih besar dan Pakistan terus berusaha untuk melakukan internal
balancing guna menyeimbangi India. Maka, hal ini sesuah dengan gagasan Kenneth Waltz
bahwa perkembangan ekonomi akan mempengaruhi peningkatan kekuatan militer suatu
negara. Dua aspek yang memang tidak dapat terpisahkan. Ini merupakan strategi yang
12

 

dilakukan oleh India maupun Pakistan dalam melakukan military build-up meskipun Pakistan
masih tertinggal secara ekonomi dari India.
Kedua, upaya military build-up sebagai realisasi internal balancing juga terlihat pada
kedua negara yang berusaha melakukan pelatiha-pelatihan militer untuk melakukan Operasi
Gibraltar yang dilakukan oleh Pakistan pada tahun 1965 untuk mengecam India dan Operasi
Basstracks yang dilakukan oleh India pada tahun 1986-1987 yang juga dilakukan untuk
mengecam Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Disini, kedua negara berusaha
melakukan pelatihan-pelatihan bagi tentara negara dan menyediakan alat tempur untuk
melakukan serangan melalui darat maupun udara. Setelah Operasi Gibraltar oleh pasukan
Pakistan, India pun mulai merasakan adanya ancaman-ancaman berdatangan. Meskipun
berselang waktu cukup lama, India berusaha untuk menyiapkan pasukan untuk
menyeimbangi kekuatan dengan melakukan pelatihan bagi 400.000 tentara guna menempati
wilayah 100 mil dari perbatasan dengan Pakistan. Internal balancing terlihat signifikan
dilakukan oleh India pada saat itu. Selain itu, kedua negara juga berusaha melakukan
perimbangan kekuatan dengan melakukan pengembangan senjata nuklir. Melihat India begitu
gencar dalam melakukan pengembangan nuklir, terutama pada saat India berperang dengan
Cina di wilayah Kashmir pada tahun 1962, Pakistan menyadari hal ini juga merupakan
ancaman besar bagi negaranya. Oleh karena itu, Pakistan berusaha melakukan pengembangan
senjata nuklir, terlebih setelah India melakukan percobaan nuklir di wilayah Kashmir pada
tahun 1974 dalam ‘peaceful nuclear explosion’. Pakistan mengimbangi kekuatan dengan
mempersiapkan senjata nuklir, akan tetapi juga mempersiapkan kematangan dalam negeri
dengan membentuk kebijakan-kebijakan serta Doktrin Nuklir sebagai landasan mereka.
Upaya Operasi Gibraltar dan Basstracks serta pengembangan senjata nuklir ini merupakan
bagian dari realisasi military build-up kedua negara guna menyeimbangi kekuatan dalam
sengketa wilayah Kashmir.
Berdasarkan kedua analisis di atas, kedua negara menerapkan internal balancing dalam
konflik persengketaan wilayah Kashmir ini. Terutama Pakistan yang terlihat secara jelas lebih
lemah, memiliki populasi sedikit, dan kondisi ekonomi lebih rendah daripada India. Hal ini
membuat Pakistan terus mengimbangi kekuatan India agar dapat memperjuangkan wilayah
Kashmir secara keseluruhan sebagai bagian dari negaranya. Akan tetapi, kondisi saling
mengimbangi kekuatan ini memicu kepada kompetisi diantara kedua negara. Perimbangan
kekuatan dengan military build-up berujung pada tiga peperangan besar yang terjadi antara
India dan Pakistan. Awal mula kompetisi bahkan sudah dimulai sejak partisi kedua negara
13

 

terjadi di tahun 1947. Kedua negara sama-sama tidak terima jika wilayah Kashmir menjadi
bagian dari wilayah salah satu dari India maupun Pakistan, sehingga pertempuran terjadi.
Dilanjutkan dengan implikasi dari Operasi Gibraltar, peperangan India-Pakistan ditahun 1965
pun terjadi. Bahkan kembali terjadi di tahun 1971. Tidak berakhir pada tiga peperangan besar
tersebut, krisis di wilayah Kashmir pun kembali terjadi pada tahun 1986 sampai dengan 1987
akibat Operasi Basstracks oleh India dan di tahun 1990-an akibat pengembangan nuklir yang
dilakukan oleh kedua negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa upaya internal
balancing yang dilakukan baik India maupun Pakistan berujung pada kompetisi di wilayah
Kashmir dengan konflik tak berujung hingga kini.

14

 

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sengketa wilayah Kashmir yang terjadi sejak tahun 1947, yakni saat India melakukan
partisi menjadi dua bagian, wilayah India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan
mayoritas Muslim. Perebutan hak wilayah Kashmir terus memicu konflik bagi kedua negara
karena keduanya merasa wilayah tersebut adalah bagian dari negara mereka. India
berpendapat bahwa sejak Maharaja Hari Singh menandatangani perjanjian the Instrument of
Accession dengan India pada Oktober 1947 dengan memperbolehkan adanya intervensi
militer di wilayah Kashmir oleh India, menandakan bahwa Maharaja telah memberikan
wilayah Kashmir kepada India. Namun, Pakistan tidak membenarkan hal itu. Bagi Pakistan,
Kashmir merupakan wilayah bermayoritas Muslim, sehingga merupakan bagian dari
negaranya karena identitas Muslim adalah milik Pakistan. Ditambah lagi, Pakistan percaya
bahwa sebenarnya sebagian besar orang Kashmir tidak mengakui legitimasi dari Maharaja
Hari Singh.
Bermula dari kedua pandangan yang berbeda, konflik diantara kedua negara terus
terjadi. Baik India maupun Pakistan terus melakukan military build-up negaranya sebagai
realisasi dari internal balancing guna mempertahankan kekuatan di wilayah Kashmir. Akan
tetapi, Pakistan terlihat berusaha jauh lebih keras dibandingkan India. Hal ini dikarenakan
oleh kapabilitas Pakistan yang jelas lebih lemah dari India dari segi populasi, ekonomi, dan
perkembangan negara. Upaya internal balancing yang dilakukan oleh India dan Pakistan,
antara lain: melakukan military spending cukup besar dari pendapatan masing-masing negara
untuk mendukung military build-up, melakukan military build-up dengan operasi militer,
Gibraltar oleh Pakistan dan Basstracks oleh India, dan melakukan pengembangan senjata
nuklir. Ketiga upaya ini dilakukan oleh India dan Pakistan sebagai strategi self-help, terlebih
dalam mempertahankan kedaulatan mereka di wilayah Kashmir dan berusaha merebut
seluruh wilayah menjadi bagian dari negara mereka. Namun, upaya-upaya ini berujung pada
kompetisi dengan adanya peperangan-peperangan yang seringkali terjadi di wilayah Kashmir
antara pasukan India dan Pakistan.

15

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Bajpai, K. and S. Mallavarapu (ed.), International Relations in India: Theorising the Region
and Nation, Orient Longman, New Delhi, 2004.
Bajwa, M. J. K. S., Jammu and Kashmir War (1947-1948): Political and Military
Perspective, Har-Anand Publications, New Delhi, 2004.
Bandyopadhyaya, J., The Making of India’s Foreign Policy, 3rd edn, Allied Publisher Private
Limited, Mumbai, 2003.
Burchill, S., et.al., Theories of International Relations, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New
York, 2005.
Burrows, W. E. and R. Windrem, Critical Mass: The Dangerous Race for Superweapons in
a Fragmenting World, Publishers: Simon & Schuster, 1994.
Cohen, S.P., Shooting for A Century: The India-Pakistan Conundrum, Brookings Institute,
Washington, 2013.
Dittmer, L. (ed.), South Asia’s Nuclear Security Dilemma: India, Pakistan, and China, M.E.
Sharpe, Inc., New York, 2005.
Frankel, B., Realism: Restatements and Renewal, Frank Cass and Company, London, 1996.
Gupta, K. R., India-Pakistan Relations with Special Reference to Kashmir, Atlantic
Publishers and Distributors, New Delhi, 2003.
Pandey, G., Remembering Partition: Violence, Nationalism, and History in India, Cambridge
University Press, Cambridge, 2004.
Wirsing, R.G., India, Pakistan, and the Kashmir Dispute: On Regional Conflict and Its
Resolution, Macmillan Press, London, 1998.

Sumber Jurnal
Mustafa, Z., ‘The Kashmir Dispute and the Simla Agreement,’ Pakistan Horizon, vol. 25, no.
3, 1972, p. 38.
Zagoria, D., ‘India, Pakistan, and the Kashmir Dispute,’ Foreign Affairs, vol. 74, no. 3, May
1995, p. 188.

16

 

Sumber Online
Niazi, M. A. K., ‘India Toying with Dangerous Cold Start War Doctrin – Analysis,’ Eurasia
Review (daring), 29 October 2011, , diakses pada 3 Januari 2014.
Peace Direct, ‘Kashmir: Conflict Profile, South Asia’s Longest War,’ Insight on Conflict
(daring), September 2013,
, diakses pada 2
Januari 2014.
Rajagopalan, R., ‘Neo-realist Theory and the India-Pakistan Conflict,’ The Institute for
Defence Studies and Analysis (daring), 2001, , diakses pada 3 Januari 2014.

17