Tak Ada Roti dan Anggur di Perjamuan Kud

Tak Ada Roti dan Anggur di Perjamuan Kudus
(Sebuah Pengalaman dari Rote - Indonesia)
Ebenhaizer I Nuban Timo
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini merupakan kajian kritis-kontekstual terhadap pelaksanaan Perjamuan Kudus di salah
satu jemaat protestan di pulau Rote – Nusa Tenggara Timur Indonesia. Dalam perjamuan roti dan
anggur diganti dengan makanan lokal masyarakat setempat. Perserta juga diberi keluasan untuk
makan dan minum lebih dari satu kali. Mayoritas anggota sidi jemaat berpartisipasi dalam
perayaan itu. Majelis jemaat tidak bermasalah dengan pergantian elemen roti dan anggur dengan
makanan lokal, tetapi beberapa pendeta mempersoalkan perbuatan itu. Dalam sidang tahunan
majelis Sinode masalah ini alot dijadikan bahan percakapan. Syukurlah karena akhirnya diterima
juga. Penulis memberi penjelasan terhadap model ini dari perspektif perayaan Paskah Yahudi.
Keyword: Holy Communion, Bread and Wine, Contextualization, Church, Island Rote
Perjamuan Kudus Tanpa Roti dan Anggur
Pemakaian roti dan anggur dalam Sakramen Perjamuan merupakan tradisi yang sudah
berlangsung 20 abad dan berlaku universal. Roti dan anggur adalah makanan pokok masyarakat
Timur Tengah dan Eropa. Bangsa Indonesia makanan pokoknya adalah nasi. Ini menjadi alasan
di banyak gereja lokal di Indonesia ada upaya untuk menggantikan roti dan anggur dengan
makanan pokok masing-masing masyarakat. Di Gereja Kristen Indonesia Dagen-Palor Jawa
Tengah nasi tumpeng dan sirup dipakai dalam perayaan Perjamuan Kudus. 1 Banyak pendeta

muda di Timor juga bereksperimen menggantikan roti dan anggur dengan ketupat dan air putih.
Di bulan Oktober 2016 Majelis salah satu jemaat di Rote, pulau paling Selatan Indonesia
menyelenggarakan sakramen itu dengan cara yang unik. Si pendeta membagikan cerita itu
disertai foto-fotonya kepada saya di dalam sebuah kapal cepat waktu kami berdua menyeberang
dari Kupang ke Rote.
Posisi duduk diatur sesuai pertalian keluarga atau kekerabatan. Tiap kelompok
mengelilingi satu meja. Dia atas meja terdapat beberapa haik, alat minum tradisional orang Rote
terbuat dari daun pohon lontar. Ukuran haik itu sebesar gelas. Tiap peserta perjamuan diminta
membawa sendiri haik itu dari rumah masing-masing. Haik-haik itu berguna sebagai cawan.
Anggur untuk perjamuan adalah tuak, nira segar pohon lontar ditampung pada sebuah haik
berukuran besar yang digantung di dekat mimbar di meja utama tempat pendeta dan majelis
jemaat duduk. Isi haik besar itu kira-kira 5 liter nira segar. Menurut pak pendeta, isi haik yang 5
liter itu ternyata habis dan tiga kali di isi. Peserta perjamuan yang berjumlah 80-an orang tidak
hanya sekali minum.
Dalam perjamuan itu tidak dipakai roti melainkan daun kelor (marungga) rebus.
Jumlahnya juga lumayan banyak untuk disantap semua anggota keluarga di meja-meja tadi
bersama sambal. Bisa dibayangkan betapa nikmatnya momen makan dan minum bersama di
perayaan sakramen perjamuan kudus itu. Model perayaan itu sudah disosialisasikan sejak bulan
1


Retno Dwi Hastuti. (2017). Disertasi. Salatiga: Satya Wacana Universty Press.

Mei 2016. Seorang penatua memberikan kepada warga jemaat penjelasan berikut: “Kita tahu
bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus merupakan lambang (simbol) yang menunjuk
kepada tubuh dan darah Kristus. Itu simbol dari Eropa, karena roti dan anggur adalah makanan
orang di sana. Bagi kita simbol-simbol itu bisa diganti dengan makanan yang kita miliki, tetapi
satu hal tetap tidak tergantikan yakni iman atau percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan
juruselamat. Kalau ada warga jemaat yang belum menerima pergantian simbol itu, kami tidak
memaksa untuk hadir dalam Perjamuan Kudus.”
Ternyata… dalam perayaan itu sejumlah besar warga jemaat hadir. Foto-foto yang
ditunjukkan membuktikan hal itu. 15 liter nira diminum sampai habis. Sayur rebusan marungga
beserta sambalnya juga ludes. Usai perayaan, sepulang ke rumah masing-masing mereka berkata
kepada rekan yang tidak hadir: “Kalian rugi… dengan suasana persaudaraan dan sukacita yang
terasa dalam ibadah tadi.” Saya mendengar cerita pak pendeta sambil melihat foto-foto dengan
penuh pesona dan sukacita. Inilah model perayaan yang berakar pada pengalaman sehari-hari
orang Rote.
“Luar biasa…” begitu komentar saya kepada bapak pendeta. “Tahun depan… kalau mau
diadakan lagi perjamuan serupa saya mau hadir untuk mengalaminya.” Seorang rekan yang ikut
mendengarkan cerita tadi berkata: “Pak pendeta… bolehkah orang merayakan Sakramen
Perjamuan Kudus dengan mengganti elemen roti dan anggur dengan tuak atau nira segar?”

Spontan saya katakan: “Kenapa tidak? Roti dan anggur itu khan makanan sehari-hari orang
Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina atau Eropa. Kita boleh memakai makanan sehari-hari
kita untuk melambangkan tubuh dan darah Kristus. Apa salahnya?”
“Iya pak… tetapi masa mereka boleh makan tambah dan minum dua sampai tiga kali. Itu
khan jadi kaco?” Dengan santai saya menjawab: “Kaco gimana…? Perjamuan Kudus yang kita
rayakan di Gereja itu khan berakar dari pesta paskah orang Yahudi seperti yang Yesus lakukan
dengan murid-murid sebelum Dia ditangkap. Itu khan makan malam anggota keluarga. Masa
makan malamnya hanya roti seukuran satu sentimeter. Pastilah rotinya besar, malah ada yang
makan dua atau tiga potong roti. Minumannya juga ditambah dua tiga kali. Namanya juga makan
malam. Selain itu pesta makan malam itu yang sekarang kita buat dalam liturgi. Waktu
diliturgikan kita bikin rotinya jadi kecil sekali dan anggurnya hanya tiga atau empat sendok teh.
Tentu saja itu untuk menjaga ketertiban liturgi. Tetapi kalau ada model liturgi kreatif, di mana
suasana keakraban dan persaudaraan terjadi serta ketertiban dijaga… apanya yang salah kalau
orang mencoba memperpanjang pengalaman sukacita karena ingatan akan pengorbanan Kristus
itu dengan makan tambah dan berbagi minuman beberapa kali?”
Mendengar jawaban saya, rekan yang bertanya itu diam. Setelah hening percakapan dia
alihkan ke pokok lain. Saya tidak tahu apakah dia setuju atau keberatan dengan petualangan
teologis-kontekstual yang dilakukan di jemaat tadi serta jawaban yang saya berikan bagi upaya
memberika cita rasa keindonesiaan dalam bergereja dan merayakan sakramen.
Untuk membuat gejolak hati pembaca yang pasti juga bergelora membaca poin ini

perkenankan saya membuat penjelasan berikut. Dalam upaya mengerjakan teologi kontekstual,
Robert Schreiter menganjurkan dua terapi penting. Terapi pertama adalah membuka tradisi
gereja. Itu berguna untuk meningkatkan kewaspadaan gereja lokal akan pemahaman yang
dangkal terhadap tradisi. Tidak jarang para misionaris memiliki agenda menjadikan gereja-gereja
muda sebagai duplikat gereja asal mereka. Pola-pola dominasi dan penaklukan gereja muda pada
agenda monokultur dari negeri asal para misionaris dianggap sebagai hukum yang tidak dapat
diubah. Tradisi gereja dimanfaatkan untuk melegitimasi agenda tadi. 2 Pemakaian roti dan anggur
2

Robert Schreiter. Racang Bangun Teologi Lokal…, 53-4.

dalam perayaan Sakramen Perjamuan Kudus merupakan salah satu agenda dominasi dan
penaklukan itu. Kalau tradisi gereja dibuka dengan teliti menjadi jelas bahwa roti dan anggur
merupakan bagian dari pendangkalan terhadap perayaan Perjamuan Paskah. Bagaimana itu
mungkin? Baiklah kita coba perhatikan kajian berikut.
Sakramen Perjamuan sebagaimana diperintahkan dan dicontohkan Yesus, berakar pada
Perjamuan Paskah Israel untuk memperingati keluarnya orang Israel dari Mesir. Ciri terpenting
dari ritus ini adalah makan malam bersama dalam keluarga. Adalah tidak mungkin hidangannya
irit, terbatas jumlah yang disajikan. Dalam Keluaran 12:10 ada kesan bahwa menu makan malam
itu melimpah, para peserta makan beberapa kali… bahkan harus menghabiskan daging anak

domba yang dipanggang. Kalau toh masih ada daging yang tinggal sampai pagi, daging itu
haruslah dibakar habis dengan api. Kita bisa simpulkan bahwa sepotong roti dan seteguk anggur
yang menjadi kebiasaan dalm sakramen Perjamuan Kudus saat ini adalah upaya meliturgikan
pesta Paskah. Dalam perayaan aslinya, yang juga dilakukan Yesus orang boleh makan dan
minum dalam jumlah banyak.
Coba baca dengan saksama Lukas 22:17-20. Di ayat 17 terbaca: “Kemudian Ia
mengambil sebuah cawan, mengucap syukur, lalu berkata: "Ambillah ini dan bagikanlah di
antara kamu.” Ini terjadi setelah ayat 14 yang mengatakan bahwa Yesus duduk makan bersama
murid-muridNya. Kata makan dalam ayat ke-14 adalah makanan pembuka yang terdiri dari sayur
pahit, sayur hijau dan semacam kuah. Makanan pembuka ini ditutup dengan cawan pertama
dalam perayaan Paskah Israel yang Lukas sebutkan dalam ayat 17. Dalam ayat 20 Lukas
menyebutkan sebuah cawan lagi. Kali ini disebut sesudah mereka makan. Yang disebut makan
dalam ayat 16 adalah makanan inti dalam perayaan Paskah Israel yakni daging anak domba
Paskah yang dipanggang lalu disajikan di meja bersama roti tidak beragi, sayur pahit, kuah buahbuahan dan air anggur. Jadi ada dua buah cawan yang beredar dalam perjamuan malam terakhir
yang Yesus adakan dengan murid-muridNya. 3 Ini menjadi isyarat bahwa ada cukup banyak porsi
makanan dalam makan malam bersama antara Yesus dan murid-muridNya sebelum Dia
disalibkan, bukan hanya sepotong roti dan seteguk anggur seperti yang dipraktekkan dalam
liturgi Perjamuan Kudus saat ini.
Di perayaan Perjamuan Kudus yang dilakukan jemaat GMIT di Rote roti diganti dengan
rebusan daun kelor. Pertanyaan yang muncul: Apakah itu tidak merusak makna sakramen itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu kembali berkonsultasi kepada Robert Schreiter. Terapi
kedua yang patut dikerjakan dalam berkontekstualisasi teologi kata Schreiter adalah membuka
budaya. Tujuan tugas ini adalah untuk dapat melihat seterang-terangnya konfigurasi nilai-nilai
utama, makna, kebutuhan, minat satu budaya. Membuka budaya dimaksud untuk menangkap
makna satu budaya secara holistik dan dengan keseluruhan kompleksitasnya sehingga orang bisa
sampai pada keputusan apakah Kristus perlu dibawa masuk ke dalam budaya ataukah
menemukan Kristus yang sudah aktif dalam budaya itu? 4 Romatisme budaya merupakan bahaya
yang selalu ada, yakni kekaguman overdosis terhadap keindahan dan keutamaan nilai-nilai dalam
kebudayaan sehingga hilang kepekaan terhadap adanya dosa dalamnya. Dalam tugas berteologi,
kombinasi atara romantisme budaya dan pemahaman secara dangkal terhadap tradisi gereja
dapat mengakibatkan hilangnya kewaspadaan terhadap masuknya agenda lain yang
berseberangan dengan core value gereja.

3
4

H. Ridderboos dan H. Baarlink. Pemberitaan Yesus Menurut …. 184.
Schreiter. Racang Bangun Teologi Lokal…, 47-8.

Makanan utama penduduk Asia termasuk Indonesia, begitu kata Masao Takenaka adalah

nasi. Penduduk di Pulau Rote sebelum mengenal nasi makan mereka adalah daun pepaya
dimakan bersama-sama dengan gula yang dibuat dari nira segar (tuak). 6 Dalam Perjamuan
Paskah Israel makanan yang dijadikan santapan utama bukan roti tetapi daging anak domba. Jadi
seharusnya yang dibagi-bagikan Yesus kepada para murid dalam perayaan Paskah adalah daging
anak domba. Tetapi Yesus justru membagi-bagikan roti. Setelah melakukan penelitian mendalam
tentang soal ini H. Ridderbos dan H. Baarlink mengajukan pertanyaan: “Apakah sebabnya Yesus
tidak mengambil daging anak domba paskah itu, melainkan yang diambilNya adalah roti dan
anggur?”7
Jawaban yang mereka berikan menarik untuk kita perhatikan. Pertama, Perjamuan Kudus
sama seperti Perjamuan Paskah bukanlah korban melainkan perjamuan korban, yakni perjamuan
yang didasarkan pada korban yang telah dipersembahkan. 8 Kedua, Perjamuan Kudus adalah
perbuatan peringatan sekaligus perbuatan pengharapan. Itu sebabnya perjamuan itu terusmenerus dirayakan ulang dan pada pengulangan itu pikiran kita tidak lagi boleh terikat hanya
pada roti dan anggur saja, tetapi lebih dari itu yakni kepada tubuh dan darah Kristus yang
diperlambangkan dalam roti dan anggur. Jelasnya H. Ridderbos dan Baarlink menulis begini:9
5

Pada kata yang pertama dalam kalimat, yakni kata “ini” (= roti ini), seolah-olah pikiran
orang harus berkisar pada roti saja, sedang sesudah ucapan kata “tubuhKu” pikiran sama
sekali tidak boleh ada pada roti lagi…. Dalam masa yang lebih baru keterangan ini, juga
oleh para teolog Lutheran, dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi. oleh Gollwitzer

dikatakan bahwa dalam rangka perjamuan malam yang terakhir para murid-murid itu
tidak timbul pertanyaan tentang zat daripada apa yang diberikan Yesus kepada mereka,
karena pada mereka sekali-kali tidak ada pikiran bahwa yang diterima itu lain daripada
roti.”
Yang saya mau tunjukkan dengan kutipan tadi adalah ini; yang penting dalam perayaan
Perjamuan Kudus bukanlah roti dan anggur pada dirinya sendiri, melainkan pada fungsinya
sebagai yang menunjuk kepada tubuh dan darah Kristus yang sudah dikorbankan. Makanan
dalam bentuk apapun (roti, tumpeng, ketupat, daun kelor, anggur, sirup, air putih, tuak manis)
bisa dan boleh dipakai sejauh dipahami sebagai yang menunjuk pada karya keselamatan yang
dikerjakan Allah di dalam penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus. Hal senada juga
ditegaskan oleh H. Ridderboos dan H. Baarlink. Mereka katakan begini: “Apa yang
direpresentasikan di dalam Perjamuan Kudus, itu bukan persembahan itu sendiri, melainkan
dayanya, keampunan dan perdamaian. Atau dengan kata lain, yang diaktuilkan dan
direpresentasikan, ialah bukan peristiwa yang menciptakan keselamatan (kematian korban)
melainkan perbuatan yang membagi-bagikan dan memastikan keselamatan itu.”10
Mengenai formasi duduk berkelompok mengelilingi meja berdasarkan kesatuan marga
atau keluarga hal itu tidak lebih dari metode. Tidak ada ketentuan baku mengenai komposisi
duduk. Posisi para undangan dalam pesta-pesta orang Yahudi adalah tidur di lantai. Ini juga
5
6


Masao Takenaka. (1993). Nasi dan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 19.

Ebenhaizer I Nuban Timo (2014). Rote Punya Cerita. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Ridderboos dan H. Baarlink. Pemberitaan Yesus Menurut …. 185.
8
Ridderboos dan H. Baarlink. Pemberitaan Yesus Menurut …. 186.
9
Ridderboos dan H. Baarlink. Pemberitaan Yesus Menurut …. 188.
10
Ridderboos dan H. Baarlink. Pemberitaan Yesus Menurut …. 190.
7

formasi duduk para murid bersama Yesus saat merayakan Perjamuan Paskah. 11 Di lingkungan
masyarakat Batak Karo dan Batak Simalungun acara makan bersama dalam keluarga maupun
dalam event-event sosial adalah di atas lantai beralaskan tikar. Perempuan duduk dalam
kelompok yang terpisah dari laki-laki. Masyarakat atoin meto di Timor pada jaman dulu
mempraktekan tradisi makan secara lebih menarik. Kaum laki-laki dewasa yang sudah
berkeluarga duduk dalam bentuk lingkaran. Kepala suku atau pemimpin klan menempati posisi
titik pusat lingkaran. Mereka dilayani oleh perempuan-perempuan muda dan dewasa serta para

taruna di dalam kampung. Peserta makan dalam lingkaran baru akan mulai menyantap hidangan
kalau pemimpin klan yang di tengah lingkaran mengunyah hidangannya. Sementara mereka yang
tidak bertugas memainkan gong dan menari sementara para laki-laki dewasa dijamu. Begitu
kepala klan yang duduk di tengah lingkaran bangkit meninggalkan tempat makan, semua lakilaki dalam lingkaran membubarkan diri.
Rombongan para laki-laki dewasa diganti oleh kelompok ibu-ibu yang sudah menikah.
Posisi duduknya sama; anggota suku duduk membentuk lingkaran, istri kepala suku atau
pemimpin klan di titik pusat lingkaran. Mereka dilayani oleh anak-anak perempuan yang belum
menikah. Gong dan tarian tetap dilantunkan mengiring jam makan para ibu. Ketika istri di kepala
kampung beranjak pergi dari lingkaran usai makan, maka bubarlah juga rombongan perempuanperempuan itu. Selanjutnya tiba giliran makan para gadis muda dan anak-anak perempuan. Yang
bertugas sebagai pelayan adalah para taruna dan ibu-ibu yang sudah menikah. Mereka
membentuk lingkaran tapi tidak ada yang menempati posisi titik pusat lingkaran. Kelompok
yang makan paling akhir adalah para taruna. Yang menjalankan tugas melayani mereka adalah
para ibu dan gadis dalam kampung.12 Mencermati adat kebiasaan makan ini nampaklah bahwa
adalah sebuah kejangalan budaya dan manakala di dalam perayaan Perjamuan Kudus di
lingkungan Gereja Batak Karo Protestan, Gereja Kristen Protestan Simalungun dan Gereja
Masehi Injili di Timor posisi duduk anggota sidi adalah di bangku seperti mahasiswa yang duduk
berjejer dalam ruang kuliah.
Penggunaan meja di mana semua peserta duduk berkeliling dengan tuan pesta di kepala
meja adalah kebiasaan Eropa di abad pertengahan. Meja Perjamuan Kudus berbentuk salib
menunjukkan petualangan imajinatif kristen yang diterapkan dalam tradisi makan bersama.

Belakangan ini peserta pesta makan dan minum dalam keadaan berdiri dalam kelompok sambil
berbagai cerita. Tradisi makan di pesta-pesta di daerah pedalaman di Timor agak lain. Pelayanpelayan mengisi piring dengan makanan lalu membagi-bagikan kepada para tamu yang sudah
dipersilahkan untuk mengambil tempat duduk yang sudah disiapkan. Minuman pun dibawa
kepada tamu oleh pelayan-pelayan. Kepelbagaian formasi seperti tadi bukanlah esensi dari
sakramen Perjamuan Kudus.
Gereja-Gereja memiliki kebebasan untuk memilih formasi mana yang nyaman. Gereja
sebagai sakramen Kerajaan Allah dalam arti menjadikan visi akan masa depan (yang telah
disingkapkan secara definitif meskipun belum menyeluruh pada peristiwa salib dan kebangkitan)
sebagai sumber energi kehidupan masa kini haruslah menjadi paguyuban iman yang menikmati
kebinekaan seluas-luasnya tetapi tetap menjadi keesaan yang berintikan pada komitmen bersama
kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan. Kalau inti ini hilang maka kebinekaan itu berubah menjadi
kekacauan. Sebaliknya mengabaikan kebhinekaan demi menjadi inti bersama hanya akan
membuat Gereja terperangkap dalam kolonialisme budaya tertentu berkedok Injil. Menuntut
jemaat-jemaat untuk tunduk sepenuhnya pada pengaturan para klerus di tingkat klasis dan sinode
11
12

Albert Nolan. (2005). Yesus Bukan Orang Kristen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 76.
Krayer van Aalst. Surat-Surat Dari Kapan. Terjemahan Ebenhaizer I Nuban Timo. 215-6.

bukan hanya mengekang kebebasan liturgi jemaat-jemaat tetapi juga merampok tugas berteologi
yang juga menjadi panggilan dari jemaat-jemaat sebagaimana ditegaskan para refomator abad
ke-16 dalam semboyan imamat am orang percaya. Peter Ward menganjurkan sikap bergereja
yang dia sebut gereja cair (liquid Church) sebagai alternatif bagi gereja padat (solid church).13
Dalam liquid church kebenaran merupakan pencarian bersama, bukan yang diturunkan dari
pemegang posisi kepemimpinan gerejawi.14

13

Peter Ward, Liquid Church. (Eugene: Wipf and Stock, 2013).
Joas Adiprasetya. “Gereja Padat dan Gereja Cair.” Johannes Setiawan. Dalam Satu Roh Berbagai Karunia
Merawat Keutuhan. (Cianjur: STT Cipanas, 2016), 81.
14

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24