Tugas Mata Kuliah Sejarah Gereja Indones

Tugas Mata Kuliah Sejarah Gereja Indonesia
Buku ini berasal dari sebuah mata kuliah teologi di tingkat S-1 yang telah saya ajarkan di
Universitas Notre Dame sejak tahun 1986. Mata kuliahnya diberi nama “Pluralisme dan
Iman Kristen”, dan salah satu tujuannya adalah memperlihatkan kepada mahasiswa S-1
yang semuanya berlatar belakang Kristen bagaimana masalah pluralisme agama dilihat dari luar
batas-batas kekristenan.
Dengan melakukan hal itu, si penyunting berharap untuk memperdalam pemahaman tentang
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh seorang penganut yang taat dari suatu agama dalam
memberikan penilaian terhadap keyakinan dan praktek para penganut agama dan tradisi yang
berbeda dari tradisinya sendiri.
Orang Kristen telah banyak berbicara tentang bagaimana mereka melihat orang-orang Buddhis,
Hindu, Yahudi, dan Muslim, dan tentang tempat yang siap mereka berikan kepaa anggotaanggota dari komunitas-komunitas ini di dalam rencana Allah bagi keselamatan manusia. Mereka
masih belum belajar untuk mendengarkan dengan cermat kepada apa yang telah dan sampai kini
masih dikatakan oleh anggota-anggota komunitas ini tentang mereka. Teks-teks dari para penulis
dari berbagai latar belakang agama di dalam buku ini akan menolong orang Kristen untuk
melihat bagaimana orang lain memandang mereka.
Harus diakui bahwa persepsi orang non-Kristen terhadap kekristenan dan orang Kristen sering
lahir dari stereotip-stereotip yang keliru. Ini pun berlaku bagi persepsi orang Kristen terhadap
agama non-Kristen dan para pemeluknya. Barangkali salah satu cara untuk menghilangkan
stereotip yang negatif/keliru ini adalah dengan membaca “pikiran” orang-orang
yang tidak seagama dengan kita agar kita dapat memahami lebih baik apa yang sebenarnya

dipikirkan orang lain tentang kita sendiri (baca: agama Kristen dan orang-orang Kristen).
Harapannya, dialog yang positif akan timbul jika persepsi yang sejati dan positif dapat lahir jika
stereotip negatif/keliru dapat dihilangkan dari masing-masing pihak
back to top ^
Editorial Review
Bagian utama buku ini dibagi menjadi empat bagian: bagian pertama berisi mengenai pandangan
para penganut Yudaisme tentang kekristenan (4 tulisan), bagian kedua berisi pandangan Islam (5
tulisan), bagian ketiga berisi pandangan Buddhisme (5 tulisan), dan bagian terakhir berisi
pandangan Hinduisme (5 tulisan). Masing-masing bagian memuat sejumlah esai mengenai orang
Kristen dan kekristenan oleh wakil dari masing-masing tradisi. Masing-masing esai ini didahului
oleh sebuah komentar biografis yang singkat tentang para penulisnya dan, apabila dianggap perlu
dan relevan, beberapa komentar penafsiran tentang isi esainya.
Pada bagian pertama, beberapa penganut Yudaisme memberikan pandangan mereka mengenai
bagaimana hubungan antara Yudaisme dan kekristenan. Tulisan pertama adalah yang paling
filosofis dan berbasiskan sejarah, sekaligus yang paling sinis. Franz Rosenzweig menilai bahwa
dogma-dogma dalam kekristenan turut melahirkan sikap anti-semitisme di Eropa –
terutama dogma mengenai “kedegilan hati orang-orang Yahudi”. Sebaliknya,
Yudaisme memandang kekristenan sebagai jalan yang “artifisial” dan Ã
¢â‚¬Å“penuh upacara” bila dibandingkan dengan Yudaisme. Stuart E. Rosenberg juga
memiliki sikap yang sama. Ia bahkan menilai bahwa sikap anti-semit Kristen mencapai


puncaknya pada ideologi Nazi Hitler. Rosenberg juga menunjuk – dengan retorika yang
sangat penuh dengan bumbu – pada “tiga kebisuan” orang Kristen:
kebisuan kolusi dengan anti-Semitisme Hitler; kebisuan tentang akar-akar Kristen dari antiSemitisme Nazi dalam tahun-tahun segera setelah berakhirnya Perang Dunia II; dan kebisuan
dalam menghadapi berbagai ancaman negara-negara Arab untuk menghancurkan negara Israel
pada tahun 1967 dan sesudahnya.
Namun, kesinisan Rosenzweig dan Rosenberg diimbangi oleh penilaian yang lebih positif dari
Abraham Joshua Heschel. Heschel menyebut kekristenan dan Yudaisme sebagai agama yang
menyembah Allah yang sama serta memiliki sekumpulan teks suci yang sama. masing-masing,
menurut Heschel mempunyai banyak kekayaan untuk diajarkan kepada pihak yang lainnya.
Secara khusus ia menekankan perlunya pengakuan dari pihak Kristen atas akar keyahudian
mereka dan pengakuan dari pihak Yahudi bahwa mereka berutang kepada orang Kristen atas
keberhasilan orang Kristen dalam menyebarkan pengetahuan mengenai Allah Abraham di
seluruh dunia. Masing-masing, menurut Heschel mempunyai banyak kekayaan untuk diajarkan
kepada pihak yang lainnya.
Dari para penulis Islam, halnya sama juga. Islam menempatkan setiap dimensi hidup manusia di
bawah pengarahan kehendak Allah yang eksplisit, sehingga Islam menolak secara radikal apa
yang cenderung dilihat oleh orang Muslim sebagai dualisme Kristen: tubuh dan jiwa, negara dan
gereja, masyarakat manusia dan tatanan alam. Semuanya dilihat kaum Muslim sebagai upaya
yang tidak tepat untuk memisahkan sebagian aspek dari kehidupan manusia dari cakupan

kehendak Allah dan akan memungkinkan mereka berfungsi secara otonom. Upaya-upaya untuk
menggambarkan proses historis yang telah menghasilkan dualisme ini, dan untuk
memperlihatkan apa yang keliru dengan semua itu secara teologis, khususnya jelas dalam tulisan
Sayyid Qutb (Bab 5) dan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Bab 8). Menurut Qutb, bila Ã
¢â‚¬Å“agama” dipisahkan dari bagian kehidupan yang lainnya, mau tak mau ia akan
berhenti dari apa yang Allah kehendaki daripadanya.
Namun, tidak semua kelompok Islam memiliki pandangan konservatif ekstrem. Modernisme
Islam, sebuah gerakan yang dimulai pada abad ke-19, memiliki wacana pemikiran yang lebih
positif terhadap kekristenan dan budaya Barat. Para pemikir dalam arus ini cenderung mencari
titik-titik kesepakatan dan menekankan unsur-unsur itu di dalam kesaksian Al-Qur’an
yang memungkinkan mereka melihat kekristenan sebagai sebuah komunitas keagamaan dengan
karunianya dan pesannya sendiri, ketimbang sebagai sebuah tradisi yang tidak mempunyai
harapan lagi dan rusak. Baik Fazlur Rahman (Bab 7) dan Seyyed Hosssein Nasr (Bab 9)
melakukan hal ini, meskipun dari sudut yang agak berbeda. Mereka memperlihatkan bahwa
kaum Muslim dapat saja mempunyai sebuah apresiasi positif terhadap kekristenan, meskipun
terdapat ketidaksepakatan teologis. Sementara itu, Mohamed Talbi (Bab 6), telah menghabiskan
banyak sekali tenaga untuk mengembangkan pandangan Islam tentang kekristenan.
Dalam Buddhisme, doktrin keagamaan tidak lebih dari sebuah perahu, suatu alat yang membantu
manusia mengantarnya menyeberang sungai. Namun, setelah sampai di seberang, perahu
tersebut dapat dibuang atau dittingalkan. Pandangan tentang hakikat doktrin keagamaan ini

mempengaruhi cara umat Buddhis memandang doktrin dan praktek umat non-Buddhis. Mereka
cenderung memusatkan diri lebih pada pengaruh doktrin dan praktek-prakteknya terhadap para
pemeluk dan praktisinya, dan tidak pada kebenaran doktrin-doktrin itu atau sejauh mana praktekprakteknya dibutuhkan. Penekanan ini tampak jelas dalam hampir semua penulis yang ada di
buku ini, namun barangkali paling jelas dalam pembedaan antara agama yang Ã
¢â‚¬Å“memuaskan” dan yang “tidak memuaskan” menurut K.N.

Jayatilleke (Bab 10), dan dalam penekanan pada tujuan bersama dari semua komunitas
keagamaan oleh Dalai Lama (Bab 12).
Sementara itu, dampak kolonialisme Barat pun tercermin dalam beberapa tulisan sarjana
Buddhis. Pandangan Dalai Lama tentang orang Kristen dan Kekristenan (Bab 12) dipengaruhi
oleh pengalaman belakangan ini yang diperoleh rakyat Tibet dengan orang Kristen yang
membantu mereka berjuang melawan komunisme. Karena itu tidak banyak semangat antiKristen di dalam tulisan Dalai Lama.
Di Jepang, masalah umat Buddhis pada masa kini bukanlah terutama apakah mereka dapat
mengukuhkan kembali Buddhisme dengan cara melawan aktivitas misionaris Kristen, melainkan
apakah dan sejauh mana orang Kristen dapat belajar dan menerima kekayaan konseptual dan
keagamaan Buddhisme. Hal ini dijelaskan oleh Masao Abe dan Daisaku Ikeda dalam Bab 13 dan
14.
Selain westernisasi, kaum Neo-Hindu juga menekankan pada aspek kesadaran nasionalistis
mereka, sebuah kerinduan untuk mengukuhkan kedudukan penting India (Bharata dalam bahasa
Sansekerta) sebagai sebuah negara bangsa yang memiliki sesuatu yang penting untuk

disumbangkan kepada dunia, dan juga mengidentifikasikan Hinduisme sebagai agama para
penduduk dari negara bangsa itu. Yang khas di sini adalah upaya Vivekananda (Bab 16) untuk
mewakili India (dan Hinduisme – keduanya sulit sekali dpisahkan dalam pemikirannya)
sebagai pemilik harta rohani yang tertinggi dibandingkan dengan kekayaan yang terbaik Barat
dalam bentuk benda-benda materi dan teknologi. Yang juga khas – meskipun jauh lebih
bersifat polemik – adalah tulisan Dayananda Sarasvati (Bab 15) yang berupaya
menyajikan Hinduisme (dan dengan demikian juga India) sebagai puncak peradaban dan
rasionalitas.
Bersama-sama dengan tulisan ini juga terdapat kecenderungan yang kuat untuk langsung
mengidentifikasikan kekristenan dengan kolonialisme Barat, dan dengan demikian menolaknya
sebagai sebuah pilihan keagamaan yang mungkin bagi orang India. Komentar-komentar Gandhi
(Bab 17) tentang tanggapan-tanggapan emosional dan intelektualnya terhadap para misionaris
Kristen sangat mewakili sikap ini.
Namun, ada juga kecenderungan dalam Hinduisme ke arah pandangan yang inklusif terhadap
hubungan antara Hinduisme dan agama-agama non-Hindu. Hal ini tampak dalam tulisan Bithika
Mukerji (Bab 18). Kekristenan, dalam pandangannya, telah selalu berada di dalam Hinduisme.
Sikap inklusif Hindu biasanya tidak menganggap doktrin-doktrin Kristen salah atau praktekpraktek orang Kristen tidak layak dan karenanya menolaknya. Sebaliknya, para inklusivis
biasanya menilai semua ini “setengah benar” dan sudah tercakup di dalam
Hinduisme. Oleh karena itu, keilahian Yesus Kristus tidak disangkal; bahkan dikukuhkan, namun
dinilai semata-mata sebagai salah satu dari contoh yang tidak sempurna dari sebuah fenomena

yang sudah ada secara lebih lengkap dan sempurna di dalam Hinduisme. Kaum neo-Hindu sering
mengatakan bahwa semua agama adalah benar, atau bahwa semua agama mempunyai tujuan
yang sama, atau bahwa semua agama menggambarkan realitas tertinggi yang sama dengan cara
yang berbeda-beda.
Selain itu, ada juga cendekiawan kontemporar Hindu yang bereaksi secara lain terhadap
kekristenan (ini sering kali dialami oleh mereka yang dididik oleh berbagai akademi di Barat
termasuk teori-teori yang dikembangkan oleh para teolog Kristen). Kritik Bibhuti S. Yadav
terhadap teori-teori Hans Kung, yang dimuat sebagai Bab 19 dalam buku ini adalah wakilnya.
Universalisme Kristen ditolak karena dianggap imperialistik; penekanan Kristen pada tindakan
penyelamatan Allah yang khusus di dalam Kristus dikritik karena hal ini melahirkan gambaran

tentang Allah yang sempit dan tidak tetap; dan, sebagaimana halnya dengan semua
kecenderungan sebelumnya dalam pemikiran Hindu tentang kekristenan, teologi Kristen
akhirnya ditempatkan sebagai variasi sektarian yang tidak berarti dari Hinduisme.