Amerika Serikat menganut Ideologi Libera

Amerika Serikat menganut Ideologi Liberalisme. Ajaran liberalisme ortodoks sangat mewarnai
pemikiran para The Fuonding Father Amerika seperti George Wythe, Patrick Henry, Benjamin
Franklin, ataupun Thomas Jefferson.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang
mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan
yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.

Sistem Pemerintahan
Amerika Serikat merupakan sebuah negara serikat/federal berbentuk republik beribukota di
Washington D.C. yang mempunyai 50 negara bagian. Sedangkan sistem pemerintahan yang
dianut adalah Sistem Pemerintahan Presidensial. Presiden Amerika adalah kepala negara juga
sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Di AmerikatTerdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif
yang dinamakan “Separation of Power Teory” yang berasal dari ajaran Trias Politika
(Montesquieu) yang membedakan kekuasaan dalam suatu negara dipisahkan menjadi 3 cabang
kekuasaan :

1.

Eksekutif


: kekuasaan yang melaksanakan Undang-Undang

Kekuasaan eksekutif dipengang oleh Presiden yg dipilih oleh masyrakyat. Presiden menduduki
jabatan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden dan wapres dipilih melalui
pemilihan umum, jadi tidak memberikan pertanggungjawaban kepada Kongres namun jika
presiden dinyatakan melakukan pelanggran berat(high crimmines and misdemeasnors) &
kejahatan yaitu kegiatan melawan negara atau hukum seperti : membunuh, korupsi besar,
penghianatan, dll maka presiden dapat dipecat/dimakzulkan (impeachment).

2.

Legislatif

: kekuasaan yang menyusun/membuat Undang-Undang

Kekuasaan legislatif berada pada parlemen atau disebut Konggres (congress). Konggres terdiri
atas dua kamar, yakni Senat & House of Representatif. Anggota Senat (perwakilan dari negara
bagian) perwakilan tiap tiap negara bagian masing-masing dua orang jadi jumlahnya ada 100
senator. Sedangkan House of Representatif (Dewan Perwakilan Rakyat) ditentukan berdasarkan

jumlah penduduk.

3.

Yudikatif

: kekuasaan yang mengawasi pelaksanaan UU dan memberikan sanksi bagi

pelanggar UU.
Kekuasaan lembaga yudikatif ini dimaksudkan agar terwujudnya check and balance sehingga
tidak ada kekuasaan yang terlalu dominan. Kekuasaan yudikatif ada di tangan Mahkamah Agung
(Supreme of Court) yang bebas dan merdeka dan tidak dapat dipengaruhi oleh kekuasaan yang
lainnya.

Pada permulaan didirikannya Amerika Serikat, ekonomi bertumpu pada pertanian dan
usaha kecil swasta, dan pemerintah negara bagian meninggalkan isu-isu kesejahteraan kepada
pihak swasta atau inisiatif daerah. Seperti di Britania Raya dan negara industri lainnya, ideologi
laissez-faire secara luas diragukan pada periode Kelesuan Besar Ekonomi. Di antara dasawarsa
1930-an dan 1970-an, kebijakan fiskal dicirikan oleh konsensus Keynes, suatu masa di mana
liberalisme modern Amerika mendominasi kebijakan ekonomi yang secara virtual tidak dapat

ditantang.[6][7] Tetapi, sejak penghujung dasawarsa 1970-an dan permulaan dasawarsa 1980-an,
ideologi laissez-faire menjadi kekuatan yang lebih besar dalam politik Amerika. [8] Sementara
negara kesejahteraan Amerika membesar lebih dari tiga kali lipat setelah Perang Dunia II, justru
besaran PDB-nya sebesar 20% PDB dasawarsa 1970-an.[9][10] Kini, liberalisme Amerika modern,
dan konservatisme Amerika modern terlibat dalam peperangan politik tanpa henti, dicirikan oleh
apa yang dijelaskan para ekonom sebagai "perpecahan besar [dan] tertutup, tetapi melawan
pemilihan umum secara keras."[11]
Sebelum Perang Dunia II, Amerika Serikat menganut kebijakan politik luar negeri yang
jauh dari upaya campur tangan kepada pihak asing, yakni dengan tidak mengambil bagian dalam

silang sengketa di antara kuasa-kuasa asing. Amerika Serikat mengabaikan kebijakan ini ketika
ia menjadi adikuasa, dan negara ini sangat menganjurkan prinsip internasionalisme.
Dinamika politik internasional pasca berakhirnya perang dingin membuat Amerika
mengukuhkan dirinya sebagai negara adikuasa. Beberapa tahun berselang,terdapat gaya
kepemimpinan yang mengakibatkan hegemoni Amerika menyebar luas,adalah George Walker
Bush. George Bush berperan besar dalam politik luar negeri Amerika Serikat dalam membuat
keputusan-keputusan penting dalam menjaga stabilitas bahkan kemanan negara.
Menarik dibahas satu kasus era kepemimpinan George Bush dalam sengketa dengan Irak
pada saat kasus WTC 11.
Menilik sedekade silam,tragedy gelap yang menimpa Amerika Serikat, WTC 9/11

merupakan kejadian yang tak akan pernah terlupakan oleh manusia di seluruh dunia. Bencana
tersebut merupakan aksi terorisme yang melibatkan 3000 jiwa warga tewas dalam kejadian ini.
Dimotori al-Qaeda dan pemimpinya Ossama bin laden, kelompok teroris ini sukses menabrakan
pesawat tempur jet F-15 ke gedung WTC setinggi 541 meter itu.
Dengan menilik latar belakang itu George Bush mulai melakukan hard-Diplomacy
kepada negara negara muslim yang masyarakatnya kebanyakan di dominasi di kawasan Asia dan
Timur tengah. Warga muslim pada masa itu dijadikan objek kebijakan Hard-Diplomacy yang
diterapkan oleh Bush dengan menginvasi Irak dan Afghanistan tahun 2003. Tujuan Amerika
Serikat menginfasi irak adalah ingin menghancurkan senjata pemusnah masal,membebaskan
rakyat Irak atas penindasan rezim Saddam Hussein,serta ingin menyingkirkan ancaman teroris
Internasional.
Jika ditelisik lagi mengenaik latar belakang diatas,sebenarnya mengenai rezim Saddam
Husein yang menindas justru bertolak belakang dengan kenyataan. Pasalnya rakyat pada masas
kepemimpinan Saddam Husein. Rakyat irak mendukung penuh agar tak gentar menghadapi
invasi Amerika ke Irak. Senjata pemusnah masal yang diceritakan George Bush pada masa
kongres AS pun tidak dapat dibuktikan kebenarannya,bahwa senjata biokimia yang dapat
merusak kulit,menyerang syaraf serta jarak misil yang mencapai 900 kilometer tidak dapat
dibuktikan kebenarannya

Dari semua asumsi diatas dapat dibuktikan bahwa motif sesungguhnya AS menginvasi

Iraq adalah motif kuat ekonomi dimana irak merupakan salah satu penyimpan cadangan minyak
terbesar di dunia sebesar 112 miliar barrel cadangan minyak. Berdasarkan data tersebut, irak
pemilik 11% cadangan minyak bumi. Selian itu itak memiliki 73 ladang minyak mentah dan
hanya 15 yang telah dikembangkan.. Ingin menciptakan tatanan dunia baru yang “lebih aman”
dengan tujuan kebebasan ekonomi dan politik. Hal ini merupakan strategi geopolitik AS di
kawasan Timur Tengah. Bagi AS, Irak merupakan ancaman potensial bagi kepentingannya dan
sekutu terdekatnya Israel di kawasan Timur Tengah

Terlepas dari latar belakang AS menginvasi Irak yang penuh dengan kebohongan, ada beberapa
faktor yang menyebabkan para pengambil keputusan (policy makers) di dalam pemerintahan
Presiden Bush memutuskan untuk menyerang Irak dan menumbangkan rezim Saddam Hussein,
yaitu:
a.

Menguasai Industri Minyak Dunia dan Menghancurkan OPEC

Agresi militer AS ke Irak sangat erat kaitannya dengan kepentingan minyak bagi AS. Irak
merupakan negara yang mempunyai cadangan minyak sebesar 112 miliar barel atau 11% dari
total cadangan minyak dunia. Para perancang kebijakan pemerintahan AS berpendapat bahwa
menguasai minyak Irak sangat penting guna mengantisipasi menurunnya keberadaan minyak

dunia sebanyak lima juta barel per hari pada dekade mendatang. Lebih daripada itu, Badan
Energi Internasional memperkirakan bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak akan meningkat
sebesar 1,6% pada tahun 2030. Dengan kata lain, kebutuhan minyak dunia yang sekarang
berjumlah antara 75-76 juta barel perhari akan meningkat menjadi 120 juta barel perhari pada
tahun itu.[11]
Dengan menguasai minyak Irak, AS dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia,
karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara
tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh AS di kawasan Teluk tidak saja akan
mengamankan suplai minyak bagi AS dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan AS sebagai
negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.

b.

Menjaga Eksistensi dan Keamanan Negara Israel

AS merupakan benteng utama penjaga keselamatan negara Israel dari ancaman yang sering
dihembuskan oleh Irak, karena itu AS berkepentingan untuk menghancurkan Irak dan
pemerintahan Saddam Hussein. Dengan menghancurkan Irak dan menguasainya, maka Israel
akan terbebas dari ancaman Irak. Dengan adanya perang AS-Irak, maka Irael akan menggunakan
kesempatan itu untuk melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.[12]

M. J. Akbar, seorang kolumnis kaliber internasional asal India, dalam Abdul Halim Mahally
(2003:353), menyatakan bahwa AS sesungguhnya tengah berupaya keras untuk mewujudkan
Timur Tengah Baru. Setelah Irak berhasil dikuasai, maka AS hendak membentuk negara
Palestina yang demokratis yang dapat bekerja sama dengan Israel, karena selama ini Irak
merupakan pendukung gerakan perlawanan Palestina. Selain itu, AS juga ingin mewujudkan
ambisi Israel yang ingin menguasai Timur Tengah. Bagi AS, mendukung Israel merupakan
kepentingannya, karena itu AS secara terang-terangan menerapkan kebijakan standar-ganda di
Timur Tengah. Di satu sisi, AS menjatuhkan sanksi-sanksi khusus kepada Irak, sementara di sisi
lain mendukung Israel menindas Palestina.
c.

Meneguhkan Pengaruh Politik

Dengan menghancurkan Irak, AS semakin terbuka peluangnya untuk menapakkan pengaruh
politiknya di Timur Tengah. Selama ini, pengaruh politik AS di Timur Tengah belum dapat
terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein tidak mau tunduk pada
AS. Saddam Hussein secara terang-terangan mempunyai keberanian untuk menentang hegemoni
AS dan menggalang dukungan dari negara-negara Teluk untuk menentang AS.[13]
Keruntuhan pemerintahan Saddam Hussein juga dimaksudkan AS untuk mengirimkan sinyal
tegas dan peringatan kepada negara-negara di Timur Tengah, bahwa AS tidak akan segan-segan

mengirimkan mesin-mesin perangnya kepada negara-negara yang melawannya.

Dari pernyataan diatas tersebut,melihat dari sudut pandang etika,presiden George Bush
menggunakan ide-idenya dan gagasanya sebagai kepala negara dalam menstabilkan negara
merupakan etika bersikap ia sebagai seorang pemimpin. Namun dari dimensi moral apakah ini
menggambarkan sisi presiden sebagai seorang manusia?atau hanya pemuas hasrat belaka?

Ambisi/hasrat diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan namun apakah perlu
mengabaikan moral kemanusiaan?jelas tidak,nyatanya jika kita menggunakan sisi kemanusiaan
kita dengan baik dan bijak,kita bisa menghidari “konflik berdarah” yang seharusnya tidak terjadi
dan invasi tanpa bukti merupakan asumsi dasar yang kurang rasional sebagai pemimpin.
Liberalisme

merupakan

paham/ideologi

yang

digunakan


di

AS

dalam

kehidupanbernegara. Liberalisme mengajarkan komitmen kepada setiap individu dan keinginan
membangun sebuah masyarakat yang didalamnya manusia dapat memenuhi kepentingan mereka
dan meraih pemenuhannya,ini berarti individualism dijunjung tinggi. Dalam kasus ini presiden
Amerika Serikat menunjukan etikanya sebagai presiden dalam memimpin,namu dilihat dari
dimensi moral ia mengabaikan sisi kemanusiaan demi hasrat kekayaan.